“Misa, kamu tidak apa-apa?” Aurel cepat membantu Misa.
Misa tidak bisa berkata apa-apa, dia masih shok. Sebuah dahan pohon jati patah dan jatuh begitu saja. Dia benar-benar kaget dan tidak akan menyangka. Untunglah beberapa saat sebelum pohon jatuh nenek datang. Entah dari mana atau akan ke mana dia, datangnya benar-benar dalam waktu yang tepat. Nenek mendorong tubuh Misa sehingga terhindar dari runtuhan dahan jati.
“Kenapa kalian ke sini?” tanya nenek dengan suara tuanya, serak-serak basah namun cukup jelas.
Jimat menjawab, “Kami tengah melakukan penelitian, Nek!”
Nenek geleng-geleng kepala. “Begitu pentingkah ijasah bagi kalian sehingga mempertaruhkan nyawa?” Nenek tidak menduga.
Misa menjawab, “Semua ini adalah tugas, Nek!”
Setelah itu nenek pergi begitu saja meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan terjawab. Dika sekarang mengerti maksud bisikan yang berkata kepada dir
Malam kesekian kalinya sejak pertama kali mereka datang kembali tiba. Malam khas datang dengan hawa dingin, suara jangkrik, serta suara angin menyobek-nyobek daun pisang. Hujan telah reda, namun genangan air masih tercecer di mana-mana. Pukul setengah delapan malam, gelapnya minta ampun, gelap sekali.“Mat, kamu dengan suara itu?” Tiba-tiba Dika bertanya, suara sungai hampir saja mengalahkan suara dari kejauhan. Sungai setelah hujan biasanya arusnya sangat deras, sehingga terdengar sampai kejauhan.“Suara apa?” samar-samar Jimat menjawab, sepertinya dia sudah mengantuk.Dika menarik selimut dan duduk. “Itu suara teriakan, sepertinya ada masalah!” Dika membuka jendela lebar-lebar, suara bertambah jelas.“Suara apa, sih, itu?” Jimat mengikuti langkah Dika.“Tidak tahu,” sahut Dika lebih melebarkan jendela, berharap mengetahui keributan apa yang tengah terjadi di luar sana.Dari luar p
Hai, teman-teman...Jadi dalam satu novel ini ada dua cerita ya, Pertama cerita novel bergenre horor, sedang yang kedua bergenre religi. Kenapa aku gabungkan menjadi satu? Sebab genre Islami itu sulit sekali untuk menembus kontrak Good Novel, maka aku buat demikian. Semoga bisa dimengerti yah... Dan mohon maaf untuk ketidaknyamanannya.***Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menj
Kelas sudah ramai oleh siswa-siswa yang sekalian menjadi santri. Saya segera berjalan menuju kelas tiga, sebab sekarang ini saya tengah duduk di bangku kelas tiga MA milik pondok pesantren. Tiga tahun lalu saya berangkat ke pondok, dengan tujuan mencari ilmu tentunya. Waktu itu saya baru lulus SMP. Sebenarnya bukan keinginan saya, tapi lebih karena pilihan orang tua saya.Oh, iya, neng Afidah juga satu sekolah dengan saya, karena dia juga salah satu pelajar sekolah ini. Syukurlah, rupanya dia mengenal saya. Saya tidak terlalu percaya diri, tapi ini adalah kenyataan.Menjadi dikenal oleh neng Afidah adalah sebuah kebanggaan. Sedangkan seluruh sekolah pasti mengenal dia. Bagaimana tidak terkenal, meskipun sekarang kelas dua, kecerdasannya yang seperti saya jelaskan di depan, sudah melebihi dari rata-rata kami. Maka, tidak disangsikan lagi bahwa dia adalah siswi terpintar dalam sekolah ini. Selain dari kecerdasannya, yang menjadi daya tarik adalah kecantikannya.Saya sendiri biasa-bias
Usianya 22 tahun. Nama lengkapnya adalah Abdul Malik Karim. Putra pertama mbah Kyai Sodiq. Kakak untuk dua adiknya. Siapa? Tidak lain dan tidak bukan adalah gus Hamid dan neng Afidah, neng yang saya tuliskan sangat manis itu. Tidak berlebihan jika saya mengatakan demikian, karena memang keadaannya demikian.Sejak lulus sekolah SD, gus Malik diberangkatkan menuju pesantren Tebu Ireng, Jombang. Sepuluh tahun disana, pulang dengan ilmu yang dipelajarinya. Sampai rumah, dia harus mengaji lagi kepada Kyai Sodiq, bapaknya sendiri. Cerita itu saya dengar ketika ngaji dengan mbah Kyai.Saya sempat berpikir, apa yang kurang dari gus Malik, kok, masih disuruh ngaji lagi di rumah? Rasanya dia sudah sangat sempurna. Tidak ada kekurangan.Akhirnya saya mendapatkan alasannya dari sebuah cerita pendek karangan neng Afidah. Perlu saya beritahukan, bahwa neng Afidah itu sangat suka menulis, setahu saya. Baru saja tadi pagi, ketika sekolah, saya membaca cerpennya di mading sekolah.Jawaban itu saya dap
Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara
Dari belakang pondok ini, pesantren kecil saya, terdengar deburan air sungai tengah banjir. Arusnya deras. Tidak ada yang berani mandi disana.Pukul lima sore, setelah sholat Asar, dan mengaji pada gus Malik, saya menikmati segelas kopi bersama Alfin. Iya, Alfin, dia adalah teman yang paling akrab denganku. Di pinggiran sungai, suasana sangat mendukung untuk minum segelas kopi berdua, sejuk.Lamat-lamat sinar matahari sore masih terasa dari sela-sela daun jambu. Sinarnya sejuk, sesejuk wajah neng Afidah. Tapi tidak, tidak sama, berbeda jauh. Sejuknya neng Afidah rasanya ada sebuah rasa nikmat tersendiri. Ah, kenapa saya malah membahas neng Afidah lagi.“Fin, kapan boyong?” tanya saya pada dia.Boyong adalah sebutan untuk santri yang pulang, tapi tidak kembali lagi ke pondok. Menjadi alumni pondok.“Ah, kamu pikirannya boyong saja.” Alfiln membalas.“Memangnya kamu tidak pengen boyong?” tanyaku lagi dengan sedikit tertawa.“Untuk saat ini aku masih pengen konsentrasi belajar. Boyong u
Masa-masa ujian dengan suasana hutan yang mencekam telah berlalu. Sekarang, Alfin kembali konsentrasi dengan buku-buku tebalnya. Saya heran, kenapa ada anak yang suka membaca segitunya. Saya sendiri, sebenarnya juga suka membaca, tapi bacaan-bacaan ringan saja.“Fin ...” sapa saya kepada dia, ketika di dalam kelas, sebelum pelajaran pertama dimulai. Hari ini adalah hari Rabu, jadwal pelajaran Mantiq dan bahasa Arab pada jam pertama serta kedua nanti.“Apa? Kurang puas menghajar aku dengan hantu-hantu itu?” kata dia sinis.“Maaf, lah, aku juga tidak tahu kalau di hutan banyak hantunya.”“Iya, iya, sekarang lebih baik kamu membaca saja, lebih bermanfaat.” Begitu lagi katanya.“Fin, kamu tahu neng Afidah sudah sampai mana hapalannya?” saya bertanya kepada dia tentang neng kita, siapa tahu ada beberapa informasi yang berguna untuk mendekati neng Afidah.“Tidak tahu. Semua santri putra tidak ada yang tahu. Mungkin santri putri ada yang tahu. Kenapa? Biar tidak dianggap pamer nantinya, mung
Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua