“Kenapa, sih, Dik?” tanya Aurel sepulangnya mereka dari rumah pak RT. Mereka berdua duduk-duduk santai di teras rumah, semilir angin menemani pada teriknya matahari.
“Entahlah, Rel. Aku pikir aku baik-baik saja, tidak ada yang salah denganku. Tapi entah kenapa, orang-orang sepertinya menganggapku tidak waras.” Mata Dika memandang langit di kejauhan, sinar matahari lamat-lamat menerobos sela dedaunan.
“Aku tidak menyalahkanmu, Dik. Tapi, aku juga tidak bisa membenarkanmu. Aku rasa kamu terlalu terbawa suasana tadi malam.” Aurel berusaha mengingatkan Dika dengan cara halus.
“Terima kasih. Semoga kita baik-baik saja.” Harapan Dika.
Mereka makan siang, memakan masakan yang disajikan oleh nenek. Ternyata nenek tidak seburuk yang dia bayangkan, dia baik hati, hanya saja sedikit cuek dengan keadaan yang terjadi. Rasa cueknya lebih mengarah pada rasa takut, bukan sebuah benci.
Dika teringat kata-kata nenek ketika mereka bertanya rumah pak RT. “Kenapa harus pak RT? Apakah tidak ada orang lain?”
Misa waktu itu menjawab, “Kami harus ke sana dan meminta keterangan kepada beliau, Nek.”
Wajah nenek terlihat kecewa, namun beberapa saat berikutnya kakek bertaka, “Tidak apa-apa, Nek! Hidup ini sudah ada yang mengatur dan mengendalikan.”
“Dik, makan! Perjuangan kita masih panjang.” Aurel mengingatkan Dika yang sepertinya tidak berminat untuk makan siang.
“Iya,” sahutnya singkat.
Mereka makan siang bersama, pukul setengah satu siang. Setelah makan siang mereka akan memasuki alam desa Ngasinan, lebih dekat dengan kondisi alamnya sehingga menggabungkan budaya dengan pengaruh alamnya.
“Semoga nanti berjalan dengan lancar dan tidak ada kendala,” ujar Misa di teras rumah. Beberapa menit lagi mereka akan berangkat memulai misi kedua.
“Kamu ikut, Dik?” tanya Aurel khawatir Dika belum siap.
“Kenapa tidak?” sahut Dika semangat.
“Kirain.” Misa menyahut.
Pukul dua siang akhirnya mereka berangkat. Dengan tas di punggung, mereka tampak berbeda dengan kebanyakan warga dan pemuda setempat. Mereka tidak mengenakan jas kebesaran, jas almamater kampus.
“Kita mau ke mana dahulu?” tanya Aurel pada rombongan.
Semua menghadap kepada Misa, menganggap Misa adalah manusia yang paling didengarkan kata-katanya sebagai ketua tim. Dia menjawab, “Menurut jadwal yang dibuat oleh dosen, kita berangkat menuju pemakaman umum terlebih dahulu, sebab pemakanan adalah suatu hal yang wajib ada dan menandakan sebuah kebudayaan.”
“Baik.” Semua menjawab setuju.
“Kenapa harus makam? Kayak tidak ada tempat lain saja,” ujar Dika dalam hati, dia masih trauma dengan kejadian di rumah pak RT tadi siang.
“Kenapa, Dik?” tanya Aurel yang menyadari perubahan ekspresi Dika.
“Tidak, tidak ada apa-apa,” sahut Dika. “Ayo, jalan!” Mereka menyusul Jimat dan Misa yang sudah berjalan terlebih dahulu.
Matahari mengintip dari sela-sela daun jati, mereka sudah sampai di pemakaman umum. Banyak pohon beringin dan pohon jati saling berhimpitan, daun besarnya hampir tidak memberikan ijin kepada sinar matahari untuk masuk ke dalamnya. Pemakaman itu tampak damai dan menenangkan.
