Compartir

Cerita Tentang Biduan

Autor: YuRa
last update Última actualización: 2025-03-17 20:20:45

“Kamu kenapa?” tanya Haris ketika melihat air mata menetes di pipi Esti. Ia pun segera memeluk Esti.

Esti mempererat pelukannya, dan ia pun menangis tersedu-sedu.

“Aku merasa kalau akhir-akhir ini komunikasi kita tidak baik bahkan setiap berbicara selalu diwarnai dengan perdebatan yang tiada ujung. Aku merindukan masa-masa seperti dulu, rumah yang penuh dengan kehangatan. Apakah keinginanku ini terlalu berlebihan?” Esti berkata dengan terbata-bata sambil terisak.

“Enggak sayang, keinginanmu itu tidak berlebihan. Bahkan sangat wajar. Maafkan aku yang tidak menyadari semua keinginanmu itu.” Haris melepaskan pelukannya dan memegang wajah Esti dengan kedua tangannya, kemudian mencium Esti.

“Maafkan aku, aku mungkin bukan suami yang baik. Tapi aku akan berusaha untuk menjadi suami yang bisa kamu andalkan.” Haris menatap Esti dengan tatapan penuh cinta.

“Apakah aku sudah tidak menarik lagi bagimu, Mas?” tanya Esti.

“Sssttt.” Haris meletakkan telunjuknya ke bibir Esti.

“Maafkan aku kalau akhir-akhir ini sering mengabaikanmu dan anak-anak. Pekerjaan di kantor memang sedang banyak, apalagi ada pergantian camat. Seperti memulai pekerjaan dari nol. Tapi aku akan berusaha menghabiskan waktu denganmu dan anak-anak.”

Haris memeluk erat tubuh Esti.

***

“Ada masalah apa lagi, Winda?” tanya Esti ketika melihat Winda dan seorang temannya yang sudah berada di ruangannya.

“Biasa, Bu, berantem,” sahut Sandy, guru BK yang satu ruangan dengan Esti.

Guru BK di sekolah ini ada tiga orang yaitu Esti, Irfan dan Sandy yang berada dalam satu ruangan. Mereka memegang beberapa kelas untuk bimbingan dan konseling. Kebetulan kelas Winda dipegang oleh Esti, tentu saja segala permasalahan yang terjadi di kelas Winda akan diselesaikan oleh Esti.

“Kamu siapa?” tanya Esti pada perempuan di sebelah Winda yang tampak menor dandanannya.

“Septi kelas XI 1.”

“Hapus dulu dandananmu,” kata Esti sambil menyerahkan tisu pada Septi.

“Saya nggak dandan, Bu.”

“Bohong, itu kelihatan kamu pakai eyelash dan alismu terlalu tebal.”

“Bener saya nggak pakai,” kata Septi, ia masih mengelak.

Esti segera mengambil tisu basah yang ada di dalam laci mejanya.

“Bersihkan pakai ini.” Esti memberikan tisu basah itu pada Septi.

Dengan wajah cemberut dan bersungut-sungut, Septi segera menghapus riasannya. Perlahan terlihat wajah polos Septi yang masih tampak remaja pada umumnya. Benar kata Esti kalau Septi memakai make up yang berlebihan ke sekolah.

“Ke sekolah itu pakai make up sewajarnya saja, yang natural. Itu lipstikmu terlalu tebal.”

“Bibir saya kering, Bu,” sahut Septi sambil mengelap wajahnya untuk menghapus make up.

“Pakai saja lip balm yang warna natural. Kamu itu cantik, nggak pakai make up pun sudah cantik. Kalau kamu berdandan pakai make up tebal, jangan pakai pakaian sekolah. Kalau di luar sekolah terserah kamu mau pakai make up setebal apapun tidak ada yang melarang. Tapi ini di lingkungan sekolah, tentu saja ada peraturan sekolah yang harus kamu taati. Kamu kesini untuk sekolah, belajar bukan fashion show.” Esti memberi nasehat pada Septi.

“Kamu guru BKnya siapa?” tanya Esti pada Septi.

“Saya, Bu.” Sandy yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara. Karena permasalahan dandanan perempuan, ia tidak begitu paham. Lagipula Esti merupakan seniornya, jadi ia memberi kesempatan pada Esti untuk berbicara duluan.

“Sebenarnya permasalahannya apa?” Esti bertanya pada Septi dan Winda.

“Dia ngatain saya kayak biduan tempel, nanti pasti jadi pelakor. Saya nggak terima dikatain kayak gitu,” kata Septi dengan berapi-api, ia tampak emosi.

“Dandanannya kan memang kayak biduan tempel. Lagipula kamu yang ngomongin aku duluan.” Winda tak kalah sengit membalas ucapan Septi.

“Bukannya masalah awal dari kantin?” selidik Sandy.

“Iya Pak. Tadi Winda menginjak sepatu baru saya yang harganya mahal.”

“Nggak sengaja, kantin sedang ramai karena waktu istirahat. Lagipula aku sudah bilang minta maaf.”

“Terus?” tanya Esti.

“Kata Septi harga sepatunya sangat mahal, anak babu mana mampu membelinya,” kata Winda dengan pelan. Ada rasa sesak di dadanya ketika menyebut kata pembantu.

“Ibu saya memang babu, tapi bukan berarti bisa dijadikan bahan ejekan,” lanjut Winda dengan mata berkaca-kaca.

“Terus kamu ngatain aku kayak biduan tempel yang nantinya jadi pelakor. Syukurin ayahmu direbut pelakor,” ejek Septi dengan wajah yang sinis.

“Mudah-mudahan ayahmu nanti juga direbut pelakor.” Winda berkata dengan tenang.

Terjadi ketegangan antara Winda dan Septi di ruangan itu, Esti dan Sandy hanya diam saja. Sengaja menonton perdebatan antara kedua siswi itu.

“Selesai?” tanya Esti, setelah kedua siswi itu kehabisan kata-kata.

“Sebenarnya masalahnya sepele, hanya sepatu terinjak dan Winda sudah minta maaf. Tapi sepertinya kamu malah memperbesar masalah. Apakah ada masalah lain, Septi?” selidik Esti.

“Masalah cowok mungkin?” lanjut Sandy, karena biasanya kalau siswi berantem kebanyakan karena masalah cowok.

Septi menggelengkan kepalanya.

“Mau diselesaikan masalah ini?” tanya Esti, ia memandang Septi dan Winda. Kedua siswi itu mengangguk.

Esti dan Sandy mulai membicarakan penyelesaian masalah ini, tentu saja berharap ada kesepakatan damai antara keduanya. Walaupun diwarnai dengan sedikit perdebatan, akhirnya keduanya menyatakan berdamai dihadapan Esti dan Sandy. Kalau nanti mereka bermasalah lagi, terpaksa panggilan untuk orang tua.

“Winda, kamu tinggal dulu disini. Ada yang mau Ibu bicarakan.” Esti meminta Winda untuk tetap di ruangannya setelah Septi keluar. Winda pun menuruti kata-kata Esti.

“Winda, sebenarnya ada apa, kok kamu membenci biduan? Ingat nggak, dulu waktu kamu berantem dengan Santi?” Esti mengingatkan kejadian yang sudah berlalu.

Winda mengangguk.

“Ayah saya bekerja di sebuah orgen tunggal. Karena itu, akhirnya dekat dengan biduannya. Bisa ditebak kan, Bu, apa yang terjadi selanjutnya? Padahal biduan itu punya suami.” Winda berhenti sejenak, kemudian menghela nafas panjang untuk menetralkan suasana hatinya.

Esti tampak tertegun mendengar cerita dari Winda.

“Kamu berapa bersaudara?”

“Adik saya satu, laki-laki. Sekarang kelas delapan SMP.”

“Terus, bagaimana selanjutnya?” tanya Esti.

Winda meneteskan air mata, kemudian menangis tersedu-sedu.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Bahagia

    Haris dan Esti menatap keluar jendela pesawat, melihat awan-awan putih seperti kapas yang bergulung-gulung di bawah mereka. Suara mesin pesawat berdengung pelan, namun entah mengapa, hati Esti terasa ringan. Beberapa minggu terakhir penuh kepenatan, tumpukan pekerjaan, masalah keluarga, dan rasa lelah yang sulit dijelaskan. Semua itu seolah menempel di pundaknya.“Siap untuk liburan tanpa anak-anak?” tanya Haris sambil tersenyum nakal. Esti menoleh dan tersenyum tipis. “Kalau mereka ada, pasti nggak akan sebebas ini,” jawabnya. Haris menggenggam tangannya erat. “Ini waktunya kita berdua. Waktu kita.”Setibanya di Bali, mata mereka disambut langit biru cerah dan aroma laut yang khas. Di bandara, mereka disambut dengan sopan seorang supir hotel yang membawa mereka ke vila kecil di tepi pantai. Saat memasuki vila, Esti terpesona melihat pemandangan laut yang terbentang luas dari balkon. “Wow… ini seperti mimpi,” bisiknya. Haris tersenyum sambil menyerahkan sebotol air dingin.“Dan ter

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Hadiah

    “Ibu, sama siapa ke sini?” tanya Esti tergopoh-gopoh sambil buru-buru mengelap tangannya di celemek. Senyumnya merekah begitu melihat Bu Siti, mertuanya, berdiri di depan pintu.“Sendirian saja. Dewi sejak pagi sudah ada urusan, jadi Ibu berangkat sendiri,” jawab Bu Siti sambil menepuk-nepuk ujung kerudungnya yang sedikit berdebu.Esti melirik ke arah suaminya, Haris, yang baru saja muncul dari ruang tengah. “Lho, Bu. Kan bisa telepon aku, biar aku jemput,” kata Haris dengan nada setengah menegur, tapi matanya berbinar senang melihat ibunya datang.Bu Siti terkekeh pelan, kerutan di wajahnya seakan ikut tersenyum. “Kalian ini, terlalu mengkhawatirkan Ibu. Masih kuat kok naik angkot sendiri. Belum pikun juga.”Esti tersenyum, tapi hatinya sedikit hangat bercampur cemas. Ia tahu Bu Siti keras kepala soal kemandirian, meski usianya sudah senja. Ada rasa bangga sekaligus khawatir yang selalu muncul tiap kali mertuanya bersikeras melakukan sesuatu sendirian.“Mana anak-anak?” tanya Bu Siti

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Hidup Terus Berjalan

    Dengan tiba-tiba, ia bersimpuh di kaki Haris, membuat semua orang terpaku.“Mas… nikahi aku. Aku berjanji akan sadar posisiku sebagai istri kedua. Aku tidak akan menuntut apa-apa, hanya jangan tinggalkan aku…”Esti terperangah, tangannya menutupi mulutnya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Om Wisnu menatap anaknya dengan tatapan marah sekaligus putus asa.Haris menatap Widya yang menangis di kakinya, lalu menatap Esti, pilihan yang akan menentukan segalanya.“Widya…,” ucap Haris pelan, “aku mencintai Esti. Aku tidak bisa dan tidak akan menghancurkan rumah tanggaku. Berdirilah, pulanglah bersama ayahmu.”Widya masih berlutut di kaki Haris, tangisannya tersengal. Tapi tiba-tiba tubuhnya melemas, dan ia jatuh tak sadarkan diri.“Widya!” teriak Om Wisnu panik, langsung memeluk tubuh anaknya.Haris berjongkok membantu, sementara Esti hanya bisa berdiri terpaku, antara iba dan sakit hati.“Cepat! Kita bawa ke rumah sakit sekarang!” kata Haris tegas.Om Wisnu mengangguk, wajahnya pucat. “To

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Istri Kedua

    Widya tiba-tiba menangis, air matanya jatuh deras, membuat suasana yang sudah tegang menjadi semakin rumit.“Aku… aku nggak sanggup lagi, Mbak,” suaranya bergetar, nyaris tersedu. “Aku cuma ingin seseorang mendengarkan ceritaku, tapi sekarang aku malah disalahkan seolah aku perebut suami orang.”Esti menatapnya tajam. “Lalu pesanmu itu? Kata-katamu yang jelas mengatakan kamu masih mencintai Haris? Itu hanya keluhan biasa menurutmu?”Widya menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku… aku nggak tahu harus bicara sama siapa lagi. Sejak bercerai, semua orang menghakimiku. Aku merasa sepi. Aku cuma ingin ada yang peduli.”Dewi mendengus sinis. “Jangan mainkan peran korban di sini, Widya. Kita semua bisa lihat apa niatmu.”Namun Bu Siti tampak mulai bimbang, melihat tangisan itu. Haris sendiri hanya bisa menunduk, menahan diri untuk tidak bersuara.“Apa salahku mencoba mencari perhatian? Apa salahku ingin merasa dicintai lagi?” seru Widya di sela tangisnya, membuat suasana semakin emosional

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Melampaui Batas

    Haris menarik napas panjang, lalu menatap Esti dengan sorot mata penuh ketegasan.“Sayang, dengar aku baik-baik. Aku tidak mencintai Widya. Aku mencintai kamu, hanya kamu. Dan sekarang aku akan buktikan.”Tanpa ragu, Haris mengambil ponselnya. Ia mengetik pesan balasan untuk Widya, membacakan setiap kata dengan lantang agar Esti mendengar.[Widya, jangan hubungi aku lagi. Apa pun yang kamu rasakan, aku tidak bisa membalasnya. Aku sudah berkeluarga dan akan menjaga rumah tanggaku. Semoga kamu bisa memahami.]Setelah itu, Haris langsung memblokir nomor Widya. “Sudah. Tidak ada lagi pesan darinya yang bisa masuk,” ucapnya mantap, lalu meletakkan ponsel di meja, menjauhkan dari dirinya.Esti terdiam, masih dengan wajah tegang, namun perlahan ekspresinya mulai melembut. “Kamu yakin ini akan selesai begitu saja?”“Tidak tahu,” jawab Haris jujur. “Tapi aku akan hadapi. Yang penting kamu tahu bahwa aku memilihmu, bukan dia.”Esti menarik napas panjang. Meski masih ada rasa curiga, kejujuran H

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Masih Memiliki Rasa

    Haris kembali ke kantornya dengan langkah berat. Senyum Widya, tatapan matanya, dan kata-katanya terus berputar di pikirannya.Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menatap layar komputer, tapi huruf-huruf di laporan tampak kabur."Kenapa aku merasa seperti ini? Aku sudah bahagia dengan Esti… kan?" gumamnya dalam hati.Bayangan masa lalu datang, saat Widya pernah menyatakan perasaannya dengan polos, dan Haris menolaknya demi menjaga hati Esti. Ia yakin keputusan itu benar, tapi mengapa sekarang perasaan itu kembali, justru ketika situasi semakin rumit?Telepon di mejanya berdering, membuatnya tersentak. Ternyata dari Esti. Haris menatap layar ponsel, bimbang beberapa detik sebelum mengangkat.“Mas, jadi pulang cepat, kan? Anak-anak mau kita ajak makan malam di luar,” suara Esti terdengar riang.Haris tersenyum samar, meski hatinya penuh gejolak. “Iya, Sayang. Mas segera selesaikan kerjaan dulu.”Setelah telepon ditutup, Haris bersandar di kursinya. Dalam hati, ia berbisik pada dirinya se

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status