Tanpa sadar atau entah Adara mengikuti perasaannya sendiri, pembasmi bajak laut yang baru saja melepas kegadisannya memegang telapak tangan Arsa. Napas gadis itu sampai berasap karena perubahan cuaca ekstrem yang tiba-tiba terjadi. “Dingin, berkali-kali lipat dari biasanya,” ucap sang pemimpin sambil tubuhnya terasa terombang-ambing dibuai ombak samudra. Malam itu geladak kapal sepi, hanya tersisa anak buah Adara saja yang berjaga. “Sini, mendekat padaku.” Arsa membuka dua tangannya lebar-lebar. Terang saja mendapat tawaran demikian Adara memeluk dewa perang itu amat erat. Seakan semua kehangatan dunia diberikan secara cuma-cuma tanpa pertumpahan darah. Lelaki yang disembah oleh semua manusia harimau itu tersenyum lebar. Akhirnya sang pembasmi bajak laut berhasil Arsa luluhkan hatinya. Satu sudah selesai, tapi masih ada enam lagi yang perlu dicari di mana keberadaannya. Dan zodiak kedua kembali memanggilnya untuk yang kedua kali. “Dewa Arsa, sampai pada panggilan ketiga kau menol
Usai membunuh gurita raksasa tersebut. Arsa terbang dan menuju portal waktu yang dibuat oleh Rogu. Dari atas samudra ia melihat portal tersebut semakin lama semakin mengecil. Sang dewa perang kemudian menambah kecepatan terbangnya. Masuk tubuh Arsa dalam lorong waktu dan terombang-ambing sesaat sebelum ia bisa menyeimbangkan diri dan menuju tempat di mana Adara dibawa oleh Rogu. Ada banyak lubang waktu di dalamnya. Namun, ketika ia mendengar suara gadis pembasmi bajak laut itu, Arsa tahu ke mana ia harus pergi. “Lama sekali. Sudah tiga hari kami menunggu,” ucap Rogu ketika Arsa baru saja sampai di kamar dan entah di mana mereka berada sekarang. “Tiga hari? Aku terbang secepat mungkin dan portal waktumu hampir tertutup. Bagaimana keadaan istriku?” tanya Arsa yang langsung duduk di ranjang tempat Adara berbaring. “Dan kita ada di mana sekarang?” “Dia demam tapi keadaannya sudah membaik, mungkin tak biasa terbang sampai ke langit, dia selalu memanggil namamu. Kita ada di penginapan t
Arsa dan Adara memadu kasih di penginapan tepi pantai. Gadis bermata hijau itu bahkan mengabaikan perasaan bahwa sebentar lagi ia akan ditinggal jauh. Itu urusan nanti, sekarang adalah menikmati kebersamaan yang hanya sebentar saja. Tiga malam sudah mereka berada di sana, tak peduli walau ada utusan dari Ayah Adara yang meminta keduanya untuk pulang sejenak. Bisik-bisik tetangga mulai mengganggu ketenangan ayah sang pembasmi bajak laut. Arsa ingin memenuhi panggilan itu, sekaligus ia ingin menitipkan salah satu pecahan arwah istrinya pada orang yang tepat. Namun, Adara yang enggan untuk kembali. “Kau tak kenal ayahku bagaimana. Ada alasan kenapa aku lebih memilih pergi daripada tinggal di rumah,” ucap Adara yang merapikan rambut keritingnya. “Iya, aku tahu, sama kerasnya denganmu.” “Mungkin setelah kau pergi, aku akan berlayar lagi tak peduli walau tanpa awak kapal. Nanti aku bisa mengatasi hal-hal seperti itu.” “Kau tak ingin menetap di rumah, seperti gadis-gadis yang dipingit
Dewa Arsa ditinggalkan sendirian di tengah hutan yang gelap gulita. Suami dari Dewi Hara kemudian menghidupkan seberkas api yang berasal dari tangan kanannya. Ia melangkah mencari jalan keluar agar bisa menemukan pecahan kedua arwah sang dewi kebaikan. Di tengah perjalanan, Arsa mendengar lolongan binatang buas yang jumlahnya ia yakini tak hanya satu. Namun, lelaki dengan tubuh tegap itu tak peduli. Baginya menyempurnakan misi keduanya jauh lebih penting. Bahkan ketika derap langkah kaki binatang buas mulai terdengar mengejarnya, Arsa tak ambil pusing. Barulah ketika hewan yang berkerumun tersebut mencoba menerkamnya, ia memutar dan menendang beberapa binatang dengan mudah hingga semuanya terpental sangat jauh dan membanting pepohonan. “Kalian tak paham aku siapa!” Arsa memperjelas siapa dirinya. Tapi sia-sia sebab yang menyerangnya sekumpulan serigala kelaparan dan butuh daging segar untuk disantap. “Oh, baiklah kalau itu yang kalian mau. Aku akan buat kalian tak merasakan kelapa
