Accueil / Horor / Rumah Tengah Hutan / Jaga Diri Baik-Baik!

Share

Jaga Diri Baik-Baik!

Auteur: Azka Taslimi
last update Dernière mise à jour: 2022-03-01 13:06:40

“Kenapa, sih, Dik?” tanya Aurel sepulangnya mereka dari rumah pak RT. Mereka berdua duduk-duduk santai di teras rumah, semilir angin menemani pada teriknya matahari.

“Entahlah, Rel. Aku pikir aku baik-baik saja, tidak ada yang salah denganku. Tapi entah kenapa, orang-orang sepertinya menganggapku tidak waras.” Mata Dika memandang langit di kejauhan, sinar matahari lamat-lamat menerobos sela dedaunan.

“Aku tidak menyalahkanmu, Dik. Tapi, aku juga tidak bisa membenarkanmu. Aku rasa kamu terlalu terbawa suasana tadi malam.” Aurel berusaha mengingatkan Dika dengan cara halus.

“Terima kasih. Semoga kita baik-baik saja.” Harapan Dika.

Mereka makan siang, memakan masakan yang disajikan oleh nenek. Ternyata nenek tidak seburuk yang dia bayangkan, dia baik hati, hanya saja sedikit cuek dengan keadaan yang terjadi. Rasa cueknya lebih mengarah pada rasa takut, bukan sebuah benci.

Dika teringat kata-kata nenek ketika mereka bertanya rumah pak RT. “Kenapa harus pak RT? Apakah tidak ada orang lain?”

Misa waktu itu menjawab, “Kami harus ke sana dan meminta keterangan kepada beliau, Nek.”

Wajah nenek terlihat kecewa, namun beberapa saat berikutnya kakek bertaka, “Tidak apa-apa, Nek! Hidup ini sudah ada yang mengatur dan mengendalikan.”

“Dik, makan! Perjuangan kita masih panjang.” Aurel mengingatkan Dika yang sepertinya tidak berminat untuk makan siang.

“Iya,” sahutnya singkat.

Mereka makan siang bersama, pukul setengah satu siang. Setelah makan siang mereka akan memasuki alam desa Ngasinan, lebih dekat dengan kondisi alamnya sehingga menggabungkan budaya dengan pengaruh alamnya.

“Semoga nanti berjalan dengan lancar dan tidak ada kendala,” ujar Misa di teras rumah. Beberapa menit lagi mereka akan berangkat memulai misi kedua.

“Kamu ikut, Dik?” tanya Aurel khawatir Dika belum siap.

“Kenapa tidak?” sahut Dika semangat.

“Kirain.” Misa menyahut.

Pukul dua siang akhirnya mereka berangkat. Dengan tas di punggung, mereka tampak berbeda dengan kebanyakan warga dan pemuda setempat. Mereka tidak mengenakan jas kebesaran, jas almamater kampus.

“Kita mau ke mana dahulu?” tanya Aurel pada rombongan.

Semua menghadap kepada Misa, menganggap Misa adalah manusia yang paling didengarkan kata-katanya sebagai ketua tim. Dia menjawab, “Menurut jadwal yang dibuat oleh dosen, kita berangkat menuju pemakaman umum terlebih dahulu, sebab pemakanan adalah suatu hal yang wajib ada dan menandakan sebuah kebudayaan.”

“Baik.” Semua menjawab setuju.

“Kenapa harus makam? Kayak tidak ada tempat lain saja,” ujar Dika dalam hati, dia masih trauma dengan kejadian di rumah pak RT tadi siang.

“Kenapa, Dik?” tanya Aurel yang menyadari perubahan ekspresi Dika.

“Tidak, tidak ada apa-apa,” sahut Dika. “Ayo, jalan!” Mereka menyusul Jimat dan Misa yang sudah berjalan terlebih dahulu.

Matahari mengintip dari sela-sela daun jati, mereka sudah sampai di pemakaman umum. Banyak pohon beringin dan pohon jati saling berhimpitan, daun besarnya hampir tidak memberikan ijin kepada sinar matahari untuk masuk ke dalamnya. Pemakaman itu tampak damai dan menenangkan.

“Tidak ada yang aneh dengan pemakaman ini, sama seperti kebanyakan makam,” ujar Misa mengelilingi pemakaman.

Tiba-tiba dari kejauhan ada seseorang yang meneriaki mereka, “Hai, lepas sandal kalian, tidak sopan.”

Mereka segera berjalan menuju gerbang pemakaman dan melepas sandal. “Kenapa tadi kita tidak membaca tulisan ini?” Aurel mengeluh pada rombongan yang tidak membaca tulisan besar pada gerbang masuk. “SANDAL HARUS DILEPAS!”

“Tidak apa-apa, namanya juga tidak tahu,” ujar Jimat.

Saat itulah suasana hati Dika berubah menjadi lebih buruk lagi. Dia tidak tenang dengan kesalahan sekecil apapun, dia merasa bersalah dan tidak sopan kepada penghuni kubur.

“Ke mana orang itu perginya, cepet banget?” Jimat bertanya-tanya setelah celingukan mencari dan tidak menemukan.

“Iya juga,” sahut Aurel. “jangan-jangan dia...”

