Share

Peringatan Kecil

last update Last Updated: 2023-05-29 14:59:43

Beberapa saat setelah Nilam pingsan, akhirnya gadis itu mulai tersadar. Matanya mengerjap, tangannya memegangi kepala. Di ujung ranjang ada Bu Rosidah yang tengah memijat kaki Nilam, sedangkan Pak Wahyu berdiri di ambang pintu. Saat melihat Nilam menoleh, dengan cepat pria itu mendekat.

"Pak, Bu," panggilnya dengan suara lemah.

Dengan cekatan Bu Rosidah menyodorkan teh manis yang sudah tidak terlalu hangat. Tangannya yang sebelah membantu mengangkat kepala Nilam, yang sebelahnya lagi mendekatkan gelas agar memudahkan Nilam meneguk air meski hanya sedikit. 

"Neng teh gak apa-apa, kan?" tanya Bu Rosidah khawatir, sedangkan Pak Wahyu menarik bangku plastik yang berada di depan meja rias.

"Gak apa-apa, Bu. Cuma agak pusing aja. Memangnya kenapa Bu?" Nilam sedikit memundurkan badannya, mencari posisi terbaik agar bisa bersandar pada tumpukan bantal.

"Tadi teh kamu pingsan pas pagi nari. Kata Ibu, kamu belum makan dari pagi. Jaga kesehatan atuh, Neng. Jangan bikin Bapak khawatir," ucap Pak Wahyu. Pria itu memang tipe pria posesif pada semua putrinya. Namun, terbukti ketiga anak Pak Wahyu tidak ada yang pembangkang.

Nilam terlihat sedikit melamun, entah apa yang dipikirkan, sampai-sampai Bu Rosidah mengguncang bahu Nilam agar tidak terjadi hal-hal mistis seperti tadi lagi. Wajah Nilam tampak pucat karena beberapa hari ini, ia mengaku kehilangan napsu makan

"Iya, Bu, Pak, maaf udah bikin khawatir. Tadi saat nari, tiba-tiba pundak Nilam sakit. Gak tau kenapa mata kayak kunang-kunang. Neng cuma lihat ada sosok wanita mirip ibu nyekik Neng. Udah itu gak inget apa-apa."

Bu Rosidah dan Pak Wahyu saling melirik satu sama lain. Saat kecil Nilam memang bisa melihat makhluk tak kasat mata, hanya saja mata batin itu ditutup karena kerap kali gadis berhidung bangir tersebut sering menangis ketakutan. Puncaknya umur sepuluh tahun, ia sering mengalami kesurupan.

Pak Wahyu yang khawatir, akhirnya meminta kakek Nilam mencabut kemampuan itu. Memang, kakek Nilam mengatakan penutup mata batin hanya sementara, bisa terbuka kapan saja. Pak Wahyu berspekulasi jika memang mata batin Nilam saat ini sudah terbuka kembali.

"Pak, bukannya hari ini kita harus ke makam keramat?" tanya Nilam mengalihkan pembicaraan, sebab ia bisa melihat wajah kedua orang tuanya khawatir.

"Sepertinya tidak usah. Untuk apa? Kalau mau mah, cukup ke makam nenek sama kakek aja atuh Neng. Keluarga kita tidak ada yang dimakamkan di sana," seru Pak Wahyu. Pria itu memang kurang setuju dengan adat istiadat yang menyusahkan keluarga pengantin perempuan di desa Wangunsari. Menurutnya, perlu ada generasi yang memutus mata rantai agar tidak terus berkembang sampai masa nanti.

Pandangan Nilam kini menoleh pada ibunya, seakan meminta pendapat. Namun, wanita bergamis hitam itu hanya menggeleng pelan, seakan mengatakan, 'terserah bapak kamu saja'.

Dalam keheningan terdengar suara salam dari luar kamar. Dari suaranya yang cempreng, mereka bisa menebak jika Nur yang datang. Saat Nilam pingsan, Bu Rosidah menelepon kedua putrinya yang lain untuk datang. Sayangnya, Indah sedang berada di kota, mengantar suaminya menghadiri acara undangan teman semasa sekolah.

