"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?"
"Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?"
"Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?"
"Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!"
"Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"
Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?
"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terpampang jelas dalam foto dan video itu. Dia itu pelakor yang sok polos! Wanita murahan yang menutupi kebusukannya dengan tampang sok baik alimnya!"
Seorang wanita yang seumuran dengan Hilmi tiba-tiba muncul membelah kerumunan. Senyum sinis serta raut penuh kebencian di tunjukkannya kepada Hilmi.
Hilmi tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Pikirannya terasa bleng tak tahu harus bagaimana. Sekalipun Hilmi berusaha menjelaskan, tentu ia akan tetap di salahkan dan tetap di nilai sebagai wanita murahan dan pelakor.
"Sudah, tak usah banyak pikir! Usir ajah dia dari sini. Jangan sampai suami ibu-ibu di goda juga olehnya. Ayo mumpung ada orangnya, kita keluarkan barang-barang miliknya dari rumah reotnya ini!"
Hilmi menggeleng, jangan, jangan usir Hilmi dari sini, dari rumah peninggalan kedua orang tuanya ini. Dimana dia akan tinggal disaat masa kontraknya sudah habis? Sungguh, Hilmi tak habis pikir pada wanita yang sedari dulu tak menyukainya tersebut tanpa alasan yang jelas. Kenapa dia menghasut warga untuk mengusir Hilmi dari rumahnya sendiri.
"Tolong, jangan usir saya dari sini ibu-ibu! Dimana saya akan tinggal jika saya di usir? Hanya ini peninggalan orang tua saya satu-satunya. Saya mohon jangan usir saya dari rumah saya sendiri. Saya tak akan mengganggu kalian, sungguh!" Dengan mengatupkan tangan di depan dada serta air mata yang kian berderai, Hilmi memohon agar warga tak mengusirnya dari satu-satunya harta yang dia miliki.
"Halah, gak usah drama! Air mata kadalmu itu tak mampu membuat hati kami iba, justru kami semakin jijik padamu! Ayo, kita segera bereskan barang wanita jalang ini agar tak lama-lama disini!" salah seorang ibu-ibu membentak Hilmi sambil menarik rambut Hilmi dan menyeretnya menjauhi pintu.
"Ampun! Sakit Mpok!"
"Makanya jangan ngelawan!"
Ibu-ibu mulai masuk dan mengobrak-abrik rumah milik Hilmi yang memang tak memilki barang berharga.
"Tolong jangan keluarkan barang-barang saya!"
"Jangan ngelawan!" Mpok Adin semakin mengeratkan pegangannya pada rambut Hilmi sehingga membuat wanita yang tak berdaya itu meringis kesakitan.
"Ba-baiklah, saya akan pergi dari sini, tapi tolong jangan keluarkan barang-barang saya. Saya janji besok akan menjemputnya dan membereskannya sendiri. Saya janji! saat ini ijinkan saya mengambil pakaian adik saya dan pergi dari sini. Adik saya sedang di rawat di rumah sakit dan baru sadar tadi pagi dari komanya."
Mungkin memang beginilah takdir Hilmi, harus selalu mengatakan iya atas kehendak orang lain tanpa bisa memilih bagaimana dan seperti apa yang diinginkannya sendiri.
Pasrah, itulah jalan satu-satunya yang mampu di pilih Hilmi. Tak ada waktu untuk mendebat. Tak ada celah untuk melawan.
"Baguslah kalau gitu. Jadi kita nggak usah repot-repot nyentuh barang-barang menjijikkan miliknya. Awas kalau besok nggak di beresin, kita akan bakar sekalian sama rumahnya!" Nia lagi-lagi menjadi pemandu dalam acara pengusiran tersebut.
Hilmi menatap marah pada Nia. Sungguh jika tidak ingin segera menemui adiknya di rumah sakit, Hilmi pasti sudah melawan bahkan ingin sekali menampol mulut wanita dihadapannya ini.
"Semoga Tuhan membalas semua yang kau lakukan padaku, Nia!" gumam Hilmi saat dirinya melewati Nia.
Hilmi gegas mengambil beberapa helai pakaian milik Rian. Kondisi di dalam rumahnya sudah berantakan, tapi Hilmi tak ada waktu untuk membereskannya. Setelah selesai dengan urusannya, Hilmi pun meninggalkan rumah orang tuanya tak lupa ia mengunci pintu agar barang-barang di dalam tetap aman meskipun tak ada barang berharga di dalamnya.
Wanita yang bernama Nia itu merasa sangat puas akan apa yang terjadi pada Hilmi, wanita yang dianggapnya sebagai saingan karena Hilmi lebih cantik dari dirinya. Pun lelaki impiannya memiliki rasa terhadap Hilmi. Tak sia-sia Nia mencari tahu kemana Hilmi selama ini. Tak sia-sia ia menjadi penguntit selama beberapa bulan belakangan, meksipun tidak setiap hari. Nia tahu semuanya, tentang Hilmi yang terpaksa menikah untuk memberikan keturunan kepada sepasang suami istri, dengan imbalan biaya pengobatan untuk adik Hilmi. Namun, dengan akal liciknya ia mengatakan bahwa Hilmi jadi pelakor karena tak kuat hidup susah. Foto-foto pun turut serta di perlihatkan Nia kepada warga agar mereka percaya. Foto-foto yang Nia tunjukkan benar adanya, tapi berita yang ia sampaikan merupakan fitnah yang sudah berhasil merusak nama baik serta citra Hilmi yang di kenal sebagai wanita baik-baik. Sehingga warga setuju untuk mengusir Hilmi dari kampung mereka.
****
"Re," panggil Hilmi ketika tiba di ruang rawat sang adik. Hilmi melihat adiknya tengah tidur miring menghadap ke arah pintu.
"Mbak,"
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Dek. Mbak seneng banget, setelah hampir lima bulan kamu tidur, akhirnya bangun juga. Ada yang sakit nggak?"
"Nggak, Mbak. Cuma rasanya badan agak kaku,"
"Syukurlah kalau gitu. Ini mbak udah masakin makanan kesukaan kamu, mbak suapi ya?"
Hilmi menaikkan brankar bagian depan, agar posisi Rian bisa menyandar dengan enak. Lalu Hilmi membuka rantang dan mulai menyuapi Rian. Ada rasa haru di hati Hilmi bisa kembali menyuapi sang adik, setelah sekian bulan Rian hanya terbaring koma di atas brankar rumah sakit.
"Mbak, apa benar aku koma selama hampir lima bulan? Soalnya aku rasanya nggak percaya kalau aku nggak sadar selama itu. Rasanya baru kemaren aku yang tertabrak."
"Benar, Dek. Mbak seneng banget kamu udah sadar. Mbak takut kamu pergi ninggalin mbak sendirian. Mbak hanya punya kamu, Re. Alhamdulillah, Allah masih memberikan kesembuhan untuk kamu."
"Lalu, bagaimana biaya rumah sakit ini, Mbak? Tentunya mbak pasti sangat kerepotan memikirkan biaya pengobatanku?"
"Tak usah kamu pikirkan masalah biaya, itu urusan mbak. Kamu cukup fokus pada kesembuhan kamu agar kita bisa bersama-sama lagi,"
"Tapi, Mbak, biaya rumah sakit tentu tidaklah murah. Apalagi sudah berbulan-bulan. Bagaimana caranya mbak bayar? Apa aku lebih baik keluar saja dari sini, dan aku akan bekerja untuk melunasi biaya pengobatanku. Semoga saja dokter mengizinkan kita untuk menyicil biaya pengobatanku,"
"Dek, kamu tenang ya. Kamu nggak usah pikirin masalah biaya. Mbak sudah mengurus semuanya. Biaya pengobatan kamu sudah di lunasi,"
"Dari mana mbak dapat uang sebanyak itu?"
"Mbak kerja, ya mbak kerja jadi art. Alhamdulillah majikan mbak baik banget mau ngasih pinjaman kepada mbak."
'Maafkan mbak sudah membohongimu, Dek. Mbak gak mau kamu kepikiran.'
Tiba-tiba Hilmi teringat akan dirinya yang sudah di usir dari rumahnya. Dimana adiknya akan tinggal ketika sudah keluar dari rumah sakit? Tak mungkin Hilmi membawa Rian tinggal bersamanya di rumah mama Agni. Jika di tempatkan di kontrakan, bagaimana dengan makannya? Selama ini Hilmi yang selalu memasak. Tak mungkin juga pagi sore Hilmi keluar rumah untuk mengantarkan makanan untuk adiknya. Jika tak ada keperluan, enggan rasanya Hilmi keluar rumah karena pasti akan bertemu dengan tetangga yang akan bersikap sinis kepadanya.
Tak terasa matahari sudah mulai terbenam dan tergantikan bulan yang menyinari bumi. Tak tega rasanya untuk meninggalkan Rian seorang diri, tapi jika tak pulang maka ia akan kena semprot oleh mama Agni. Bahkan sedari tadi, handphonenya tiada henti berdering.
"Dek, maaf ya, mbak harus pulang. Mbak gak bisa nemenin kamu malam ini,"
"Gak apa-apa, Mbak. Ada suster yang menjagaku. Lagian gak enak juga sama majikan mbak kalau mbak gak pulang. Sudah syukur dari siang mbak sudah diizinin nemenin aku disini."
Sesungguhnya Rian tak ingin di tinggalkan oleh Hilmi. Ia ingin sang kakak berada disini menemaninya. Namun, ia sadar diri dan harus mengizinkan Hilmi pulang. Mbaknya sudah banyak berkorban untuk dirinya. Rian tak ingin menyusahkan Hilmi lebih banyak lagi dengan meminta Hilmi untuk tetap tinggal. Rian pun takut Hilmi dimarahi oleh majikannya dan berimbas dengan pemecatan dan menagih semua biaya rumah sakit yang sudah dipinjamkan oleh majikan Hilmi.
"Ma, bagaimana kabar Naila?" Lagi, Hilmi mengulang pertanyaannya dengan tatapan penuh harap saat melihat mama Agni tak kunjung menjawab pertanyaannya.Sedangkan mama Agni tak tahu harus menjawab apa. Ia takut Hilmi akan sedih dan akan kembali bermasalah dengan mentalnya jika ia mengatakan yang sejujurnya.Menghela nafas dengan panjang, mama Agni menatap lekat wajah mantan menantu yang sudah memberikannya cucu ini."Mama gak tahu." ujarnya lirih yang hampir saja tak di dengar oleh Hilmi.Tentu ucapan itu memancing kernyitan di dahi Hilmi, "Maksud mama?"Hingga pada akhirnya, cerita itu mengalir dari mama Agni setelah sebelumnya di pastikan Hilmi akan baik-baik saja. Semua mama Agni ceritakan kepada Hilmi dengan tangis yang tak bisa lagi di bendung. Tentang kepergian Arfan dan keluarga kecilnya, tentang Arfan yang pergi tanpa pamit, bahkan meninggalkan perusahaan begitu saja, hingga membuat perusahaan mengalami kerugian besar akibat Arfan yang pergi begitu saja tanpa meninggalkan persia
Sikap diam Aina selama makan malam dianggap biasa saja oleh Ummu Zakia, karena mengira kalau Aina belum terbiasa bergabung bersama keluarganya. Padahal yang sesungguhnya, wanita itu tengah menahan sakit hatinya atas sikap suaminya sore tadi.Zidan bukannya memberi penjelasan entah jawaban iya atau sanggahan atas pertanyaan Aina, justru memilih menghindar ke kamar mandi dan setelahnya memilih menyibukkan diri dengan laptopnya dari pada berusaha menenangkan hati Aina yang gundah."Aina sudah selesai, dan Aina permisi ke kamar duluan, Ummi, Abi, Abang."Setelah Aina beranjak, barulah Ummi Zakia menyadari kalau ada sesuatu yang beda dari menantunya tersebut. Meskipun baru sehari ini mereka tinggal bersama, tapi dalam acara makan bersama seperti ini, Ummi Zakia sedikit banyak sudah hapal kebiasaan sang menantu yang tak akan beranjak sebelum yang lain juga selesai."Ada apa dengan istrimu, Zidan?""Gak apa-apa, Umi. Aina hanya kelelahan saja."Ummi Zakiah mengangguk, meskipun hatinya merasa
Tak ada yang terjadi di malam pertama bagi kedua pengantin itu. Keduanya masih sama-sama belum siap untuk melangkah ke hal yang lebih intim itu. Pacaran setelah menikah, mungkin itu yang terjadi di antara keduanya saat mereka berbincang-bincang berdua semalam. Sehabis sholat subuh pertama di rumah mertuanya, Aini memutuskan untuk pergi ke dapur dan membantu sang mertua untuk membuat sarapan. "Mau kemana, Dek?" tanya Zidan yang melihat Aini sudah memakai kembali hijabnya selepas sholat subuh."Mau ke dapur, Bang. Mau membantu Ummi masak buat sarapan." "Oh." jawab Zidan singkat diiringi anggukan kecil. Aini memaklumi jika suaminya masih bersikap kaku kepadanya. Maklum pernikahan ini di mulai dari ta'aruf dan perkenalan yang singkat, bukan sebab mengenal lama dan saling jatuh cinta. Meskipun Aini juga belum mencintai sang suami, tapi Aini akan berusaha mencintai suaminya dan akan berusaha menjadi istri yang baik buat Zidan. Aini memutuskan untuk keluar dari kamar mereka setelah di r
"Buat apa ibu datang ke sini?" Tanya Rian sinis."Rian, kenapa ngomong gitu? Tentu aku kesini untuk mengunjungi Hilmi. Hari ini biarkan aku yang menjaga Hilmi, kamu bisa pulang dan istirahat." ujar mama Agni.Pagi ini, selepas Rian membeli sarapan, ia mendapati mama Agni yang udah berdiri di depan pintu ruang rawat Hilmi."Tak perlu. Aku tak butuh orang lain untuk menjaga kakakku. Silahkan ibu pergi dari sini karena kehadiran ibu tidak diharapkan!" Sanggah Rian sarkas.Bukan bermaksud untuk tidak sopan kepada orang tua, tapi Rian sungguh benci melihat keluarga lelaki bajing*n itu berkeliaran di sekitarnya.Kenapa kamu ngomong begitu, aku bukan orang lain. Aku adalah ...""Ibu dari lelaki baji***n yang sudah membuat kakakku seperti ini hingga depresi! Bukan begitu nyonya Agni?" Sinisnya."Rian,ngomong apa kamu ini, kenapa semakin ngelantur gitu!""Sudahlah, Bu, lebih baik anda pulang saja! Gak usah berpura-pura baik lagi kepada kami, toh sekarang Naila ada bersama anak dan mantu ibu."
"Mas, bangun ih! Ini Naila kenapa gak berhenti nangis dari tadi?"Kepanikan tergambar jelas di wajah Fika ketika sedari tadi ia berusaha menenangkan Naila yang menangis, tapi tak kunjung reda juga.Arfan yang masih merasakan kesakitan pada sekujur tubuhnya tak dapat bergerak dengan leluasa. Lelaki itu bangun dengan perlahan sambil meringis menahan sakit. Tulang-tulangnya terasa mau patah setelah kemaren di hajar habis-habisan oleh Rian."Coba sini aku yang gendong." Pinta Arfan saat dirinya sudah berhasil berdiri dengan tegak.Fika pun gegas memberikan Naila kepada Arfan. Arfan berusaha menimang Naila sambil bersenandung kecil dengan menggoyang-goyangkan badan mungil Naila. Namun, sudah hampir satu jam, Naila tak kunjung berhenti jua menangis."Coba panggil di Mbok, siapa tahu dia bisa menenangkan Naila!" titah Arfan yang langsung disetujui oleh Fika.Wanita itu gegas keluar dari kamarnya dan menuju ruang belakang tempat si mbok beristirahat. Di panggilan ke tiga, barulah si mbok memb
Wanita itu berjalan mengendap dengan langkah yang diatur sedemikian rupa agar tak mengeluarkan suara. Ia tolehkan kepalanya ke kanan dan kiri guna memastikan bahwa tak ada yang melihatnya. Setelah merasa aman, barulah perempuan itu melanjutkan langkahnya dengan sangat pelan hingga ia keluar dari sebuah ruangan yang baru saja dihuninya.Tak ada yang tahu bahwa dia adalah pasien dari rumah sakit tersebut, karena ia sudah mengganti pakaian pasiennya dengan pakaian biasa yang ia ambil dari dalam lemari kecil di samping ranjangnya.Ya, wanita itu adalah Hilmi. Wanita yang kewarasannya sudah terganggu akibat ulah dari dua manusia yang tak punya hati. Tak ada lagi yang dipikirkan olehnya kecuali sang putri yang kini berada di tangan ayah kandungnya, yang di rebut paksa dari dirinya.Setelah melihat Rian yang sudah tertidur pulas, Hilmi bangun dan segera melepaskan selang infus di tangannya. Tak ia pedulikan rasa sakit di tangannya akibat jarum infus yang di buka secara kasar, kesakitan itu t