Misa menyela bicara Aurel, “Jangan dibahas lagi, yang penting sekarang kita sudah melepas sepatu.”

Mereka melanjutkan mengelilingi makam. Di sana banyak nama-nama khas pedesaan. Hampir saja Jimat tertawa karena membaca salah satu nama pada batu nisan, “SATIYEM”.

“Ketawa ketawa saja, Mat, tidak usah ditahan,” ujar Misa yang mengetahui Jimat akan tertawa, tertahan.

“Tidak, aku tidak tertawa, hihihi.” Jimat beralasan.

Dika berjalan paling belakang di antara rombongan, semua mengikuti langkah Misa. Mereka melihat makam satu per satu, membaca namanya dalam hati, lalu jika ada yang aneh atau lucu mereka tertawa tertahan. Itu sebelum terjadi sebuah hal yang menegangkan. Beberapa saat kemudian ada sebuah suara berasal dari balik pohon besar, mengarah berbalik dengan mereka.

“Langit hang mendung dadi bukti...” Suara itu seperti membaca sebuah puisi misteri. “Bukti nyoto kang ketingalan moto. Dunyo among sedelo, lerenono anggonmu durjono.” Suara itu menghilang.

Mereka berempat saling berhadapan, tidak ada yang mengerti maksud puisi suara di balik pohon kecuali Jimat yang bisa berbahasa Jawa.

Misa berjalan mendekati pohon, bermaksud melihat siapa gerangan di balik pohon itu. Namun buru-buru Dika mencegahnya, firasatnya mengatakan bahwa itu adalah sebuah bahaya. “Jangan, Mis! Bahaya.” Dika berteriak setengah tertahan.

“Memangnya kenapa?” tanya Misa membalikkan pandangan, tidak mengerti.

“Bahaya. Firasatku mengatakan bahwa itu adalah sebuah bahaya,” ujar Dika.

Misa tersenyum getir, menyepelekan. Ia menganggap bahwa itu adalah manusia biasa yang tidak menyadari kedatangan mereka, mungkin dia tengah putus cinta, batin Misa.

“Jangan, Mis!” Dika sekali lagi berusaha mencegah.

Misa tidak menghiraukan panggilan Dika. Dia menyeka rambutnya yang terbawa angin, menatanya kembali rapi. Angin pelan berhembus, dingin, dedaunan bergerak mengijinkan sinar matahari masuk. Namun salah, sinar matahari tenggelam di balik awan hitam, mungkin sebentar lagi hujan akan datang, mengingat ini adalah musim hujan dan sore hari, di mana waktu biasa untuk turunnya hujan.

Tiba-tiba Dika mendengar sebuah bisikan dingin pada telinganya, dekat sekali, dan hanya dia yang mendengar. “Jaga diri baik-baik, Dika!” Suara seorang wanita yang lemas, putus asa, auranya dingin.

“Mis, Misa!” teriak Dika keras, Misa tidak menghiraukan panggilannya. "Jangan melangkah!" 

Brak... 

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Rumah Tengah Hutan   Adakah?

    Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua

  • Rumah Tengah Hutan   Benarkah Demikian?

    Jadi begini kawan, kami sholat isya’ pula ketika bertemu dengan kakek yang entah siapa namanya. Dari pada nanti sibuk mencari air untuk wudzu lagi, lebih baik menunggu sejenak dan sudah tidak khawatir lagi.Sampai larut malam, kira-kira pukul sebelas malam, kami belum berhasil menemukan kambing mbah Kyai. Entah kemana kambing keparat itu pergi. Ah, karena kesalahan saya siang tadi, malam ini saya dan Alfin tidak mengikuti pengajian setelah maghrib dan isya’.Kami duduk di bawah pohon rindang tengah hutan, dengan penerangan satu senter yang sudah tidak terang lagi. Demi menghemat baterai, yang satu tidak kami nyalakan. Dingin tidak terkira dibawah pohon ini, banyak nyamuk pula. Jika bukan kambing mbah Kyai, maka sudah saya tinggalkan tempat ini sejak tadi.“Apakah kita akan tidur disini?” tanya Alfin padaku.“Yah, apakah kamu bisa tidur. Kalau aku mungkin bisa-bisa saja.”Saya sudah terbiasa dengan nyamuk banyak, hawa dingin, suasana gelap, namun tidak dengan tengah-tengah hutan. Waktu

  • Rumah Tengah Hutan   Merayakan Kehidupan

    Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara

  • Rumah Tengah Hutan   Apakah Masih Ada?

    Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menjalani. Banyak harapan, boleh saja, asalkan tidak membuat putus jalan.Cita-cita saya sangat luhur, bukan? Saya ingin menjadi orang yang bahagia dunia akhirat. Ketika hidup di dunia, saya ingin menjadi orang kaya, bahagia. Dan ketika mati nanti, masih nanti, masih lama, saya ingin menjadi orang yang masuk surga. Indah sekali dalam anganan.Ber

  • Rumah Tengah Hutan   Sulap Yang Membahagiakan

    Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yang diberikan mama

  • Rumah Tengah Hutan   Malam Hari

    Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, mungkin Mama dan Papa bisa bantu?” Papa malah salah tangkap kali ini. Bukan itu yang aku maksud, Pa, tapi

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status