"Waalaikumsallam, di sini, Teh!" teriak Bu Rosidah. Tak berapa lama, kepala menyembul dari balik pintu. Wanita berkerudung pasmina berwana cokelat itu masuk, ia menyalami ibu dan bapaknya.

"Kenapa? Kok, bisa pingsan? Diet lagi?" ketus Nur sambil menyerahkan bungkusan berisi buah-buahan yang ia beli di pasar ketika menuju ke Desa Wangunsari. Rumah Nur memang tidak terlalu jauh, hanya beda desa saja. Akan tetapi, tetap perlu menggunakan motor untuk sampai ke rumah orang tuanya.

"Enggak, Teh. Cuma belum makan," jawab Nilam datar.

"Halah. Badan udah tipis aja sok diet segala kamu mah."

Nilam berdecak sebal, sedangkan ibu dan bapaknya hanya terkekeh pelan. Bu Rosidah langsung mengambil bungkusan yang Nur bawa untuk dikupas lalu dinikmati bersama. Gegas wanita itu pergi ke dapur dan tempat duduknya tadi digantikan oleh Nur.

Merasa butuh pendapat dari sang kakak, Nilam bertanya tentang proses Nur ketika akan menikah. Apa saat itu melakukan ziarah ke makam keramat? Tentu saja Nur melakukan hal tersebut karena memang sudah jadi aturan desa yang tidak boleh dilanggar.

"Tuh, Pak, Teteh saja waktu itu ziarah juga. Masa sekarang gak boleh?" Suara Nilam terdengar lembut, ia tidak ingin sampai terkesan menyudutkan bapaknya.

"Beda, Neng. Sekarang kita harus belajar menghilangkan tradisi seperti itu. Sudah bukan zamannya," kilah Pak Wahyu, tetap bersikukuh pada pendirian bahwa hal itu sangat bertentangan dengan norma.

Terdengar helaan napas dari Nur. Ia mengubah posisi duduknya menjadi lebih miring agar bisa melihat wajah Pak Wahyu kemudian Nur berkata, "Pak, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Tradisi suatu daerah tidak akan bisa dilenyapkan dengan mudah, apalagi sudah jadi warisan nenek moyang. Nur rasa, tidak ada salahnya mengikuti aturan yang ada, yang penting niat di hati kitanya diperbaiki saja. Bukan untuk menyembah hal seperti itu."

"Bapak mah cuma kasian sama para gadis yang mau nikah. Mereka harus bermalam di tempat gelap sendirian. Aturan yang gak masuk akal." Pak Wahyu mencoba mencari alasan lagi.

Mendengar seribu alasan, membuat Nur menggeleng pelan. Jika sudah begini, ia menyerahkan semuanya pada Nilam. Bapaknya tidak suka ditentang, ia tidak akan percaya pada mitos-mitos yang beredar. Untuk menghindari keributan dengan anaknya, gegas pria itu keluar dari kamar.

"Teh, memangnya tidak apa-apa kalau kita gak melakukan ritual yang sudah jadi aturan desa?" tanya Nilam tampak ragu.

"Teteh gak tahu. Tapi mudah-mudahan gak apa-apa."

Obrolan mereka terhenti ketika mendengar suara erangan dari luar, seperti suara Pak Wahyu. Nur refleks melompat dari ranjang, ia berlari ke luar kamar untuk melihat apa yang terjadi. Matanya membulat seketika saat melihat Pak Wahyu duduk di lantai tengah memegangi kakinya.

"Bapak! Kenapa, Pak?" teriaknya sembari berlari mendekat, disusul oleh Nilam dari belakang, begitu juga Bu Rosidah yang keluar dari dapur.

Mereka semua terkejut ketika melihat pake menancap di kaki Pak Wahyu. Bukan di telapaknya, tetapi di bagian atas dekat jari-jari. Tentu mereka heran, kenapa bisa ada paku di sana?

Ketiga wanita itu langsung mengangkat tubuh Pak Wahyu lantas mendudukannya di kursi ruang tamu. "Nilam, telepon Bu Dokter desa," ucap Nur.

"Iya Teh." Nilam langsung pergi ke kamar, mencari ponselnya yang tertinggal.

