Janu mengira perselingkuhan adalah rahasia terbesarnya. Tapi Nora, istrinya, menyimpan sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Tak ada teriakan. Tak ada amarah. Hanya secangkir teh dan keputusan yang mengubah segalanya. Karena terkadang, luka tak dibalas dengan kemarahan melainkan dengan keheningan yang mematikan.
View More“Janu, apa kamu yakin istrimu tidak curiga?” Chalia menggumam. Suaranya berat dan malas.
Chalia berbaring setengah telanjang di atas sofa sempit, selimut medis lusuh menutupi sebagian tubuhnya. Rambutnya berantakan, pipinya masih merah, tapi matanya tajam menatap pria di depannya yang sedang merapikan sabuk celana. Janu tidak langsung menjawab. Dia sedang memasang kembali jam tangan yang tadi dilepaskan buru-buru. Seolah jam itu adalah topengnya, penanda bahwa dia kembali menjadi dokter yang disegani. “Curiga soal apa?” tanyanya, sengaja mengulur waktu. Chalia duduk perlahan, menarik napas panjang sambil terus menatapnya. “Bau tubuhmu. Bau… aku. Kamu tahu maksudku. Apa dia tidak pernah mencurigai apa-apa?” Janu hanya tertawa pelan. Dingin. Nyaris mengejek. “Nora itu bodoh,” katanya, menyeka leher dengan tisu basah sekenanya. “Dia terlalu sibuk menjadi istri yang baik sampai lupa memperhatikan hal-hal seperti itu. Dia bahkan tidak tahu aku benci teh melati. Tapi tetap saja menyeduhkannya tiap pagi. Kamu tahu? Aku lebih suka Earl Grey bikinanmu." Chalia mengangkat alis. “Benarkah? Tapi aku suka teh melati.” “Ya, karena kamu bukan Nora,” katanya cepat, dengan senyum miring yang tak sampai ke mata. Diam. Hanya suara jam dinding dan dengung AC tua yang mengisi ruang sempit itu. Chalia menatapnya lebih lama dari biasanya, ada sesuatu yang menggumpal di mata lelaki itu. Antara ragu dan kecewa atau mungkin rasa lapar yang belum tuntas. “Setidaknya mandi dulu sebelum pulang,” bisiknya. Suaranya melembut tapi mengandung perintah. Janu mendekat, menaruh ciuman singkat di kening Chalia. “Tidak perlu. Dia tidak akan mencium apa pun. Seperti biasa.” Kemudian Janu pergi. Meninggalkan ruangan dengan bau tubuh Chalia masih melekat di kulitnya, dan sebuah kebenaran yang perlahan—sangat perlahan—menyusup ke dalam secangkir teh di rumah mereka. Janu menyandarkan punggungnya ke jok mobil, menyalakan mesin, dan menatap sejenak bayangan dirinya di kaca spion. Rambut sedikit acak, kemeja sudah dikenakan ulang dengan rapi, tapi masih menyisakan bekas kerutan dari sofa klinik. Dia meraih botol parfum kecil dari laci dashboard dan menyemprotkannya ke leher, dua kali. Gerakannya otomatis. Seperti sudah menjadi rutinitas. Dia menghela napas sebelum menarik tuas transmisi. Mobil melaju perlahan meninggalkan area parkir klinik. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Di sepanjang jalan, lampu-lampu kota berkedip tenang. Tapi di kepala Janu, ada kegaduhan kecil yang tidak bisa diabaikan. Chalia manis malam ini. Lebih hangat dari biasanya. Atau mungkin, aku saja yang sedang butuh pelarian lebih dalam. Dia menggerakkan jari-jari di setir, menggigit bibir sebentar, lalu tersenyum kecil. Pernikahan itu... Sudah lama kehilangan rasanya. Dulu, dia dan Nora bisa tertawa hanya karena hal sepele. Membakar roti, lupa beli sabun, bahkan menonton acara TV yang sama tiap malam. Tapi sekarang? Setiap obrolan terasa seperti formalitas. Setiap sentuhan seperti kewajiban. Nora masih menyayanginya—itu jelas—tapi kehangatan itu terasa seperti api kecil yang ditutup kaca. Redup. Tak cukup membakar. Dan aku masih ingin merasa hidup. Masih ingin merasa diinginkan. Itu sebabnya ada Chalia. Dan sebelum Chalia, ada dua nama lain yang bahkan sudah dia lupakan. Mereka hadir seperti tempat berteduh sementara. Hangat, cepat, tak merepotkan. Tidak ada beban. Tidak ada penghakiman. Nora tidak pernah tahu. Atau pura-pura tidak tahu. Entahlah. Tapi selama ini, dia tidak pernah menanyai apa-apa. Tidak pernah memeriksa, tidak pernah mencurigai. Seperti istri sempurna dalam drama yang terlalu sopan untuk bersuara. Dan justru di situlah letak kelemahannya. Nora terlalu percaya. Terlalu tenang. Mobil berbelok masuk ke jalan kecil menuju rumah. Janu menurunkan kecepatan. Di kejauhan, lampu beranda sudah menyala. Ada secuil rasa bersalah yang menyelinap di ujung dada. Tapi hanya secuil. Tidak cukup besar untuk menghentikannya. Tidak cukup kuat untuk membuatnya berpaling. Dia mematikan mesin, meraih tas, dan menghela napas sekali lagi sebelum keluar dari mobil. Semuanya akan kembali seperti biasa. Nora akan menyambutku dengan senyum. Akan menyiapkan teh yang tidak kusukai. Dan aku akan terus memainkan peran suami yang lelah. Janu tersenyum tipis, lalu melangkah ke pintu rumah, tak sadar bahwa di balik senyum Nora yang menantinya, sebuah rencana sedang tumbuh dalam diam. * Langit sudah menggelap saat suara pintu depan berderit pelan. Nora menengok dari dapur, senyumnya mengembang seperti biasa. Dia bahkan sudah menyiapkan teh melati, seperti yang selalu dibuat. Meskipun Janu tak pernah benar-benar meminumnya hingga habis. “Selamat datang,” sapanya lembut. Suaranya hangat seperti matahari pagi. Janu balas tersenyum. Tas kerjanya langsung dijatuhkan ke atas meja ruang tamu, menimbulkan bunyi lembut tapi tergesa. Nora menyambutnya dengan senyum hangat seperti biasa, seolah dunia mereka masih utuh. “Pasien ramai hari ini?” tanyanya sambil melangkah mendekat. Suara lembutnya mencoba mengisi celah yang tak terlihat. “Lumayan,” jawab Janu, sembari mengusap wajahnya dengan satu tangan. Bahunya turun sedikit, lelah atau bosan. Entahlah. “Sudah makan malam?” “Sudah.” Nora tetap tersenyum, mencoba tetap ringan. “Ada pasien lama yang datang lagi?” “Hmm ... ada,” sahutnya. Kali ini sambil meregangkan leher, menghindari tatapan Nora. Dia mulai membuka kancing kemeja satu per satu dengan gerakan malas, seperti rutinitas yang dijalani setengah hati. “Kamu sepertinya lelah sekali hari ini.” Janu mengangguk pelan. “Ya, capek.” Nada suaranya datar, hampir seperti gumaman. Kemudian dia berjalan melewati Nora begitu saja, tak menyentuh, tak menoleh. Kemejanya dibiarkan tergantung di tangan. Kakinya menyeret langkah ke arah kamar, seolah hanya tubuhnya yang hadir malam itu. Nora mematung sejenak. Dia menatap punggung suaminya yang menjauh, lalu menunduk memungut kemeja yang tertinggal. Begitu kemeja itu ada di tangannya, dia mencium aroma samar yang asing. Bukan parfum Janu. Bukan bau rumah sakit. Bukan bau tubuhnya sendiri. Tapi bau perempuan lain. Lagi. Mungkin lotion. Mungkin sisa keringat. Mungkin rambut panjang yang belum