Share

Keinginan Menjadi Penulis

"Laura?!"

"Kakak?! kenapa kakak bisa ada di sini?" tanya Laura penasaran dengan kehadiran kakaknya.

Demian menghela nafas panjang. "Aku dan rekan-rekanku sedang dalam perjalanan pulang. Kamu sendiri?"

"Aku sedang menulis novel sambil menikmati teh buatan Miranda."

"Kamu menulis novel lagi?!" seru Demian kepada adiknya. Dilihat dari nada bicaranya, sepertinya Demian tidak menyukai aktivitas Laura.

"Memang kenapa kalau aku menulis buku? Itu bukan suatu kriminal, kakak."

"Tapi..."

"Ah sudahlah... Aku males berdebat sama kakak. Miranda, ini uangnya. Aku pulang dulu."

Laura segera meninggalkan area secepatnya dan Miranda hanya bisa diam sambil menyaksikan perkelahian 'kecil' antar saudara.

"Tampaknya kamu tidak menyukai kegiatan adikmu, Jendral Wood."

Demian hanya menghela nafas pasrah. "Begitulah..."

Miranda memutuskan untuk undur diri dan menjauh kumpulan ksatria yang sedang menikmati teh buatannya.

****************

Megan menghela nafas panjang membuat Miranda yang berada di sebelahnya merasa keheranan.

"Kamu kenapa, Megan?" tanyanya kepada wanita di sebelahnya.

"Entah kenapa... Badanku merasa tidak enak," mendengarnya, Miranda langsung berkata, " Mending kamu pulang saja dulu, Megan. Istirahat lebih cukup dan kamu bisa kembali ke sini sampai kamu benar-benar sehat kembali."

"Apa tidak apa-apa, bos? Siapa yang akan melayani pelanggan?"

"Tenang... Ada aku atau Derren yang mengatasi semuanya. Pulanglah..." Megan dengan berat hati akhirnya memutuskan untuk pulang.

Setelah Megan pulang, Miranda melanjutkan aktivitasnya. Ia sudah tau kalau Megan sedang sakit, tetapi ia tidak menyadarinya sama sekali.

Sebagai bos yang baik, Miranda berusaha meyakinkan karyawannya agar menjaga kesehatan tubuh.

"Kemana Megan?" tanya Derren menyadari kalau wanita paruh baya itu tidak ada di tempat kerjanya.

"Dia pulang dulu karena tidak enak badan," ucap Miranda.

"Kamu harus menjaga kesehatan, Derren. Apalagi kamu masih belajar di akademi."

"Iya, aku tau," balasnya dan Derren langsung bergegas menuju ke kebun kebun belakang rumah teh ini.

Sebuah lonceng terdengar dan pagi ini, Demian datang sendirian tanpa membawa teman-temannya.

"Selamat pagi. Mau pesan apa?"

"Es Teh Lemon saja dan juga kue kering," Miranda mengangguk paham dan segera membuatkan pesanan untuk Demian.

"Ini teh dan camilannya, tuan," ujar Miranda meletakan pesanan di atas meja Demian.

"Terima kasih banyak, Nona Forst."

Miranda mengangguk kecil dan undur diri sejenak.

"Nona Forst..." panggil Demian membuat Miranda menoleh ke arahnya.

"Iya, tuan?"

"Apakah anda sibuk? Saya ingin mengobrol dengan anda sejenak," Miranda menujukkan senyuman terbaiknya.

"Tentu saja, tuan."

Mereka berdua duduk saling berhadapan. Demian menikmati teh buatan Miranda dan wanita itu diam sambil melihat gerak-gerik lelaki di depannya.

"Sudah sejak kapan anda membuka bisnis ini, Nona Forst?" Miranda tampak berpikir sejenak.

"Sekitar 8 bulan yang lalu, tuan."

"8 bulan, ya... Itu termasuk sangat muda."

"Apa... Apa Laura melakukan hal-hal aneh di sini, nona?" tiba-tiba Demian menanyakan kepada Miranda mengenai Laura.

"Tidak, tuan. Dia selalu datang setiap hari ke sini sambil mengerjakan naskah ia buat."

"Benarkah?" Miranda mengangguk yakin.

"Bahkan ia meminta aku sebagai pembaca sampel untuk memberi masukan kepadanya. Ceritanya sangat bagus. Aku sangat menantikan perilisan novel Laura."

Demian terdiam cukup lama sambil mengambil camilan.

Tiba-tiba sebuah pertanyaan yang melintas di pikiran Miranda. "Boleh saya bertanya?"

"Tentu saja boleh. Silahkan."

"Apakah hubungan kalian dekat?" pertanyaan itu membuat Demian terdiam seribu bahasa.

"Seperti yang kamu lihat kemarin," dari jawabannya sudah dipastikan kalau hubungan mereka tidak baik.

"Kami memiliki perbedaan yang cukup jauh. Laura berusia 14 tahun, sementara aku berusia 20 tahun."

"Kami jarang berinteraksi satu sama lain karena aku sibuk belajar di akademi militer, setelah lulus, aku langsung ikut perang."

"Itulah kenapa hubungan kami tidak baik seperti saudara lain," Miranda dengan diam mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Demian.

"Saat aku mendengar ia ingin menjadi penulis buku, aku tidak setuju dengan keputusannya."

"Kenapa?" tanya Miranda penasaran. Itu adalah sebuah hal yang harus dicari tau kenapa Demian tidak mau adiknya menjadi penulis buku.

"Untuk apa menjadi penulis buku? Lagipula dia adalah seorang putri bangsawan. Bahkan kedua orang tua kami juga tidak mengijinkannya."

Ahh... Jadi begitu...

"Tetapi... Kalau misalnya dia benar-benar suka dan niat menulis buku, apa tuan akan mendukungnya?"

Demian terdiam sejenak. "Pernakah anda menyukai hal sesuatu? Kalau misalnya sesuatu yang anda suka dilarang oleh orang lain, apa yang kamu lakukan?"

Demian langsung menjawab, " Mungkin aku akan sedih..."

Demian tersenyum dan menjawab, " Itu juga yang dilakukan oleh Nona Wood. Dia sedih kalau orang terdekatnya tidak mendukung hal-hal yang dilakukannya."

"Menjadi seorang penulis buku atau novel bukan dari status darimana dia seorang. Semua kalangan bisa menjadi penulis."

Demian yang mendengar nasehat secara tidak langsung dari Miranda hanya diam seribu bahasa. Perkataan Miranda memang benar.

Adiknya ingin menjadi penulis yang bisa membagikan ide kreasinya kepada semua orang.

Sebagai kakaknya, ia harus mendukung keinginan Laura.

"Kenapa kakak ada di sini?" tanya Laura kaget melihat Demian berada di rumah teh ini.

"Laura..." panggilnya memandang Laura yang baru saja tiba.

Laura mulai mengalihkan pandangannya ke arah Miranda. " Aku pesan Teh Oolong, ya."

"Baik..." Miranda bangkit berdiri dari kursi dan segera menuju tempatnya untuk membuatkan teh kepada Laura.

Kini mereka berdua saling pandang satu sama lain.

"Aku sudah dengar cerita dari pemiliki tempat ini..." tiba-tiba Demian membuka suara.

"Setelah nona muda itu menjelaskan betapa kamu menyukai bidang itu... Aku tidak bisa berbuat apa-apa."

"Maksudnya?" Laura menatap ke arah kakaknya dan pertama kalinya Laura menatap wajah kakaknya secara langsung.

Demian tersenyum hangat. " Aku mendukung keputusanmu, Laura."

"Tetapi..." kemudian dia menunduk kepalanya merasa ada sesuatu hal yang masih janggal di pikirannya.

Tentang keputusan kedua orang tuanya. Demian terkekeh melihat reaksi adiknya yang sedikit ketakutan itu.

"Tenang saja... Kalau mereka berdua menolak keinginanmu, biar aku yang membelamu paling depan," balasnya dengan rasa percaya dirinya.

Laura seketika tertawa kecil diikuti oleh Demian. Miranda yang melihat hubungan kedua kakak-adik yang kini sudah baikan. Wanita itu tersenyum lega dan setelah membuat pesanan untuk Laura, Miranda berjalan menghampiri mereka berdua.

"Nona Forst..." Miranda menoleh ke arah Laura.

"Terima kasih banyak," balas Laura dengan senyuman sumrigah dan Laura membalas dengan anggukan saja.

"Boss!!" tiba-tiba Derren berlari dengan rasa kepanikan.

"Kenapa Derren?" tanya Miranda dengan kebingungan. Perasaan dirinya mengatakan ada hal buruk yang sebentar lagi tiba.

"Black Knight... Black Knight akan tiba di sini!!"

Mendengar kata Black Knight, Demian langsung menoleh ke arah Derren dan Miranda bersamaan.

"Kak... Ada apa?" tanya Laura melihat tingkah laku kakaknya.

Demian menoleh ke arah adiknya dan menggeleng kepala tanda tidak apa-apa.

Kemudian lelaki itu terdiam sambil memikirkan kenapa Black Knight tiba-tiba datang ke tempat seperti ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status