Share

Jangan Hubungi

Author: YuRa
last update Huling Na-update: 2025-06-07 20:03:36

Indah membuka pintu kamarnya dengan kasar. Bayi kecilnya, Haikal, sedang tertidur di ayunan rotan, tak menyadari badai batin yang sedang melanda ibunya.

Indah duduk di tepi ranjang. Matanya kosong menatap lantai, lalu beralih ke foto Haris yang masih terpajang di meja kecil sebelah ranjang. Ia meraih foto itu, memandanginya dengan getar di dada, lalu melemparnya begitu saja ke lantai. Bingkainya pecah.

"Kenapa semua orang meninggalkanku?" gumamnya lirih, hampir seperti rintihan.

Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, menangis tanpa suara. Tangis yang menyesakkan, bukan hanya karena kehilangan Haris, tapi karena dihantam oleh kenyataan yang tak bisa lagi ia bantah. Ia tidak lagi punya kendali atas hidupnya.

Ucapan Esti terus terngiang di kepalanya.

"Kalau mendapatkan sesuatu dari hasil merebut, tidak akan bertahan lama."

Kata-kata itu terasa seperti pisau. Tajam, jujur, menyayat. Dan yang paling menyakitkan, ia tahu itu benar.

Ia memeluk lututnya, tubuhnya bergetar. Sejak ditinggal
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Diana Susanti
kalau aku jd indah sudah hidup sama anakmu Haikal kasih dia kasih sayang double ayah dan ibu drmu ndah,,, mereka semuanya punya keluarga,,, siapa tahu suatu saat ada yg mencintai mu apa adanya dan menerima Haikal ndah jdilah strong women
goodnovel comment avatar
Dyah Wiryastini
Harris aja yang bodohhh
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Belum Selesai

    Esti mencoba berdiri dari sofa, ingin mengambil air putih ke dapur. Tapi baru setengah berdiri, pandangannya mulai kabur. Dunia terasa miring. Ruangan seolah berputar.Ia berpegangan pada sandaran sofa, tapi tangan kirinya gemetar. Nafasnya berat. Tubuhnya dingin dan lemas, sementara kepala terasa seperti dihantam dari dalam, berdenyut hebat, menusuk pelipis, menjalar ke tengkuk.“Ya Allah…” bisiknya, pelan.Langkah kakinya goyah. Ia mencoba berjalan ke arah dapur, tapi baru dua langkah, tubuhnya oleng. Ia jatuh terduduk di lantai. Matanya mengerjap cepat, tapi semuanya buram. Dengungan di telinga semakin kencang, membuatnya ingin menangis.Tak ada siapa-siapa di rumah. Anak-anak sekolah. Tidak ada suara lain selain detak jam dinding dan desahan napasnya sendiri yang tersengal.Tangannya meraba-raba lantai, mencari ponsel. Ia tahu ia harus meminta tolong. Tapi jari-jarinya lemas. Ia mencoba menyeret tubuhnya ke arah meja kecil tempat ia tadi meletakkan ponsel.Detik itu, ia merasa beg

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Menyembuhkan Diri Sendiri

    Malam itu, rumah terasa lebih hidup setelah Ais dan Mei pulang dari rumah ayahnya. Esti sudah menyiapkan makan malam sederhana, dan seperti biasa, Ais yang paling cerewet di meja makan.“Terus tadi Ayah masak!” kata Ais dengan suara semangat, sambil menyendok nasi.Esti tersedak sedikit, hampir tertawa. “Ayah masak? Serius?”Mei ikut mengangguk sambil nyengir. “Bukan masak sih, nyoba goreng telur aja udah panik. Telurnya patah sebelum nyampe wajan.”Ais menambahkan, “Terus Tante Dinda cuma duduk aja sambil rekam video! Ayah bilang, ‘Jangan ketawa, Din, ini perjuangan laki-laki!’”Esti tidak bisa menahan tawa kecil. Ia membayangkan Haris di dapur, panik dengan spatula, dan seorang perempuan di belakangnya tertawa sambil memegang kamera ponsel. Bayangan itu terasa aneh tapi tidak menyakitkan seperti kemarin.“Ternyata anak-anakku sudah akrab dengan Dinda,” kata Esti dalam hati.Ais kembali bersuara, mulutnya masih penuh, “Tante Dinda baik, Bu. Tapi dia bilang dia nggak akan jadi Ibu bar

