Share

Dendam di Atas Pusara

Pukul 07.35, sebagian warga sudah berkumpul

di halaman kantor kelurahan. Sambil menunggu intruksi dan kehadiran warga yang lain, mereka berbincang-bincang dengan beberapa kubu. Sudah bisa dipastikan, yang jadi topik adalah hilangnya Nilam.

Ada yang menebak jika Nilam dibawa penunggu Hutan Ireng, ada juga yang bilang dibawa oleh penghuni Sungai Niskala yang kebetulan berada di bawah tebing makam keramat. Calon pengantin harus mutih dan menyepi dulu satu malam si sana, mungkin pada saat itu si penunggu jatuh cinta pada Nilam, pikir warga.

Tidak ada yang salah. Harus diakui bahwa Nilam adalah gadis sederhana yang cantik. Memiliki kulit eksotis dengan bibir tipis. Alisnya tebal simetris, bulu mata lentik, mata sipit, serta hidung bangir. Pipinya agak cubby, dagunya sedikit menyusut. Para pria mengakui Nilam masuk dalam kategori wanita berwajah manis.

"Menurut kalian, apa si Nilam akan balik lagi? Atau malah kayak yang sudah-sudah?" tanya Alit pada rekan di depannya. Mereka tengah duduk di sebuah taman kecil depan kantor, tepat di bawah pohon mangga.

"Kata saya mah susah kalo udah berurusan sama alam gaib. Butuh orang ahli. Gimana menurut Kang Basir?" jawab Sodikin menimpali.

Basir hanya terdiam, lantas menyesap rokoknya lalu mengepulkan asapnya ke udara. "Susah ditebak. Yang jadi pikiran saya mah, kesalahan apa yang dilakukan Pak Wahyu sampe ada kejadian kayak gini. Kalo emang udah lengkap segalanya, gak mungkin atuh si Nilam sampe dibawa tuh demit."

Alit dan Sodikin saling melirik, mereka mengangguk setuju dengan pendapat Basir. Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Basir kembali menyesap rokok yang tinggal sedikit lagi. Untuk isapan terakhir, kemudian ia membuangnya ke luar taman. "Kalau sampai Pak Wahyu bertindak ceroboh, sama saja membahayakan desa."

"Betul, Kang Basir. Takutnya kejadian ini teh malam jadi pembuka. Entar gadis-gadis di desa ini pada hilang kayak si Nilam," tutur Sodikin. Ia bergidik. Apalagi dirinya mempunya anak yang sebentar lagi beranjak remaja.

"Huss, jangan ke mana wae ngomong teh, pamali." Alit menggeplak kepala Sodikin karena dirasa ucapannya sompral. Ketiganya terkekeh, menertawakan keadaan carut marut yang mungkin susah diterima akal sehat.

Obrolan itu terhenti ketika Bah Karsun datang bersama Jajang—putranya. Dengan langkah cepat, ia menuju teras kantor di mana sudah ada Lurah Agus di sana. Para warga langsung mendekat, apalagi mereka mengetahui kalau Bah Karsun tadi Subuh melakukan penerawangan. Mereka tentu penasaran, kabar apa yang dibawa pria yang paling dihormati di Desa Wangunsari itu.

"Apa cuma segini yang mau ikut mencari?" tanya Lurah Agus, menelisik wajah-wajah para pria yang sudah berjajar di depannya. Ada sekitar 25 orang yang datang.

"Kayaknya sebagian lagi nanti siang, Pak Lurah. Mereka harus ke kebun dulu sama ngurus ternak," jawab Basir yang memang ditugaskan untuk mengundang warga.

Pak Lurah mengangguk. Badannya sedikit dimiringkan ketika Bah Karsun ingin membisikan sesuatu. Ia terlihat mengangguk-angguk, membuat semua warga penasaran. Sementara itu, dari gerbang, datang Pak Wahyu bersama Bagas. Wajah Pak Wahyu tak setegang malam tadi karena Bagas terus saja menyuntik ucapan positif agar mertuanya yakin bahwa akan pulang dengan hasil terbaik.

"Mangga, Pak, ke sini," ucap Lurah Agus, memberi ruang pada Pak Wahyu untuk nantinya memimpin doa. Doa yang terbaik tentu dari orang tua Nilam sendiri.

"Pak Wahyu beneran kuat mau ikut?" tanya Lurah Agus lagi, meyakinkan.

