Beranda / Fantasi / Roh Dewa Perang / Penjara Petir

Share

Penjara Petir

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-18 17:40:21

Bagian 2

Penjara Petir

“Turun! Kita selesaikan baik-baik! Tak sadarkah kalian bisa membuat raja dan ratu marah?” tanya Dewi Bunga Ambaramurni. Arsa dan Jayamurcita turun dan menapaki kaki di kerajaan langit.

“Ikut aku Dewa Arsa, kalau begini terus aku khawatir hukuman mati atas istrimu bisa jauh lebih cepat.” Jayamurcita mengingatkan.

“Atas dasar apa kalian menangkap istriku. Dia itu dewi kebaikan, tidak mungkin berbuat yang tidak baik.”

“Kanda Arsa, lebih baik ikuti saja dulu Jayamurcita. Aku yakin semua bisa dijelaskan.” Ambaramurni ingin membersihkan luka di pelipis Arsa, tapi dewa perang itu menolak.

“Baik, aku akan ikut, tapi kalau sampai sesatu terjadi pada istriku, kerajaan langit ini akan aku obrak-abrik sampai hancur berantakan.” Dewa Perang Arsa menyimpan pedangnya. Ia ikut dengan Jayamurcita, tapi tak mau tangannya diikat.

Dewa perang itu pergi dengan penuh wibawa diikuti oleh dewa dan dewi dibawah naungannya. Ambaramurni hanya bisa memandang saja, dewi bunga itu pun tak habis pikir mengapa seorang dewi kebaikan bisa berperilaku sangat keji. Yang seharusnya Hara menjadi contoh bagi yang lain.

Aula biru menjadi sangat sepi. Bunga lili dan peony yang ditanam Hara layu begitu saja karena tidak ada kehidupan lagi di dalamnya. Pohon yang dipupuk oleh Arsa dan Hara juga mengering daunnya. Mereka merasakan apa yang sudah terjadi dan ikut berduka. Entah sampai kapan, tidak ada yang tahu.

***

Aula Putih Kerajaan Langit

Dewa penjaga gerbang langit datang membawa Dewa perang, keduanya menunduk dan memberi hormat pada raja dan ratu langit yang sudah menunggu dari tadi. Sepasang suami istri yang telah memerintah selama puluhan ribu tahun di istana langit.

Seharusnya sudah ada pergantian kekuasaan, tetapi mereka sangat betah di sana. Ya, bagaimana tidak. Memimpin kerajaan langit membuat dipuja-puji oleh semua penduduk bumi. Keduanya menggunakan sutera terbaik berwarna putih dengan makhota dan perhiasan yang amat mewah. Dua orang dayang terbaik juga di sisi kiri dan kanan mereka.

“Dewa Perang Arsa, kau sudah tahu kesalahan istrimu?” tanya Ratu Senandika sebagai istri dari raja langit.

“Tidak tahu, Yang Mulia Ratu, aku pergi selama sepuluh tahun dan terkurung di portal iblis,” jawab Arsa tanpa rasa takut sama sekali. 

“Karena itulah, selama kau pergi kami yang mendisiplinkannya. Dewi Hara telah mencuri pil surgawi yang bisa meningkatkan kemampuan. Pil yang aku ekstrak sendiri dari energi murni serta tumbuhan di kerajaan langit. Kau pikir itu perbuatan terpuji?” Masih sang ratu yang berbicara.

“Yang Mulia, aku rasa sebagai dewi kebaikan, istriku tidak mungkin berbuat seperti itu.” Arsa mengelak membenarkan perbuatan istrinya yang tidak ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri.

“jadi kau menganggapku sebagai pembohong?” Tangan kanan sang ratu menggenggam erat siggasananya.

“Bukan begitu, Yang Mulia Ratu.”

“Arsa, ribuan tahun sudah kau tinggal di sini, dan ratusan tahun sudah kau menikahi Hara. Kalau sekadar mencuri pil surgawi masih bisa kami maafkan. Tapi istrimu, dia kedapatan meyembah dan bersekongkol dengan iblis yang menjebakmu di dalam portal. Kau pikir kesalahan sebesar itu bisa diampuni?” Raja langit kini berbicara, Maha Dewa Wanudara membuka kedua tangannya lebar-lebar.

