Share

Gerbang Dunia Lain

last update Last Updated: 2023-06-08 17:25:13

Cerita Pak Wahyu tentang peristiwa aneh di rumahnya pun berakhir karena waktu azan Subuh telah berkumandang. Pak Lurah memberi intruksi agar warga salat terlebih dahulu. Nanti, sekitar pukul 08.00, diharap berkumpul di depan kantor kelurahan untuk menyisir kawasan desa.

Satu per satu dari mereka pulang. Pria bernama Agus itu pun berpamitan pada Pak Wahyu, begitu juga Bah Karsun yang akan pergi ke mesjid bersama anaknya. Yang tersisa di rumah hanya tinggal Pak Wahyu, Nur, juga suami-suami mereka. Bu Rosidah dan Indah masih ditenangkan oleh tetangga di kamar.

"Bapak gak nyembunyiin apa-apa dari Nur, kan?" tanya Nur memperhatikan wajah bapaknya yang tampak kacau.

"Nyembunyiin apa Teh? Jangan bikin suasana tambah kacau," jawab Pak Wahyu. Punggungnya ia sandarkan ke tembok, matanya sibuk menatap langit-langit ruangan. "Lebih baik kamu pikirkan cara ngomong ke Ibu. Apalagi Ibu teh punya asam lambung akut, gak boleh stres."

"Pak ...."

Pundak Nur dirangkul dari belakang oleh Bagas, suaminya. Bagas yang baru selesai membereskan segala macam bekas makanan di dapur, kali ini harus turun tangan agar tidak ada perdebatan antara istri dan juga bapak mertuanya. "Atos, Neng [Sudah, Neng]. Jangan diperpanjang," bisik pria itu.

Nur menghela napas. Kemudian, wanita yang kini memakai kacamata minus itu meminta maaf pada sang bapak karena sudah membuatnya semakin pusing. Ia pun berpamitan untuk ke kamar, mendatangi ibu dan juga adiknya yang mungkin sudah sadar dari pingsan.

"Tidak usah banyak pikiran, Pak. Kita pasrahkan sama Gusti Allah. Insya Allah, Nilam teh akan cepat pulang," ucap Bagas, berusaha menguatkan bapak mertuanya.

Tidak ada yang tidak syok dengan kejadian yang berlangsung cepat ini. Malah, Bagas merasa semua keluar dan warga yang datang seperti dihipnotis. Segala sesuatunya terasa tidak masuk akal. Sampai dibolak-balik pun, tetap tidak masuk dalam logika.

Untuk membuat perasaan lebih tenang, Bagas mengajak Pak Wahyu untuk salat Subuh di masjid. Kebetulan, jarak rumah ke masjid hanya beberapa meter saja. Bagas juga meminta Pak Wahyu untuk menyiapkan fisik karena pagi ini pasti segalanya akan terkuras. Dari mulai pikiran, tenaga, sampai hati. Semua harus disiapkan degan matang. Kuncinya, meminta pada Sang Pencipta.

Keduanya mulai beranjak dari tempat. Seharusnya ada suami Indah, hanya saja ia sedang ada tugas di kota, jadi malam ini tidak bisa menghadiri acara. Pak Wahyu memaklumi, apalagi suami Indah terikat kontrak dengan sebuah perusahaan.

Saat sampai pintu, suara tangisan terdengar dari dalam. Sudah dipastikan, itu suara Bu Rosidah. Wanita itu menjerit-jerit, memanggil nama Nilam. Tadinya Pak Wahyu akan memutar badan, hanya saja ditahan oleh Bagas. "Sudah ada Nur, Pak, di dalam. Saya yakin Nur bisa menenangkan Ibu."

Pak Wahyu pun mengangguk. Bukan tanpa alasan Bagas menahan Pak Wahyu untuk menemui istrinya. Pikiran mereka sedang sama-sama kacau, setidaknya ada salah satu yang perlu didinginkan. Untung saja kali ini Pak Wahyu mau mendengarkan kata-kata Bagas.

Sepeninggalan mereka, Bu Rosidah masih tergugu. Awalnya ia merasa lega ketika Nur menjelaskan kalau Nilam tidak ikut kecelakaan. Hanya saja, ia semakin terguncang ketika mendengar fakta yang sebenarnya terjadi. Rentetan kejadian yang tidak masuk di akal, membuat ulu hatinya kian teriris.

"Cari Nilam atuh Teh. Cari Nilam!" ucap Bu Rosidah dengan air mata berurai. Kakinya dientak-entak, tangannya sibuk menarik-narik tangan putrinya.

"Iya, Bu. Nanti pagi warga mau cari Nilam ke curug. Ibunya jangan kayak gini, harus bantu dengan doa," ucap Nur berusaha kuat, meski waswas menyelimuti hatinya saat ini. Otaknya terasa begitu penuh.

Wanita berumur 30 tahun itu meminta Indah juga untuk tidak lemah. Ia butuh teman untuk keluar dari permasalahan ini. Indah mulai paham, ia turut membantu menenangkan Bu Rosidah yang masih meracau tak jelas sambil mengacak rambutnya sendiri.

"Gimana kalau Nilam teh gak bisa pulang? Dia teh diculik makhluk halus, Teh."

"Jangan ngomong gitu, Bu. Ucapan adalah doa. Coba Ibu ngomong yang baik-baik aja. Banyak istigfar."

Dua wanita yang masih ada di sana mulai tidak enak dengan situasi yang terjadi di kamar berukuran 3x4 itu. Mereka pun berpamitan karena memang akan melaksanakan salat Subuh. Nur dan Indah mengucapkan banyak terima kasih karena sudah menemani ibunya selama pingsan tadi. Kini tugas Nur hanya meyakinkan ibunya kalau semua pasti akan baik-baik saja.

Sementara itu di sebuah rumah bilik, Bah Karsun tengah khusuk berzikir. Tadinya ia akan melakukannya di mesjid, hanya saja beliau takut menganggu orang lain. Akhirnya Bah Karsun melakukan tugasnya untuk menerawang Nilam di kamarnya.

Tasbih warisan dari sang kakek digenggam erat. Tasbih tersebut terbuat dari biji jali itu dirabanya satu persatu. Mata Bah Karsun terpejam, mencoba memfokuskan pikirannya saat ini.

Dalam remang-remang cahaya, sebuah tiupan angin terasa lumayan kencang, memutari kamar berukuran 3x4 tersebut. Bisa Bah Karsun rasakan, getaran-getaran dari benda di sekelilingnya. Akan tetapi, beliau berusaha untuk tidak terpengaruh.

Usapan pada biji tasbih mulai dipercepat. Embusan angin semakin mengencang. Bah Karsun merasa udara di kamar terasa lembab. Suara asing menyerupai cakaran kuku pada tembok membuat dahinya mengernyit, tetapi pria itu masih berusaha untuk tidak membuka mata.

Fokusnya mulai terpecah kala samar-samar gamelan mengalun merdu. Dengan terpaksa Bah Karsun membuka matanya, ia sedikit tersentak saat melihat akar-akar panjang menjalar pada dinding kamarnya. Bukan hanya itu, lambat laun dinding yang seluruhnya terbuat dari bilik bambu itu, tiba-tiba berubah menjadi pohon-pohon yang menjulang.

"Maneh rek nyoba mawa simkuring ka alam silaing? [Kamu mau mencoba membawaku ke alammu]?" Lirih suara Bah Karsun.

Pemandangan kamar itu berubah menjadi hutan belantara. Pohon-pohon dengan batang berlumut seolah tingginya mencakar langit. Di antara dahan-dahannya, mengeluarkan akar yang lembut, menjuntai sampai bawah, mirip seperti rambut nenek-nenek.

Bah Karsun dikelilingi kubangan lumpur yang mengeluarkan letupan dari dalam. Suara gamelan seakan mendekat. Bah Karsun tetap menggenggam tasbih, mulutnya sibuk kumat-kamit, seakan ia tidak takut dengan apa pun.

Di hadapannya kini muncul sebuah pintu gerbang hitam berhiaskan kepala iblis. Pintu dua pria tanpa busana, hanya memakai kain batik saja, membuka pintu dengan wajah datar. Di kepalanya ada kain berwarna emas, diikat ke belakang.

Setelah pintu gerbang yang terbuat dari besi kokoh itu terbuka, Bah Karsun bisa melihat dengan jelas Nilam tengah duduk di kursi pengantin bersama sosok mengerikan. Badannya tinggi besar dipenuhi oleh bulu. Ia memilik taring panjang sampai ke dada. Matanya merah menyala. Tak ada raut wajah takut dari Nilam, bahkan senyumnya tampak merekah, memancarkan rona bahagia dari binar matanya.

Di samping kursi pengantin para pemain gamelan beraksi, lengkap beserta sinden. Tak lupa diiring penari-penari cantik berkebaya hijau dengan selendang emas. Sekilas Bah Karsun bisa melihat, wajah mereka hancur sebagian.

"Astagfirullah hal adzim ... nasib kamu teh Nilam. Karunya teuing [kasihan sekali]."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Orang Gila

    Keluarga Pak Wahyu hanya berdiri di depan pintu kamar Nilam, di mana dari dalam terdengar suara-suara aneh dan mengerikan. Mereka tampak pasrah, sebab Nilam kembali mengamuk sampai tali di tangan dan kakinya terlepas. Pilihan terakhir adalah mengunci pintu, membiarkan gadis itu sendirian.Knop pintu terlihat diputar-putar dari dalam. Suara gedoran yang ekstrim membuat pintu itu sedikit mengalami kerusakan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengaji dari luar kamar. Begitu yang dilakukan Bu Rosidah dan Nur. Sementara Pak Wahyu hanya duduk di sofa ruang keluarga, matanya fokus menatap dinding bercat putih.Hal yang sama juga dialami oleh Indah. Wanita itu mengurung diri di kamar karena Hafiz tidak memberinya kabar. Hari-harinya disibukkan mengecek ponsel, berharap ada notifikasi dari suaminya. Indah kerap kali menelepon, hanya saja laporan selalu sama, bahwa nomor Hafiz di luar jangkauan.Seburuk-buruknya seorang suami, Indah tetaplah mencemaskan keberadaan Hafiz saat ini. Setidaknya,

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Sakitnya Kehilangan

    Obrolan Jajang dan Ki Gendeng seketika terhenti kala mereka mendengan suara langkah kaki dari luar ruangan. Keduanya terdiam cukup lama, memastikan tidak salah dengar. Jari telunjuk Ki Gendeng terangkat, seakan memberi tanda untuk tetap diam. "Kayaknya teh ada yang ngikutin kamu, Jang," bisi Ki Gendeng. Kepalanya dimiringkan pada arah pintu masuk. Jajang terdiam sejenak, mencoba menerka siapa yang berani mengikutinya. Feelingnya tertuju pada Basir karena tadi ia sempat berpapasan dengan pria itu. Tidak menutup kemungkinan juga, sebab Basir orang yang nekatan, juga terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. "Sepertinya, saya tahu siapa orangnya, Ki. Jadi, saya harus melakukan apa?" Yang ditanya malah terkekeh, lalu ia menjawab, "Biarkan saja. Sudah Aki bilang, yang masuk akan sulit keluar. Tadi Aki membuat jalan tipuan. Dia akan tersesat. Sekarang kita keluar dengan tenang." Setelah Jajang mengangguk, keduanya keluar dari ruangan sempit itu—menelusuri lorong demi lorong yang ha

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Keadaan Nilam di Alam Sana

    "Punten, Ki, saya baru datang," ucap Jajang sedikit membungkuk, menunjukkan rasa hormat pada pria tua yang tubuhnya sudah sangat bongkok itu.Namanya Ki Gendeng. Ia berasal dari desa sebelah—Desa Patapaan. Sesuai namanya, Gendeng, orang-orang menganggapnya tidak waras karena terlalu banyak belajar ilmu hitam. Kerap kali Ki Gendeng bicara seorang diri. Namun, Tak jarang pula ia kedatangan pasien yang meminta petunjuk agar bisa melakukan pesugihan ataupun menyantet orang lain.Ki Gendeng mengangguk. Ia mengajak Jajang untuk masuk, sebab ada ritual yang sedari kemarin Jajang minta, tetapi belum bisa dilaksanakan karena syarat belum memenuhi. Keduanya berjalan menuju lorong gue, di mana di bagian paling dalam terdapat sebuah ruangan yang dulu sering dipakai oleh para sesepuh desa.Ruangan tersebut berukuran kecil, di atasnya terdapat bebatuan yang menonjol ke bawah. Menurut Ki Gendeng, orang yang sembarang masuk, akan susah kembali lagi karena gua dijaga oleh para pengikutnya. Dalam arti

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Kala Hati Tersakiti

    Sepulang dari pencarian, Basir memilih untuk tidak pulang ke rumah, melainkan berbelok arah menuju rumah Darsan. Sebelum Bagas datang, ia harus jadi orang pertama yang mengetahui apa yang terjadi pada Darsan. Jika ia simak obrolan Bagas tadi, pria itu menjadi salah satu orang yang dicurigai.Sepanjang jalan, pria itu menoleh kanan kiri, memastikan tidak ada orang yang peduli akan langkah kakinya. Beberapa memang berpapasan, bertanya Basir mau pergi ke mana. Pria itu hanya menjawab, mau ke perkebunan.Awan di langit sudah tak seputih kapas, berumah menjadi jingga kemerahan. Basir semakin mempercepat langkahnya karena waktu Ashar akan segera berkahir. Beberapa meter dari tempatnya kini, sudah terlihat rumah Darsan yang dindingnya masih berupa bilik bambu. Dari luar, tampak begitu sepi.Setelah sampai, Basir mengetuk pintu perlahan seraya mengucapkan salam, "Assalamualaikum."Hening, belum ada jawaban. Yang terdengar hanya geresak-gerusuk langkah kaki dari dalam. Kembali Basir mengucap s

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Pengakuan Nyai Kusuma

    Bu Rahayu yang sudah mendekati Teh Rita dibuat terkejut ketika pintu tiba-tiba menutup dengan begitu kencang. Wanita yang memakai abaya hitam itu masih berdiri di belakang, memberi jarak kalau-kalau terjadi sesuatu. Tak berapa lama, Teh Rita menoleh dengan raut wajah datar, bawah matanya menghitam. Tanpa rasa gentar, Bu Rahayu bertanya, "Ada apa kau ke sini, Kusuma?" Gerakan spontan Teh Rita saat berdiri sedikit membuat Bu Rahayu tersentak. Kusuma seakan sengaja menggunakan tubuh Teh Rita untuk membuat Bu Rahayu lemah. Sampai-sampai, wanita yang masih memakai mukena itu dibawa merayap di dinding. "Hentikan, Kusuma!" bentak Bu Rahayu, ia takut jika Nyai Kusuma sengaja menjatuhkan Teh Rita dari atas langit kamar. "Urusan kita belum selesai, Rahayu!" Suara serak dan berat itu menggema, seperti sebuah ruangan kosong yang menghasilkan pantulan. "Matinya manusia sama dengan menyelesaikan urusan dunia. Jadi, sudah tidak ada lagi yang perlu diselesaikan. Pulanglah dengan tenang Kusuma."

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Ketakutan Darsan

    "Duduk dulu, Kang, tenang. Kita bicarakan baik-baik," ucap Pak Wahyu pada Basir, di mana pria itu terus saja menanyai masalah hilangnya Karim. Suara lembut dari Pak Wahyu sedikit memberi pendinginan pada Basir. Ia pun mengajak dua pria lain yang ikut untuk duduk di sofa. Basir juga meminta Bagas untuk menghubungi Pak Lurah agar ada penindakan pada kasus yang sudah dua kali terjadi ini. Karena Bagas masih dalam keadaan lelah, ia pun sampai kebingungan mencari ponselnya. Akhirnya, Ridwan menghubungi bapaknya agar segera datang ke kediaman Pak Wahyu. Untung saja di jam seperti ini, Pak Lurah sudah bangun untuk menunaikan salat sunah. Dalam posisi duduk, Pak Wahyu meminta semua untuk beristigfar dahulu agar menemukan titik terangnya, sebab ia masih merasa bingung kenapa Basir bisa ngotot menyalahkan hilangnya Karim adalah ulah dari keluarga Pak Wahyu.Basir pun menceritakan semuanya. Dari awal mulai mereka janji bertemu, satu panggilan masuk, hingga cerita Siti yang menyebutkan bahwa s

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   KABUR!

    Cahaya api dari obor tampak meliuk-liuk kala tertiup angin. Penerangan dari batang bambu itu ditancapkan di beberapa sudut. Di sebuah ruangan gua, beberapa meter dari pintu masuk, Nilam dibaringkan pada tikar cokelat yang sudah digelar. Gadis itu hanya memakai samping (kain batik) yang melilit tubuhnya, memperlihatkan kulit yang tidak terlalu putih, tetapi bersih. Ruangan yang dipenuhi memiliki batuan lancip tak beraturan itu dinamakan Tatapan Siraja, di mana para sesepuh zaman dahulu menyucikan hati, diri, di ruangan tersebut. Sedari tadi siang, asisten Bah Padri yang lain sudah mempersiapkan segalanya untuk ritual malam ini. Sebuah gentong berisi mata air tujuh sumur diletakan di samping tubuh Nilam, lengkap beserta sesajen seperti; bunga-bungaan, dupa dalam kendi, ayam cemani, dan beberapa keris. Bah Padri sudah susuk bersila, membacakan mantra seraya menebar kemenyan pada arang yang menyala. Bah Padri memberi jampi pada tempatnya berada, memberi benteng agar tidak ada makhluk l

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Manusia Tanpa Otak

    Semua pertanyaan Ridwan mengingatkan Bagas pada kejadian di mana Hafiz pernah berbuat macam-macam pada Nilam secara mistis. Entah apa tujuannya, yang jelas pria itu selalu berkilah jika ditanya. Berawal dari suatu sore. Semua anak-anak Pak Wahyu berkumpul di rumah untuk makan bersama. Para wanita sibuk bercanda gurau di dapur, memasak serta menyiapkan hidangan penutup—termasuk minuman segar, permintaan dari Pak Wahyu. Keluarga masuk tenang, tentram. Nilam sibuk mengoceh tentang Aris yang melamarnya secara romantis. Memberi cincin, bunga, dan permintaan secara langsung kepada orang tua. Janji akan menikahi dengan pesta di sebuah hotel mewah. Sementara para pria, hanya mengobrol di ruang tamu, menyimak Pak Wahyu yang sibuk menceritakan pertandingan bola tadi malam. Hafiz lebih banyak merespons, sedangkan Bagas hanya sesekali menimpali karena dia tidak terlalu suka dengan acara olahraga. "Kang Hafiz, sini. Pasangin gas!" teriak Indah dari dapur. "Iya! Sebentar, Pak." Pria itu beranj

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Derita Karim

    Selepas tahlilan di rumah Bu Ajeng, para bapak-bapak mulai membubarkan diri. Kematian tak wajar almarhumah Bu Eni membuat suasana desa kian mencekam. Maka, meski jam masih terbilang sore, semua orang memilih pulang lalu menyepi di rumah masing-masing. Karim yang baru masuk rumah langsung mengganti pakaiannya. Pria itu sudah punya janji dengan Basir dan Pak Lurah untuk pergi ke rumah Pak Wahyu—melihat keadaan Nilam. Sebelum pergi, ia sempatkan memandangi kaca lemari, memperhatikan kain kasa yang menutupi bagian belakang kepala. "Mau ke mana udah rapi, Kang?" tanya Siti, istri Karim yang baru saja melahirkan anak kedua, sekitar empat bulan yang lalu. "Ke rumah Pak Wahyu. Ada urusan sama Pak Lurah," jawabnya sambil mengusap kasanya, membetulkan penutup luka yang kurang rapat. Untung saja kepalanya pelontos, jadi tidak terlalu ribet dengan rambut. "Kan kepala Akang teh masih sakit. Inget gak kata Bu Anggita tadi pas di klinik? Jangan dulu kena angin sama air!" cerca Siti. Kini ia sibu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status