"Kenapa ada pake di sini, Pak? Bapak kesandung?" tanya Nur sembari mengelap darah di bagian jemari dengan tisu yang memang tersedia di atas meja.

"Bapak juga gak tau, Teh. Tadi lagi jalan, tiba-tiba kaki Bapak sakit banget!" Pak Wahyu kembali mengerang, wajahnya sudah penuh oleh keringat.

"Ini peringatan, Pak. Makanya Bapak teh jangan batu. Ibu mah takut kedepannya terjadi apa-apa. Pokoknya, Nilam harus melakukan ritual pengantin sampai benar-benar selesai," tegas Bu Rosidah dengan napas terengah-engah. Ia sudah sangat ketakutan dengan dua kejadian hari ini. Jangan sampai, larangan suaminya malah membawa malapetaka untuk keluarga.

Dini Lisdianti

Akankah Nilam tetap melakukan ritual atau melanggarnya? Terima kasih sudah baca cerita ini. Ikuti terus sampai berakhir, ya. Jangan lupa untuk vote dan komentar

| 4
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur Sitah
seru sereeemm..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Orang Gila

    Keluarga Pak Wahyu hanya berdiri di depan pintu kamar Nilam, di mana dari dalam terdengar suara-suara aneh dan mengerikan. Mereka tampak pasrah, sebab Nilam kembali mengamuk sampai tali di tangan dan kakinya terlepas. Pilihan terakhir adalah mengunci pintu, membiarkan gadis itu sendirian.Knop pintu terlihat diputar-putar dari dalam. Suara gedoran yang ekstrim membuat pintu itu sedikit mengalami kerusakan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengaji dari luar kamar. Begitu yang dilakukan Bu Rosidah dan Nur. Sementara Pak Wahyu hanya duduk di sofa ruang keluarga, matanya fokus menatap dinding bercat putih.Hal yang sama juga dialami oleh Indah. Wanita itu mengurung diri di kamar karena Hafiz tidak memberinya kabar. Hari-harinya disibukkan mengecek ponsel, berharap ada notifikasi dari suaminya. Indah kerap kali menelepon, hanya saja laporan selalu sama, bahwa nomor Hafiz di luar jangkauan.Seburuk-buruknya seorang suami, Indah tetaplah mencemaskan keberadaan Hafiz saat ini. Setidaknya,

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Sakitnya Kehilangan

    Obrolan Jajang dan Ki Gendeng seketika terhenti kala mereka mendengan suara langkah kaki dari luar ruangan. Keduanya terdiam cukup lama, memastikan tidak salah dengar. Jari telunjuk Ki Gendeng terangkat, seakan memberi tanda untuk tetap diam. "Kayaknya teh ada yang ngikutin kamu, Jang," bisi Ki Gendeng. Kepalanya dimiringkan pada arah pintu masuk. Jajang terdiam sejenak, mencoba menerka siapa yang berani mengikutinya. Feelingnya tertuju pada Basir karena tadi ia sempat berpapasan dengan pria itu. Tidak menutup kemungkinan juga, sebab Basir orang yang nekatan, juga terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. "Sepertinya, saya tahu siapa orangnya, Ki. Jadi, saya harus melakukan apa?" Yang ditanya malah terkekeh, lalu ia menjawab, "Biarkan saja. Sudah Aki bilang, yang masuk akan sulit keluar. Tadi Aki membuat jalan tipuan. Dia akan tersesat. Sekarang kita keluar dengan tenang." Setelah Jajang mengangguk, keduanya keluar dari ruangan sempit itu—menelusuri lorong demi lorong yang ha