“Maaf, Yang Mulia Raja, tapi aku tetap tidak percaya,” ujar Arsa.

“Kami tahu, matamu yang sakti itu sudah tertutup cinta buta. Dia bukanlah dewi kebaikan tapi dewi kejahatan. Seharusnya tahu terima kasih karena diberikan tempat tinggal di lingkungan yang paling dekat dengan istanaku.” Ratu langit memperhatikan dan menyentuh cincin emas putihnya yang indah.

“Jayamurcita, bawa Hara ke mari!”  perintah raja langit.

Dewa penjaga gerbang langit itu mengangguk. Ia pun menghilang dan muncul di depan Hara. Sepuluh tahun sudah dewi kebaikan itu di penjara, tidak ada jeruji besi atau kayu. Namun, petir yang dahsyat telah cukup menjadi penghalang kebebasannya. Sedikit saja Hara sentuh, maka hangus terbakar sudah sekujur tubuhnya.

“Dewi Hara,” panggil Jayamurcita.

Segel petir yang ia buat itu kemudian dibuka. Hara yang duduk bersila membuka matanya. Sanggul rambut acak-acakan, wajah tanpa polesan dan tak ada sutera indah melekat di tubuhnya lagi. Bahkan penampilannya lebih buruk daripada sekadar tukang kebun di kerajaan langit.

“Aku bukan pencuri dan penyembah iblis,” jawab dewi kebaikan itu tanpa diminta.

“Keluarlah, suamimu sudah pulang. Raja dan ratu langit sendiri yang akan menyelesaikan masalahmu.”

Mendengar nama suaminya disebut Hara langsung berdiri. Dewi kebaikan itu berlari, tetapi Jayamurcita melemparkan rantai besi hingga leher sang dewi terikat. Hara jatuh, ia sesak napas karena tercekik.

“Kau harus sadar kau masih tawanan.” Jayamurcita—lelaki dengan kumis tebal itu mengikat tangan sang dewi kebaikan yang berparas ayu tanpa perasaan. Keduanya berjalan menuju aula putih. Jayamurcita memegang rantai yang mengikat leher Hara.

Arsa menyaksikan kedatangan istrinya. Namun, seketika senyum sang dewa perang itu luntur. Bagaimana ia bisa baik-baik saja ketika Hara diperlakukan bak seekor anjing.

“Kau, beraninya!” Arsa melompat.

Dewa perang itu mencabut pedangnya dan menebas rantai yang melilit leher, tangan, serta kaki Hara. Arsa memeluk erat istrinya. Hara menangis karena selama sepuluh tahun ia merindu ditambah menanggung malu akibat fitnah atas perbuatan yang tak pernah ia lakukan.

“Sudahi mesra-mesraannya, pisahkan mereka!” Perintah Dewi Senandika.

Empat orang dewa langsung bergerak menahan Arsa karena jika sudah marah, ia bisa menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya. Termasuk pula Hara yang biasanya lemah lembut. Dewi kebaikan itu benar-benar diperlakukan sangat kasar.

“Berlutut!” perintah sang ratu langit. Arsa dan Hara dipaksa dan terpaksa melakukannya.

“Dewa Keadilan, bacakan hukuman yang akan dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh Dewi Hara.” Raja langit duduk dengan angkuh di singgasananya, sang ratu hanya menyeringai.

Dari jauh Dewi Bunga Ambaramurni datang sambil memegang selendangnya. Ia juga ingin dengar apa kelanjutan dari kasus yang menimpa Dewi Hara. Dewi yang telah merenggut cinta sejatinya.

“Atas kejahatan yang dilakukan oleh Dewi Hara selaku istri dari Dewa Perang, mencuri pil surgawi untuk diberikan kepada raja iblis, juga untuk diri sendiri, serta perbuatannya menjebak Dewa Arsa hingga terkunci di dalam portal iblis selama sepuluh tahun. Atas dasar pertimbangan kebaikan yang sudah dilakukan Dewi Hara selama ini, tapi juga raja dan ratu langit dituntut harus adil, maka selaku Dewa Keadilan, aku menjatuhkan hukuman cambuk seribu petir ke tubuh Dewi Hara. Hukuman yang sudah disetujui oleh raja langit.”