Dira tersedak ketika sebuah tangan terulur memberikan dua buah pisang padanya. Buru-buru ia pasang penutup di wajah. Tabib itu takut aibnya ketahuan dan dicemooh siapa pun. “Kenapa harus ditutup?” tanya Arsa yang kehilangan kesempatan memandang wajah sang tabib. “Malu. Ada bekas luka besar.” Dira mengambil dua buah pisang itu dengan ragu dari tangan Arsa. Sebenarnya dari sekian banyak orang, sang tabiblah yang paling lapar. Hampir tujuh malam tak pernah benar-benar tidur karena mengurus borok warga. “Coba aku lihat.” Dewa perang itu nekat meraih cadar Dira. Tapi gadis itu lekas menghindar. “Terima kasih atas buahnya, Tuan. Dan apa kau berencana menetap di sini? Aku lihat dari cara berpakaian, pembawaan dan semua tentangmu, kau seperti lebih tinggi kastanya dari adipati atau mungkin raja yang tak pernah aku temui.” Arsa diam sejenak. Jelas ia akan tinggal sampai tujuannya tercapai. Tapi dia harus menjawab apa atas pertanyaan Dira. “Aku berencana tinggal, sampai orang-orang di si
Dewi Bunga—Ambaramurni sedang memperhatikan kebun kerajaan. Pesta bersama Ratu Langit telah usai. Kini ia harus menanam kembali bunga yang telah dipetik. Dewi yang sejak dahulu menyukai Arsa itu memperhatikan satu buah bunga berwarna biru.“Bunga calendula. Bunga aneh, tidak pantas ada di sini, para dewa bisa muntah-muntah kalau menghirup aromanya apalagi kalau diminum.” Sang dewi yang berparas cantik dengan kulit putih pucat itu memusnahkan bunga yang tak seharusnya tumbuh di kebun kerajaan. Mungkin salah satu kecerobohan dayang-dayangnya. Selesai mengawasi kebun kerajaan, gadis suci yang menyimpan Arsa rapat-rapat dalam hatinya itu kembali ke Aula merah muda tempatnya tinggal. Sudah beberapa kali ia coba dinikahkan oleh Ratu langit—bibinya. Namun, kalau tak dengan Arsa, Ambaramurni tak mau. Ia sudah senang Hara tewas, tak tahunya Arsa masih terus berharap. “Apa kabar Dewa Arsa, ya? Aku harap dia baik-baik saja mencari pecahan arwah istrinya. Setelah itu kembalilah, aku akan menagi
Ambar tersenyum penuh kemenangan. Tak lama lagi ingatan Arsa tentang Hara akan terhapus sepenuhnya. Seandainya pun dewa perang itu sadar di tengah ritual, maka ia tak akan bisa menolak. Atau akan ada bagian dari tubuhnya yang rusak parah. Sudah Dewi bunga itu duga bahwa sang lelaki yang ia puja akan sadar. Dua mata mereka yang berbeda warna saling bertatapan. Ada kebencian jelas pada diri Arsa. “Tenanglah, Kanda Arsa, ini tak akan lama. Kau akan menerimaku walau terpaksa. Jangan membantah karena kau tak akan tahan dengan sakitnya,” ucap Ambar tanpa ada keinginan untuk mundur. Hatinya sudah dipenuhi cinta buta. “Kau tak pernah tahu sedang berhadapan dengan siapa.” Bisa Arsa rasakan satu demi satu kenangan tentang Hara menghilang. “Kau tak berdaya melawannya, Kanda, atau kau harus terim—” Belum selesai Ambar berbicara, tubuhnya telah terdorong sangat jauh. Arsa menghantam bagian perut dewi bunga hingga ia pun muntah darah. Di luar dugaan, Ambar kira dewa perang itu tak akan menyak
Arsa menunggu di luar kamar Anindira. Ia yang sedang buta, daripada mati bosan kemudian memilih jalan-jalan ke hutan tak jauh dari tempat sang tabib tinggal. Ada telinga yang ia andalkan sebagai pengganti mata. “Meski tak bisa melihat lagi, ternyata kau masih sama saja gagahnya seperti dulu, Dewa Arsa.” Rogu muncul lagi, selalu saja tiba-tiba. “Kau bisa menyembuhkan penyakitku ini, bukan? Cepatlah, aku mulai tak sabaran melihat wajah istriku.” “Tentu bisa, tapi biarlah dia yang melakukannya, anggap saja chemistri di antara kalian berdua akan terus tumbuh,” ucap pelayan Dewa Rama dengan bahasa asing. “Apa itu chemistri?” tanya sang dewa perang terkuat. “Semacam senyawa fisika yang menimbulkan getar-getar antara dua insan yang salin jatuh cinta.” “Kau bertele-tele, fisika itu apa?” “Itu ada di kehidupan modern. Aku sudah menemui di mana istri keenammu akan lahir. Jadi kau akan menghadapi situasi yang berbeda, Dewa Arsa.” “Apa manusianya semakin kuat?” “Tidak. Justru semakin lem