Share

Peringatan Kecil

Beberapa saat setelah Nilam pingsan, akhirnya gadis itu mulai tersadar. Matanya mengerjap, tangannya memegangi kepala. Di ujung ranjang ada Bu Rosidah yang tengah memijat kaki Nilam, sedangkan Pak Wahyu berdiri di ambang pintu. Saat melihat Nilam menoleh, dengan cepat pria itu mendekat.

"Pak, Bu," panggilnya dengan suara lemah.

Dengan cekatan Bu Rosidah menyodorkan teh manis yang sudah tidak terlalu hangat. Tangannya yang sebelah membantu mengangkat kepala Nilam, yang sebelahnya lagi mendekatkan gelas agar memudahkan Nilam meneguk air meski hanya sedikit. 

"Neng teh gak apa-apa, kan?" tanya Bu Rosidah khawatir, sedangkan Pak Wahyu menarik bangku plastik yang berada di depan meja rias.

"Gak apa-apa, Bu. Cuma agak pusing aja. Memangnya kenapa Bu?" Nilam sedikit memundurkan badannya, mencari posisi terbaik agar bisa bersandar pada tumpukan bantal.

"Tadi teh kamu pingsan pas pagi nari. Kata Ibu, kamu belum makan dari pagi. Jaga kesehatan atuh, Neng. Jangan bikin Bapak khawatir," ucap Pak Wahyu. Pria itu memang tipe pria posesif pada semua putrinya. Namun, terbukti ketiga anak Pak Wahyu tidak ada yang pembangkang.

Nilam terlihat sedikit melamun, entah apa yang dipikirkan, sampai-sampai Bu Rosidah mengguncang bahu Nilam agar tidak terjadi hal-hal mistis seperti tadi lagi. Wajah Nilam tampak pucat karena beberapa hari ini, ia mengaku kehilangan napsu makan

"Iya, Bu, Pak, maaf udah bikin khawatir. Tadi saat nari, tiba-tiba pundak Nilam sakit. Gak tau kenapa mata kayak kunang-kunang. Neng cuma lihat ada sosok wanita mirip ibu nyekik Neng. Udah itu gak inget apa-apa."

Bu Rosidah dan Pak Wahyu saling melirik satu sama lain. Saat kecil Nilam memang bisa melihat makhluk tak kasat mata, hanya saja mata batin itu ditutup karena kerap kali gadis berhidung bangir tersebut sering menangis ketakutan. Puncaknya umur sepuluh tahun, ia sering mengalami kesurupan.

Pak Wahyu yang khawatir, akhirnya meminta kakek Nilam mencabut kemampuan itu. Memang, kakek Nilam mengatakan penutup mata batin hanya sementara, bisa terbuka kapan saja. Pak Wahyu berspekulasi jika memang mata batin Nilam saat ini sudah terbuka kembali.

"Pak, bukannya hari ini kita harus ke makam keramat?" tanya Nilam mengalihkan pembicaraan, sebab ia bisa melihat wajah kedua orang tuanya khawatir.

"Sepertinya tidak usah. Untuk apa? Kalau mau mah, cukup ke makam nenek sama kakek aja atuh Neng. Keluarga kita tidak ada yang dimakamkan di sana," seru Pak Wahyu. Pria itu memang kurang setuju dengan adat istiadat yang menyusahkan keluarga pengantin perempuan di desa Wangunsari. Menurutnya, perlu ada generasi yang memutus mata rantai agar tidak terus berkembang sampai masa nanti.

Pandangan Nilam kini menoleh pada ibunya, seakan meminta pendapat. Namun, wanita bergamis hitam itu hanya menggeleng pelan, seakan mengatakan, 'terserah bapak kamu saja'.

Dalam keheningan terdengar suara salam dari luar kamar. Dari suaranya yang cempreng, mereka bisa menebak jika Nur yang datang. Saat Nilam pingsan, Bu Rosidah menelepon kedua putrinya yang lain untuk datang. Sayangnya, Indah sedang berada di kota, mengantar suaminya menghadiri acara undangan teman semasa sekolah.

"Waalaikumsallam, di sini, Teh!" teriak Bu Rosidah. Tak berapa lama, kepala menyembul dari balik pintu. Wanita berkerudung pasmina berwana cokelat itu masuk, ia menyalami ibu dan bapaknya.

"Kenapa? Kok, bisa pingsan? Diet lagi?" ketus Nur sambil menyerahkan bungkusan berisi buah-buahan yang ia beli di pasar ketika menuju ke Desa Wangunsari. Rumah Nur memang tidak terlalu jauh, hanya beda desa saja. Akan tetapi, tetap perlu menggunakan motor untuk sampai ke rumah orang tuanya.

"Enggak, Teh. Cuma belum makan," jawab Nilam datar.

"Halah. Badan udah tipis aja sok diet segala kamu mah."

Nilam berdecak sebal, sedangkan ibu dan bapaknya hanya terkekeh pelan. Bu Rosidah langsung mengambil bungkusan yang Nur bawa untuk dikupas lalu dinikmati bersama. Gegas wanita itu pergi ke dapur dan tempat duduknya tadi digantikan oleh Nur.

Merasa butuh pendapat dari sang kakak, Nilam bertanya tentang proses Nur ketika akan menikah. Apa saat itu melakukan ziarah ke makam keramat? Tentu saja Nur melakukan hal tersebut karena memang sudah jadi aturan desa yang tidak boleh dilanggar.

"Tuh, Pak, Teteh saja waktu itu ziarah juga. Masa sekarang gak boleh?" Suara Nilam terdengar lembut, ia tidak ingin sampai terkesan menyudutkan bapaknya.

"Beda, Neng. Sekarang kita harus belajar menghilangkan tradisi seperti itu. Sudah bukan zamannya," kilah Pak Wahyu, tetap bersikukuh pada pendirian bahwa hal itu sangat bertentangan dengan norma.

Terdengar helaan napas dari Nur. Ia mengubah posisi duduknya menjadi lebih miring agar bisa melihat wajah Pak Wahyu kemudian Nur berkata, "Pak, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Tradisi suatu daerah tidak akan bisa dilenyapkan dengan mudah, apalagi sudah jadi warisan nenek moyang. Nur rasa, tidak ada salahnya mengikuti aturan yang ada, yang penting niat di hati kitanya diperbaiki saja. Bukan untuk menyembah hal seperti itu."

"Bapak mah cuma kasian sama para gadis yang mau nikah. Mereka harus bermalam di tempat gelap sendirian. Aturan yang gak masuk akal." Pak Wahyu mencoba mencari alasan lagi.

Mendengar seribu alasan, membuat Nur menggeleng pelan. Jika sudah begini, ia menyerahkan semuanya pada Nilam. Bapaknya tidak suka ditentang, ia tidak akan percaya pada mitos-mitos yang beredar. Untuk menghindari keributan dengan anaknya, gegas pria itu keluar dari kamar.

"Teh, memangnya tidak apa-apa kalau kita gak melakukan ritual yang sudah jadi aturan desa?" tanya Nilam tampak ragu.

"Teteh gak tahu. Tapi mudah-mudahan gak apa-apa."

Obrolan mereka terhenti ketika mendengar suara erangan dari luar, seperti suara Pak Wahyu. Nur refleks melompat dari ranjang, ia berlari ke luar kamar untuk melihat apa yang terjadi. Matanya membulat seketika saat melihat Pak Wahyu duduk di lantai tengah memegangi kakinya.

"Bapak! Kenapa, Pak?" teriaknya sembari berlari mendekat, disusul oleh Nilam dari belakang, begitu juga Bu Rosidah yang keluar dari dapur.

Mereka semua terkejut ketika melihat pake menancap di kaki Pak Wahyu. Bukan di telapaknya, tetapi di bagian atas dekat jari-jari. Tentu mereka heran, kenapa bisa ada paku di sana?

Ketiga wanita itu langsung mengangkat tubuh Pak Wahyu lantas mendudukannya di kursi ruang tamu. "Nilam, telepon Bu Dokter desa," ucap Nur.

"Iya Teh." Nilam langsung pergi ke kamar, mencari ponselnya yang tertinggal.

"Kenapa ada pake di sini, Pak? Bapak kesandung?" tanya Nur sembari mengelap darah di bagian jemari dengan tisu yang memang tersedia di atas meja.

"Bapak juga gak tau, Teh. Tadi lagi jalan, tiba-tiba kaki Bapak sakit banget!" Pak Wahyu kembali mengerang, wajahnya sudah penuh oleh keringat.

"Ini peringatan, Pak. Makanya Bapak teh jangan batu. Ibu mah takut kedepannya terjadi apa-apa. Pokoknya, Nilam harus melakukan ritual pengantin sampai benar-benar selesai," tegas Bu Rosidah dengan napas terengah-engah. Ia sudah sangat ketakutan dengan dua kejadian hari ini. Jangan sampai, larangan suaminya malah membawa malapetaka untuk keluarga.

Dini Lisdianti

Akankah Nilam tetap melakukan ritual atau melanggarnya? Terima kasih sudah baca cerita ini. Ikuti terus sampai berakhir, ya. Jangan lupa untuk vote dan komentar

| Like
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur Sitah
seru sereeemm..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status