sempat dicuci. Apapun itu, baunya cukup untuk membuat Nora mengingat rasa pahit di belakang lidahnya, rasa yang sudah terlalu sering dia telan. Senyumnya tak hilang. Dia tetap berjalan ke keranjang cucian, meletakkan kemeja itu dengan hati-hati. Tapi di kepalanya, roda mulai berputar. Pelan. Teratur. Tak terdengar oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Siapa kali ini? Siapa yang sedang merasa menang? Yang mengira dia mencuri sesuatu dariku?Nora tiba di rumah dengan langkah ringan. Langkah-langkahnya tak tergesa, tak pula berat. Dia membuka pintu rumah, meletakkan tas tangan di tempat biasa, lalu melepas sepatunya dengan tenang. Tak ada gelombang amarah dalam dirinya. Tak ada isak kecewa.Apa yang dia lihat pagi tadi, Janu dan perempuan itu, hanyalah babak lain dari drama yang sudah hapal di luar kepala.Janu memang tak pernah setia. Dan anehnya, itu tak lagi menyakitkan. Karena sejak memutuskan untuk melenyapkan Janu, Nora sudah tahu lelaki itu tak akan pernah benar-benar miliknya. Yang dia incar bukan cintanya. Tapi kuasanya. Ketundukannya. Kelemahannya.Nora berjalan menuju dapur, menuang air ke dalam gelas kristal. Tangannya halus, gerakannya tenang, tapi pikirannya berjalan lebih cepat dari air yang mengalir dari keran.Janu harus mati. Tapi bukan dengan cara yang sama seperti kemarin. Itu terlalu lemah. Terlalu berisiko. Jika dia bisa diselamatkan sekali, bukan tak mungkin dia bisa diselamatkan lagi. Dan kali ini,
Langit begitu cerah siang itu. Matahari bersinar terik, tak ada tanda hujan akan turun. Di dalam kafe, aroma espresso dan vanilla bercampur samar dengan lagu jazz lembut yang mengalun pelan.Nora duduk di pojokan. Di depannya, secangkir teh melati masih mengepul, belum disentuh. Wajahnya tenang, tapi pikirannya riuh. Masih membentang dari ruang kerja ayahnya ke rumah yang sebentar lagi harus dia hadapi lagi bersama Janu.Belum sempat dia menyesap tehnya, pintu kafe terbuka. Angin tipis membawa aroma matahari.“Wah, ternyata kamu di sini juga.” Suara itu familiar.Nora menoleh. Raksa berdiri di dekat meja kasir, menggenggam kantong kertas berisi cup kopi. Rambutnya agak berantakan. Namun, senyumnya seperti biasa, tenang, agak malas, dan berbahaya.“Tempat favorit,” balas Nora dengan senyum kecil. “Kamu juga kelihatan sering ke sini, ya?”Raksa mengangkat alis, lalu memutuskan duduk di kursi seberangnya. “Biasanya cuma beli dan pergi. Tapi hari ini, aku ingin duduk sebentar.”Nora menya
Udara pagi masih segar. Tirai tipis bergoyang pelan diterpa angin lembut dari jendela yang sedikit terbuka. Di atas ranjang, Janu mulai terbangun, perlahan mengangkat tubuhnya yang masih terasa berat. Dia mengedarkan pandangan dan mendapati Nora tengah duduk di tepi ranjang. Masih mengenakan jubah tidur berwarna lembut. Namun, rambutnya sudah disisir rapi ke samping.“Pagi,” ucap Nora pelan, seolah tak ingin mengejutkannya.Janu hanya mengangguk kecil. “Kamu bangun pagi sekali.”“Aku tak bisa tidur terlalu lama.” Dia tersenyum kecil. “Kamu sudah merasa lebih baik?”“Sedikit,” jawab Janu jujur.Nora menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya kembali. Ada ketulusan dalam tatapannya.“Terima kasih untuk semalam,” ujar Nora lembut. “Semalam, aku memikirkan semua yang kamu katakan,” ucapnya dengan suara pelan. “Aku sadar mungkin selama ini aku terlalu keras. Terlalu sibuk dengan luka dan amarahku sendiri.”Janu tak menyela, hanya memandangnya dengan penuh kehati-hatian.Nora melanjutkan, l
Dua minggu setelah keluar dari rumah sakit, Janu kini sudah jauh lebih baik. Tubuhnya mulai pulih sepenuhnya, meskipun bekas trauma keracunan itu masih membekas jelas di pikirannya. Nafasnya tidak lagi sesak. Langkahnya mulai mantap. Dia sudah bisa berjalan keliling rumah tanpa bantuan, bahkan sesekali keluar ke teras untuk menghirup udara pagi.Namun, ada satu hal yang belum berubah. Dia tak pernah menyentuh satu pun makanan atau minuman yang disajikan Nora.Pagi, siang, hingga malam, semua dia pesan sendiri. Makanan dikirim ke rumah oleh layanan katering terpercaya. Dia membeli minuman dan air mineralnya sendiri. Bahkan teh dan kopi dia buat di kamar dengan perlengkapan pribadi. Semua dengan satu prinsip. Jangan beri celah.Anehnya, Nora tak menunjukkan reaksi berlebihan. Tak ada pertengkaran, tak ada air mata. Dia tetap menjalankan peran sebagai istri dengan wajah datar namun tenang. Menyapu, mencuci, menyetrika. Hanya tak pernah menyiapkan makanan atau minuman untuk Janu.Tapi di
Seminggu sudah sejak racun hampir membunuhnya. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi dokter menyatakan Janu bisa menjalani rawat jalan. Dia menunggu di kursi roda, menatap pintu utama rumah sakit. Wajahnya tenang, tapi pikirannya berkecamuk.Dia belum tahu siapa yang meracuni kopinya, tapi beberapa nama terus berputar di kepalanya. Nora. Rindu. Chalia. Dan saat pintu otomatis terbuka, salah satu nama itu menjadi nyata.Nora melangkah masuk dengan senyum hangat dan tangan menggenggam buket bunga kecil. Penampilannya sederhana, wajahnya tampak lelah, tapi segar. Terlalu segar untuk seseorang yang baru saja "kritis".Janu tertegun sesaat. Dia tidak mengira Nora yang akan datang menjemput. Bukan Chalia. Bukan sopir kantor. Bukan siapapun. Tapi istrinya yang penuh teka-teki.“Mas,” ucap Nora lembut, “aku datang menjemputmu pulang.”Janu tidak langsung menjawab. Matanya menyipit, menganalisis bahasa tubuh Nora, mencoba mencari celah di balik senyum itu.“Kenapa kamu?” tanyanya datar.Nora
Cahaya matahari menyusup lembut melalui celah tirai jendela. Monitor detak jantung di samping ranjang menunjukkan angka stabil. Meski tubuhnya masih lemah, otak Janu mulai menyusun rencana. Dia tahu, ini bukan waktu untuk sembarangan percaya.Pintu kamar diketuk pelan sebelum terbuka.“Pagi, Mas,” suara Chalia terdengar hangat seperti biasa, tapi matanya menyimpan kekhawatiran. Dia membawa nampan berisi sarapan dari rumah sakit.“Aku ambilkan bubur ayam dan teh tawar hangat. Katanya Mas Janu belum boleh makanan berminyak.” Dia tersenyum, berusaha tampak santai.Janu menatapnya. Lama. Terlalu lama.Mata itu tak sekadar melihat, tapi seperti membedah isi hati. Tatapan yang dulu membuat Chalia merasa dihargai, kini terasa menginterogasi.Chalia mengernyit. “Kenapa kamu melihatku begitu?”Janu tak langsung menjawab. Pandangannya jatuh pada gelas teh.“Kamu yang buatkan?” tanyanya lirih, tapi tajam.“Dari rumah sakit,” jawab Chalia cepat. “Disiapkan petugas. Aku cuma bawa ke sini.”Janu me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments