"Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu.
"Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya,"
Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan.
Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. Fika tetaplah Fika yang mencintai suaminya dan akan mematuhi apapun yang suaminya perintahkan. Fika sangat ingin punya anak, bahkan ia berencana akan berhenti jadi model kalau dirinya sudah memiliki anak. Namun, takdir berkata lain, Fika ditakdirkan menjadi wanita mandul yang membuatnya terpaksa mencarikan suaminya wanita lain demi mendapatkan keturunan. Sesungguhnya Fika merupakan pribadi yang baik dan ramah, tapi karena kecemburuannya kepada wanita yang di bawanya sendiri, membuat Fika meninggikan sifat egoisnya, meninggikan keras kepalanya yang tak ingin berbagi suami. Karena Fika memang sama dengan kebanyakan bahkan semua perempuan yang tak rela berbagi suami.
Fika memutuskan bersiap-siap, tadi ia sudah izin kepada Arfan bahwa dirinya akan berkumpul dengan teman-temannya. Dari padanya dirinya diam di rumah dan memikirkan yang nggak-nggak tentang Arfan dan Hilmi, .lebih baik Fika berkumpul bersama teman-temannya dan bercanda tawa melupakan sejenak keberadaan suaminya di rumah sang mertua.
Di tempat lain, Arfan kini tengah duduk di ruang pribadinya di kediaman sang ibu. Tadi, setelah tiba di rumah mama Agni, Arfan memutuskan untuk ke ruang kerjanya terlebih dahulu, karena dirinya belum siap untuk bertemu dan melakukan kewajibannya. Pikirannya masih di penuhi oleh Fika, ia begitu mencintai istri pertamanya tersebut. Meskipun acapkali hatinya ingin berlaku adil, tapi tak bisa di pungkiri bahwa Fika masih sangatlah menguasai hatinya.
Tak di pedulikan suara ketukan di pintu yang tiada hentinya. Bahkan berulang kali sang nyonya rumah memanggil Arfan dan memintanya segera keluar. Arfan tak peduli, sungguh!
"Arfan, please buka pintunya dan temui Hilmi! Mama tahu kamu sangat mencintai Fika, tapi ingat tujuan kamu menikah dengan Hilmi itu apa? Semakin cepat semakin baik. Kalau kamu menunda-nunda terus, maka akan semakin lama kamu memiliki anak dan pisah dari Hilmi, kalau sudah makin lama, mama khawatir kamu mulai jatuh hati pada Hilmi. Jadi lebih baik kamu jalani tugas kamu secepatnya agar Kamu segera terbebas dai Hilmi dan Fika tak akan sakit hati lagi."
Arfan tercenung mendengar penuturan mamanya. Benar apa yang di sang mama bahwa lebih cepat lebih baik.
"Ya, Ma. Aku sebentar lagi keluar, tolong tinggalkan aku sebentar!"
"Baiklah, jangan lama-lama. Takutnya Hilmi sudah ketiduran!"
"Iya, Ma."
Sekitar tiga puluh menit, Arfan memantapkan hatinya untuk keluar dan menemui istri keduanya. Dengan pasti, ia melangkahkan kakinya menaiki satu persatu anak tangga untuk sampai di lantai dua. Setibanya di depan pintu, Arfan bingung, haruskah ia langsung masuk atau ketuk pintu dulu? Setelah lama menimbang, Arfan memutuskan masuk tanpa mengetuk pintu. Ia tekan handle pintu perlahan yang ternyata tidak di kunci oleh Hilmi. Perlahan Arfan memasuki kamar miliknya dari sejak ia kecil dahulu.
Wanita yang hendak memejamkan matanya itu kembali terjaga di kala pendengarannya mendengar pintu terbuka. Gegas Hilmi bangun dan berusaha merapikan dress-nya yang sedikit tersingkap di bagian paha.
Jantung Arfan berdesir melihat penampilan Hilmi malam ini yang terlihat begitu cantik dan seksi. Sungguh Hilmi sekarang sangat cantik dan mempesona, berbeda dengan Hilmi yang setiap hari di temuinya ketika di rumah dulu.
"Ka-kamu!"
Hilmi tampak gugup dan jantungnya bertalu dengan cepat mendapati dirinya ditatap sedemikian rupa oleh Arfan.
"Ma-maaf, Mas. Tadi mama meminta ketiga asistennya untuk mendandaniku. Maaf kalau ini membuatmu risih," ujar Hilmi sambil memilin jari-jarinya.
Arfan tak menanggapi membuat Hilmi merasa semakin malu karena mengira Arfan tak suka akan penampilannya saat ini.
"Kalau begitu, aku ganti baju dulu!"
Hilmi berjalan dengan tergesa untuk tiba di lemari dan ingin mengambil piama tidur. Namun, tangannya di cekal oleh Arfan dan sedikit di tarik membuat Hilmi perlahan mendekat ke arah Arfan. Jantungnya semakin berdetak kencang. Hilmi tak berani menatap Arfan yang kini menatapnya dengan lekat sejak tadi.
"Tak usah ganti baju, aku suka lihat kamu seperti ini. Kamu terlihat makin cantik dan seksi," gumam Arfan di dekat telinga Hilmi yang membuat buku kuduk wanita itu merinding.
Bagaimana Arfan tak terpesona, jika melihat Hilmi yang begitu cantik dengan dress selutut tanpa lengan berwarna hitam, sangat kontras dengan kulitnya yang seputih susu. Rambut yang digerai bergelombang serta make up natural membuat Hilmi semakin terlihat cantik.
Perlahan tangan Arfan melingkar pada perut rata Hilmi. Hidungnya mencium rambut dan leher Hilmi yang begitu wangi. Sesekali lidahnya menyapu daun telinga Hilmi membuat Hilmi menggeliat karena rasa geli.
"Ma-mas!"
"Hm? Kamu cantik sekali malam ini," pujian itu membuat kedua pipi Hilmi merona.
Arfan menyadari sesuatu, bahwa ketakutan yang tadi begitu menguasai hatinya menguat begitu saja. Ia merasa bersalah, tapi ia juga merasa bahwa ini wajar-wajar saja karena Hilmi juga istrinya. Fika berusaha disingkirkannya dari pikiran, sekarang ia harus fokus pada istri keduanya ini agar Hilmi bisa segera hamil anaknya.
"Tak usah tegang, rileks saja," pinta Arfan saat merasakan tubuh Hilmi yang begitu menegang.
"I-iya, Mas."
Tangan Arfan mulai mengusap-usap perut rata Hilmi membuat si empunya perut merasa geli dan entahlah.. ada sesuatu yang tak bisa di jabarkan lewat kata-kata. Tangannya perlahan pindah ke lengan Hilmi, mengusapnya dari bawah ke atas berulang-ulang. Tubuh Hilmi mulai rileks dan mulai menikmati setiap sentuhan Arfan.
Arfan membalikkan tubuh Hilmi, dan kini keduanya bertatapan dengan intens. Tangan kanan Arfan mulai mengusap wajah Hilmi, sedangkan satu tangannya memeluk pinggang Hilmi guna menahan tubuh wanitanya tersebut.
"Maaf, aku lama masuknya," kata Arfan yang masih menikmati wajah sang istri dengan elusan tangannya.
"Aku kira mas Arfan tidur di kamar lain dan belum siap,"
"Maaf membuatmu menunggu,"
Arfan memegang tengkuk Hilmi dan perlahan mendekatkan wajah mereka. Otomatis Hilmi melingkarkan tangannya pada pinggang Arfan. Entah mulai kapan bibir keduanya kini sudah bertaut seolah meluapkan rindu yang begitu membuncah. Tangan Arfan tak tinggal diam, ia menyusuri setiap inci tubuh sang istri dengan penuh nafsu.
Hingga kini keduanya sudah menyatu di atas pembaringan tanpa sehelai benangpun dengan tangan saling bertaut berusaha mencapai surga dunia bersama.
Meskipun sudah selesai, Hilmi masih merasakan bunga-bunga bermekaran di dadanya. Meskipun ini pengalaman pertama bagi Hilmi, tapi Hilmi tak begitu merasakan kesakitan karena Arfan melakukannya dengan penuh kelembutan dan mampu membuat dirinya melayang ke nirwana.
"Terimakasih sudah memberikan mahkotamu kepada Mas, Dik. Terimakasih sudah menjaga dirimu sebaik mungkin,"
"Ini memang sudah hak kamu, Mas."
Kini keduanya terlelap dengan saling mendekap erat di bawah selimut. Pakaian masih berserakan di lantai, tapi mereka tak peduli. Mereka hanya ingin mengistirahatkan tubuh mereka setelah beberapa jam terkuras tenaganya.
"Ma, bagaimana kabar Naila?" Lagi, Hilmi mengulang pertanyaannya dengan tatapan penuh harap saat melihat mama Agni tak kunjung menjawab pertanyaannya.Sedangkan mama Agni tak tahu harus menjawab apa. Ia takut Hilmi akan sedih dan akan kembali bermasalah dengan mentalnya jika ia mengatakan yang sejujurnya.Menghela nafas dengan panjang, mama Agni menatap lekat wajah mantan menantu yang sudah memberikannya cucu ini."Mama gak tahu." ujarnya lirih yang hampir saja tak di dengar oleh Hilmi.Tentu ucapan itu memancing kernyitan di dahi Hilmi, "Maksud mama?"Hingga pada akhirnya, cerita itu mengalir dari mama Agni setelah sebelumnya di pastikan Hilmi akan baik-baik saja. Semua mama Agni ceritakan kepada Hilmi dengan tangis yang tak bisa lagi di bendung. Tentang kepergian Arfan dan keluarga kecilnya, tentang Arfan yang pergi tanpa pamit, bahkan meninggalkan perusahaan begitu saja, hingga membuat perusahaan mengalami kerugian besar akibat Arfan yang pergi begitu saja tanpa meninggalkan persia
Sikap diam Aina selama makan malam dianggap biasa saja oleh Ummu Zakia, karena mengira kalau Aina belum terbiasa bergabung bersama keluarganya. Padahal yang sesungguhnya, wanita itu tengah menahan sakit hatinya atas sikap suaminya sore tadi.Zidan bukannya memberi penjelasan entah jawaban iya atau sanggahan atas pertanyaan Aina, justru memilih menghindar ke kamar mandi dan setelahnya memilih menyibukkan diri dengan laptopnya dari pada berusaha menenangkan hati Aina yang gundah."Aina sudah selesai, dan Aina permisi ke kamar duluan, Ummi, Abi, Abang."Setelah Aina beranjak, barulah Ummi Zakia menyadari kalau ada sesuatu yang beda dari menantunya tersebut. Meskipun baru sehari ini mereka tinggal bersama, tapi dalam acara makan bersama seperti ini, Ummi Zakia sedikit banyak sudah hapal kebiasaan sang menantu yang tak akan beranjak sebelum yang lain juga selesai."Ada apa dengan istrimu, Zidan?""Gak apa-apa, Umi. Aina hanya kelelahan saja."Ummi Zakiah mengangguk, meskipun hatinya merasa
Tak ada yang terjadi di malam pertama bagi kedua pengantin itu. Keduanya masih sama-sama belum siap untuk melangkah ke hal yang lebih intim itu. Pacaran setelah menikah, mungkin itu yang terjadi di antara keduanya saat mereka berbincang-bincang berdua semalam. Sehabis sholat subuh pertama di rumah mertuanya, Aini memutuskan untuk pergi ke dapur dan membantu sang mertua untuk membuat sarapan. "Mau kemana, Dek?" tanya Zidan yang melihat Aini sudah memakai kembali hijabnya selepas sholat subuh."Mau ke dapur, Bang. Mau membantu Ummi masak buat sarapan." "Oh." jawab Zidan singkat diiringi anggukan kecil. Aini memaklumi jika suaminya masih bersikap kaku kepadanya. Maklum pernikahan ini di mulai dari ta'aruf dan perkenalan yang singkat, bukan sebab mengenal lama dan saling jatuh cinta. Meskipun Aini juga belum mencintai sang suami, tapi Aini akan berusaha mencintai suaminya dan akan berusaha menjadi istri yang baik buat Zidan. Aini memutuskan untuk keluar dari kamar mereka setelah di r
"Buat apa ibu datang ke sini?" Tanya Rian sinis."Rian, kenapa ngomong gitu? Tentu aku kesini untuk mengunjungi Hilmi. Hari ini biarkan aku yang menjaga Hilmi, kamu bisa pulang dan istirahat." ujar mama Agni.Pagi ini, selepas Rian membeli sarapan, ia mendapati mama Agni yang udah berdiri di depan pintu ruang rawat Hilmi."Tak perlu. Aku tak butuh orang lain untuk menjaga kakakku. Silahkan ibu pergi dari sini karena kehadiran ibu tidak diharapkan!" Sanggah Rian sarkas.Bukan bermaksud untuk tidak sopan kepada orang tua, tapi Rian sungguh benci melihat keluarga lelaki bajing*n itu berkeliaran di sekitarnya.Kenapa kamu ngomong begitu, aku bukan orang lain. Aku adalah ...""Ibu dari lelaki baji***n yang sudah membuat kakakku seperti ini hingga depresi! Bukan begitu nyonya Agni?" Sinisnya."Rian,ngomong apa kamu ini, kenapa semakin ngelantur gitu!""Sudahlah, Bu, lebih baik anda pulang saja! Gak usah berpura-pura baik lagi kepada kami, toh sekarang Naila ada bersama anak dan mantu ibu."
"Mas, bangun ih! Ini Naila kenapa gak berhenti nangis dari tadi?"Kepanikan tergambar jelas di wajah Fika ketika sedari tadi ia berusaha menenangkan Naila yang menangis, tapi tak kunjung reda juga.Arfan yang masih merasakan kesakitan pada sekujur tubuhnya tak dapat bergerak dengan leluasa. Lelaki itu bangun dengan perlahan sambil meringis menahan sakit. Tulang-tulangnya terasa mau patah setelah kemaren di hajar habis-habisan oleh Rian."Coba sini aku yang gendong." Pinta Arfan saat dirinya sudah berhasil berdiri dengan tegak.Fika pun gegas memberikan Naila kepada Arfan. Arfan berusaha menimang Naila sambil bersenandung kecil dengan menggoyang-goyangkan badan mungil Naila. Namun, sudah hampir satu jam, Naila tak kunjung berhenti jua menangis."Coba panggil di Mbok, siapa tahu dia bisa menenangkan Naila!" titah Arfan yang langsung disetujui oleh Fika.Wanita itu gegas keluar dari kamarnya dan menuju ruang belakang tempat si mbok beristirahat. Di panggilan ke tiga, barulah si mbok memb
Wanita itu berjalan mengendap dengan langkah yang diatur sedemikian rupa agar tak mengeluarkan suara. Ia tolehkan kepalanya ke kanan dan kiri guna memastikan bahwa tak ada yang melihatnya. Setelah merasa aman, barulah perempuan itu melanjutkan langkahnya dengan sangat pelan hingga ia keluar dari sebuah ruangan yang baru saja dihuninya.Tak ada yang tahu bahwa dia adalah pasien dari rumah sakit tersebut, karena ia sudah mengganti pakaian pasiennya dengan pakaian biasa yang ia ambil dari dalam lemari kecil di samping ranjangnya.Ya, wanita itu adalah Hilmi. Wanita yang kewarasannya sudah terganggu akibat ulah dari dua manusia yang tak punya hati. Tak ada lagi yang dipikirkan olehnya kecuali sang putri yang kini berada di tangan ayah kandungnya, yang di rebut paksa dari dirinya.Setelah melihat Rian yang sudah tertidur pulas, Hilmi bangun dan segera melepaskan selang infus di tangannya. Tak ia pedulikan rasa sakit di tangannya akibat jarum infus yang di buka secara kasar, kesakitan itu t