“Tidak ada yang aneh dengan pemakaman ini, sama seperti kebanyakan makam,” ujar Misa mengelilingi pemakaman.
Tiba-tiba dari kejauhan ada seseorang yang meneriaki mereka, “Hai, lepas sandal kalian, tidak sopan.”
Mereka segera berjalan menuju gerbang pemakaman dan melepas sandal. “Kenapa tadi kita tidak membaca tulisan ini?” Aurel mengeluh pada rombongan yang tidak membaca tulisan besar pada gerbang masuk. “SANDAL HARUS DILEPAS!”
“Tidak apa-apa, namanya juga tidak tahu,” ujar Jimat.
Saat itulah suasana hati Dika berubah menjadi lebih buruk lagi. Dia tidak tenang dengan kesalahan sekecil apapun, dia merasa bersalah dan tidak sopan kepada penghuni kubur.
“Ke mana orang itu perginya, cepet banget?” Jimat bertanya-tanya setelah celingukan mencari dan tidak menemukan.
“Iya juga,” sahut Aurel. “jangan-jangan dia...”
Misa menyela bicara Aurel, “Jangan dibahas lagi, yang penting sekarang kita sudah melepas sepatu.”
Mereka melanjutkan mengelilingi makam. Di sana banyak nama-nama khas pedesaan. Hampir saja Jimat tertawa karena membaca salah satu nama pada batu nisan, “SATIYEM”.
“Ketawa ketawa saja, Mat, tidak usah ditahan,” ujar Misa yang mengetahui Jimat akan tertawa, tertahan.
“Tidak, aku tidak tertawa, hihihi.” Jimat beralasan.
Dika berjalan paling belakang di antara rombongan, semua mengikuti langkah Misa. Mereka melihat makam satu per satu, membaca namanya dalam hati, lalu jika ada yang aneh atau lucu mereka tertawa tertahan. Itu sebelum terjadi sebuah hal yang menegangkan. Beberapa saat kemudian ada sebuah suara berasal dari balik pohon besar, mengarah berbalik dengan mereka.
“Langit hang mendung dadi bukti...” Suara itu seperti membaca sebuah puisi misteri. “Bukti nyoto kang ketingalan moto. Dunyo among sedelo, lerenono anggonmu durjono.” Suara itu menghilang.
Mereka berempat saling berhadapan, tidak ada yang mengerti maksud puisi suara di balik pohon kecuali Jimat yang bisa berbahasa Jawa.
Misa berjalan mendekati pohon, bermaksud melihat siapa gerangan di balik pohon itu. Namun buru-buru Dika mencegahnya, firasatnya mengatakan bahwa itu adalah sebuah bahaya. “Jangan, Mis! Bahaya.” Dika berteriak setengah tertahan.
“Memangnya kenapa?” tanya Misa membalikkan pandangan, tidak mengerti.
“Bahaya. Firasatku mengatakan bahwa itu adalah sebuah bahaya,” ujar Dika.
Misa tersenyum getir, menyepelekan. Ia menganggap bahwa itu adalah manusia biasa yang tidak menyadari kedatangan mereka, mungkin dia tengah putus cinta, batin Misa.
“Jangan, Mis!” Dika sekali lagi berusaha mencegah.
Misa tidak menghiraukan panggilan Dika. Dia menyeka rambutnya yang terbawa angin, menatanya kembali rapi. Angin pelan berhembus, dingin, dedaunan bergerak mengijinkan sinar matahari masuk. Namun salah, sinar matahari tenggelam di balik awan hitam, mungkin sebentar lagi hujan akan datang, mengingat ini adalah musim hujan dan sore hari, di mana waktu biasa untuk turunnya hujan.
Tiba-tiba Dika mendengar sebuah bisikan dingin pada telinganya, dekat sekali, dan hanya dia yang mendengar. “Jaga diri baik-baik, Dika!” Suara seorang wanita yang lemas, putus asa, auranya dingin.
