Home / Fantasi / Roh Dewa Perang / 115 Kenangan Dalam Lukisan

Share

115 Kenangan Dalam Lukisan

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2025-07-12 18:59:37

Di antara lorong-lorong yang bergetar, terdapat dinding tempat lukisan para dewa dipajang dan memancarkan detak kehidupan dari peristiwa yang telah dilupakan. Lukisan-lukisan di sana bukan sekadar gambar. Mereka hidup, dan bernafas bersama kenangan para dewa.

Hara berjalan mendampingi Senandika yang masih lemah, tangannya sesekali menyentuh tiang langit yang berdiri dengan kokoh. Banu dan Indurasmi mengikuti dari belakang, dua dewa kembar itu merasakan aura yang membungkus jiwa mereka dengan kenangan masa lalu.

“Tempat ini tahu siapa kau, bahkan jika kau lupa, Mahadewi,” bisik Hara.

Senandika berhenti di depan satu lukisan. Di dalamnya tampak seorang gadis berambut hitam legam, berlari di antara hujan meteor untuk menyelamatkan seekor rubah yang terluka.

Gadis itu memeluk rubah dengan erat, lalu memanggil penjaga langit yang akhirnya membawa kisahnya menjadi mahadewi.

“Aku ingat.” Senandika menyentuh lukisan itu, dan gadis di dalam lukisan menoleh padanya sejenak. Mata mereka bertaut,
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Roh Dewa Perang    116 Jiwa yang Terkurung

    Ranjang megah berlapis tirai-tirai halus dari benang bintang tampak bergetar pelan, bukan oleh badai atau gempa langit, tapi oleh energi magis yang berasal dari tubuh sang ratu.Mahadewi Sahasika, dengan jubah ungu muda dan mahkota cahaya palsunya, membaringkan tubuhnya di atas Wanudara, raja langit yang matanya kini kosong dan dingin, seperti cermin tanpa pantulan.Di bawah tirai bintang itu, Arsa bersembunyi, tubuhnya berubah menjadi debu perang yang melekat di serat sutra angin. Ia menyaksikan tanpa suara, tanpa bisa berbuat apa-apa.Hatinya berkata-kata tetapi ia tahu, setiap satu gerakan gegabah akan membangunkan sihir pemutus waktu yang diletakkan Sahasika di setiap sudut kamar kerajaan.“Sayangku, ” bisik Sahasika lembut, sembari mencium pelipis Wanudara. “Kau pernah berkata langit ini akan runtuh tanpamu. Tapi lihat, aku bisa membuat langit bersinar dengan warna yang kupilih.”Tangan Sahasika menyusuri dada Wanudara, bukan dengan kelembutan cinta, melainkan dengan mantra kegel

  • Roh Dewa Perang   115 Kenangan Dalam Lukisan

    Di antara lorong-lorong yang bergetar, terdapat dinding tempat lukisan para dewa dipajang dan memancarkan detak kehidupan dari peristiwa yang telah dilupakan. Lukisan-lukisan di sana bukan sekadar gambar. Mereka hidup, dan bernafas bersama kenangan para dewa.Hara berjalan mendampingi Senandika yang masih lemah, tangannya sesekali menyentuh tiang langit yang berdiri dengan kokoh. Banu dan Indurasmi mengikuti dari belakang, dua dewa kembar itu merasakan aura yang membungkus jiwa mereka dengan kenangan masa lalu.“Tempat ini tahu siapa kau, bahkan jika kau lupa, Mahadewi,” bisik Hara.Senandika berhenti di depan satu lukisan. Di dalamnya tampak seorang gadis berambut hitam legam, berlari di antara hujan meteor untuk menyelamatkan seekor rubah yang terluka.Gadis itu memeluk rubah dengan erat, lalu memanggil penjaga langit yang akhirnya membawa kisahnya menjadi mahadewi.“Aku ingat.” Senandika menyentuh lukisan itu, dan gadis di dalam lukisan menoleh padanya sejenak. Mata mereka bertaut,

  • Roh Dewa Perang   114. Bintang Tua

    Langit tidak bersinar seperti biasa. Bintang-bintang tampak letih, sinarnya redup seolah mereka enggan menyaksikan ketidakadilan yang menggantung di takhta langit.Kabut tipis menggulung perlahan, menyelimuti menara-menara awan tempat para penjaga bintang biasa bermeditasi.Di antara mereka, Hara berdiri di tepi jurang langit, matanya menatap ke arah cakrawala yang pernah menjanjikan kedamaian.Tiba-tiba, udara bergetar perlahan. Sebuah simbol kuno terbentuk di udara, nyaris tak terlihat oleh mata biasa. Hanya jiwa yang pernah kembali dari kematian yang bisa membacanya.Hara membuka telapak tangannya, dan aksara itu menyatu dengan cahaya jiwanya.“Aksara Senandika,” bisiknya. Matanya mulai memerah oleh rasa haru yang tak bisa ia tunjukkan. Ia pernah berjanji untuk menyelamatkan sang mahadewi.Tanar, bintang tua yang tergantung di langit timur juga mengenali aksara Senandika.“Kau mengenali panggilannya, kau dewi yang terlahir dari keberanian?” Bintang tua Tanar mengeluarkan suara.“Ak

  • Roh Dewa Perang   113. Ramalan yang Membingungkan

    Kitab-kitab beterbangan seperti burung yang tahu sejarah, lalu bersiul pelan saat Arsa melangkah masuk ke dalam ruangan tempat Rogu meneliti silsilah para dewa.Arsa melangkah pelan di lantai cahaya yang berdetak seiring pikirannya yang simpang siur. Jubahnya menyentuh kelopak-kelopak cahaya yang jatuh seperti embun dari langit-langit.Di depan sebuah meja marmer berukiran emas, Rogu pelayan Dewa Rama itu terlihat seperti pelupa tapi menyimpan ribuan rahasia, sedang membuka gulungan yang bersinar.“Kau tahu kenapa aku datang.” Arsa datang mengganggu konsentrasi Rogu. Suaranya menggetarkan rak-rak yang menggantung, beberapa kitab bergetar lalu diam kembali.“Aku hanya tahu bahwa saat ramalan berpindah tangan, takdir mulai mencari pemilik baru,” jawab Rogu tanpa menoleh.“Aku membaca tulisan itu dan membuatku berpikir begitu keras. Dewa Rama menyebutku sebagai calon raja langit. Tapi tak ada penjelasan. Apakah kau yang menulisnya?”“Aku? Tidak. Gulungan itu datang padaku dalam kotak seg

  • Roh Dewa Perang    112 Bara yang Belum Padam

    Jurang neraka itu menganga seperti luka lama yang tak pernah sembuh. Api berkobar dari celah-celah batu hitam dan menyemburkan lidah-lidah merah yang menari dengan erotis di antara udara beracun. Asap pekat menggulung langit neraka, menyembunyikan bintang-bintang yang bahkan tak berani menatap ke bawah.Di dasar jurang itu, tubuh Kuwara tergeletak tak berdaya. Kulitnya yang dulu bersinar seperti logam kini retak dan menghitam. Taring iblisnya patah, dan tulangnya retak di bagian ujung. Ia telah lama tak sadarkan diri dan terperangkap dalam kehampaan antara hidup dan mati.Tak ada lagi Reksi. Tak ada lagi suara yang memanggilnya tuanku dengan kesetiaan tanpa bayaran. Hanya sunyi dan gelegak magma neraka yang menyambutnya.Sesosok makhluk dari balik kabut api datang dengan langkah ringan serta membawa harapan. Bukan langkah manusia, bukan pula langkah siluman. Langkah yang membawa aroma belerang dan bunga kematian.Dewi dengan jubah merah darah muncul. Jubahnya menjuntai seperti asap, d

  • Roh Dewa Perang   111. Warisan Kutukan

    Malam menyelimuti langit tempat Dewa Rama tinggal. Di balik bintang-bintang, semesta seperti menahan napas. Indurasmi tertidur di dekat ibunya, sementara Hara memandang wajah sang putri dengan mata waspada. Namun, ia tidak melakukan itu dengan Banu.Anak laki-laki tersebut berdiri di tepi aula. Ia menatap langit yang samar memantulkan sorot merah dari bawah tanah.Di balik matanya, pola cahaya seperti benang halus terus berpendar. Perjumpaan singkat dengan mata siluman purba tadi, seperti memberinya isyarat akan sesuatu yang tidak pernah selesai."Kami belum sepenuhnya mati."Banu menggeleng pelan, seperti menepis suara itu dari pikirannya. Tapi tangannya gemetar. Ia masih ingat suara jantung ibunya saat memeluk Dewi Anjas ketika jatuh tadi. Hara bergerak begitu cepat, lincah, tapi tetap berusaha melindungi.Banu tahu, ada sesuatu sedang tumbuh dalam dirinya. Tapi bukan kekuatan biasa. Sesuatu yang mirip nyala api tapi dingin. Bukan dari api ibunya. Bukan pula dari petir ayahnya.“Apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status