Share

Rumah Kakek
Rumah Kakek
Author: Honey Lemon

Pemandangan Berbeda

Aku memandang kembali bangunan kokoh yang berdiri di hadapanku, kedua orang tuaku sudah mendahului dengan om Agung, tante Eva dan mamang Danu.

Rasanya cukup ragu untuk kembali memasuki rumah ini, setelah bertahun-tahun aku memiliki kenangan buruk mengenai tempat di mana nenek dan kakekku pernah tinggal.

"Dara, kok malah bengong?” sapa om Agung menghampiriku.

Aku tersenyum kecut dan mengangguk dengan segan. Gina, sepupuku segera menarik tangan untuk mengelilingi rumah yang baru saja direnovasi tersebut.

Adikku, Tasya dan Robi, entah sudah merambah hingga ke mana. Rumah besar berlantai dua ini memang sangat luas dan menjadi lebih mewah dari sebelumnya.

Om Agung menghabiskan uang yang tidak sedikit untuk memugar kembali menjadi bangunan baru dan tidak ada lagi kesan ‘suram’.

“Dua belas tahun aku pernah di sini, kayaknya semua baru terjadi kemarin,” gumamku sembari menebarkan pandangan ke seluruh ruangan, sementara berdiri di tengah, ruang keluarga.

“Emang bener, ya, Kak?” tanya Gina sembari berbisik.

Aku menoleh padanya. “Tentang?”

Gina menelan ludah dan merapatkan tubuhnya hingga memeluk lenganku.

“Kalo rumah ini angker?” ucapnya lirih.

Aku hanya melempar senyum samar. Jika kukatakan tentang berbagai pengalaman yang cukup meninggalkan mimpi buruk, pasti Gina, sepupuku, sudah hengkang kaki dan berteriak pada ibunya, meminta agar cepat pulang.

“Tergantung cara pandang kamu. Mungkin karena dulu aku penakut, makanya sering ngalamin kejadian konyol,” jawabku terkesan diplomatis.

Gina meringis dan tidak begitu saja percaya dengan penyataanku.

Entah kenapa, meski sudah mengalami banyak perubahan, aku masih merasakan ada sesuatu yang tidak menyenangkan dan membuatku cemas sekaligus gelisah saat ini. Terdengar suara dari arah dapur, tante Eva, yang meminta kami melihat kamar di lantai dua.

Gina memohon kami semua untuk mengunjungi setiap ruangan. Dengan sedikit enggan, aku menaiki anak tangga, menyusul Gina yang sudah berlari lebih dulu.

Kakiku menapaki satu persatu, tapi bunyi derak aneh yang tidak seharusnya terdengar dari tangga yang terbuat dari batu dan semen, kini terdengar. Aku menoleh ke bawah, lalu kembali mendonggakkan kepala ke arah atas.

Aku benar-benar tidak ingin ke atas sana!

Bayangan itu masih melekat di kepalaku. Kini keringat dingin mulai muncul dan kakiku semakin berat melangkah.

Oh Tuhan, apa yang aku lakukan sekarang? Benarkah rumah ini tidak lagi menyimpan kengerian di masa lalu dulu?

Sebenarnya, banyak sekali perubahan pada rumah ini yang membuatku takjub. Walaupun sudah sah dimiliki oleh om Agung, aku tetap menyebut rumah ini sebagai Rumah Kakek. Entah mengapa, karena memori yang ada di rumah ini sangatlah kuat. Suka, duka bahkan hal menegangkan pun aku alami juga di sini.

Rumah ini benar-benar luas..

Garasinya bisa muat empat sampai lima mobil, walaupun area ruang tamu diperkecil, namun ruang keluarga kini diperbesar, ada pula dapur bersih dan kotor. Itu masih di lantai satu, belum lagi di lantai dua, ada lima kamar tidur di rumah ini. Ditambah dengan dua kamar kecil yang salah satunya untuk karaoke keluarga dan kamar untuk asisten rumah tangga.

“Hebat euy, Gung. Jadi keren begini rumahnya,” ucap ayahku.

“Siapa dulu dong, Agung. Hahaha,” balas om Agung berbangga diri.

“Walaupun fisik rumah ini sudah berubah, tapi kenangan di sini takkan pernah terlupakan, ya. Banyak kenangan orang tua kita disini,” ibuku menambahkan.

Ayah, Ibu, dan anggota keluargaku lainnya saling merangkul satu sama lain yang membuat suasana semakin haru. Mendengar ucapan ibu, aku jadi teringat saat aku berkunjung beberapa tahun lalu sebelum rumah ini direnovasi.

Masa kecilku banyak dihabiskan di sini sampai setidaknya aku menamatkan sekolah dasar di umur dua belas tahun. Tiap kali aku berkunjung setelah tak tinggal lagi di sini, salah satu temanku pernah berkata,

“Dara, sekarang rumah kamu terkenal angker di komplek ini, loba jurig!”

Jujur, mendengar ucapan itu aku cukup sedih karena bagaimanapun juga, ini rumah mendiang kakek dan nenek yang sangat kusayangi. Aku hanya bisa terdiam tanpa kata sembari memberi senyum kecut saat mendengarnya. Bagaimana bisa rumah ini jadi di kenal dengan rumah hantu?! Gumamku kesal.

Tapi, aku tidak pernah menyampaikan hal itu pada sepupu atau keluarga besarku. Yang tau persis tentang kejadian-kejadian aneh di rumah ini hanyalah keluarga intiku saja. Karena, kami yang terakhir tinggal di rumah ini dengan rentan waktu yang cukup lama. Sebelum menjadi moderen seperti sekarang, sebenarnya bangunan dan model rumah ini tidaklah buruk atau menyeramkan. Hanya saja semua kejadian aneh muncul setelah sepeninggal kakekku.

Pamanku juga sempat tinggal sebentar bersama kami di rumah ini, namun karena kesibukanya kuliah, terkadang ia tak pulang ke rumah, ia adalah paman yang biasa ku panggil mang Danu.

Apakah dia tau tentang sesuatu dirumah ini? Aku tak yakin, karena saat itu ia tak pernah berbicara apa pun mengenai rumah ini.

“Hayu, kita foto-foto dulu! Habis itu, ntar Om traktir bakso si Mas Bejo!” ucap om Agung.

“Asyiiik! Kangen pisan euy sama bakso Mas Bejo! Kira-kira, dia masih inget sama aku nggak, ya?”

“Pasti inget atuh, kan masa kecil kamu teh di sini, Dara.”

Selepas mendokumentasikan beberapa foto, kami keluar rumah dan bertemu para tetangga, mereka masih sama seperti dahulu. Baik, ramah dan peduli semasa aku masih tinggal di sini.

“Wah, Wah, pantesan meni rame di luar. Ternyata, ada rombongan keluarga Pak Sutrisno di sini,” tutur pak Darman yang menyapa kami sesaat akan meninggalkan rumah.

Ia adalah tetangga yang rumahnya tepat bersebelahan dengan rumah kakek. Kedua rumah ini sama-sama di posisi yang menghadap ke jalan besar atau jalan utama. Jika dibayangkan, dua bangunan ini berada di persimpangan jalan yang berbentuk letter L. Kebanyakan orang menyebut rumah kakek dan pak Darman adalah rumah tusuk sate.

Yang konon katanya, posisi ini tidak baik untuk sebuah rumah karena akan mendatangkan hal-hal buruk nantinya. Jadi, selain sempat terkenal angker, nama Sutrisno yaitu nama belakang kakekku sempat menjadi buah bibir di komplek perumahan ini karena mitos tusuk sate tersebut.

“Kumaha damang, Pak? Sehat?” tanyaku pada pak Darman.

“Sehat, kamu gimana? Udah pada gede, euy. Udah lama nggak ketemu, tau-tau udah sebsar ini. Jadi inget waktu kalian masih kecil-kecil,” balasnya dengan tertawa kecil.

“Iya, Pak. Aku juga nggak nyangka bisa liat rumah ini lagi dengan pemandangan yang udah jauh berbeda dari yang dulu.”

“sekarang, suara-suara aneh itu kayaknya udah jarang terdengar lagi, Neng. Nggak tau, ya takutnya bapak salah, soalnya bapak juga jarang di rumah, sih,” cerita pak Darmak Darman.

Perubahan rumah ini tak hanya membuat keluarga kami saja yang bahagia, para tetangga pun merasakan hal yang sama. Kini, rumah ini sudah siap ditempati kembali.

“Gina, aku rasa rumah ini sudah nggak ada hawa negatif lagi. Aku nggak tau tapi hatiku berkata seperti itu.”

“Baguslah kalau gitu, Kak. Tapi, kalau Kakak dikasih kesempatan untuk tinggal di sini lagi, apa Kakak mau?” tanya Gina padaku.

“Hmm …. Kayaknya sih, nggak mau .”

“Loh, kok gitu, Kak?”

“Nggak apa-apa, hanya saja walaupun secara fisik sudah berubah, namun kejadian-kejadian itu masih terbayang-bayang di pikiran dan takut mendatangkan sugesti buruk padaku, dan aku nggak mau itu terjadi.”

Entah aku yang berlebihan atau memang begitu adanya. Memang benar, kalau kenangan di rumah ini sangat menyeramkan sampai menimbulkan trauma di usiaku yang sekarang sudah beranjak dewasa .

“Memangnya, semenyeramkan itukah untuk Kak Dara sampai kaka tidak mau lagi tinggal di sini?” tanya Gina.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status