Lorong yang terbuka di depan mereka tampak berdenyut, dindingnya seperti daging hidup yang mengisap cahaya dari senter Zaki. Di balik lorong, terdengar suara tangisan Kevin yang bergema panjang, bercampur bisikan-bisikan yang saling bertindihan: > “Masuklah… di sini kalian lengkap… di sini kalian pulang…” Zaki menarik Tiara mendekat, napasnya berat. “Ti, kalau kita masuk ke sana, mungkin nggak ada jalan balik.” Tiara menggenggam tangannya erat. “Zak, kalau kita tetap di sini, rumah ini bakal ngambil kita semua. Kita harus ambil risiko.” Dari belakang mereka, suara langkah kaki mendekat. Raka berdiri di ujung lorong, wajahnya pucat, mata merah berair. “Jangan lawan rumah ini. Semakin kalian melawan, semakin dia lapar…” > “Raka, ikut kami keluar!” Zaki berteriak, suaranya bergetar. Raka tersenyum samar, ada sedih di sana. “Aku nggak bisa. Aku udah jadi bagian dari rumah ini. Tapi kalian masih bisa keluar… kalau ada yang tinggal di sini sebagai gantinya.” --- Tiba-tiba, Anggi m
Sejak malam terakhir itu, hidup Zaki terasa seperti menunggu sesuatu yang tak bisa dihindari. Setiap hari seperti berjalan di pinggir jurang; setiap malam, rumah nomor tujuh memanggilnya. Ia duduk di kamar kontrakannya, dikelilingi peta dan coretan di dinding: semua tentang lokasi rumah itu, struktur lantai, bahkan catatan tentang apa yang dia ingat dari malam mengerikan tersebut. Tapi semakin ia mencoba memahami, semakin pusing kepalanya — seolah rumah itu sendiri berubah setiap kali ia mengingatnya. Di meja, ponselnya bergetar. Pesan masuk. > Tiara: “Aku nggak bisa terus begini, Zak. Semalam Anggi duduk di ujung ranjangku lagi. Dia bilang kalau kita nggak balik, mereka bakal datang jemput kita sendiri.” Zaki mengetik cepat: > “Aku juga diganggu. Kita harus balik, Ti. Nggak ada jalan lain.” Balasan datang hampir instan: > “Kapan?” Zaki terdiam sejenak, lalu menulis: > “Besok malam.” --- Hari berikutnya terasa panjang. Zaki menghabiskan waktunya membeli perlengkapan seada
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kota baru tempat Zaki tinggal. Sudah tiga bulan sejak malam itu, tapi tidur nyenyak jadi sesuatu yang asing. Ia sering terbangun basah kuyup keringat, seolah baru saja berlari dari sesuatu yang tidak bisa dilihat. Di kamar kontrakannya, ia menatap cermin. Matanya merah, wajahnya pucat. Setiap kali ia menutup mata, ia kembali berada di ruang tengah rumah nomor tujuh. Raka berdiri di ambang pintu, memanggil namanya tanpa suara. --- Tiara menjalani terapi di rumah sakit jiwa. Psikiaternya mencatat, “Subjek sering berbicara dengan entitas yang tidak terlihat. Mengaku mendengar suara ‘Raka’ setiap malam.” Malam itu, perawat mendapati Tiara duduk di pojok kamar, menggambar. Puluhan lembar kertas memenuhi lantai — semua gambar denah rumah nomor tujuh, detail demi detail, lengkap hingga goresan kecil di dinding. “Tiara?” Tiara mengangkat kepalanya. “Dia belum selesai di sana. Dia masih butuh kita…” --- Zaki mencoba mengabaikan semuanya. I
Jam menunjukkan 03:43… tapi rasanya waktu tak bergerak.Udara makin berat, seperti paru-paru dipenuhi lumpur.Langkah mereka makin berat, bukan karena lelah —tapi karena rumah ini menolak mereka untuk tetap manusia.Raka berdiri di tengah ruang.Tapi bukan Raka lagi.Tubuhnya masih utuh. Tapi yang bicara… bukan dia.> “Rumah ini ingin ditemani.Dan kalian semua asing.Kecuali aku.”Tiara berbisik ke Zaki, “Kita harus kunci dia. Kita harus tahan dia… sebelum dia—”BRAK!!Raka melompat ke arah mereka.Mata hitamnya bersinar.Senyumnya miring.Ia bergerak seperti orang kaku — cepat, patah-patah.Zaki menarik Tiara ke dapur, mengunci pintu dari dalam.“Gimana bisa dia secepat itu?!”Tiara terduduk di lantai, gemetar.“Kita harus keluar dari rumah ini... atau kita bakal jadi kayak dia!”Anggi masih di ruang tengah. Ia berdiri membatu di pojok ruangan.Raka — atau roh yang menguasainya — tidak menyentuh Anggi.Malah... mendekat, dan berbisik ke telinganya.> “Kamu gak perlu takut. Mereka
Langit belum menunjukkan tanda pagi, meskipun jam dinding menunjuk pukul 03.15.Hujan masih turun, tapi kini tanpa suara.Rumah itu seperti mengurung dunia mereka dalam satu dimensi terkutuk —sunyi, hampa, dan terlalu sempurna untuk disebut dunia nyata.Zaki duduk membelakangi jendela, memeluk lutut, tubuhnya berkeringat dingin meski suhu turun drastis.Matanya terbuka lebar, tapi kosong.Tangannya terus menggambar pola-pola aneh di lantai dengan ujung pisau dapur.Melingkar. Runcing. Seperti simbol-simbol kuno yang tak ia mengerti.Tiara mulai bicara sendiri.Kalimatnya pendek, pelan, dan berulang.“Jangan buka pintunya… jangan buka pintunya… dia belum siap…”Raka berdiri terpaku di depan cermin kamar.Refleksinya... tidak bergerak bersamaan.Saat ia memiringkan kepala, bayangannya tertinggal.Matanya merah. Tapi hanya di dalam pantulan.Anggi?Sudah sejak satu jam lalu ia bicara dengan udara kosong.Katanya, sedang menemani “Kevin” bermain kartu di pojok ruang tengah.> “Dia menang
Jam di dinding menunjukkan pukul 11 malam.Hujan turun deras sejak magrib tadi. Suara rintiknya menghantam genteng seperti derap langkah kaki seribu orang.Di ruang tengah, mereka berempat duduk melingkar tanpa banyak bicara.TV mati. HP mati. Sinyal lenyap. Listrik kadang nyala, kadang meredup sendiri.Rumah itu terasa hidup. Tapi napasnya… berat.Tiara bersandar di tembok, memeluk bantal. Wajahnya lelah.Zaki menempelkan telinga ke lantai, katanya dia bisa dengar suara langkah dari bawah.Anggi memandangi langit-langit tanpa ekspresi.Dan Raka, duduk paling ujung, menatap pintu kamar mandi yang setengah terbuka.Lalu tiba-tiba, suara tawa kecil terdengar dari lorong.Tawa anak kecil. Lembut. Seperti sedang bermain kejar-kejaran.Tiara menutup telinganya.“Udah cukup... gue gak mau lagi denger itu...”Zaki berdiri, memegang pisau.“Kalo mereka pikir kita bakal diem aja... gue bakal tunjukin gue gak takut!”Dia melangkah ke lorong. Lampu berkedip pelan.Langkahnya menggema, padahal di