“Ibu nggak menuduh Indah, tapi Ibu bicara berdasarkan kenyataan. Ada hubungan apa kamu dengan Indah, kok kamu sangat membelanya?” sahut Siti dengan nada yang agak tinggi.
Haris kaget, ia baru menyadari kalau ia sudah salah berbicara. “Sialan, kok aku sampai keceplosan seperti itu ya?” kata Haris dalam hati, menyadari kebodohan yang sudah ia lakukan. “Haris, jangan bermain api. Sedekat apa hubunganmu dengan Indah?” tanya Dewi. “Sebatas pemilik dan biduannya saja, nggak lebih. Aku hanya kasihan melihat Indah selalu menjadi bahan cemoohan. Dia itu mencari nafkah untuk menghidupi anaknya. Apa salah kalau aku mempekerjakan dia? Apalagi sejak dia bergabung, orgen tunggal ku jadi sering dapat jadwal manggung. Dia itu membawa hoki.” Haris berkata panjang lebar. “Hati-hati Mas, berawal dari kasihan, kemudian saling curhat dan akhirnya menjadi nyaman. Rumah tangga pun dipertaruhkan.” Erlin mengingatkan Haris. Haris menjadi kesal, karena kedatangannya kesini untuk mengunjungi ibunya, tapi malah semua seperti menyudutkannya. “Yang dikatakan Erlin itu benar. Rasa simpatimu itu akan menjadi rasa mengasihi, lama-lama malah ingin memiliki. Jangan sampai rumah tanggamu berantakan gara-gara perempuan itu. Kamu harus belajar dari pengalaman hidup Dewi dan Erlin. Dulu kamu terlihat marah ketika mereka berdua diselingkuhi, jadi kamu jangan jadi pemainnya. Pikirkan anak istrimu, fokus pada mereka. Jual saja orgen tunggalmu itu. Banyaklah mudaratnya daripada manfaatnya.” Siti berbicara panjang supaya hati Haris terbuka. “Tapi musikku itu mampu menghidupi banyak keluarga kru.” Haris masih membela diri. “Apa gunanya bermanfaat bagi orang lain tapi malah menjadi duri bagi keluarga sendiri. Keluarga kru bukan tanggung jawabmu. Keluargamu lah tanggung jawabmu, yang nantinya dipertanggung jawabkan di akhirat. Jangan berpikir pendek!” tegas Siti. *** Sejak Esti menegur Indah waktu itu, penampilan Indah mulai berubah. Ia berpakaian agak sopan. Setidaknya yang dipakai tidak terlalu ketat, terkadang kaos oblong dan celana jeans atau memakai rok batas lutut. “Bu, Tante Indah malah terlihat cantik dan anggun kalau berpakaian seperti itu ya? Daripada waktu itu. Syukurlah dia berubah. Tapi siapa ya yang membuatnya berubah?” tanya Mei ketika mereka berdua berada di dalam rumah dan melihat Indah lewat. “Mungkin dia sudah mendapatkan hidayah, jadi ingin berubah ke arah lebih baik. Sedikit demi sedikit. Kita harus menghargai usahanya untuk menjadi baik.” Terdengar suara Indah sedang melantunkan sebuah lagu di studio. Memang suara Indah terdengar merdu dan mendayu-dayu, mungkin itulah yang membuat orgen tunggal Cakrawala banyak job. Apalagi dengan harga yang cukup bersaing dengan orgen tunggal lainnya. Hari ini mereka latihan untuk tampil hari minggu. Esti jarang bergabung atau sekedar melihat mereka latihan. Ia sendiri sudah capek dari sekolah, sampai rumah setengah empat. Waktu yang tersisa sore itu biasanya digunakan untuk memasak atau sekedar rebahan. Seperti hari ini, ia hanya rebahan di sofa bersama dengan Mei. Haris ada kegiatan diluar bersama dengan Camat dan staf kecamatan lainnya. Kemungkinan ia akan pulang malam. Menjelang magrib, para kru selesai latihan. Reno membereskan peralatan kemudian mengunci studio dan memberikan kuncinya pada Esti. “Ini kuncinya, Bu. Kami mau pulang,” pamit Reno sambil menyerahkan kunci studio. “Oke, hati-hati ya?” “Baik, Bu.” Reno menjawab dengan sopan. Tampak beberapa kru sudah naik di atas motornya masing-masing, begitu juga dengan Indah. Tapi Indah tidak menoleh sedikitpun ke arah Esti. Esti juga pura-pura tidak melihat Indah, ia menerima kunci itu kemudian menutup pintu samping. Sepertinya Indah masih kesal dengan kata-kata yang diucapkan oleh Esti waktu itu. Ia tidak terima ditegur oleh Esti, karena ia merasa kalau Esti bukan bosnya. Selesai makan malam, Esti menemani anak-anaknya belajar. sedangkan Haris belum pulang. “Bu, kok Ayah belum pulang? Memangnya kerja apa kok sampai malam?” tanya Ais di sela-sela ia menyelesaikan tugas sekolah. “Berarti pekerjaan Ayah belum selesai. Kalau sudah selesai pasti pulang, benar kan, Bu?” sahut Mei sambil meminta tanggapan dari ibunya. “Benar yang dikatakan Mei, nanti kalau sudah selesai pasti Ayah pulang. Selesaikan dulu tugasnya.” Sampai jam sembilan malam, Haris belum juga pulang. Ada sedikit kekhawatiran di hati Esti, karena Haris tidak memberi kabar padanya. Tadi sebelum magrib Haris memberitahu kalau pulang malam, tapi tidak menyebutkan jam berapa. Rasa kantuk juga sudah menyerang Esti, ia pun segera mengunci semua pintu dan jendela. Kemudian masuk ke kamar dan merebahkan diri di tempat tidur. Esti berusaha untuk tidur, tapi pikirannya melayang kemana-mana. Semenjak Indah bergabung dengan Orgen tunggal milik Haris, ia selalu was-was. Status janda yang melekat pada Indah, ditambah dengan tingkah lakunya yang ganjen, membuat Esti sedikit curiga. “Jangan-jangan…. Ah, sudahlah, mudah-mudahan apa yang aku pikirkan tidak akan terjadi.” ESti berusaha menepis pikiran yang sempat terlintas. “Sudah jam sepuluh, kok belum pulang ya? Memangnya kegiatan apa sih, sampai malam seperti ini. Nanti kalau aku menelponnya, ia marah. Terserahlah, aku mau tidur.” *** “Jam berapa tadi malam pulangnya, Mas?” tanya Esti ketika mereka sedang sarapan. Anak-anak sudah berangkat duluan karena ada tugas piket kelas. “Jam sepuluh.” Haris menjawab dengan mata masih fokus ke makanan yang ada dipiring. “Masa sih? Aku jam sepuluh belum tidur.” Haris menatap ke arah Esti. “Kamu pikir aku bohong, terus aku keluyuran nggak jelas, gitu?” Dari nada suaranya terdengar kalau Haris kesal. “Mas, aku jam sepuluh masih belum tidur. Karena aku memang tidak bisa tidur, pas aku lihat jam ternyata sudah jam sepuluh. Aku ngomong baik-baik, kok jawabannya ketus kayak gitu.” Haris menghela nafas panjang. “Aku nggak tahu jam pastinya, ketika keluar dari kantor memang jam sepuluh.” Haris berkata dengan suara yang merendah, tidak emosi seperti tadi. “Nah gitu kan enak dengarnya. Nggak usah suka marah, nanti malah darah tinggi,” celetuk Esti, kemudian ia menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Akhirnya acara sarapan pagi mereka lalui dengan berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing. Setelah membereskan meja makan dan mereka pun bersiap-siap untuk berangkat kerja. “Kenapa sih Mas, akhir-akhir ini aku merasa kalau kita semakin jauh,” kata Esti dengan pelan, ia sedang memakai kaos kaki dan duduk bersebelahan dengan Haris. Haris pun menoleh ke arah Esti, tapi Esti pura-pura masih