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Keadaan Nilam di Alam Sana

    "Punten, Ki, saya baru datang," ucap Jajang sedikit membungkuk, menunjukkan rasa hormat pada pria tua yang tubuhnya sudah sangat bongkok itu.Namanya Ki Gendeng. Ia berasal dari desa sebelah—Desa Patapaan. Sesuai namanya, Gendeng, orang-orang menganggapnya tidak waras karena terlalu banyak belajar ilmu hitam. Kerap kali Ki Gendeng bicara seorang diri. Namun, Tak jarang pula ia kedatangan pasien yang meminta petunjuk agar bisa melakukan pesugihan ataupun menyantet orang lain.Ki Gendeng mengangguk. Ia mengajak Jajang untuk masuk, sebab ada ritual yang sedari kemarin Jajang minta, tetapi belum bisa dilaksanakan karena syarat belum memenuhi. Keduanya berjalan menuju lorong gue, di mana di bagian paling dalam terdapat sebuah ruangan yang dulu sering dipakai oleh para sesepuh desa.Ruangan tersebut berukuran kecil, di atasnya terdapat bebatuan yang menonjol ke bawah. Menurut Ki Gendeng, orang yang sembarang masuk, akan susah kembali lagi karena gua dijaga oleh para pengikutnya. Dalam arti

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Kala Hati Tersakiti

    Sepulang dari pencarian, Basir memilih untuk tidak pulang ke rumah, melainkan berbelok arah menuju rumah Darsan. Sebelum Bagas datang, ia harus jadi orang pertama yang mengetahui apa yang terjadi pada Darsan. Jika ia simak obrolan Bagas tadi, pria itu menjadi salah satu orang yang dicurigai.Sepanjang jalan, pria itu menoleh kanan kiri, memastikan tidak ada orang yang peduli akan langkah kakinya. Beberapa memang berpapasan, bertanya Basir mau pergi ke mana. Pria itu hanya menjawab, mau ke perkebunan.Awan di langit sudah tak seputih kapas, berumah menjadi jingga kemerahan. Basir semakin mempercepat langkahnya karena waktu Ashar akan segera berkahir. Beberapa meter dari tempatnya kini, sudah terlihat rumah Darsan yang dindingnya masih berupa bilik bambu. Dari luar, tampak begitu sepi.Setelah sampai, Basir mengetuk pintu perlahan seraya mengucapkan salam, "Assalamualaikum."Hening, belum ada jawaban. Yang terdengar hanya geresak-gerusuk langkah kaki dari dalam. Kembali Basir mengucap s

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Pengakuan Nyai Kusuma

    Bu Rahayu yang sudah mendekati Teh Rita dibuat terkejut ketika pintu tiba-tiba menutup dengan begitu kencang. Wanita yang memakai abaya hitam itu masih berdiri di belakang, memberi jarak kalau-kalau terjadi sesuatu. Tak berapa lama, Teh Rita menoleh dengan raut wajah datar, bawah matanya menghitam. Tanpa rasa gentar, Bu Rahayu bertanya, "Ada apa kau ke sini, Kusuma?" Gerakan spontan Teh Rita saat berdiri sedikit membuat Bu Rahayu tersentak. Kusuma seakan sengaja menggunakan tubuh Teh Rita untuk membuat Bu Rahayu lemah. Sampai-sampai, wanita yang masih memakai mukena itu dibawa merayap di dinding. "Hentikan, Kusuma!" bentak Bu Rahayu, ia takut jika Nyai Kusuma sengaja menjatuhkan Teh Rita dari atas langit kamar. "Urusan kita belum selesai, Rahayu!" Suara serak dan berat itu menggema, seperti sebuah ruangan kosong yang menghasilkan pantulan. "Matinya manusia sama dengan menyelesaikan urusan dunia. Jadi, sudah tidak ada lagi yang perlu diselesaikan. Pulanglah dengan tenang Kusuma."

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Ketakutan Darsan

    "Duduk dulu, Kang, tenang. Kita bicarakan baik-baik," ucap Pak Wahyu pada Basir, di mana pria itu terus saja menanyai masalah hilangnya Karim. Suara lembut dari Pak Wahyu sedikit memberi pendinginan pada Basir. Ia pun mengajak dua pria lain yang ikut untuk duduk di sofa. Basir juga meminta Bagas untuk menghubungi Pak Lurah agar ada penindakan pada kasus yang sudah dua kali terjadi ini. Karena Bagas masih dalam keadaan lelah, ia pun sampai kebingungan mencari ponselnya. Akhirnya, Ridwan menghubungi bapaknya agar segera datang ke kediaman Pak Wahyu. Untung saja di jam seperti ini, Pak Lurah sudah bangun untuk menunaikan salat sunah. Dalam posisi duduk, Pak Wahyu meminta semua untuk beristigfar dahulu agar menemukan titik terangnya, sebab ia masih merasa bingung kenapa Basir bisa ngotot menyalahkan hilangnya Karim adalah ulah dari keluarga Pak Wahyu.Basir pun menceritakan semuanya. Dari awal mulai mereka janji bertemu, satu panggilan masuk, hingga cerita Siti yang menyebutkan bahwa s

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   KABUR!

    Cahaya api dari obor tampak meliuk-liuk kala tertiup angin. Penerangan dari batang bambu itu ditancapkan di beberapa sudut. Di sebuah ruangan gua, beberapa meter dari pintu masuk, Nilam dibaringkan pada tikar cokelat yang sudah digelar. Gadis itu hanya memakai samping (kain batik) yang melilit tubuhnya, memperlihatkan kulit yang tidak terlalu putih, tetapi bersih. Ruangan yang dipenuhi memiliki batuan lancip tak beraturan itu dinamakan Tatapan Siraja, di mana para sesepuh zaman dahulu menyucikan hati, diri, di ruangan tersebut. Sedari tadi siang, asisten Bah Padri yang lain sudah mempersiapkan segalanya untuk ritual malam ini. Sebuah gentong berisi mata air tujuh sumur diletakan di samping tubuh Nilam, lengkap beserta sesajen seperti; bunga-bungaan, dupa dalam kendi, ayam cemani, dan beberapa keris. Bah Padri sudah susuk bersila, membacakan mantra seraya menebar kemenyan pada arang yang menyala. Bah Padri memberi jampi pada tempatnya berada, memberi benteng agar tidak ada makhluk l

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Manusia Tanpa Otak

    Semua pertanyaan Ridwan mengingatkan Bagas pada kejadian di mana Hafiz pernah berbuat macam-macam pada Nilam secara mistis. Entah apa tujuannya, yang jelas pria itu selalu berkilah jika ditanya. Berawal dari suatu sore. Semua anak-anak Pak Wahyu berkumpul di rumah untuk makan bersama. Para wanita sibuk bercanda gurau di dapur, memasak serta menyiapkan hidangan penutup—termasuk minuman segar, permintaan dari Pak Wahyu. Keluarga masuk tenang, tentram. Nilam sibuk mengoceh tentang Aris yang melamarnya secara romantis. Memberi cincin, bunga, dan permintaan secara langsung kepada orang tua. Janji akan menikahi dengan pesta di sebuah hotel mewah. Sementara para pria, hanya mengobrol di ruang tamu, menyimak Pak Wahyu yang sibuk menceritakan pertandingan bola tadi malam. Hafiz lebih banyak merespons, sedangkan Bagas hanya sesekali menimpali karena dia tidak terlalu suka dengan acara olahraga. "Kang Hafiz, sini. Pasangin gas!" teriak Indah dari dapur. "Iya! Sebentar, Pak." Pria itu beranj

  • Rombongan Pengantin dari Alam Gaib   Derita Karim

    Selepas tahlilan di rumah Bu Ajeng, para bapak-bapak mulai membubarkan diri. Kematian tak wajar almarhumah Bu Eni membuat suasana desa kian mencekam. Maka, meski jam masih terbilang sore, semua orang memilih pulang lalu menyepi di rumah masing-masing. Karim yang baru masuk rumah langsung mengganti pakaiannya. Pria itu sudah punya janji dengan Basir dan Pak Lurah untuk pergi ke rumah Pak Wahyu—melihat keadaan Nilam. Sebelum pergi, ia sempatkan memandangi kaca lemari, memperhatikan kain kasa yang menutupi bagian belakang kepala. "Mau ke mana udah rapi, Kang?" tanya Siti, istri Karim yang baru saja melahirkan anak kedua, sekitar empat bulan yang lalu. "Ke rumah Pak Wahyu. Ada urusan sama Pak Lurah," jawabnya sambil mengusap kasanya, membetulkan penutup luka yang kurang rapat. Untung saja kepalanya pelontos, jadi tidak terlalu ribet dengan rambut. "Kan kepala Akang teh masih sakit. Inget gak kata Bu Anggita tadi pas di klinik? Jangan dulu kena angin sama air!" cerca Siti. Kini ia sibu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status