Share

Bab 8

Tidak seperti kemarin, pagi ini langit cerah luar biasa. Suara kicau burung bersahutan mengisi keindahan yang selalu ada di bayanganku, yang kini jadi nyata. Aku baru saja selesai sarapan dan mandi, sebelum ponselku berdering, Ibu memanggil.

“Halo, Ibu. Ada apa Bu?” tanyaku. Aku bisa merasakan di ujung telepon, air muka Ibu sumringah mendengar suaraku, seperti biasanya.

“Halo, Nak Rama. Kabarmu baik? Kapan pulang ke rumah?” 

“Rama baik, Ibu baik? Iya Bu, Rama pulang ke rumah akhir minggu ini ya setelah semua barang dibereskan.”

“Ibu baik. Oh begitu, yasudah kalau begitu. Kalau butuh bantuan Mas Yanto, bilang ke Ibu ya, supaya Ibu bisa suruh Mas Yanto ke sana.”

Mas Yanto adalah salah satu tetangga yang tinggalnya hanya beberapa rumah dari kami. Ia seorang pria bertubuh kurus yang biasanya membantu memperbaiki AC dengan kakaknya. Namun ia bisa dipanggil sewaktu-waktu jika sedang tidak ada kerjaan untuk membantu Ibu mengantarkan kue-kue buatannya ke toserba atau mengganti bohlam yang rusak.

“Iya Bu, nanti kalau Rama butuh bantuan, dua hari sebelumnya Rama kabari ya.”

“Baiklah kalau begitu, hari ini ada rencana apa, Nak?”

“Hari ini aku mau keliling Jakarta dulu Bu, sebelum pergi. Jadi seminggu terakhir aku bisa di rumah saja sama Ibu, Rania, dan Salsa,” kataku sumringah.

Ibu menangkap senyumku dan aku yakin ikut tersenyum di ujung telepon. “Syukulah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya Nak.”

“Iya Bu, terima kasih. Ibu juga baik-baik di sana ya,” kataku, sambil menutup sambungan telepon kami.

Ibu itu salah satu malaikat tanpa sayap yang berjalan di Bumi sebagai seorang manusia. Ia tidak kenal lelah jika sudah menyangkut anak-anak dan keluarganya. Beberapa kali pernah jatuh sakit karena kelelahan, namun untungnya tidak pernah parah. Aku selalu mengingatkan untuk makan dengan benar dan istirahat yang cukup, karena semua kebutuhan tambahan Rania dan Salsa sudah bisa kutanggung. Tapi ya mungkin yang namanya Ibu, pasti ingin memberikan yang terbaik dan lebih untuk anak-anaknya. Kadang sisa uang keperluan sehari-hari Ibu tabung untuk dibelikan pakaian baru bagi Rania dan Salsa yang Ibu perhatikan jarang sekali membeli baju baru.

Rania dan Salsa juga mengikuti jejakku. Mereka bekerja paruh waktu di dua tempat berbeda. Salsa menjadi pelayan di sebuah restoran di sebuah mall setiap hari Sabtu dan Minggu, sedangkan Rania mengajar les privat untuk anak-anak sekolah di Bandung. Mereka berdua juga mendapat beasiswa prestasi dari sekolah dan kampusnya. Aku bahagia juga karena mereka bisa menjadi anak-anak yang dibanggakan Ayah, Ibu, dan kakaknya.

Tujuanku hari ini adalah Kota Tua. Aku berjalan ke Stasiun Universitas Indonesia untuk menaiki kereta arah Mangga Besar, begitu rutenya yang kulihat di Maps. Masih pukul 8 pagi dan stasiun UI cukup ramai. Tidak berdesak-desakkan, tapi semua orang kelihatan saling mendahului karena pasti di antara mereka ada mahasiswa yang terlambat masuk kelas. Semua hal ini mengingatkanku lagi pada masa-masa kuliah yang lalu. Syukur di hati terucap kembali pada Tuhan untuk kesempatan berharga yang Ia berikan.

Kereta arah Mangga Besar disebutkan oleh announcer akan segera tiba di stasiun UI. Aku bersiap-siap dan mengambil gerbong di tengah. Hempasan angin terasa di wajahku ketika kereta melaju ke arah utara dan berhenti di depanku. Pintu terbuka, beberapa orang turun dan beberapa orang naik. Tempat duduk terisi penuh, aku dan beberapa orang berdiri berpegangan pada hand-strap yang berjajar menggantung di langit-langit kereta. Kereta melaju dengan kecepatan seperti biasanya. Dan seperti biasanya juga, pandanganku sepenuhnya teralihkan ke pemandangan kota Jakarta di luar, yang dalam beberapa hari ini akan kutinggalkan.

Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan sebelum berangkat ke Amerika, pikirku. Semua pemandangan dan memorinya akan kuserap penuh untuk kujadikan pegangan ketika rindu Jakarta.

Aku ingat sekali waktu pertama kali mendapatkan jaket kuning dari UI. Waktu itu aku berencana pulang ke rumah naik kereta, pulang hanya untuk memperlihatkan jaket ini ke Ibu. Bersama beberapa orang temanku, kami rasanya sangat bangga ketika membawa jaket kuning di genggaman kami. Hampir semua penumpang di kereta melihat dan kami tertawa kecil. Sok keren, kalau kata Rania, bercanda. Ibu bangga sekali melihatnya. Ia menangis dan memelukku erat. Lalu Ibu berkata bahwa kalau saja Ayah masih ada, pasti Ayah akan bangga luar biasa denganku.

Lamunanku dibuyarkan oleh pengumuman dari speaker kereta bahwa stasiun dimana aku akan turun sudah dekat. Aku bersiap-siap dan mengantre di depan pintu untuk keluar. Ada beberapa orang juga yang akan turun. Seorang ibu dan anak perempuan kecil yang membawa boneka beruang di tangannya. Ia menatap ke arahku sambil tersenyum, memperlihatkan bonekanya. Aku balas senyumnya dan melambaikan tangan ketika kami berpisah di luar.

Ternyata stasiun ini ramai. Kami berjalan agak berdesakkan. Beberapa orang membawa keranjang besar-besar yang entah apa isinya. Aku hendak mendahului sepasang muda-mudi yang berjalan agak lambat sebelum kulihat sesuatu seukuran kartu jatuh dua langkah di depanku. Aku melihat wanita yang sepertinya tidak sengaja menjatuhkannya, ia tidak sadar karena terus jalan. Aku mengambil kartu tersebut, kartu commuter line rupanya.

“Mba, Mba, permisi.” Suaraku kalah dengan bunyi riuh rendah di stasiun.

Aku berusaha menjangkaunya dengan tanganku namun tidak berhasil. Wanita itu mengenakan rok dan kemeja biru dongker. Jalannya cepat juga, pikirku.

Kemudian aku mengikutinya sampai di dekat jalan keluar, dimana orang harus mendekatkan kartu ke sensor barrier gate agar dapat keluar dari stasiun. Aku akan menunggu wanita tersebut menyadari bahwa kartunya hilang, dan benar saja, si wanita berhenti ketika merogoh kantung kemejanya.

Aku langsung menghampiri dan menepuk pundaknya. “Mba, kartunya jatuh.”

Aku kaget bukan main ketika yang kulihat di depanku adalah Maria. Ia pun sama kagetnya denganku. Tapi ada sesuatu yang membuatku tambah bertanya-tanya. Air muka Maria tidak seperti yang kulihat tiga hari lalu. Wajah wanita di depanku ini terlihat sembab dan hidungnya merah seperti habis menangis. Aku mengurungkan niat untuk menanyakannya langsung, maka untuk memecahkan tanyaku, aku tersenyum menyapanya. “Loh, Maria?”

“Rama? Wah kok kita bisa ketemu di sini ya?” Maria tersenyum.

“Iya, kebetulan banget,” kataku.

Kebetulan? Tapi Ayah pernah bilang bahwa tidak ada yang kebetulan. Semuanya saling terkait dan bahkan untuk kejadian-kejadian besar nan penting, semuanya telah direncanakan. Yang ada hanyalah manusia masuk ke dalam rencana itu.

Di sela-sela lamunan sepersekian detikku, mataku terbuka dan aku ingat meminta tanda dari Tuhan yang tidak terelakkan. Inikah tandanya? Sepertinya iya. Kita lihat saja.

“Ohya, ini kartumu tadi jatuh.” Aku memberikan kartu bernuansa merah muda yang kelihatannya memang milik Maria.

Maria tersenyum dan mengambilnya. “Makasih ya, aku tadi bingung kok engga ada di saku kemejaku.” Ia tertawa kecil.

“Kembali kasih.” Aku tersenyum padanya. “Maria mau kemana? Aneh juga kita bisa engga sengaja – (tanpa mempercayai ketidaksengajaan) – ketemu di sini.”

“Aku mau ke Kota Tua. Hahaha iya aneh ya kita bisa engga sengaja ketemu lagi.”

Aku sumringah. “Kota Tua? Aku juga mau ke sana. Wah, kamu ada acara kampus di sana?”

Inikah tanda yang lainnya?

“Oh engga kok, aku cuma mau jalan-jalan aja.” Wajahnya agak lesu. Entah kenapa aku bisa merasakan ada sesuatu yang sebelumnya mengganggu pikirannya dan ia berencana menghibur hati dengan jalan-jalan.

“Oh, sama dong. Kalau begitu, mau bareng aja?” tanyaku spontan. Aku baru sadar bahwa mungkin ia butuh waktu sendiri dan mempertanyakan pertanyaan yang baru saja kutanyakan hanya akan membuat Maria tidak enak hati menolaknya. Kemudian langsung kulanjutkan. “Hm, tapi kalau Maria sepertinya butuh waktu untuk sendiri, atau engga berkenan, engga masalah kok, aku bisa pergi sendiri,” kataku sambil tersenyum.

Maria memiringkan kepalanya dan senyum merekah di sudut bibirnya. Ada setitik haru terlihat di matanya.

“Aku mau kok,” katanya malu-malu.

Aku membalas senyumnya. “Yuk…”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status