sibuk dengan kaos kakinya. Ia menghindari tatapan mata Haris, karena ia merasakan kalau matanya sendiri sedang berkaca-kaca. “Apa maksudmu?” tanya Haris, ia masih melihat ke arah Esti. “Nggak apa-apa.” Esti menjawab dengan suara parau, seperti orang yang sedang menahan tangis. “Apa kamu sakit?” “Aku nggak apa-apa.” Lagi-lagi Esti menjawab dengan suara yang parau, membuat Haris semakin curiga. Haris berusaha membuat Esti menatap ke arahnya, ia memegang dagu Esti dan ia terkejut melihat ekspresi wajah Esti.Haris dan Esti menatap keluar jendela pesawat, melihat awan-awan putih seperti kapas yang bergulung-gulung di bawah mereka. Suara mesin pesawat berdengung pelan, namun entah mengapa, hati Esti terasa ringan. Beberapa minggu terakhir penuh kepenatan, tumpukan pekerjaan, masalah keluarga, dan rasa lelah yang sulit dijelaskan. Semua itu seolah menempel di pundaknya.“Siap untuk liburan tanpa anak-anak?” tanya Haris sambil tersenyum nakal. Esti menoleh dan tersenyum tipis. “Kalau mereka ada, pasti nggak akan sebebas ini,” jawabnya. Haris menggenggam tangannya erat. “Ini waktunya kita berdua. Waktu kita.”Setibanya di Bali, mata mereka disambut langit biru cerah dan aroma laut yang khas. Di bandara, mereka disambut dengan sopan seorang supir hotel yang membawa mereka ke vila kecil di tepi pantai. Saat memasuki vila, Esti terpesona melihat pemandangan laut yang terbentang luas dari balkon. “Wow… ini seperti mimpi,” bisiknya. Haris tersenyum sambil menyerahkan sebotol air dingin.“Dan ter
“Ibu, sama siapa ke sini?” tanya Esti tergopoh-gopoh sambil buru-buru mengelap tangannya di celemek. Senyumnya merekah begitu melihat Bu Siti, mertuanya, berdiri di depan pintu.“Sendirian saja. Dewi sejak pagi sudah ada urusan, jadi Ibu berangkat sendiri,” jawab Bu Siti sambil menepuk-nepuk ujung kerudungnya yang sedikit berdebu.Esti melirik ke arah suaminya, Haris, yang baru saja muncul dari ruang tengah. “Lho, Bu. Kan bisa telepon aku, biar aku jemput,” kata Haris dengan nada setengah menegur, tapi matanya berbinar senang melihat ibunya datang.Bu Siti terkekeh pelan, kerutan di wajahnya seakan ikut tersenyum. “Kalian ini, terlalu mengkhawatirkan Ibu. Masih kuat kok naik angkot sendiri. Belum pikun juga.”Esti tersenyum, tapi hatinya sedikit hangat bercampur cemas. Ia tahu Bu Siti keras kepala soal kemandirian, meski usianya sudah senja. Ada rasa bangga sekaligus khawatir yang selalu muncul tiap kali mertuanya bersikeras melakukan sesuatu sendirian.“Mana anak-anak?” tanya Bu Siti
Dengan tiba-tiba, ia bersimpuh di kaki Haris, membuat semua orang terpaku.“Mas… nikahi aku. Aku berjanji akan sadar posisiku sebagai istri kedua. Aku tidak akan menuntut apa-apa, hanya jangan tinggalkan aku…”Esti terperangah, tangannya menutupi mulutnya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Om Wisnu menatap anaknya dengan tatapan marah sekaligus putus asa.Haris menatap Widya yang menangis di kakinya, lalu menatap Esti, pilihan yang akan menentukan segalanya.“Widya…,” ucap Haris pelan, “aku mencintai Esti. Aku tidak bisa dan tidak akan menghancurkan rumah tanggaku. Berdirilah, pulanglah bersama ayahmu.”Widya masih berlutut di kaki Haris, tangisannya tersengal. Tapi tiba-tiba tubuhnya melemas, dan ia jatuh tak sadarkan diri.“Widya!” teriak Om Wisnu panik, langsung memeluk tubuh anaknya.Haris berjongkok membantu, sementara Esti hanya bisa berdiri terpaku, antara iba dan sakit hati.“Cepat! Kita bawa ke rumah sakit sekarang!” kata Haris tegas.Om Wisnu mengangguk, wajahnya pucat. “To