“Mis, Misa!” teriak Dika keras, Misa tidak menghiraukan panggilannya. "Jangan melangkah!"
Brak...
“Misa, kamu tidak apa-apa?” Aurel cepat membantu Misa.Misa tidak bisa berkata apa-apa, dia masih shok. Sebuah dahan pohon jati patah dan jatuh begitu saja. Dia benar-benar kaget dan tidak akan menyangka. Untunglah beberapa saat sebelum pohon jatuh nenek datang. Entah dari mana atau akan ke mana dia, datangnya benar-benar dalam waktu yang tepat. Nenek mendorong tubuh Misa sehingga terhindar dari runtuhan dahan jati.“Kenapa kalian ke sini?” tanya nenek dengan suara tuanya, serak-serak basah namun cukup jelas.Jimat menjawab, “Kami tengah melakukan penelitian, Nek!”Nenek geleng-geleng kepala. “Begitu pentingkah ijasah bagi kalian sehingga mempertaruhkan nyawa?” Nenek tidak menduga.Misa menjawab, “Semua ini adalah tugas, Nek!”Setelah itu nenek pergi begitu saja meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan terjawab. Dika sekarang mengerti maksud bisikan yang berkata kepada dir
Malam kesekian kalinya sejak pertama kali mereka datang kembali tiba. Malam khas datang dengan hawa dingin, suara jangkrik, serta suara angin menyobek-nyobek daun pisang. Hujan telah reda, namun genangan air masih tercecer di mana-mana. Pukul setengah delapan malam, gelapnya minta ampun, gelap sekali.“Mat, kamu dengan suara itu?” Tiba-tiba Dika bertanya, suara sungai hampir saja mengalahkan suara dari kejauhan. Sungai setelah hujan biasanya arusnya sangat deras, sehingga terdengar sampai kejauhan.“Suara apa?” samar-samar Jimat menjawab, sepertinya dia sudah mengantuk.Dika menarik selimut dan duduk. “Itu suara teriakan, sepertinya ada masalah!” Dika membuka jendela lebar-lebar, suara bertambah jelas.“Suara apa, sih, itu?” Jimat mengikuti langkah Dika.“Tidak tahu,” sahut Dika lebih melebarkan jendela, berharap mengetahui keributan apa yang tengah terjadi di luar sana.Dari luar p
Hai, teman-teman...Jadi dalam satu novel ini ada dua cerita ya, Pertama cerita novel bergenre horor, sedang yang kedua bergenre religi. Kenapa aku gabungkan menjadi satu? Sebab genre Islami itu sulit sekali untuk menembus kontrak Good Novel, maka aku buat demikian. Semoga bisa dimengerti yah... Dan mohon maaf untuk ketidaknyamanannya.***Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menj
Kelas sudah ramai oleh siswa-siswa yang sekalian menjadi santri. Saya segera berjalan menuju kelas tiga, sebab sekarang ini saya tengah duduk di bangku kelas tiga MA milik pondok pesantren. Tiga tahun lalu saya berangkat ke pondok, dengan tujuan mencari ilmu tentunya. Waktu itu saya baru lulus SMP. Sebenarnya bukan keinginan saya, tapi lebih karena pilihan orang tua saya.Oh, iya, neng Afidah juga satu sekolah dengan saya, karena dia juga salah satu pelajar sekolah ini. Syukurlah, rupanya dia mengenal saya. Saya tidak terlalu percaya diri, tapi ini adalah kenyataan.Menjadi dikenal oleh neng Afidah adalah sebuah kebanggaan. Sedangkan seluruh sekolah pasti mengenal dia. Bagaimana tidak terkenal, meskipun sekarang kelas dua, kecerdasannya yang seperti saya jelaskan di depan, sudah melebihi dari rata-rata kami. Maka, tidak disangsikan lagi bahwa dia adalah siswi terpintar dalam sekolah ini. Selain dari kecerdasannya, yang menjadi daya tarik adalah kecantikannya.Saya sendiri biasa-bias
Usianya 22 tahun. Nama lengkapnya adalah Abdul Malik Karim. Putra pertama mbah Kyai Sodiq. Kakak untuk dua adiknya. Siapa? Tidak lain dan tidak bukan adalah gus Hamid dan neng Afidah, neng yang saya tuliskan sangat manis itu. Tidak berlebihan jika saya mengatakan demikian, karena memang keadaannya demikian.Sejak lulus sekolah SD, gus Malik diberangkatkan menuju pesantren Tebu Ireng, Jombang. Sepuluh tahun disana, pulang dengan ilmu yang dipelajarinya. Sampai rumah, dia harus mengaji lagi kepada Kyai Sodiq, bapaknya sendiri. Cerita itu saya dengar ketika ngaji dengan mbah Kyai.Saya sempat berpikir, apa yang kurang dari gus Malik, kok, masih disuruh ngaji lagi di rumah? Rasanya dia sudah sangat sempurna. Tidak ada kekurangan.Akhirnya saya mendapatkan alasannya dari sebuah cerita pendek karangan neng Afidah. Perlu saya beritahukan, bahwa neng Afidah itu sangat suka menulis, setahu saya. Baru saja tadi pagi, ketika sekolah, saya membaca cerpennya di mading sekolah.Jawaban itu saya dap
Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara
Dari belakang pondok ini, pesantren kecil saya, terdengar deburan air sungai tengah banjir. Arusnya deras. Tidak ada yang berani mandi disana.Pukul lima sore, setelah sholat Asar, dan mengaji pada gus Malik, saya menikmati segelas kopi bersama Alfin. Iya, Alfin, dia adalah teman yang paling akrab denganku. Di pinggiran sungai, suasana sangat mendukung untuk minum segelas kopi berdua, sejuk.Lamat-lamat sinar matahari sore masih terasa dari sela-sela daun jambu. Sinarnya sejuk, sesejuk wajah neng Afidah. Tapi tidak, tidak sama, berbeda jauh. Sejuknya neng Afidah rasanya ada sebuah rasa nikmat tersendiri. Ah, kenapa saya malah membahas neng Afidah lagi.“Fin, kapan boyong?” tanya saya pada dia.Boyong adalah sebutan untuk santri yang pulang, tapi tidak kembali lagi ke pondok. Menjadi alumni pondok.“Ah, kamu pikirannya boyong saja.” Alfiln membalas.“Memangnya kamu tidak pengen boyong?” tanyaku lagi dengan sedikit tertawa.“Untuk saat ini aku masih pengen konsentrasi belajar. Boyong u
Masa-masa ujian dengan suasana hutan yang mencekam telah berlalu. Sekarang, Alfin kembali konsentrasi dengan buku-buku tebalnya. Saya heran, kenapa ada anak yang suka membaca segitunya. Saya sendiri, sebenarnya juga suka membaca, tapi bacaan-bacaan ringan saja.“Fin ...” sapa saya kepada dia, ketika di dalam kelas, sebelum pelajaran pertama dimulai. Hari ini adalah hari Rabu, jadwal pelajaran Mantiq dan bahasa Arab pada jam pertama serta kedua nanti.“Apa? Kurang puas menghajar aku dengan hantu-hantu itu?” kata dia sinis.“Maaf, lah, aku juga tidak tahu kalau di hutan banyak hantunya.”“Iya, iya, sekarang lebih baik kamu membaca saja, lebih bermanfaat.” Begitu lagi katanya.“Fin, kamu tahu neng Afidah sudah sampai mana hapalannya?” saya bertanya kepada dia tentang neng kita, siapa tahu ada beberapa informasi yang berguna untuk mendekati neng Afidah.“Tidak tahu. Semua santri putra tidak ada yang tahu. Mungkin santri putri ada yang tahu. Kenapa? Biar tidak dianggap pamer nantinya, mung