Senja hari.
“Kapan dia dateng?” tanya Ralph yang mengendap-endap di balik pohon.
“Bentar lagi.” Jawabku.
Aku dan Ralph mengintip ke balik pohon. Rumah Zaydan, rumah yang minimalis berdiri di depanku. Posisiku saat ini berada di sebuah pepohonan yang di depannya adalah sebuah jalan mobil. Tepat di seberang jalannya adalah rumah Zaydan yang membelakangi yang dilapisi pagar batu yang memanjang di seluruh jalan.
Tak lama, ada sebuah motor mendekat. Motor kemudian berhenti di dekat motor Ralph yang diparkir di dekat pohon kami berdiri. Seorang penumpang pria dengan jaket army kemudian turun dari motor itu.
“Makasih, pak.” Ujar pria itu. Ternyata itu adalah Dave yang kemudian memberikan helm Gojek kepada supir motor itu.
“Hey, gais.” Sapa Dave dengan ramah. “Ngapain kalian ngendap-ngendap di balik pohon?”
“Dev, akhirnya lu dateng juga.” Sapaku sembari mendekatinya.
Sebetulnya aku tidak mengundang Dave untuk datang. Aku hanya menjaprinya saat aku pulang di rumah. Aku mengatakan padanya bahwa aku akan melakukan keisengan di rumah Zaydan. Mengejutkannya adalah, Dave mengenal Zaydan.
Sewaktu itu, Dave pernah diajak makan bersama dengan Karlina, tetapi malah ketahuan oleh Farid dan Zaydan, serta kawan satu lagi yang ia tidak ingat siapa. Zaydan menjambak kerah Dave dan menekannya ke tembok. Saat itu juga Zaydan mengintimidasinya.
Kejadian itu membuatnya sedikit dendam sepertinya. Karena itu, ketika aku mengatakan bahwa aku dan Ralph akan melakukan keisengan di rumahnya, ia menawarkan diri untuk ikut.
“Kalian ngapain sembunyi di balik pohon, coba? Rumah Zaydan kan ketutup sama tembok batu.” Katanya heran dengan nada sedikit tergelitik.
Ralph melangkah menjauh dari pohon. “Gapapa, lah. Sedikt ekting kan seru, ya.” Ia sedikit tersenyum geli.
Aku melihat Dave melingkarkan bola matanya dan menggeleng.
“Ya udah, yuk. Mau langsung aja?” tanyaku. “Udah mau maghrib, soalnya.”
“Ya boleh.” Jawab Ralph. “Ini gue bawa mentega, tinta spidol merah, sama tai kucing gua.” Ia mengeluarkan sebuah kresek hitam dari ranselnya yang baunya luar biasa semerbak tidak karuan.
Mendengarnya aku langsung ingin muntah. Aku melihat ekspresi Dave yang juga jijik mendengarnya.
“Serius itu tai kucing?” tanya Dave.
Aaaahh!!! Keluh kesah aku dan Dave dengan rasa jijik. Gini amat aku punya teman, ya ampun. Aku harap kalian tidak punya yang semenjijikan ini.
“Ya udah, ayo, biar gak kelamaan.” Ajak Ralph.
Ralph kemudian memanjat tembok batu itu, disusul oleh kami berdua. Bagian atas tembok itu tidak memiliki ranjau seperti kawat berduri atau pecahan kaca yang ditancap, sehingga kami bisa dengan mudah memanjatnya.
Kami tiba di halaman belakang rumah Zaydan. Aku melihat di sekeliling banyak sekali rumput yang liar tumbuh dengan lebat di antara tanaman, dan beberapa pot bunga yang hancur berserakan di tanah.
Ralph menatap sekeliling dengan hati-hati, memastikan bahwa kami tidak terlihat oleh siapa pun. "Itu kamarnya Zaydan," bisiknya perlahan.
Ralph menarik keluar sebuah tusukan kecil dari saku celananya, kemudian mengarahkannya ke lubang kunci pintu. Ia memutar dan mendorong tusukan tersebut ke dalam lubang kunci, mencoba untuk menggerakkannya dengan hati-hati.
“Ta da...,” ujarnya memuji diri sendiri.
Kami bertiga menatap ke dalam kamar dengan hati-hati, memastikan bahwa tidak ada yang mendengar atau melihat kami. Rasanya seperti kami telah berhasil menyelinap tanpa terdeteksi.
Di dalam, aku bisa melihat barang-barang berserakan di sekitar ruangan, dengan pakaian yang tergeletak di lantai, buku-buku bertumpuk di meja belajar, dan mainan yang tercecer di sudut ruangan.
Ada aroma yang tidak sedap melayang di udara. Mungkin berasal dari tumpukan pakaian kotor yang berserakan di sudut kamar. Langit-langit kamar nampaknya terlihat kusam, dengan beberapa noda di beberapa tempat.
“Hadeh, gak perlu dikotorin kamar ini udah kotor.” Aku berkata sambil mengeluh
Di saat Ralph dan Dave sedang sibuk mengoleskan saos tomat di kasur Zaydan, aku mengalihkan perhatianku pada toilet di kamar Zaydan. Aku mendengar seperti ada yang muntah di dalam kamar mandi. Perlahan aku mengendap-endap melebarkan pintu kamar mandi yang setengah terbuka. Aku melihat ada seseorang yang sedang muntah di kloset—membelakangiku.
“Halo?” tanyaku.
Pria itu kemudian berbalik. Aku terkejut setengah mati melihat wajahnya yang pucat dan matanya yang tidak berpupil. Hantu?
“Hentikan kelinci putih itu!” teriak hantu pria itu hingga menjatuhkan sisa-sisa muntahan menjijikan di mulutnya.
Aku terkejut hingga terjatuh ke belakang, menyenggol keranjang cucian di dekatku hingga menumpahkan pakaian-pakaian kotor. Aku merasa ada sesuatu yang kasar di tanganku. Ketika aku menoleh, ternyata lenganku menindih sebuah flashdisk yang terjatuh dari salah satu pakaian kotor itu.
Hantu pria itu menunjuk ke arah flashdisk itu. “Kelinci putih itu! Dia akan membunuh kita semua!” Suaranya sangat menyeringai.
Aku langsung mengambil flashdisk itu. Namun, wajah hantu itu sudah dekat di hadapanku. Ia kemudian muntah dengan begitu banyak cairan hingga membanjiri tubuhku. Aku berteriak histeris. “Aaah! Hentikan!”
Tiba-tiba Ralph menepuk kedua pundakku. “Nape lu, Gas?”
Aku membuka mataku dan sosok itu sudah hilang. Tubuhku juga ternyata bersih tidak ada muntahan sedikit pun. Tapi, aku masih memegang flashdisk itu di tangan kiriku.
Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri sebaik mungkin sebelum menjawab. "Aku... aku melihat sesuatu di kamar mandi. Seorang pria... tapi dia... dia seperti hantu. Dia... dia berbicara tentang kelinci putih dan..." Kata-kataku terputus saat aku teringat kembali pada wajah mengerikan pria itu dan rasa muntah yang menyelubungi tubuhku.
Ralph menarik lenganku untuk berdiri. "Kelinci putih?"
Aku mengangguk, memberikan flashdisk yang kupegang. Aku juga mengatakan bahwa sosok itu menunjuk ke arah flashdisk ini. Saat itu pula, terbesit sebuah pertanyaan. Apa yang ada di dalamnya? Dan apa yang dimaksud dengan kelinci putih itu olehnya?
“Mantap, Gas. Kayaknya kita dapet sebuah bukti kalo mungkin Zaydan pernah ngelakuin hal buruk.” Ralph mengambil flashdisk yang kuberikan padanya.
“Emang menurutmu hantu yang diliat Agas itu korban pembunuhan Zaydan?” Dave mengernyit.
Aku bangkit dari lantai.
“Gak tau, tapi mungkin ini bisa nonton isi flashdisk ini,” usul Ralph. “Kita ke rumah lo, ya?”
“Ya, terserah. Yang penting aku mau cepet pergi dari sini,” gerutu Dave sembari menjepit hidungnya. “Kamar ini jadi bau tai, tau gak?”
Sungguh ide menjijikan yang diberikan oleh Ralph. Ia hanya tertawa menyeringai mendengar komentar itu. “Tapi ntar Dave naik apa kalo gue nebeng lo, Ralph?” aku bertanya di saat tepat terbesit pertanyaan itu.
“Kita ngereptil aja,” usul Ralph.
Nge-reptil? Salah satu ide bodoh kalau kepepet. Ya sudah, daripada meninggalkan salah satu dari kami. Aku memutar bola mataku.
***
“Emang bagus, ya?” tanya Dave sambil melirik poster besar di dekat pintu masuk teater. Gambar seorang wanita berwajah pucat dengan mata merah menatap tajam ke arah mereka, dikelilingi bayangan gelap. Karlina hanya tersenyum kecil sambil meraih lengan Dave, menariknya menuju pintu teater. “Moga aja. Lagian, kamu kan selalu bilang kalau film horor Hollywood lebih ‘berkelas’, bukan?” “Jelas,” jawab Dave sambil mendesah. Saat mereka melewati antrean yang panjang di pintu teater sebelah, Dave melirik tulisan besar di layar digital: “Santet dari Kegelapan”. Dia langsung mengernyit. “Hadeh. Heran, padahal horor Indonesia kalo gak santet, religi, ya thread viral. Tapi kok, bisa sampe serame itu. Apa bagusnya, sih,” katanya setengah berbisik, tapi cukup keras hingga seorang pria di antrean melirik ke arahnya dengan dahi berkerut. Karlina mencubit lengannya. “Dave! Jangan ngomong gitu. Ada orang yang suka.” “Ouch! Aku cuma jujur,” jawabnya santai. “Kalau mau bikin film horor, ya bikin ceri
Tiga bulan berlalu.Akhirnya kehidupanku berjalan dengan sangat mulus.Kabar baiknya adalah, aku akan mengikuti program Student Exchange semester depan, dan saat ini aku sedang mengikuti karantina fasih Bahasa Inggris di Pare.Kali ini aku tidak akan menceritakan kisah mengenai diriku. Sejatinya, tak ada yang menarik saat ini.Namun, aku akan menceritakan kejadian mengerikan yang menimpa sahabatku.***Januari 2018.Seorang pria dengan setelan kemeja formal ditambah dasi terlihat duduk di sofa. Ia mengeluarkan sebuah koper dan mengambil sebuah map berisikan lembaran kertas yang dijepit oleh stapler. Ia meletakannya di sebuah meja, di hadapan tiga pemuda.“David Malcolm,” ujar pria itu.“Ya, pak,” jawab seorang anak berambut emas yang duduk di tengah.“Oke, tolong tandatangan di sini,” ia menunjukan kolom yang harus ditandatangani, “dan di sini.”Pemuda di samping David menepuk punggung pemuda itu sembari ia menandatangani. “Mantap, Dave.”“Alhamdulillah,” seru gadis di samping kanan D
Suatu hari, aku dan Ralph berangkat menuju rumah nenek Ralph di Samarinda. Perjalanan di bus terasa menyenangkan dengan canda dan tawa yang terus berlanjut di sepanjang jalan.“Makasih ya, Gas, lo mau bantu gue urus nenek. Repot soalnya om lagi pergi. Kakek udah meninggal. Mana nenek sekarang pake kursi roda lagi.”“Gapapa, Ralph. Santai aja.”Ketika sampai di rumah neneknya, Ralph langsung membuka pintu. Saat itu omnya belum lama sudah pergi, jadi ia bisa langsung memasukinya.Nenek Ralph di kursi roda menyambut kami dengan senyuman ramah dan langsung mengajak kami menikmati teh hangat di beranda.Tiba-tiba, Ralph menarik tubuhku.“Hey!” Aku terkejut.“Ssst, Gas. Gue mau kasih tau lo, kalo nenek gue indigo juga kayak elo,” bisiknya di telingaku.“O-okay.” Aku tidak bisa berkata-kata lagi.Ketika Ralph pamit untuk mandi, ia menatapku sejenak dengan tatapan penuh harap."Gas, gue titip nenek sebentar, ya. Lo jagain," katanya dengan nada serius, tapi penuh kepercayaan. Aku mengangguk, m
Ralph dengan berani maju ke depan, berdiri di antara para hantu dan tubuh Agas serta ibunya. Dengan kedua tangan terkepal, dia menatap makhluk-makhluk itu dengan penuh tekad, meskipun wajahnya tampak sedikit pucat.“Dave, Karlina! Kalian jagain tubuh mereka! Gue bakal coba tahan mereka!” seru Ralph sambil melangkah maju.“Ralph, jangan konyol! Mereka bukan manusia!” Karlina memperingatkan, suaranya gemetar.“Justru karena itu gue yang maju! Gue paling paham soal beginian!” Ralph membalas dengan nada meyakinkan, meski dalam hatinya dia juga tahu ini bukan lelucon.Hantu-hantu itu, yang sempat mundur karena cahaya lentera, kini kembali mendekat dengan lebih ganas. Ralph mengambil sebuah kayu panjang yang ia temukan di sudut ruangan, mengayunkannya ke arah salah satu hantu yang mencoba merangkak menuju tubuh Agas.“Jangan berani-berani sentuh temen gue!” teriak Ralph, memukul kayu itu ke udara, meskipun serangannya hanya menembus tubuh hantu tersebut tanpa efek.Salah satu hantu dengan w
Sementara itu, di dunia nyata, Ralph, Dave, dan Karlina masih berkumpul di ruang bawah tanah, menunggu diriku dan ibuku kembali ke tubuh kami. Kedua tubuh kami tampak tidak bergerak, seperti sedang tertidur lelap, namun wajah mereka sedikit berkerut, seolah sedang berjuang keras.Dave mondar-mandir dengan gelisah. “Kenapa lama banget, sih? Mereka baik-baik aja, kan?” tanyanya sambil terus melirik tubuh Agas.Karlina, meski juga khawatir, mencoba menenangkan Dave. “Santai, Dave. Kita harus percaya sama Agas. Dia pasti bisa bawa ibunya kembali.”Ralph duduk di dekat tubuh Agas, dengan mata berbinar-binar. “Kalau lo jadi mereka, lo juga pasti lama, Dave. Lo nggak tahu, kan, dunia arwah kayak apa? Mungkin ada naga, ada kastil terbang, atau... mungkin ada hantu yang keren-keren!” katanya dengan nada sedikit terlalu semangat.Karlina memelototi Ralph. “Lo bisa nggak serius, Ralph? Ini nyawa temen kita yang lagi dipertaruhkan!”Namun, sebelum ada yang bisa membalas, suasana di ruang bawah ta
"Anak nakal. Kamu jangan mengambil barang orang, dong," kata Asmodiel dengan nada nyinyir.Aku bangkit. Hatiku benar-benar gusar. Takkan kubiarkan dia sembarangan meremehkanku."Aku mengakui kamu cukup hebat, ya." Dia berjalan mondar-mandir, sembari mendekatiku. "Kekuatanku cukup menarik. Bahkan membuat Umbrosus tertarik padamu."Aku terengah-engah. "Siapa itu?""Kamu gak tahu? Manusia bayangan."Oooh si manusia bayangan. Baik aku mengetahui nama aslinya sekarang."Dia gemetar seperti anak kecil saat merasakan kekuatanku. Setiap jiwa, setiap energi yang mereka koleksi, aku bisa merasakannya... mengendalikannya."Aku mengerutkan dahi, menahan amarah. "Jangan berharap aku jadi bagian dari koleksimu."Senyum Asmodiel melebar. "Kamu masih belum paham, ya, Agas? Aku tidak hanya ingin sekadar menguasaimu. Aku ingin kekuatanmu... jiwamu. Dengan itu, aku akan menjadi lebih dari sekadar penguasa di sini. Aku akan menembus batas yang tak pernah ada iblis lain bisa bayangkan."Ia mendekat lebih