Putra Bawikha Arsa--Sang Dewa Perang dari kerajaan langit yang turun ke bumi demi mengumpulkan pecahan arwah Dewi Hara. Sebab dengan hanya cara seperti itu ia bisa menguasai kerajaan langit lagi.
Lihat lebih banyakBagian 1
Dewa Arsa Kerajaan langit sedang berbahagia, lantaran seorang dewa perang yang sudah berusia ribuan tahun baru saja kembali membawa kemenangan setelah menutup portal iblis. Portal di mana musuh abadi senantiasa mengintai dan bisa melepaskan ancaman kapan saja. “Hara ...! Hara ...!” Lelaki yang masih menggunakan zirah perang itu memanggil nama seseorang sembari tersenyum lebar. Dewa perang bernama Putra Bawika Arsa masuk ke dalam kediamannya—aula biru di kerajaan langit. Para dewa dan dewi yang menjaga memberikan hormat kepadanya. Namun, sudah berkali-kali Arsa memanggil istrinya, Hara tak jua datang. Para dewa-dewi hanya saling melirik satu sama lain sehingga menyebabkan Arsa menjadi heran. “Katakan! Di mana gerangan istriku berada sekarang?” tanya Arsa yang tak sabaran. Hampir sepuluh tahun ia meninggalkan aula biru demi menutup portal iblis. Tentu saja Arsa sangat merindui sang istri, Hara—Dewi kebaikan yang senantiasa memberikan pengaruh positif padanya. “Kalian tidak punya mulut untuk bicara, hah?!" sergahnya dengan sorot mata menyala-nyala. "Atau harus aku cambuk terlebih dahulu!” ancam sang dewa perang. Mendengar ancaman itu, para dewa dan dewi penjaga langsung saja berlutut. “Ampun, Dewa Arsa. Dewi Hara, dia, dia …” Ragu-ragu salah seorang dewi berkata. “Dia kenapa dan ada di mana? Kenapa tidak menyambutku seperti biasanya?” Dewa Perang Arsa mengenggam pangkal pedangnya menatap dengan penuh tanda tanya. Tidak pernah Hara seperti ini. Aroma wangi khas sang istri pun tidak lagi terhidu di penciumannya di aula tersebut. “Dewi Hara ... se–semenjak Dewa Arsa pergi, beliau ... ditawan di penjara khusus. Tidak boleh ada salah satu di antara kami yang menjenguk atau membawakan makanan. Ka–mi sudah tak pernah bertemu sejak Dewi Hara ditahan,” ujar seorang dewi di kediaman Arsa dengan terbata. “Kurang ajar! Siapa yang telah melakukan ini? Berani sekali dia lakukan ini ketika aku tidak ada!” Arsa menarik pedangnya keluar dengan geram. Tak lama lama kemudian dewa penjaga gerbang langit—Dewa Jayamurcita datang beserta pasukannya. Dewa yang berumur sama dengan Arsa itu membawa rantai besi. Di tangan kirinya juga sudah ada pedang yang mampu mengeluarkan petir. Arsa kini tahu, dia sedang tidak baik-baik saja saat ini. “Dewa Perang Arsa! Selamat atas usahamu yang tidak sia-sia. Kau berhasil menutup portal iblis, hingga langit kembali tenteram dan penduduk bumi tidak akan terkena bencana alam lebih besar, tapi …” Jayamurcita menggantung omongannya seraya berisyarat dengan gerakan tangannya yang tiba-tiba. Kemudian pasukan yang kini ada di bawah perintahnya menyebar. Secara tak sopan pasukan itu mendorong dewa dan dewi kecil penjaga aula biru. Kediaman sang dewa perang dan istrinya selama ribuan tahun di langit berubah jadi kacau. “Bukankah kalian seharusnya menyambut kedatanganku dengan penuh suka cita?!” Arsa mencoba melindungi dewa dan dewi di bawah kuasanya. Ia tak akan biarkan seseorang mengobrak-abrik aula biru. Aula yang ia jadikan hadiah pernikahan saat mempersunting Dewi Hara. “Seharusnya, tapi istrimu membuat ulah! Raja dan ratu langit sudah cukup bersabar selama ini," ucap Jayamurcita tegas. "Kalian semua tunggu apa lagi? Tangkap dewa dan dewi yang bersekongkol dan menyembunyikan kejahatan Dewi Hara! Jika mereka melawan, penggal kepalanya saat itu juga!” perintah dari Jayamurcita telah keluar. Dewa dan dewi yang tidak tahu apa kesalahan mereka itu hanya bisa diam saja ketika tubuhnya dirantai. Daripada mati terkena sambar pedang petir, mereka memilih untuk pasrah. Dewa Perang Arsa baru saja pulang dari pertarungan besar. Tubuhnya masih amat sangat lelah, jubah perangnya bahkan belum dibuka. Pelipisnya pun masih mengalirkan darah merah akibat tergores pedang milik raja iblis. Mengapa malah sambutan semacam ini yang harus ia dapatkan? Tak bisa tinggal diam, Arsa pun mencabut pedang petirnya. Ia lepaskan rantai besi yang mengikat bawahan yang selama ini begitu setia mendampingi tanpa pernah berkhianat. “Kau langkahi dulu mayatku, baru kau bisa membawa mereka pergi!” Arsa menatang Jayamurcita. “Kau pikir aku takut, segera setelah istrimu dihukum mati, kau pun juga sama Arsa, sebagai suami kau tak becus mendidik istrimu menjadi dewi yang baik.” Jayamurcita juga mengeluarkan pedang petirnya. Dua dewa sama hebatnya itu beradu kesaktian di langit, mereka saling menghunuskan senjata hingga langit jadi bergemuruh dan petir bersahut-sahutan. Keadaan yang akan mempengaruhi kehidupan di bumi. Tak hanya itu saja angin kencang berembus dan hujan pun turun di bawah naungan kerajaan langit, yang jika dibiarkan maka penduduk bumi akan mengalami banjir besar. Tidak ada yang mau mengalah sama sekali. Arsa merasa dirinya benar sedangkan Jayamurcita juga sama. Pertarungan itu membuat beberapa dewa keluar dari kediamaannya. Salah satunya berani menegur keduanya. “Kalian berdua, hentikan!” Tiba-tiba saja seorang Dewi yang dikenal bernama Ambaramurni terbang dan melerai keduanya hingga saling berjauhan. Bersambung ...Ranjang megah berlapis tirai-tirai halus dari benang bintang tampak bergetar pelan, bukan oleh badai atau gempa langit, tapi oleh energi magis yang berasal dari tubuh sang ratu.Mahadewi Sahasika, dengan jubah ungu muda dan mahkota cahaya palsunya, membaringkan tubuhnya di atas Wanudara, raja langit yang matanya kini kosong dan dingin, seperti cermin tanpa pantulan.Di bawah tirai bintang itu, Arsa bersembunyi, tubuhnya berubah menjadi debu perang yang melekat di serat sutra angin. Ia menyaksikan tanpa suara, tanpa bisa berbuat apa-apa.Hatinya berkata-kata tetapi ia tahu, setiap satu gerakan gegabah akan membangunkan sihir pemutus waktu yang diletakkan Sahasika di setiap sudut kamar kerajaan.“Sayangku, ” bisik Sahasika lembut, sembari mencium pelipis Wanudara. “Kau pernah berkata langit ini akan runtuh tanpamu. Tapi lihat, aku bisa membuat langit bersinar dengan warna yang kupilih.”Tangan Sahasika menyusuri dada Wanudara, bukan dengan kelembutan cinta, melainkan dengan mantra kegel
Di antara lorong-lorong yang bergetar, terdapat dinding tempat lukisan para dewa dipajang dan memancarkan detak kehidupan dari peristiwa yang telah dilupakan. Lukisan-lukisan di sana bukan sekadar gambar. Mereka hidup, dan bernafas bersama kenangan para dewa.Hara berjalan mendampingi Senandika yang masih lemah, tangannya sesekali menyentuh tiang langit yang berdiri dengan kokoh. Banu dan Indurasmi mengikuti dari belakang, dua dewa kembar itu merasakan aura yang membungkus jiwa mereka dengan kenangan masa lalu.“Tempat ini tahu siapa kau, bahkan jika kau lupa, Mahadewi,” bisik Hara.Senandika berhenti di depan satu lukisan. Di dalamnya tampak seorang gadis berambut hitam legam, berlari di antara hujan meteor untuk menyelamatkan seekor rubah yang terluka.Gadis itu memeluk rubah dengan erat, lalu memanggil penjaga langit yang akhirnya membawa kisahnya menjadi mahadewi.“Aku ingat.” Senandika menyentuh lukisan itu, dan gadis di dalam lukisan menoleh padanya sejenak. Mata mereka bertaut,
Langit tidak bersinar seperti biasa. Bintang-bintang tampak letih, sinarnya redup seolah mereka enggan menyaksikan ketidakadilan yang menggantung di takhta langit.Kabut tipis menggulung perlahan, menyelimuti menara-menara awan tempat para penjaga bintang biasa bermeditasi.Di antara mereka, Hara berdiri di tepi jurang langit, matanya menatap ke arah cakrawala yang pernah menjanjikan kedamaian.Tiba-tiba, udara bergetar perlahan. Sebuah simbol kuno terbentuk di udara, nyaris tak terlihat oleh mata biasa. Hanya jiwa yang pernah kembali dari kematian yang bisa membacanya.Hara membuka telapak tangannya, dan aksara itu menyatu dengan cahaya jiwanya.“Aksara Senandika,” bisiknya. Matanya mulai memerah oleh rasa haru yang tak bisa ia tunjukkan. Ia pernah berjanji untuk menyelamatkan sang mahadewi.Tanar, bintang tua yang tergantung di langit timur juga mengenali aksara Senandika.“Kau mengenali panggilannya, kau dewi yang terlahir dari keberanian?” Bintang tua Tanar mengeluarkan suara.“Ak
Kitab-kitab beterbangan seperti burung yang tahu sejarah, lalu bersiul pelan saat Arsa melangkah masuk ke dalam ruangan tempat Rogu meneliti silsilah para dewa.Arsa melangkah pelan di lantai cahaya yang berdetak seiring pikirannya yang simpang siur. Jubahnya menyentuh kelopak-kelopak cahaya yang jatuh seperti embun dari langit-langit.Di depan sebuah meja marmer berukiran emas, Rogu pelayan Dewa Rama itu terlihat seperti pelupa tapi menyimpan ribuan rahasia, sedang membuka gulungan yang bersinar.“Kau tahu kenapa aku datang.” Arsa datang mengganggu konsentrasi Rogu. Suaranya menggetarkan rak-rak yang menggantung, beberapa kitab bergetar lalu diam kembali.“Aku hanya tahu bahwa saat ramalan berpindah tangan, takdir mulai mencari pemilik baru,” jawab Rogu tanpa menoleh.“Aku membaca tulisan itu dan membuatku berpikir begitu keras. Dewa Rama menyebutku sebagai calon raja langit. Tapi tak ada penjelasan. Apakah kau yang menulisnya?”“Aku? Tidak. Gulungan itu datang padaku dalam kotak seg
Jurang neraka itu menganga seperti luka lama yang tak pernah sembuh. Api berkobar dari celah-celah batu hitam dan menyemburkan lidah-lidah merah yang menari dengan erotis di antara udara beracun. Asap pekat menggulung langit neraka, menyembunyikan bintang-bintang yang bahkan tak berani menatap ke bawah.Di dasar jurang itu, tubuh Kuwara tergeletak tak berdaya. Kulitnya yang dulu bersinar seperti logam kini retak dan menghitam. Taring iblisnya patah, dan tulangnya retak di bagian ujung. Ia telah lama tak sadarkan diri dan terperangkap dalam kehampaan antara hidup dan mati.Tak ada lagi Reksi. Tak ada lagi suara yang memanggilnya tuanku dengan kesetiaan tanpa bayaran. Hanya sunyi dan gelegak magma neraka yang menyambutnya.Sesosok makhluk dari balik kabut api datang dengan langkah ringan serta membawa harapan. Bukan langkah manusia, bukan pula langkah siluman. Langkah yang membawa aroma belerang dan bunga kematian.Dewi dengan jubah merah darah muncul. Jubahnya menjuntai seperti asap, d
Malam menyelimuti langit tempat Dewa Rama tinggal. Di balik bintang-bintang, semesta seperti menahan napas. Indurasmi tertidur di dekat ibunya, sementara Hara memandang wajah sang putri dengan mata waspada. Namun, ia tidak melakukan itu dengan Banu.Anak laki-laki tersebut berdiri di tepi aula. Ia menatap langit yang samar memantulkan sorot merah dari bawah tanah.Di balik matanya, pola cahaya seperti benang halus terus berpendar. Perjumpaan singkat dengan mata siluman purba tadi, seperti memberinya isyarat akan sesuatu yang tidak pernah selesai."Kami belum sepenuhnya mati."Banu menggeleng pelan, seperti menepis suara itu dari pikirannya. Tapi tangannya gemetar. Ia masih ingat suara jantung ibunya saat memeluk Dewi Anjas ketika jatuh tadi. Hara bergerak begitu cepat, lincah, tapi tetap berusaha melindungi.Banu tahu, ada sesuatu sedang tumbuh dalam dirinya. Tapi bukan kekuatan biasa. Sesuatu yang mirip nyala api tapi dingin. Bukan dari api ibunya. Bukan pula dari petir ayahnya.“Apa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen