Share

Jendral Demian Wood, Pahlawan dari Utara

"Sejak kapan bisnis ini dibuka?" tanya seorang gadis imut kepada Miranda.

"Hampir setahun yang lalu, nona," balas Miranda dengan tenang.

"Wow... Masih muda tapi perkembangan bisnismu begitu pesat, ya..."

"Tidak juga... Lagipula setiap hari pengunjung yang datang sekitar 3-5 orang. Belum termasuk untuk hari libur lainnya."

"Kalau begitu... Bisakah kamu menceritakan-"

"Sayang... Ini bukan waktunya untuk bekerja. Ingat, kita sedang liburan," ujar pemuda di depannya yang diketahui adalah pacarnya.

"Tapi aku penasaran sekali..." Miranda hanya diam seribu bahasa.

"Maaf kalau pertanyaan saya lancang, tapi apakah nona adalah jurnalis?" tanya Miranda berusaha hati-hati.

"Oh! Benar aku adalah jurnalis. Darimana kamu bisa tau?"

Tentu saja... Pacarmu menjelaskan profesimu dengan jelas batin Miranda.

"Anda kerja di perusahaan apa, nona?"

"Daily Week's," seketika Miranda dibuat terkejut.

"Oh! Aku sering membaca koran itu tiap pagi. Itu koran yang sangat populer."

"Iya. Bahkan orang yang jarang baca koran tau itu," tampaknya pemuda itu langsung dicuekin saat kekasihnya asik mengobrol dengan orang lain.

"Hubungan kalian sudah berapa lama?" tanya Miranda mengganti topik.

"Sudah 5 tahun kami menjalani," balas pemuda itu akhirnya.

"Lama sekali.... Seharusnya kalian bisa langsung nikah kalau kalian sudah mengenal satu sama lain."

Mereka berdua langsung terdiam seribu bahasa membuat Miranda menyadari kejanggalan mereka.

"Ah... Maafkan saya. Kalau begitu saya permisi dulu," balasnya dan segera pergi meninggalkan pasangan muda itu.

"Aku pesan camilan lagi, Miranda," tiba-tiba Harry meminta pesanan.

"Aku kira anda sudah pergi, Profesor," Harry hanya tertawa saja.

"Aku ingin menikmati suasana damai ini, Miranda."

Miranda hanya manut-manut saja. Ia segera mengambil camilan untuk Harry.

Sementara itu...

Pasangan tadi saling diam satu sama lain.

"Sayang..." panggil gadis itu dan pemuda di depannya hanya bisa menghela nafas panjang.

"Benar kata perempuan tadi... Seharusnya kita sudah nikah sekarang. Andai saja kalau orang tuamu menerimaku..."

"Jangan seperti itu, Peter. Memang orang tuaku belum menerima hubungan kita, tapi kita harus meyakinkan mereka lagi, oke?"

Tampaknya pemuda bernama Peter sedang tidak ingin membahas itu sekarang dan kekasihnya mengerti itu.

"Bagaimana kalau kita kembali ke penginapan dan mencoba pemandian air panas yang terkenal itu?" ajak gadis itu berusaha mencairkan suasana.

"Lily... Baiklah kalau gitu kita kembali sekarang," mereka berdua memutuskan untuk membayar dan pergi meninggalkan rumah teh tersebut.

Kini tinggallah Laura dan Harry yabg masih bertahan di rumah teh tersebut.

Sementara itu, Derren yang sedang membantu Marco mengurusi perkebunan teh milik Miranda melihat cuaca yang sebentar lagi mendung.

"Uh oh... Sepertinya aku harus cepat-cepat mengangkat jemuran serbet-serbet," Derren segera menuju jemuran dan mengangkat kain-kain yang digunakan sebagai serbet dan memasuki ke area penyimpanan.

Sementara itu, Marco langsung masuk ke dalam dan melihat anaknya masih berada di sana.

"Kau tidak pulang?" Harry melirik ke ayahnya.

"Ayah mengusirku?" balasnya membuat Marco tidak berkutit.

"Sebentar lagi hujan... Kamu pasti tidak membawa payung kan. Pulanglah dan istirahat dengan baik. Besok kamu harus mengajar, kan?"

Ia mendengus kesal. "Padahal aku sedang menikmati tempat ini, malah ayah yang mengusirku."

Sementara itu, Miranda melihat langit yang sudah mulai mendung menandakan bahwa sebentar lagi akan hujan tiba.

"Astaga... Kenapa harus mendung sih? Merusak estetika saja."

"Miranda... Saya harus pamit dulu," ujar Harry pamit kepada pemilik rumah teh tersebut.

"Kenapa cepat sekali?" Harry melirik ke arah Marco yang sedang mengangkat vas bunga dan Miranda langsung tau alasan kepulangan Harry.

"Hati-hati di jalan, profesor," ucap Miranda ketika Harry membuka pintu rumah teh itu.

Dan semakin sepi tempat ini.

Miranda melihat Laura yang sedang fokus mengerjakan naskahnya yang katanya deadline-nya sampai minggu depan.

Kalau tidak salah nama marga Laura adalah Wood, bukan?

Hmm... Miranda merasa bahwa marga itu sangat familiar dengannya, tetapi ia lupa ada dimana.

Tidak lama, pengunjung yang lain akhirnya  datang. Tidak sendirian, ada sekitar 5 orang dengan mengenakan baju zirah.

Dari penampilan luarnya bisa ditebak kalau mereka adalah seorang ksatria yabg sedang bertugas ke suatu tempat.

"Selamat datang di rumah teh kami. Mau pesan apa, tuan-tuan?" ucap Megan kepada para ksatria di sana.

Mereka sedang berdiskusi sesuatu yang cukup lama dan akhirnya pria berambut hitam gelam itu berkata, " Bisakah kalian membuat teh yabg menghangatkan tubuh? Karena sebentar lagi hujan, jadi kami memutuskan untuk menghangatkan diri."

Megan mengangguk kecil. "Apakah semuanya sama?" mereka semuanya mengangguk kompak dan perempuan berusia 40-an segera menuju ke arah Miranda.

"Oke..." balas Miranda paham dan segera membuatkan teh.

"Biar aku yang membawa teh-teh ini. Kamu bisa membantu Marco ke area penyimpanan di sana."

"Baik..." setelah Megan pergi ke ruang penyimpanan untuk membantu Derren dan Marco, Miranda mengangkat pesanan ke arah para ksatria tersebut.

"Ini pesanan anda, tuan-tuan sekalian..."

Salah satu ksatria itu menyahut, " bau ini... Aku pernah tau bau ini..."

"Ini adalah teh putih, tuan. Teh ini diolah dari tanaman Camelia Sinsenis yang dipetik dalam keadaan tertutup oleh rambut putih tanaman ini. Ini sangat khasiat untuk menghangatkan tubuh."

"Selamat mencoba..." mereka semua mencoba teh buatan Miranda dan tidak lama reaksi mereka sangat positif.

"Benar... Tubuhku terasa hangat setelah meminum ini," Miranda tersenyum mendengarnya.

"Ngomong-ngomong..." Miranda membuka suara.

"Kalian datang ke sini pasti menjalani tugas dari kerajaan, bukan?" tebak wanita itu kepada para ksatria di sana.

"Ya, tapi kami sedang menjalani tugas di daerah perbatasan Kerajaan Gerand dan Republik Tonto."

"Tapi, hari ini masa tugas kami sudah selesai dan kami dengar ada rumah teh yang sangat terkenal sejak Ratu Julia berkunjung ke sini."

"Jadi kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke sini," jelasnya.

"Saya sangat senang banyak orang berkunjung ke sini karena sang ratu," ucap Miranda.

Pemuda itu berkata, "Apakah kamu adalah pemilik tempat ini, nona?"

Miranda mengiyakan dan semuanya langsung takjub dengan kabar terbaru mereka. "Perkenalkan, nama saya Miranda Forst, pemilik rumah teh ini."

Pemuda itu segera bangkit dan memperkenalkan dirinya. " Nama saya Demian Wood, saya pemimpin dari pasukan White Dragoon Gerand," kemudian ia mencium tangan Miranda sebagai bentuk penghormatan kepada Miranda.

Tunggu!! Demian Wood?!

Jangan bilang...

"Dia adalah pahlawan dari utara, Demian Wood. Nona pasti tau dia, kan?" ujar salah satu anak buah Demian.

Pantas saja Miranda sangat familiar dengan nama lelaki itu, ternyata ia pernah lihat di koran akhir-akhir ini.

"Saya sangat senang bisa bertemu anda secara langsung, pahlawan dari utara yabg sering dibicarakan oleh banyak orang."

"Tidak perlu memuji terlalu berlebihan, nona Forst. Itu sudah kewajiban saya sebagai ksatria."

"Miranda..." tiba-tiba Laura berjalan menghampiri wanita itu.

"Aku harus pamit dulu... Oh ya soal pem-" perkataan Laura langsung terpotong saat ia melihat pria di sebelahnya.

"Laura?!"

"Kakak?!"

Ah... Miranda hampir saja kelupaan. Ia harusnya bertanya hubungan antara Laura dengan Demian karena marganya sama, tetapi terjawab oleh orangnya langsung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status