Share

Gerbang Dunia Lain

Cerita Pak Wahyu tentang peristiwa aneh di rumahnya pun berakhir karena waktu azan Subuh telah berkumandang. Pak Lurah memberi intruksi agar warga salat terlebih dahulu. Nanti, sekitar pukul 08.00, diharap berkumpul di depan kantor kelurahan untuk menyisir kawasan desa.

Satu per satu dari mereka pulang. Pria bernama Agus itu pun berpamitan pada Pak Wahyu, begitu juga Bah Karsun yang akan pergi ke mesjid bersama anaknya. Yang tersisa di rumah hanya tinggal Pak Wahyu, Nur, juga suami-suami mereka. Bu Rosidah dan Indah masih ditenangkan oleh tetangga di kamar.

"Bapak gak nyembunyiin apa-apa dari Nur, kan?" tanya Nur memperhatikan wajah bapaknya yang tampak kacau.

"Nyembunyiin apa Teh? Jangan bikin suasana tambah kacau," jawab Pak Wahyu. Punggungnya ia sandarkan ke tembok, matanya sibuk menatap langit-langit ruangan. "Lebih baik kamu pikirkan cara ngomong ke Ibu. Apalagi Ibu teh punya asam lambung akut, gak boleh stres."

"Pak ...."

Pundak Nur dirangkul dari belakang oleh Bagas, suaminya. Bagas yang baru selesai membereskan segala macam bekas makanan di dapur, kali ini harus turun tangan agar tidak ada perdebatan antara istri dan juga bapak mertuanya. "Atos, Neng [Sudah, Neng]. Jangan diperpanjang," bisik pria itu.

Nur menghela napas. Kemudian, wanita yang kini memakai kacamata minus itu meminta maaf pada sang bapak karena sudah membuatnya semakin pusing. Ia pun berpamitan untuk ke kamar, mendatangi ibu dan juga adiknya yang mungkin sudah sadar dari pingsan.

"Tidak usah banyak pikiran, Pak. Kita pasrahkan sama Gusti Allah. Insya Allah, Nilam teh akan cepat pulang," ucap Bagas, berusaha menguatkan bapak mertuanya.

Tidak ada yang tidak syok dengan kejadian yang berlangsung cepat ini. Malah, Bagas merasa semua keluar dan warga yang datang seperti dihipnotis. Segala sesuatunya terasa tidak masuk akal. Sampai dibolak-balik pun, tetap tidak masuk dalam logika.

Untuk membuat perasaan lebih tenang, Bagas mengajak Pak Wahyu untuk salat Subuh di masjid. Kebetulan, jarak rumah ke masjid hanya beberapa meter saja. Bagas juga meminta Pak Wahyu untuk menyiapkan fisik karena pagi ini pasti segalanya akan terkuras. Dari mulai pikiran, tenaga, sampai hati. Semua harus disiapkan degan matang. Kuncinya, meminta pada Sang Pencipta.

Keduanya mulai beranjak dari tempat. Seharusnya ada suami Indah, hanya saja ia sedang ada tugas di kota, jadi malam ini tidak bisa menghadiri acara. Pak Wahyu memaklumi, apalagi suami Indah terikat kontrak dengan sebuah perusahaan.

Saat sampai pintu, suara tangisan terdengar dari dalam. Sudah dipastikan, itu suara Bu Rosidah. Wanita itu menjerit-jerit, memanggil nama Nilam. Tadinya Pak Wahyu akan memutar badan, hanya saja ditahan oleh Bagas. "Sudah ada Nur, Pak, di dalam. Saya yakin Nur bisa menenangkan Ibu."

Pak Wahyu pun mengangguk. Bukan tanpa alasan Bagas menahan Pak Wahyu untuk menemui istrinya. Pikiran mereka sedang sama-sama kacau, setidaknya ada salah satu yang perlu didinginkan. Untung saja kali ini Pak Wahyu mau mendengarkan kata-kata Bagas.

Sepeninggalan mereka, Bu Rosidah masih tergugu. Awalnya ia merasa lega ketika Nur menjelaskan kalau Nilam tidak ikut kecelakaan. Hanya saja, ia semakin terguncang ketika mendengar fakta yang sebenarnya terjadi. Rentetan kejadian yang tidak masuk di akal, membuat ulu hatinya kian teriris.

"Cari Nilam atuh Teh. Cari Nilam!" ucap Bu Rosidah dengan air mata berurai. Kakinya dientak-entak, tangannya sibuk menarik-narik tangan putrinya.

"Iya, Bu. Nanti pagi warga mau cari Nilam ke curug. Ibunya jangan kayak gini, harus bantu dengan doa," ucap Nur berusaha kuat, meski waswas menyelimuti hatinya saat ini. Otaknya terasa begitu penuh.

Wanita berumur 30 tahun itu meminta Indah juga untuk tidak lemah. Ia butuh teman untuk keluar dari permasalahan ini. Indah mulai paham, ia turut membantu menenangkan Bu Rosidah yang masih meracau tak jelas sambil mengacak rambutnya sendiri.

"Gimana kalau Nilam teh gak bisa pulang? Dia teh diculik makhluk halus, Teh."

"Jangan ngomong gitu, Bu. Ucapan adalah doa. Coba Ibu ngomong yang baik-baik aja. Banyak istigfar."

Dua wanita yang masih ada di sana mulai tidak enak dengan situasi yang terjadi di kamar berukuran 3x4 itu. Mereka pun berpamitan karena memang akan melaksanakan salat Subuh. Nur dan Indah mengucapkan banyak terima kasih karena sudah menemani ibunya selama pingsan tadi. Kini tugas Nur hanya meyakinkan ibunya kalau semua pasti akan baik-baik saja.

Sementara itu di sebuah rumah bilik, Bah Karsun tengah khusuk berzikir. Tadinya ia akan melakukannya di mesjid, hanya saja beliau takut menganggu orang lain. Akhirnya Bah Karsun melakukan tugasnya untuk menerawang Nilam di kamarnya.

Tasbih warisan dari sang kakek digenggam erat. Tasbih tersebut terbuat dari biji jali itu dirabanya satu persatu. Mata Bah Karsun terpejam, mencoba memfokuskan pikirannya saat ini.

Dalam remang-remang cahaya, sebuah tiupan angin terasa lumayan kencang, memutari kamar berukuran 3x4 tersebut. Bisa Bah Karsun rasakan, getaran-getaran dari benda di sekelilingnya. Akan tetapi, beliau berusaha untuk tidak terpengaruh.

Usapan pada biji tasbih mulai dipercepat. Embusan angin semakin mengencang. Bah Karsun merasa udara di kamar terasa lembab. Suara asing menyerupai cakaran kuku pada tembok membuat dahinya mengernyit, tetapi pria itu masih berusaha untuk tidak membuka mata.

Fokusnya mulai terpecah kala samar-samar gamelan mengalun merdu. Dengan terpaksa Bah Karsun membuka matanya, ia sedikit tersentak saat melihat akar-akar panjang menjalar pada dinding kamarnya. Bukan hanya itu, lambat laun dinding yang seluruhnya terbuat dari bilik bambu itu, tiba-tiba berubah menjadi pohon-pohon yang menjulang.

"Maneh rek nyoba mawa simkuring ka alam silaing? [Kamu mau mencoba membawaku ke alammu]?" Lirih suara Bah Karsun.

Pemandangan kamar itu berubah menjadi hutan belantara. Pohon-pohon dengan batang berlumut seolah tingginya mencakar langit. Di antara dahan-dahannya, mengeluarkan akar yang lembut, menjuntai sampai bawah, mirip seperti rambut nenek-nenek.

Bah Karsun dikelilingi kubangan lumpur yang mengeluarkan letupan dari dalam. Suara gamelan seakan mendekat. Bah Karsun tetap menggenggam tasbih, mulutnya sibuk kumat-kamit, seakan ia tidak takut dengan apa pun.

Di hadapannya kini muncul sebuah pintu gerbang hitam berhiaskan kepala iblis. Pintu dua pria tanpa busana, hanya memakai kain batik saja, membuka pintu dengan wajah datar. Di kepalanya ada kain berwarna emas, diikat ke belakang.

Setelah pintu gerbang yang terbuat dari besi kokoh itu terbuka, Bah Karsun bisa melihat dengan jelas Nilam tengah duduk di kursi pengantin bersama sosok mengerikan. Badannya tinggi besar dipenuhi oleh bulu. Ia memilik taring panjang sampai ke dada. Matanya merah menyala. Tak ada raut wajah takut dari Nilam, bahkan senyumnya tampak merekah, memancarkan rona bahagia dari binar matanya.

Di samping kursi pengantin para pemain gamelan beraksi, lengkap beserta sinden. Tak lupa diiring penari-penari cantik berkebaya hijau dengan selendang emas. Sekilas Bah Karsun bisa melihat, wajah mereka hancur sebagian.

"Astagfirullah hal adzim ... nasib kamu teh Nilam. Karunya teuing [kasihan sekali]."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status