Widya tiba-tiba menangis, air matanya jatuh deras, membuat suasana yang sudah tegang menjadi semakin rumit.“Aku… aku nggak sanggup lagi, Mbak,” suaranya bergetar, nyaris tersedu. “Aku cuma ingin seseorang mendengarkan ceritaku, tapi sekarang aku malah disalahkan seolah aku perebut suami orang.”Esti menatapnya tajam. “Lalu pesanmu itu? Kata-katamu yang jelas mengatakan kamu masih mencintai Haris? Itu hanya keluhan biasa menurutmu?”Widya menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku… aku nggak tahu harus bicara sama siapa lagi. Sejak bercerai, semua orang menghakimiku. Aku merasa sepi. Aku cuma ingin ada yang peduli.”Dewi mendengus sinis. “Jangan mainkan peran korban di sini, Widya. Kita semua bisa lihat apa niatmu.”Namun Bu Siti tampak mulai bimbang, melihat tangisan itu. Haris sendiri hanya bisa menunduk, menahan diri untuk tidak bersuara.“Apa salahku mencoba mencari perhatian? Apa salahku ingin merasa dicintai lagi?” seru Widya di sela tangisnya, membuat suasana semakin emosional
Haris menarik napas panjang, lalu menatap Esti dengan sorot mata penuh ketegasan.“Sayang, dengar aku baik-baik. Aku tidak mencintai Widya. Aku mencintai kamu, hanya kamu. Dan sekarang aku akan buktikan.”Tanpa ragu, Haris mengambil ponselnya. Ia mengetik pesan balasan untuk Widya, membacakan setiap kata dengan lantang agar Esti mendengar.[Widya, jangan hubungi aku lagi. Apa pun yang kamu rasakan, aku tidak bisa membalasnya. Aku sudah berkeluarga dan akan menjaga rumah tanggaku. Semoga kamu bisa memahami.]Setelah itu, Haris langsung memblokir nomor Widya. “Sudah. Tidak ada lagi pesan darinya yang bisa masuk,” ucapnya mantap, lalu meletakkan ponsel di meja, menjauhkan dari dirinya.Esti terdiam, masih dengan wajah tegang, namun perlahan ekspresinya mulai melembut. “Kamu yakin ini akan selesai begitu saja?”“Tidak tahu,” jawab Haris jujur. “Tapi aku akan hadapi. Yang penting kamu tahu bahwa aku memilihmu, bukan dia.”Esti menarik napas panjang. Meski masih ada rasa curiga, kejujuran H
Haris kembali ke kantornya dengan langkah berat. Senyum Widya, tatapan matanya, dan kata-katanya terus berputar di pikirannya.Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menatap layar komputer, tapi huruf-huruf di laporan tampak kabur."Kenapa aku merasa seperti ini? Aku sudah bahagia dengan Esti… kan?" gumamnya dalam hati.Bayangan masa lalu datang, saat Widya pernah menyatakan perasaannya dengan polos, dan Haris menolaknya demi menjaga hati Esti. Ia yakin keputusan itu benar, tapi mengapa sekarang perasaan itu kembali, justru ketika situasi semakin rumit?Telepon di mejanya berdering, membuatnya tersentak. Ternyata dari Esti. Haris menatap layar ponsel, bimbang beberapa detik sebelum mengangkat.“Mas, jadi pulang cepat, kan? Anak-anak mau kita ajak makan malam di luar,” suara Esti terdengar riang.Haris tersenyum samar, meski hatinya penuh gejolak. “Iya, Sayang. Mas segera selesaikan kerjaan dulu.”Setelah telepon ditutup, Haris bersandar di kursinya. Dalam hati, ia berbisik pada dirinya se