“Maaf, saya mau bertemu dengan ibu Eve. Nama saya Armala, saya sudah buat janji dengan beliau.” Mahreen menghampiri meja resepsionis dan berkata dengan sopan dan penuh kelembutan.
“Oh, iya. Bu Eve sudah menunggu. Silahkah ikuti saya.” Perempuan yang merupakan seorang resepsionis itu, meminta Mahreen mengikutinya masuk kedalam sebuah ruangan khusus menerima tamu.
“Mohon tunggu sebentar, saya akan panggil bu Eve.” Mahreen mengangguk dan memberi senyuman ramahnya. Suasana didalam ruang tunggu yang sangat eksklusif dengan satu sofa panjang dan dua sofa single juga meja persegi yang panjangnya dengan sofa panjang. Tidak ada furniture tanpa fungsi diruangan ini. Hanya ada lampu yang menyala di siang hari dengan sinarnya yang hangat tidak menyilaukan.
“Nona Armala? Saya Eve. Senang bertemu langsung dengan anda.” Eve, wanita metropolitan yang sangat cantik dengan usia sekitar 30an, setelan seragam eksekutif masa kini yang banyak ditemui di wilayah perkantoran/
“Selamat siang, bu Eve. Maafkan saya baru bisa datang sekarang.” Jawab Armala alias Mahreen sambil membalas uluran tangan Eve sang sekretaris.
“Jangan panggil saya ibu, panggil saja Eve. Saya belum menikah dan punya anak, haha …” Jawab Eve dengan ramah.
“Oh, maafkan saya. Kalau begitu, panggil saya Armala saja.” Mahreen tersenyum sambil menampakkan gigi gingsulnya yang menawan hati.
“Baiklah. Begini nona Armala, bos besar saya yang ada di Italy mau datang ke Indonesia dan tinggal disini untuk beberapa bulan lamanya. Kantor cabang ini merupakan satu-satunya perwakilan di Asia Tenggara jadi bos bebas kami itu ingin memantau perkembangan pasar yang ada di Indonesia apakah prospeknya sangat menjanjikan atau tidak.” Mahreen mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan panjang lebar Eve.
“Dan, kebetulan sekali, kami memang sudah punya ruangan kosong untuk bos besar kami itu tapi interior dan desainnya setelah kami foto dan kirimkan ke bos kami itu, beliau tidak suka dan minta dirubah. Kami hanya punya waktu satu bulan sebelum beliau datang ke Indonesia. Apakah Armala bisa melakukannya?” Eve menceritakan asal muasal mengenai semua permintaan sang bos sampai akhirnya membutuhkan jasa seorang desainer interior.
“In Syaa Allah bisa. Tapi, saya butuh banyak masukan berupa data-data bos anda agar kami bisa membuat sesuai yang diinginkan.” Jawab Mahreen. Eve pun menyanggupi dan selanjutnya mereka berdua pun melakukan pertukaran informasi mengenai apa yang dibutuhkan dan apa saja yang akan dilakukan.
Tidak terasa satu jam sudah Mahreen berdiskusi dengan Eve. Jam makan siang pun tiba, dan Mahreen berpamitann untuk pulang.
“Kalau masih ada yang ingin ditanyakan, silahkan hubungi saya kapanpun. Ini kartu nama saya. Saya ingin pengerjaanya segera dilakukan agar bos kami bisa segera melihat hasilnya.” Jawab Eve dengan suara sopan namun unsur tegas ada didalamnya.
“Saya usahakan belum sampai satu minggu lagi, saya dan tim sudah akan mulai melakukan pengerjaannya. Namun sebelum itu, dua hari lagi saya akan memberikan hasil rancangannya via email.” Jawab Mahreen sambil tersenyum lebar.
“Kamu cantik sekali. Pasti sudah punya pacar ya? Ups, maaf saya jadi kepo. Hahaha …” Eve tidak tahan untuk tidak berkomentar tentang penampilan dan wajah Armala yang menurutnya sangat sederhana tanpa make up tebal namun kecantikannya muncul bersinar.