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Pura-pura Kuat

    Pagi itu, langit mendung menggantung rendah. Esti sedang menyiapkan bekal untuk Mei dan Ais. Tangannya sibuk, tapi pikirannya melayang. Ia belum juga tidur dengan nyenyak sejak kemarin malam, sejak pertanyaan Mei mengendap dalam pikirannya."Ibu juga masih sayang?"Pertanyaan itu terus menggema, bahkan saat Esti mencoba mengabaikannya dengan kesibukan.Suara bel rumah membuatnya tersentak."Ais, tolong lihat siapa di luar!" teriak Esti dari dapur.Tak lama kemudian, Ais berlari ke dalam dengan wajah berseri, “Bu! Ayah datang!”Jantung Esti langsung berdetak tak karuan. Ia buru-buru merapikan rambutnya dengan tangan, membersihkan tangan dari minyak, lalu berjalan ke ruang depan.Dan di sana, Haris berdiri mengenakan jaket hitam, rambutnya sedikit berantakan karena angin pagi. Wajahnya terlihat lebih kurus, tapi senyum kecil masih bertahan di sudut bibirnya. Senyum yang tidak Esti tahu harus ia balas atau tidak.“Aku jemput anak-anak ya?” kata Haris singkat.Esti mengangguk pelan, “Iya.

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Inikah Alasannya?

    Air mengalir deras dari shower, membasahi seluruh tubuh Esti. Tapi dinginnya air tak sebanding dengan dingin yang merayap di dalam dadanya.Tangannya menutup wajah, menyembunyikan tangis yang tak bisa lagi ia bendung. Ia berdiri terpaku di bawah guyuran itu, tubuhnya berguncang oleh isakan yang semakin lama semakin tak terkendali.“Inikah alasannya…?” suaranya serak, bergetar, nyaris tenggelam oleh gemuruh air. “Kenapa kamu sekarang menjauh, Mas? Kenapa kamu bisa setenang itu waktu aku minta kamu pergi?”Air matanya bercampur dengan air shower, mengalir tanpa henti.“Kamu sudah punya yang baru, ya?” tanyanya pada dinding keramik, pada ruang hampa, pada sosok yang tak ada di sana. “Secepat itu kamu dapat pengganti? Apa... segitu mudahnya aku untuk kamu lupakan?”Ia menunduk, lututnya mulai lemas. Ia merosot pelan ke lantai kamar mandi, duduk dengan punggung bersandar di dinding, tubuhnya basah kuyup. Tapi yang lebih basah adalah hatinya, penuh luka yang kembali terbuka.“Aku baru saja

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Mencoba Melepaskan

    Esti menatap cermin di kamarnya. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya lelah. Tapi bukan lelah karena pekerjaan, bukan pula karena anak-anak. Ini jenis lelah yang lain, yang datang dari dalam.Ia menyandarkan kedua telapak tangannya di meja rias. Matanya menatap refleksi diri yang terasa asing."Kenapa aku jadi seperti ini?" gumamnya, hampir tak terdengar. "Bukankah ini yang aku inginkan? Mas Haris menjauh dariku dan aku bisa melanjutkan hidupku?"Ia menggeleng pelan, seperti menolak jawabannya sendiri.Beberapa minggu lalu, ia merasa kuat saat berkata bahwa Haris bebas mencari kebahagiaan lain. Ia merasa sudah dewasa, sudah bijak. Tapi kini, saat benar-benar merasakan sepinya, ia mulai goyah.Ia pikir ia akan lega, tapi yang datang justru kekosongan.Tak ada lagi suara Haris yang bertanya soal hari-harinya. Tak ada candaan garing yang dulu ia anggap menyebalkan, tapi kini justru dirindukan. Tak ada Haris yang diam-diam meninggalkan roti kesukaannya di meja dapur saat mengantar anak-ana

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Terasa Berbeda

    Awalnya, Esti merasa lega.Sejak ia meminta Haris untuk tak menunggunya, semuanya menjadi tenang. Tidak ada lagi pesan setiap pagi. Tidak ada panggilan video singkat untuk sekadar menanyakan kabar. Haris hanya datang ketika diperlukan, membawa kebutuhan anak-anak, atau mengantar mereka ke sekolah saat Esti lembur.Semua sesuai keinginannya. Namun, semakin hari, ketenangan itu terasa berbeda. Bukan damai, tapi sepi. Bukan lapang, tapi kosong.Pagi itu, Esti berdiri di dapur, membuat sarapan sambil sesekali melirik ponselnya. Tidak ada notifikasi. Tidak ada pesan “selamat pagi” seperti biasanya. Ia berusaha mengabaikan, tapi tangannya justru membuka obrolan terakhir mereka. Masih ada di sana, namun tidak ada pesan baru sejak tiga hari lalu.Di kantor, ia tak sengaja mendengar rekan kerja bercerita tentang suaminya yang cerewet soal makan siang. Esti tersenyum kecut. Dulu, Haris juga begitu. Menyebalkan, tapi hangat.Sepulang kerja, Esti mendapati Ais tidur di sofa, dengan bantal bergamb

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status