Share

Jaga Diri Baik-Baik!

“Kenapa, sih, Dik?” tanya Aurel sepulangnya mereka dari rumah pak RT. Mereka berdua duduk-duduk santai di teras rumah, semilir angin menemani pada teriknya matahari.

“Entahlah, Rel. Aku pikir aku baik-baik saja, tidak ada yang salah denganku. Tapi entah kenapa, orang-orang sepertinya menganggapku tidak waras.” Mata Dika memandang langit di kejauhan, sinar matahari lamat-lamat menerobos sela dedaunan.

“Aku tidak menyalahkanmu, Dik. Tapi, aku juga tidak bisa membenarkanmu. Aku rasa kamu terlalu terbawa suasana tadi malam.” Aurel berusaha mengingatkan Dika dengan cara halus.

“Terima kasih. Semoga kita baik-baik saja.” Harapan Dika.

Mereka makan siang, memakan masakan yang disajikan oleh nenek. Ternyata nenek tidak seburuk yang dia bayangkan, dia baik hati, hanya saja sedikit cuek dengan keadaan yang terjadi. Rasa cueknya lebih mengarah pada rasa takut, bukan sebuah benci.

Dika teringat kata-kata nenek ketika mereka bertanya rumah pak RT. “Kenapa harus pak RT? Apakah tidak ada orang lain?”

Misa waktu itu menjawab, “Kami harus ke sana dan meminta keterangan kepada beliau, Nek.”

Wajah nenek terlihat kecewa, namun beberapa saat berikutnya kakek bertaka, “Tidak apa-apa, Nek! Hidup ini sudah ada yang mengatur dan mengendalikan.”

“Dik, makan! Perjuangan kita masih panjang.” Aurel mengingatkan Dika yang sepertinya tidak berminat untuk makan siang.

“Iya,” sahutnya singkat.

Mereka makan siang bersama, pukul setengah satu siang. Setelah makan siang mereka akan memasuki alam desa Ngasinan, lebih dekat dengan kondisi alamnya sehingga menggabungkan budaya dengan pengaruh alamnya.

“Semoga nanti berjalan dengan lancar dan tidak ada kendala,” ujar Misa di teras rumah. Beberapa menit lagi mereka akan berangkat memulai misi kedua.

“Kamu ikut, Dik?” tanya Aurel khawatir Dika belum siap.

“Kenapa tidak?” sahut Dika semangat.

“Kirain.” Misa menyahut.

Pukul dua siang akhirnya mereka berangkat. Dengan tas di punggung, mereka tampak berbeda dengan kebanyakan warga dan pemuda setempat. Mereka tidak mengenakan jas kebesaran, jas almamater kampus.

“Kita mau ke mana dahulu?” tanya Aurel pada rombongan.

Semua menghadap kepada Misa, menganggap Misa adalah manusia yang paling didengarkan kata-katanya sebagai ketua tim. Dia menjawab, “Menurut jadwal yang dibuat oleh dosen, kita berangkat menuju pemakaman umum terlebih dahulu, sebab pemakanan adalah suatu hal yang wajib ada dan menandakan sebuah kebudayaan.”

“Baik.” Semua menjawab setuju.

“Kenapa harus makam? Kayak tidak ada tempat lain saja,” ujar Dika dalam hati, dia masih trauma dengan kejadian di rumah pak RT tadi siang.

“Kenapa, Dik?” tanya Aurel yang menyadari perubahan ekspresi Dika.

“Tidak, tidak ada apa-apa,” sahut Dika. “Ayo, jalan!” Mereka menyusul Jimat dan Misa yang sudah berjalan terlebih dahulu.

Matahari mengintip dari sela-sela daun jati, mereka sudah sampai di pemakaman umum. Banyak pohon beringin dan pohon jati saling berhimpitan, daun besarnya hampir tidak memberikan ijin kepada sinar matahari untuk masuk ke dalamnya. Pemakaman itu tampak damai dan menenangkan.

“Tidak ada yang aneh dengan pemakaman ini, sama seperti kebanyakan makam,” ujar Misa mengelilingi pemakaman.

Tiba-tiba dari kejauhan ada seseorang yang meneriaki mereka, “Hai, lepas sandal kalian, tidak sopan.”

Mereka segera berjalan menuju gerbang pemakaman dan melepas sandal. “Kenapa tadi kita tidak membaca tulisan ini?” Aurel mengeluh pada rombongan yang tidak membaca tulisan besar pada gerbang masuk. “SANDAL HARUS DILEPAS!”

“Tidak apa-apa, namanya juga tidak tahu,” ujar Jimat.

Saat itulah suasana hati Dika berubah menjadi lebih buruk lagi. Dia tidak tenang dengan kesalahan sekecil apapun, dia merasa bersalah dan tidak sopan kepada penghuni kubur.

“Ke mana orang itu perginya, cepet banget?” Jimat bertanya-tanya setelah celingukan mencari dan tidak menemukan.

“Iya juga,” sahut Aurel. “jangan-jangan dia...”

Misa menyela bicara Aurel, “Jangan dibahas lagi, yang penting sekarang kita sudah melepas sepatu.”

Mereka melanjutkan mengelilingi makam. Di sana banyak nama-nama khas pedesaan. Hampir saja Jimat tertawa karena membaca salah satu nama pada batu nisan, “SATIYEM”.

“Ketawa ketawa saja, Mat, tidak usah ditahan,” ujar Misa yang mengetahui Jimat akan tertawa, tertahan.

“Tidak, aku tidak tertawa, hihihi.” Jimat beralasan.

Dika berjalan paling belakang di antara rombongan, semua mengikuti langkah Misa. Mereka melihat makam satu per satu, membaca namanya dalam hati, lalu jika ada yang aneh atau lucu mereka tertawa tertahan. Itu sebelum terjadi sebuah hal yang menegangkan. Beberapa saat kemudian ada sebuah suara berasal dari balik pohon besar, mengarah berbalik dengan mereka.

“Langit hang mendung dadi bukti...” Suara itu seperti membaca sebuah puisi misteri. “Bukti nyoto kang ketingalan moto. Dunyo among sedelo, lerenono anggonmu durjono.” Suara itu menghilang.

Mereka berempat saling berhadapan, tidak ada yang mengerti maksud puisi suara di balik pohon kecuali Jimat yang bisa berbahasa Jawa.

Misa berjalan mendekati pohon, bermaksud melihat siapa gerangan di balik pohon itu. Namun buru-buru Dika mencegahnya, firasatnya mengatakan bahwa itu adalah sebuah bahaya. “Jangan, Mis! Bahaya.” Dika berteriak setengah tertahan.

“Memangnya kenapa?” tanya Misa membalikkan pandangan, tidak mengerti.

“Bahaya. Firasatku mengatakan bahwa itu adalah sebuah bahaya,” ujar Dika.

Misa tersenyum getir, menyepelekan. Ia menganggap bahwa itu adalah manusia biasa yang tidak menyadari kedatangan mereka, mungkin dia tengah putus cinta, batin Misa.

“Jangan, Mis!” Dika sekali lagi berusaha mencegah.

Misa tidak menghiraukan panggilan Dika. Dia menyeka rambutnya yang terbawa angin, menatanya kembali rapi. Angin pelan berhembus, dingin, dedaunan bergerak mengijinkan sinar matahari masuk. Namun salah, sinar matahari tenggelam di balik awan hitam, mungkin sebentar lagi hujan akan datang, mengingat ini adalah musim hujan dan sore hari, di mana waktu biasa untuk turunnya hujan.

Tiba-tiba Dika mendengar sebuah bisikan dingin pada telinganya, dekat sekali, dan hanya dia yang mendengar. “Jaga diri baik-baik, Dika!” Suara seorang wanita yang lemas, putus asa, auranya dingin.

“Mis, Misa!” teriak Dika keras, Misa tidak menghiraukan panggilannya. "Jangan melangkah!" 

Brak... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status