"Saya ikut saja Pak Lurah. Nilam putri saya, saya harus turun tangan untuk mencarinya."

Tangan Lurah Agus menepuk bahu Pak Wahyu, seakan mengatakan 'sabar'. Pria itu pun langsung membuka kegiatan evakuasi dengan beberapa intruksi. "Kita bagi 3 tim, ya. Ada yang ke makam, sungai, sama curug. Panggil nama Nilam di tempat. Kalau bisa azan juga."

Semua warga mengangguk. Pak Lurah kembali meneruskan ucapannya, "Bah Karsun barusan bilang, fokus juga cari titik-titik tersembunyi. Takutnya, Nilam dalam keadaan pingsan. Mungkin fisiknya masih ada di desa, tapi sukmanya dibawa pergi. Jaga diri saat pencarian, jangan berkata sompral karena tempat yang kita datangi, bukan tempat sembarangan."

"Kalau ketemu, gimana, Pak?" tanya Sodikin sambil mengacungkan tangannya.

"Telepon nomor saya atau nomor Kang Jajang." Pria itu menoleh pada anak Bah Karsun, membuat Jajang mengiyakan dengan anggukan kecil.

"Ya sudah, kita berdoa dulu. Mangga Pak Wahyu, dipimpin biar lebih apdol." Tangan Lurah Agus terulur, membiarkan Pak Wahyu untuk maju beberapa langkah.

Tidak banyak yang Pak Wahyu sampaikan, ia hanya meminta doa dan tak lupa mengucapkan banyak terima kasih pada warga yang sudi membantunya. Mata Pak Wahyu sudah mulai memerah, tetapi Bagas dengan setia menguatkan, membisikan kata sabar dan tawakal. Sesi doa pun dibuka, dengan surah Alfatihah sebagai pembukaan dan doa-doa keselamatan lainnya.

Matahari sudah sangat terik. Lurah Agus mulai membubarkan warga yang sebelumnya sudah dibagi menjadi tiga tim. Semuanya bersiap menuju tempat masing-masing dengan harapan yang sama—menemukan Nilam dalam keadaan selamat. Bah Karsun juga tadi menyampaikan lewat Lurah Agus, jika keberadaan Nilam tidak jauh dari desa.

Sementara itu, di tempat jauh, suasana pemakaman begitu memilukan. Sepuluh makam baru ditangisi sanak keluarga dengan perasaan hampa. Taburan bunga warna-warni menjadi perpisahan terakhir, melepas orang yang mereka cintai. Orang-orang yang turut mengantar mulai meninggalkan tempat itu, memberi ruang pada seorang gadis untuk mengucapkan kata perpisahan.

Dialah Putri, adik Aris yang kemarin tidak ikut seserahan karena dirinya tengah dikejar oleh skripsi yang harus selesai dalam beberapa hari. Toh hanya akad, nanti saat resepsi, Putri sudah berjanji akan menyiapkan segalanya demi kakak tercinta.

"Sabar, Put, yang tabah," ucap Ayu—wanita yang menelepon Nilam—sembari memeluk sepupunya itu dari samping.

"Kenapa Putri teh harus kehilangan semuanya secara bersamaan atuh, Teh? Putri gak mau sendirian." Gadis itu berkata sembari berurai air mata. Ia memukul dadanya sendiri, merasa ingin ikut mati saja daripada kesepian.

"Semua sudah takdir, Put. Jodoh, maut, rezeki, sudah diatur sama Gusti Allah." Ayu berusaha menahan tangan Putri agar tidak menyakiti diri sendiri.

"Si Nilam teh memang pembawa sial. Kenapa atuh A Aris teh kudu pacaran sama gadis kampungan itu." Lagi-lagi ucapan Putri mulai merambah ke mana-mana. Dadanya sesak, merasa semua yang terjadi adalah karena Nilam.

"Istigfar, jangan nyalahin orang lain, ah!"

Tangan Putri mengibas rengkuhan Ayu, ia mendorong sepupunya hingga terjungkal ke tanah. Putri berdiri, menjerit sekencangnya untuk mengeluarkan amarah yang mengendap di dada.

"Lihat Teh, jasad keluarga sudah terkubur di tanah. Tapi mana si Nilam? Mana keluarganya? Sama sekali mereka gak ada datang. Awas saja, aku akan balas dendam sama keluarga pembawa sial itu, Teh. Mereka teh harus mati juga!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nurchasanah
sudah takdir
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status