Pembacaaan hukuman oleh dewa keadilan membuat Dewi Hara terjatuh lemas. Arsa kemudian memegang tangan istrinya. Ia mengajak Hara berdiri, apa pun kesalahan yang dituduhkan pada dewi yang wajah ayunya mengalahkan bunga itu, ia tak percaya sama sekali.

“Yang Mulia raja dan ratu, jangankan cambuk seribu petir, satu kali pun aku tidak akan rela jika ada yang melukai istriku.” Arsa memberanikan diri, dia adalah dewa perang. Tidak satu pun pertarungan yang ia takuti.

“Aku tahu, dengan ini artinya kau membangkang. Tangkap Dewa Arsa dan setelah itu jatuhkan hukuman cambuk untuk istrinya di depan matanya sendiri.” Raja langit memejamkan mata. Lalu ribuan pasukan langit yang dipimpin oleh dewa-dewa lain datang menghandang kepergian Arsa dan Hara.

Bersambung …

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Roh Dewa Perang    116 Jiwa yang Terkurung

    Ranjang megah berlapis tirai-tirai halus dari benang bintang tampak bergetar pelan, bukan oleh badai atau gempa langit, tapi oleh energi magis yang berasal dari tubuh sang ratu.Mahadewi Sahasika, dengan jubah ungu muda dan mahkota cahaya palsunya, membaringkan tubuhnya di atas Wanudara, raja langit yang matanya kini kosong dan dingin, seperti cermin tanpa pantulan.Di bawah tirai bintang itu, Arsa bersembunyi, tubuhnya berubah menjadi debu perang yang melekat di serat sutra angin. Ia menyaksikan tanpa suara, tanpa bisa berbuat apa-apa.Hatinya berkata-kata tetapi ia tahu, setiap satu gerakan gegabah akan membangunkan sihir pemutus waktu yang diletakkan Sahasika di setiap sudut kamar kerajaan.“Sayangku, ” bisik Sahasika lembut, sembari mencium pelipis Wanudara. “Kau pernah berkata langit ini akan runtuh tanpamu. Tapi lihat, aku bisa membuat langit bersinar dengan warna yang kupilih.”Tangan Sahasika menyusuri dada Wanudara, bukan dengan kelembutan cinta, melainkan dengan mantra kegel

  • Roh Dewa Perang   115 Kenangan Dalam Lukisan

    Di antara lorong-lorong yang bergetar, terdapat dinding tempat lukisan para dewa dipajang dan memancarkan detak kehidupan dari peristiwa yang telah dilupakan. Lukisan-lukisan di sana bukan sekadar gambar. Mereka hidup, dan bernafas bersama kenangan para dewa.Hara berjalan mendampingi Senandika yang masih lemah, tangannya sesekali menyentuh tiang langit yang berdiri dengan kokoh. Banu dan Indurasmi mengikuti dari belakang, dua dewa kembar itu merasakan aura yang membungkus jiwa mereka dengan kenangan masa lalu.“Tempat ini tahu siapa kau, bahkan jika kau lupa, Mahadewi,” bisik Hara.Senandika berhenti di depan satu lukisan. Di dalamnya tampak seorang gadis berambut hitam legam, berlari di antara hujan meteor untuk menyelamatkan seekor rubah yang terluka.Gadis itu memeluk rubah dengan erat, lalu memanggil penjaga langit yang akhirnya membawa kisahnya menjadi mahadewi.“Aku ingat.” Senandika menyentuh lukisan itu, dan gadis di dalam lukisan menoleh padanya sejenak. Mata mereka bertaut,

  • Roh Dewa Perang   114. Bintang Tua

    Langit tidak bersinar seperti biasa. Bintang-bintang tampak letih, sinarnya redup seolah mereka enggan menyaksikan ketidakadilan yang menggantung di takhta langit.Kabut tipis menggulung perlahan, menyelimuti menara-menara awan tempat para penjaga bintang biasa bermeditasi.Di antara mereka, Hara berdiri di tepi jurang langit, matanya menatap ke arah cakrawala yang pernah menjanjikan kedamaian.Tiba-tiba, udara bergetar perlahan. Sebuah simbol kuno terbentuk di udara, nyaris tak terlihat oleh mata biasa. Hanya jiwa yang pernah kembali dari kematian yang bisa membacanya.Hara membuka telapak tangannya, dan aksara itu menyatu dengan cahaya jiwanya.“Aksara Senandika,” bisiknya. Matanya mulai memerah oleh rasa haru yang tak bisa ia tunjukkan. Ia pernah berjanji untuk menyelamatkan sang mahadewi.Tanar, bintang tua yang tergantung di langit timur juga mengenali aksara Senandika.“Kau mengenali panggilannya, kau dewi yang terlahir dari keberanian?” Bintang tua Tanar mengeluarkan suara.“Ak

  • Roh Dewa Perang   113. Ramalan yang Membingungkan

    Kitab-kitab beterbangan seperti burung yang tahu sejarah, lalu bersiul pelan saat Arsa melangkah masuk ke dalam ruangan tempat Rogu meneliti silsilah para dewa.Arsa melangkah pelan di lantai cahaya yang berdetak seiring pikirannya yang simpang siur. Jubahnya menyentuh kelopak-kelopak cahaya yang jatuh seperti embun dari langit-langit.Di depan sebuah meja marmer berukiran emas, Rogu pelayan Dewa Rama itu terlihat seperti pelupa tapi menyimpan ribuan rahasia, sedang membuka gulungan yang bersinar.“Kau tahu kenapa aku datang.” Arsa datang mengganggu konsentrasi Rogu. Suaranya menggetarkan rak-rak yang menggantung, beberapa kitab bergetar lalu diam kembali.“Aku hanya tahu bahwa saat ramalan berpindah tangan, takdir mulai mencari pemilik baru,” jawab Rogu tanpa menoleh.“Aku membaca tulisan itu dan membuatku berpikir begitu keras. Dewa Rama menyebutku sebagai calon raja langit. Tapi tak ada penjelasan. Apakah kau yang menulisnya?”“Aku? Tidak. Gulungan itu datang padaku dalam kotak seg

  • Roh Dewa Perang    112 Bara yang Belum Padam

    Jurang neraka itu menganga seperti luka lama yang tak pernah sembuh. Api berkobar dari celah-celah batu hitam dan menyemburkan lidah-lidah merah yang menari dengan erotis di antara udara beracun. Asap pekat menggulung langit neraka, menyembunyikan bintang-bintang yang bahkan tak berani menatap ke bawah.Di dasar jurang itu, tubuh Kuwara tergeletak tak berdaya. Kulitnya yang dulu bersinar seperti logam kini retak dan menghitam. Taring iblisnya patah, dan tulangnya retak di bagian ujung. Ia telah lama tak sadarkan diri dan terperangkap dalam kehampaan antara hidup dan mati.Tak ada lagi Reksi. Tak ada lagi suara yang memanggilnya tuanku dengan kesetiaan tanpa bayaran. Hanya sunyi dan gelegak magma neraka yang menyambutnya.Sesosok makhluk dari balik kabut api datang dengan langkah ringan serta membawa harapan. Bukan langkah manusia, bukan pula langkah siluman. Langkah yang membawa aroma belerang dan bunga kematian.Dewi dengan jubah merah darah muncul. Jubahnya menjuntai seperti asap, d

  • Roh Dewa Perang   111. Warisan Kutukan

    Malam menyelimuti langit tempat Dewa Rama tinggal. Di balik bintang-bintang, semesta seperti menahan napas. Indurasmi tertidur di dekat ibunya, sementara Hara memandang wajah sang putri dengan mata waspada. Namun, ia tidak melakukan itu dengan Banu.Anak laki-laki tersebut berdiri di tepi aula. Ia menatap langit yang samar memantulkan sorot merah dari bawah tanah.Di balik matanya, pola cahaya seperti benang halus terus berpendar. Perjumpaan singkat dengan mata siluman purba tadi, seperti memberinya isyarat akan sesuatu yang tidak pernah selesai."Kami belum sepenuhnya mati."Banu menggeleng pelan, seperti menepis suara itu dari pikirannya. Tapi tangannya gemetar. Ia masih ingat suara jantung ibunya saat memeluk Dewi Anjas ketika jatuh tadi. Hara bergerak begitu cepat, lincah, tapi tetap berusaha melindungi.Banu tahu, ada sesuatu sedang tumbuh dalam dirinya. Tapi bukan kekuatan biasa. Sesuatu yang mirip nyala api tapi dingin. Bukan dari api ibunya. Bukan pula dari petir ayahnya.“Apa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status