Setelah Ramandika selesai minum, Ki Ranggala meluruskan pandangannya ke wajah Ramandika, kemudian bertanya, "Sebenarnya kau ini siapa? Dari mana asalmu?""Aku Ramandika, aku penduduk kerajaan Gurusetra yang sudah beberapa bulan tinggal di Lembah Naga," jawab Ramandika lirih."Lembah Naga? Untuk apa kau tinggal di sana?" tanya Ki Ranggala mengerutkan keningnya."Di sana aku tinggal di sebuah padepokan silat," jawab Ramandika.Ki Ranggala, Sandika, dan Kuntala tampak kaget mendengar jawaban Ramandika. Seperti yang mereka ketahui, bahwa Lembah Naga adalah tempat yang sangat angker dan jarang dijamah oleh manusia. "Setahuku, Lembah Naga adalah lembah yang sangat berbahaya, tak ada seorang pun manusia yang berani menginjakkan kaki di tempat tersebut. Tapi mengapa ada sebuah padepokan di lembah itu?" tanya Kuntala mulai angkat bicara.Ramandika tersenyum-senyum saja melihat sikap ketiga orang yang ada di hadapannya itu. Kemudian menjawab pertanyaan Kuntala, "Awalnya pun aku berpikir sama s
Setelah membeli bahan makanan yang akan dimasak untuk jamuan Ramandika. Kuntala bergegas melangkah kembali menuju pulang ke kediaman Sandika.Namun, dalam perjalanan menuju pulang, Kuntala bertemu dengan empat orang pria yang tiada lain merupakan anak buah Santanu dari kelompok Elang Hitam.Kelompok tersebut adalah kelompok pendekar jahat di wilayah kerajaan Dongkala, yang beroperasi di sekitar wilayah perbatasan. Selama ini, mereka sangat meresahkan warga. Bahkan, dua anggotanya adalah orang yang sudah menganiaya Ramandika.Keempat orang pria itu tampak sinis ketika melihat Kuntala tengah berjalan hendak melewati tempat mereka yang tengah duduk santai di bawah pohon besar yang ada di pinggir jalan yang dilewati oleh Kuntala, mereka terus memperhatikan langkah Kuntala."Kalian lihat pemuda itu!" desis salah seorang dari mereka kepada tiga orang kawannya."Ya, aku kenal dia. Pemuda itu namanya Kuntala kerabatnya Ki Ranggala yang dulu pernah kita curi ternaknya," sahut salah seorang kaw
Mendengar seruan dari kawannya, mereka langsung berlari mengejar Kuntala yang sudah kabur meninggalkan tempat tersebut.Kedua orang itu terus berlari mengejar Kuntala. Namun langkah Kuntala sangatlah cepat, hingga sukar untuk dikejar lagi. Pada akhirnya, kedua orang itu kehilangan jejak dan mereka pun menyerah tidak melanjutkan pengejaran terhadap Kuntala."Kurang ajar! Ke mana perginya dia?" desis salah seorang dari mereka geram karena tak dapat mengejar Kuntala."Lebih baik kita kembali saja! Suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi dengan dia," sahut kawannya dengan napas terengah-engah. Ia sudah menyerah karena tidak sanggup lagi mengejar Kuntala."Ya sudah, kita kembali saja!"Dengan demikian, kedua orang itu memutuskan untuk kembali kepada kawan mereka. Mereka tidak melanjutkan pengejaran mereka terhadap Kuntala, karena merasa percuma, dia sudah pergi jauh dan tak mungkin dapat dikejar lagi.Sementara itu, Kuntala terus berlari menyusuri jalan setapak menuju ke arah kediama
Dua hari kemudian .... Setelah Bisama dan Sena pamit untuk kembali ke Padepokan Lembah Naga, Ramandika sudah dalam kondisi membaik, luka di pergelangan tangan dan kepalanya sudah mulai sembuh.Sore harinya, Ramandika diajak jalan-jalan keliling desa, menikmati keindahan alam pedesaan yang masih asri."Mau kalian ajak ke mana aku?" tanya Ramandika lirih."Kita ke rumah Ki Ranggala. Setelah itu, kau akan kami ajak berkeliling desa menikmati udara segar di sore ini," jawab Sandika.Ramandika tersenyum, kemudian bertanya lagi, "Rumah Ki Ranggala apakah jauh dari tempat ini?""Tidak terlalu jauh, hanya terhalang sekitar lima rumah dan melewati perkebunan rempah-rempah saja," jawab Sandika."Ya sudah, kita berangkat sekarang saja!" ajak Ramandika yang tampak sudah bugar.Demikianlah, maka Sandika, Kuntala, dan Ramandika langsung melangkah bersama menuju ke arah timur hendak berkunjung ke kediaman Ki Ranggala."Mayoritas penduduk desa ini, apakah keseluruhan beretnis Tongga?" tanya Ramandik
"Entahlah, aku tidak mengenalinya, dan aku baru melihatnya," jawab Kuntala pelan."Sepertinya, nenek tua itu seorang pengelana," timpal Sandika.Perempuan berusia senja itu terus melangkah semakin mendekati Ramandika dan kedua kawannya."Sampurasun," ucapnya lirih."Rampes," jawab Ramandika dan kedua kawannya serentak.Dua bola matanya bergulir ke arah Ramandika, lalu berkata lirih. "Kau memiliki tameng yang sangat luar biasa, dan kau akan menjadi seorang kesatria pilih tanding!"Ketiga pemuda itu tampak terkejut mendengar pernyataan perempuan tua tersebut. "Kesatria?!" Ramandika terkejut mendengar kalimat yang diucapkan oleh perempuan berusia senja itu. "Apakah Nenek mengetahui apa yang ada dalam tubuhku?" tanya Ramandika menambahkan."Aku tidak mungkin bicara kalau aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu," jawabnya. "Kakek buyutmu di masa lampau adalah seorang pendekar sakti. Jadi, kau memiliki garis keturunan dari para pendekar masa lalu," pungkasnya langsung melangkah berlalu dari
Dua hari berikutnya ....Ramandika, Sandika, dan Kuntala sudah berangkat meninggalkan desa Yowa. Pagi itu, mereka berjalan menyusuri jalan setapak memasuki hutan belantara hendak menuju wilayah perbatasan.Ketiga pemuda itu mengambil jalur pintas sesuai saran Ki Warmala, karena mereka khawatir mendapatkan penghadangan dari para prajurit kerajaan Dongkala jika menempuh jalur utama.Menjelang tengah hari, mereka telah sampai di perbatasan. Namun, mereka tampak bingung melihat kondisi sungai yang hendak mereka sebrangi. Sungai tersebut memiliki arus yang sangat deras, sudah dapat dipastikan mereka akan kesulitan jika harus menyebrangi sungai itu."Arus sungai ini deras sekali, bagaimana caranya kita bisa menyebrangi sungai ini?" desis Ramandika tampak bingung."Sepertinya di pegunungan Sanca yang merupakan hulu sungai ini, sedang berlangsung hujan lebat, sehingga arus sungai ini begitu deras," jawab Sandika."Lantas, apa yang harus kita lakukan agar bisa menyebrangi sungai ini?" timpal K
Ramandika dan Sandika tampak ragu untuk menepikan rakit tersebut, karena mereka takut jika orang tua itu adalah jelmaan siluman atau bangsa jin yang menguasai hutan tersebut.Karena menurut rumor yang beredar bahwa di hutan tersebut terdapat markas siluman api yang selama ini selalu menghantui para penduduk yang ada di sekitar wilayah tersebut."Hai, kemarilah! Kalian jangan takut, aku tidak akan jahat terhadap kalian!" seru orang tua itu, "Jika kalian ingin segera menemukan kawan kalian, maka mendekatlah! Aku akan memberitahu di mana kawan kalian berada."Ramandika dan Sandika saling berpandangan, mereka masih belum percaya dengan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh sosok orang tua tersebut."Apakah kau percaya dengan ucapan orang tua itu?" bisik Sandika kepada Ramandika."Sebenarnya aku ragu, tapi kita coba saja. Mudah-mudahan, dia bukan sosok makhluk yang jahat yang akan mencelakai kita," jawab Ramandika."Baiklah," desis Sandika segera menepikan rakit tersebut."Naiklah ke sini!"
Dengan demikian, Ramandika dan Sandika langsung mengikuti saran orang tua misterius itu. Mereka berjalan naik ke puncak bukit berharap dapat menemukan Kuntala.Apa yang dikatakan oleh orang tua misterius itu memang benar, di puncak bukit tersebut berdiri sebuah gubuk kecil yang tampak samar hanya diterangi sinar bulan yang tidak terlalu terang karena terhalang gumpalan awan."Sepertinya itu gubuk yang dimaksud oleh orang tua aneh tadi," desis Ramandika berpaling ke arah Sandika."Benar Ramandika, aku rasa memang itu tempatnya. Tidak ada gubuk lain di puncak bukit ini selain gubuk itu.""Baiklah, kita ke sana sekarang! Tapi ingat, kita harus waspada!" kata Ramandika lirih, "Walau bagaimanapun makhluk yang akan kita hadapi bukanlah dari kalangan manusia. Mereka adalah siluman yang memiliki tipu muslihat," sambungnya.Lalu, keduanya melangkah mendekati gubuk tersebut. Mereka berjalan sangat berhati-hati penuh kewaspadaan.Setelah dekat, tepat berada di depan gubuk kecil itu. Mereka terke