“Hehehe, anda bisa saja. Kalau begitu, saya permisi dulu. Maafkan saya mengganggu jam makan siang anda. Sampai bertemu dua hari lagi.” Jawab Mahreen.
Sepeninggal Mahreen keluar dari kantor Thunderbolt, sebuah telpon berupa video call masuk. Ternyata dari sekretaris sang bos besar mereka yang bernama Edward.
“Uhhh, aku benci sekali orang ini. Untuk apa lagi dia menelpon via video call? Mendengar namanay saja aku muak, sekarang malah harus melihat wajahnya.” Pikir Eve. Sekretaris cantik itu menarik dan menghembuskan napasnya dalam-dalam sebelum menggeser anak panah warna hijau ke atas layar ponselnya.
“Lama sekali kamu menerima telponku. Sebegitu malasnya kah kamu melihat wajahku?” Edward bertanya dengan ekspresi datar. Pria yang mengenakan setelan jas berawarna hitam itu, jelas sekali sudah berada di ruangan kerjanya dengan latar belakang kaca jendela besar. Perbedaan waktu lima jam antara Indonesia dan Italia tidak membuat komunikasi terhambat karena mereka masih bisa saling berbicara satu sama lain.
“Aku sedang ada tamu tadi. Kenapa kamu menelponku?” Jawab Eve yang enggan menjawab pertanyaan panjang lebar.
“Cih! Kamu sudah berani berkata tidak sopan padaku.”
“Edward, posisi kita sama-sama sekretaris. Walaupun kita berada di kantor yang berbeda tapi kita SAMA-SAMA SEKRETARIS. Kamu jangan angkuh didepanku. Paham?!” Eve memberikan sorot mata tajam pada pria yang kadang terlalu meninggikan statusnya tanpa mempertimbangkan keadaan dan lawan bicara. Pria blasteran itu melebarkan mata terkejut mendapat bentakan dari perempuan asli Indonesia. Sifatnya yang semula garang kini menjadi lembut turun beberapa derajat.
“Ya sudahlah, bagaimana ruangan kerja untuk bos besar? Apakah sudah bisa terlihat hasilnya?” Edward menuju ke topic utama yang sudah seharusnya dia katakan sejak tadi.
“Aku baru saja selesai berbicara dengan desainer interiornya. 3 hari lagi dia akan memberikan hasil rancangannya dan aku akan kirimkan padamu nanti hasilnya via email.” Jawab Eve yang kini lebih berani bersikap.
“Okay.” KLIK!
Edward menutup panggilan video begitu saja tanpa basa basi sama sekali. Eve menganga tidak percaya dengan attitude seorang sekretaris bos besar tapi tidak tahu tata krama dalam berkomunikasi.
“Dasar pria aneh! Awas saja kalau dia kesini berani memerintahku, akan aku potong-potong tubuhnya jadi 10 lalu kubuang ke bantaran sungai jadi makanan buaya.” Gumam Eve gemas bukan kepalang.
“Eve, kamu menakutkan sekali.” Seorang perempuan yang merupakan teman staf di kantor rupanya mendengarkan apa saja yang diucapkan Eve. Sekretaris itu menyeringai malu dan terkekeh.
Sementara itu ditempat lain, Mahreen yang sudah keluar dari lift yang membawanya ke lantai 1, segera menuntaskan prosedur pengembalian tanda pengenal dan perempuan yang pernah menikah itu pun menelpon supir untuk menjemputnya di lobi. Dengan langkah ringan dan anggun, Mahreen berjalan menuju lobi untuk menunggu jemputannya. Mahreen berdiri di dekat kafe yang menjual aneka minuman kopi didekat lobi. Harum semerbak aroma kopi tiba-tiba membuat perutnya mual.
Mahreen mencoba menahan mual dengan menutup mulut dan hidungnya, namun aroma kopi itu begitu kencang tercium oleh hidungnya. Mahreen pun berlari mencari toilet terdekat dan memuntahkan isi perutnya kedalam kloset wanita yang kebetulan kosong.
“Hueeekk, hueeeeek …” Semua isi makanan bahkan sampai empedu dirasa Mahreen keluar semua saking pahit mulutnya. Perempuan itu mengira kalau dia masuk angin. Tapi, tidak biasanya aroma kopi akan membuatnya mual. Justru Mahreen adalah penikmat kopi sejati sejak masa kuliah.
Setelah menekan tombol penghisap kloset, Mahreen menuju wastafel untuk cuci tangan dan mengelap mulutnya. Matanya menatap kaca besar yang ada didepannya. Sebuah kekhawatiran muncul tiba-tiba dan itu membuatnya ingin menangis.
“Kamu boleh bekerja selama enam bulan kedepan. Atau, aku akan mengurungmu disini sampai kamu melahirkan. Tinggal pilih, mau yang mana?” Ujar Mateo memberi pilihan pada sang istri. Mahreen menelan saliva susah payah. Kehidupan penuh kekangan sudah ada di depan matanya.Mahreen terbangun di tengah malam karena kehausan. Disebelahnya, Mateo masih pulas dalam tidurnya. Seperti yang sudah Mahreen duga, pria itu meminta haknya setelah sekian lama memendam rasa. Perempuan hamil itu berjalan mengendap menuju dapur. Sebuah lemari pendingin menjadi tujuan utamanya. Jam menunjukkan pukul 2 dini hari seperti yang ditunjukkan di jam dinding yang ada di dapur. Mahreen duduk di ruangan depan sambil menggenggam cangkir berisi air putih.Matanya mengedar ke seluruh ruangan yang ada di depan matanya. Sebuah hunian mewah yang aura Mateo melekat kuat disini. Berkali-kali Mahreen menarik napas lalu menghela napas panjang. Dia pun mencari posisi nyaman untuk selonjoran di sofa panjang warna putih bersih ya
“Bagaimana mungkin pria ini bisa mengetahui kalau aku sedang ada disini?” Gumamnya dalam hati.“Terima kasih,” Ucap Mateo pada kasir yang telah selesai menghitung belanjaan Mahreen dan pria itu pun tanpa sungkan mengangkat kantong yang terbuat dari bahan katun tersebut. Dengan santainya, pria Italia yang membiarkan bulu-bulu halus tumbuh di rahangnya itu mendekap pinggang sang istri dan mereka berjalan menuju mobil Mateo yang terparkir tidak jauh dari mobil Mahreen.“Berikan kunci mobilmu padaku. Kamu akan naik mobil bersamaku. Mobilmu akan diantarkan pulang oleh supirku.” Jawab Mateo sambil meletakkan belanjaan ke bagasi mobilnya. Mahreen terdiam entah kenapa dia tidak bisa melarikan diri lagi. Dia merasa kalau pelariannya kali ini akan sangat sia-sia karena posisinya yang sudah sangat dekat dengan Mateo dan tidka bisa berlari seperti saat dia didalam mobil.“Aku bisa pulang sendiri.”“Jangan keras kepala, Mahreen. Dan, jangan pernah menguji batas kesabaranku.” Jawab Mateo dengan rah
“Jangan-jangan, dia sudah menemukan istrinya dan mengajak istrinya tinggal bersama di rumah kak Mateo yang baru.” Perempuan yang menyukai kakak tidak sedarah itu berpikir keras. Otak jahatnya tidak bisa berpikir jernih setiap kali teringat Mahreen. Dengan menggigiti kukunya, Mischa mencari akal untuk mencari tahu dimana keberadaan perempuan yang telah merebut kakak tiri tersayangnya. Berbekal pertemanan yang dia miliki, perempuan itu pun mencari tahu dengan menghubungi beberapa temannya untuk mengorek informasi.“Segera beritahu aku di nomer ini. Aku akan membayarmu sangat tinggi kalau berhasil menemukannya.” Mischa pun mematikan ponselnya dan bersiap-siap untuk keluar dari penjara emas ini yang membuatnya sangat bosan.Sementara itu di tempat lain, Mahreen berdiri melongo tidak percaya melihat pria yang duduk di hadapannya. Tante Maira merekomendasikan pekerjaan untuknya sebagai seorang sekretaris. Mahreen pernah bekerja sebagai seorang sekretaris saat dia bekerja di perusahaan paman
Perempuan hamil itu butuh untuk tinggal didalam apartemen yang sudah fully furnished (Fully furnished adalah kondisi isi sebuah hunian yang telah dilengkapi furniture dan perabot lengkap yang dibutuhkan oleh penghuni untuk hidup dengan nyaman.) karena semua perabotannya dirumah kontrakan lama membutuhkan waktu untuk dipindahkan.“Baiklah, saya ambil ini. Saya memang membutuhkan tempat tinggal tidak terlalu besar tapi memudahkan saya untuk bergerak kemana saja. Bisakah kita langsung menyelesaikan persyaratannya? Saya ingin segera tinggal disini sekarang juga.” Ucap Mahreen. Ya, dia tidak punya tempat tinggal lagi. Rumah lamanya sudah tidak nyaman lagi untuknya. Dari nomer ponsel yang berhasil pria itu dapatkan dan menemukan rumah bukanlah hal yang sulit. Mahreen yang sudah mengganti nomer ponselnya itu segera menghubungi tantenya untuk memberikan kabar terbaru.“Assalammualaikum, tante.” Suara Mahreen yang masih sangat lelah terdengar jelas oleh Maira dari ujung telpon.“Wa’alaikumussa
“Aku mencarimu keman-mana seperti orang gila. Aku meninggalkan pekerjaanku di Italy demi untuk mencari dimana keberadaanmu. Beginikah cara kamu menyambut aku, suamimu sendiri?” Ujar Mateo dengan rahang mengeras dan mengukung Mahreen dibawah tubuhnya dengan jarak wajah mereka tidak lebih dari lima senti.“Kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Aku sudah menggugat cerai kamu jadi seharusnya kamu sudah menandatanganinya bukan? Aahhh lepaskan tanganku!” Kedua tangan Mahreen dicengkeram Mateo di samping tubuh sang perempuan hamil. Harum aroma maskulin dari Mateo terhirup jelas di indera penciuman Mahreen. Harum khas Mateo yang tidak pernah bisa dilupakannya.“Cerai? Kamu pikir kamu bisa bercerai begitu saja dariku? Hmm. Kamu harus menerima hukumannya karena berani melarikan diri dari aku.” Dengan seringai iblisnya, Mateo merobek pakaian yang dikenakan Mahreen. Spontan sang perempuan berteriak kencang karena ketakutan.
“Halo,” Namun tidak ada suara di ujung telpon.“Halo, siapa ini?” Tanya Mahreen lagi.“Armala? Ini aku Eve. Apa kabar kamu? Lama kita tidak bertemu.”“Eve? Senang mendengar suaramu lagi. Ada apa menghubungiku? Apakah ada sesuatu yang bisa aku bantu?” Mahreen yang sedang duduk di teras, langsung terbangun berdiri berjalan menuju ke dalam rumah.“Armala, apa kita bisa bertemu sekarang?” suara Eve terdengar bergetar.“Kamu tidak apa-apa, Eve? Suara kamu seperti …”“Aku tidak apa-apa. Aku akan kirimkan alamatnya ya. Ada sesuatu yang mau aku bahas mengenai desain ruangan kerja presdirku.” Jawab Eve.“Apa tanteku tidak bisa dihubungi?” Tanya Mahreen lagi.“Ini … berhubungan dengan pertama kali ruangan itu dirancang. Aku rasa aku lebih baik bicara langsung dengan kamu.” Ujar Eve sambil matanya melihat sesekali pria