Share

Bab 2 Curiga

Author: Maya Har
last update Last Updated: 2024-05-30 12:37:57

Suara dering ponsel  mengalihkan perhatian kami. Itu milik Mbak ayu yang diletakkan di meja. Mulutku langsung menganga ketika melihat layar yang menyala karena panggilan. Loh, itu, kan ....

"Wah, ada panggilan. Sebentar, ya, Han!" Mbak Ayu menyambar ponselnya lalu melangkah ke arah halaman belakang.

Aku yang masih tertegun hanya mengangguk patah-patah. Masih memikirkan gambar yang ada di foto profil kakak iparku tersebut. Aku yakin sekali pernah melihatnya dalam galeri Mas Prasetyo.

"Apakah hanya kebetulan, ya?" Aku bergumam sendiri, memikirkan kemungkinan yang terjadi.  Akan tetapi, kenapa letak dan posisinya juga sama. Seolah itu bukan gambar yang berbeda.

"Eh, Han, kok, malah ngelamun, sih! Bukannya bawa kue ke depan!" Suara ketus seseorang membuyarkan rasa penasaranku.

"Eh, iya, Bu." Aku menoleh sambil tersenyum kaku.

"Bocah wedo, kerjanya ga beres. Kebanyakan bengongnya," sindir ibu ketika aku melangkah melewatinya sambil membawa nampan berisi cemilan yaang kubeli di pasar itu.

Sudah biasa jika ibu berbicara tanpa menyaring kata. Bahkan, diiringi dengan suara ketus juga nada yang tinggi. Pernah suatu kali aku mengatakan pada suamiku jika aku kurang suka selalu diperlakukan seperti itu. 

Akan tetapi, Mas Prasetyo hanya mengatakan untuk sabar. Menguraikam segala hal mengenai pahala besar ketika tetap berbuat baik pada orangtua.

"Mas, aku tahu soal itu. Tapi, kan, bisa ibu kalau berbicara dengan nada biasa aja atau kata-kata yang baik. Aku ga nyaman, loh, Mas. Apalagi kadang bicaranya ga lihat tempat." Protesku kala itu, meminta bantuan untuk berbicara pada ibunya. Namun, selalu saja berakhir dengan mengatakan itu sudah karakter ibu.

"Ga juga, Mas. Ibu seperti itu cuma sama aku aja. Sama Mbak Ayu dan Mbak Siska ibu selalu berbicara lembut." Lagi-lagi aku melayangkan protes.

Aku juga bisa menilai mana yang memang sudah karakter bawaan, atau hanya dilakukan pada orang tertentu saja. Nah, apa yang dilakukan ibu mertuaku di sebabkan oleh point kedua.

Entahlah, apa karena ia menganggap jika aku hanya berasal dari keluarga biasa dengan pekerjaan yang saat itu cuma seorang sales produk kecantikan. Andai ia tahu kondisiku yang sebenarnya, akankan ia masih bersikap sama? 

Pembicaraan saat itu akhirnya selalu menemukan jalan buntu, sebab suamiku tetap pada pendapatnya. Ia tak mau menegur ibu. Padahal, kan, jika ada permasalahan antara mertua dan menantu perempuan.

Seharusnya sebagai anak dan suami, seorang lelaki harus bisa menjembataninya agar tercipta keharmonisan antara keduanya. Namun, jika timpang sebelah, hanya akan membuat salah satunya menumpuk kekesalan, yang akan meledak pada waktunya.

"Loh, Mbak Ayu mana?" tanya Mbak Wina ketika melihatku datang sendiri.

"Lagi terima telepon, Mbak."

"Oh, gitu."

"Eh, iya, Han. Ambilin gelas lagi, ini kurang, nih!" pinta Mbak Siska tanpa merasa sungkan memerintah. 

Belum juga nampan ini berpindah dari tanganku, seenaknya saja ia sudah menyuruh hal lainnya. Padahal posisi kami sama sama menantu yang tinggal di rumah ini, seharusnya ia membantu. Bukan seenaknya melimpahkan semua pekerjaan padaku.

"Loh, Siska, kalau cuma gelas aja kamu ambil aja di belakang. Hana, kan, lagi sibuk bawain makanan," tegur bapak mertuaku.

Ucapan bapak membuat semua orang melirik pada kakak ipar keduaku itu. Ia terlihat salah tingkah. Dari raut wajahnya tergambar rasa tak enak hati bercampur kesal juga. 

"Eh, i-iya, Pak," sahut Mbak Siska sambil beranjak berdiri. Dalam hati aku tersenyum melihat wajahnya yang memerah. Mungkin malu ditegur bapak.

Setelah meletakkan makanan dan mempersilahkan untuk dimakan, pandanganku kini beralih pada orang-orang di ruangan ini. Tak kudapati Mas Prasetyo. Ada dimana ia? 

Aku beranjak berdiri lalu melangkah perlahan ke dapur untuk mengambil makanan selanjutnya. Namun, ketika melewati ruang televisi aku berhenti sebentar dan menoleh ke sana, hanya ada anak-anak yang sedang bermain mobil-mobilan dan bermain kartu ditemani Restu, anak bungsu ibu.

"Mbak Hana cari Mas Pras, ya?" tanya adik iparku itu. Mungkin ia melihat pandanganku yang seperti tengah mencari seseorang. 

Aku memang ingin meminta tolong pada Mas Pras, untuk memindahkan kuah baso ke meja makan.

"Eh, iya. Dimana, ya, de?" 

"Di depan, Mbak, tadi mau nelepon katanya," sahut lelaki berusia dua puluh tahun itu sambil menunjuk ke arah teras rumah.

"Menelepon?" Aku bergumam sendiri. Ada perasaan lain menyusup di hati. 

Pikiranku kembali pada gambar yang kulihat tadi. 

"Apa iya Mas Prasetyo yang sedang menelepon Mbak ...." 

"Ealah, Hana. Kamu ini, ga dimana-mana bengong aja kerjaannya. Bukannya langsung ke dapur lagi. Itu kuah basonya belum ditaruh di meja," sembur ibu yang lagi lagi melihatku sedang tertegun dengan pikiran sendiri.

Sementara di belakangnya ada Mbak Siska yang sedang membawa beberapa gelas. Ia memandangku tajam. Sepertinya masih kesal denganku karena dibela bapak. Tapi aku tak peduli. Tak dapat mengintimidasiku, ia lalu melangkah ke ruang tamu tanpa bicara.

"Ini, Bu. Lagi cari Mas Pras, buat bantu mindahin kuah baso."

"Halah, ngangkat gitu aja pake minta bantuan. Ngangkat sendiri, kan, bisa!"

"Saya ga berani, Bu, kalau angkat sendiri." Aku memberanikan diri berbicara.

Sebenarnya aku memiliki trauma dengan panci berisi kuah panas. Apalagi wadah yang dipakai ibu lumayan besar. Jadi, aku tak mau memgambil resiko.

Ibu mencebik mendengar jawabanku. 

"Ya udah, Mbak. Nanti Restu aja yang angkat pancinya. Mas Pras kayaknya masih teleponan," sahut adik iparku itu.

"Iya Restu, makasih, ya." 

Restu mengangguk dan beranjak berdiri. Sementara ibu melangkah ke ruang depan sambil memasamkan wajah. Mungkin kesal dengan menantu yang tak sesuai harapan.

Aku menghela napas pelan, lalu melangkah ke dapur bersama bujang yang masih duduk di bangku kuliah itu.

Tak kudapati Mbak Ayu di sana. Sepertinya ia masih menelepon. 

"Di sini ya, Mbak!" tanya Restu memastikan tempat untuk meletakkan panci tersebut. 

Aku menjawab sambil mengangguk.

"Ada lagi yang mau dibantu, Mbak?"

"Udah ga ada, makasih, ya, Res."

"Iya, Mbak." Mengetahui tak ada yang dibantu lagi, adik iparku itu langsung melangkah ke ruang depan.

Setelah memastikan Restu pergi, aku melangkah diam diam ke arah halaman belakang. Sayup sayup terdengar suara Mbak ayu yang masih berbicara di telepon. 

Aku melangkah lebih mendekat, penasaran dengan seseorang yang ditelepon. Namun, baru saja hendak mengayunkan kaki, seseorang menepuk pundakku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SEBENARNYA AKU KAYA   Bab 34

    "Hana, kamu telah menabuh peperangan denganku!" ucap seseorang di seberang sana dengan suara bariton yang tegas, penuh intimidasi.Aku tertegun."Siapa kamu?" tanyaku, mencoba tetap tenang meskipun jantungku berdegup kencang.Orang di seberang tertawa pelan. Suara dinginnya membuat bulu kudukku meremang, seakan ada hawa gelap yang menyelinap ke dalam pikiranku."Kamu tidak perlu tahu siapa aku, Hana. Kamu hanya perlu mempersiapkan diri untuk mendapatkan kejutan selanjutnya."Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam kegelisahan yang mulai merayapi pikiranku."Apa maksudmu?" Aku bertanya kembali, mencoba menggali lebih dalam."Nanti kamu akan tahu sendiri!"Nada suaranya penuh ancaman. Aku mengerutkan kening, firasat buruk semakin kuat menyelimutiku."Tunggu saja!" ucapnya sebelum sambungan tiba-tiba terputus.Aku menatap layar ponselku dengan perasaan tak menentu. Ada sesuatu ya

  • SEBENARNYA AKU KAYA   Bab 33

    "Aku memang ingin menyingkirkan Hana!"Suara Mbak Ayu menggema di ruangan, dipenuhi kebencian yang begitu kentara.Aku menelan ludah, merasakan tubuhku menegang."Karena kamu telah menghancurkan semua rencanaku, Hana!" lanjutnya dengan suara bergetar penuh emosi.Matanya menatapku tajam, berkilat dengan kemarahan membara, seolah ingin menelanku hidup-hidup. Aku membalas tatapannya dingin. Aku tidak pernah memulai, tetapi ia yang mencoba mengambil kesempatan dari kelemahanku.Bahkan, baru kusadari jika ia memanipulasi perusahaan ibuku dengan mendekati Om Leo, membuat segalanya semakin runyam. Namun, kini ia berlagak seolah korban."Ayu, kenapa begini? Ibu tidak menyangka kamu bisa berpikir sejauh itu?" Suara Ibu terdengar lirih, tidak menyangka jika menantunya yang dulu dibanggakan memiliki pemikiran keji.Namun, Mbak Ayu menoleh padanya dengan wajah tanpa penyesalan sedikit pun."Karena Hana

  • SEBENARNYA AKU KAYA   Bab 32

    "Kurang ajar anak itu!" maki bapak dengan wajah yang memerah."Dari dulu memang selalu membuat masalah," ucapnya lagi. Kali ini ada gurat kesedihan bercampur kekesalan.Tentu bapak sangat terpukul mengetahui fakta yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya.Aku hanya diam saja. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menenangkan bapak. Perasaanku sendiri juga sedang dilanda kekacauan. Kenapa bisa? Lelaki yang merupakan kakak iparku itu melakukan hal itu.Aku tahu selama ini dialah yang paling tak terkendali dalam keluarga bapak, sifatnya yamg tempramental juga malas selalu membuat masalah dalam keluarga. Tapi aku tak pernah terpikirkan jika perbuatannya sampai sejauh ini.Kendaraan yang kami tumpaangi sudah berhenti di depan rumah bapak, dengan sigap lelaki yang sudah tidak muda lagi itu bergegas turun dan melangkah dengan tergesa memasuki rumah "ARGA!" Panggil Bapak dengan suara yang menggelegar."ANAK SIA_LAN! KELUAR

  • SEBENARNYA AKU KAYA   Bab 31

    Duniaku seolah berhenti berputar saat mendengar penuturan Bapak. Aku menatap kalung di tanganku dengan gemetar. Kalung ini bukan sekadar barang biasa—ini adalah milik Mas Elang. “Bapak yakin milik teman Ari?” Aku bertanya pelan.Bapak mengangguk.“Bapak tidak mungkin salah ingat. Lelaki itu memakainya saat Bapak mengobati luka di kepalanya."Aku mengepalkan tangan yang menggenggam kalung itu. Dadaku sesak, berbagai pikiran berkecamuk di benakku. Jika itu benar milik Mas Elang, berarti dia masih hidup. Tapi mengapa dia tidak kembali? Kenapa dia tidak mencari keluarga kami?Oh, ya. Ari bilang temannya bertingkah seperti anak-anak. Itu artinya ..."Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi dengan Mas Elang?"Aku menoleh ke Bapak, yang menatapku dengan sorot penuh perhatian."Pak, kapan peristiwa Ari dan Mas Elang dikejar preman terjadi?""Sekitar setahun lalu, Nak!""Setahun." Aku memejamkan mata, me

  • SEBENARNYA AKU KAYA   Bab 30

    Aku melangkah memasuki restoran mewah dengan perasaan campur aduk. Suasana elegan langsung menyambutku. Lampu gantung kristal berkilauam di langit-langit, meja-meja dengan taplak putih bersih, dan para pelayan yang bergerak dengan anggun. Namun, pikiranku sama sekali tidak tenang.Aku menarik napas panjang, berusaha menghilangkan rasa gelisah. Meeting ini sangat penting untuk kelangsungan proyekku. Aku tidak boleh terlihat gugup di depan klien. Aku hanya berharap, malam ini berjalan lancar—tanpa ada kejadian tak terduga yang merusak segalanya. Selama meeting aku mencoba fokus pada percakapan dengan klien penting di depanku. Restoran ini begitu elegan, suasanya mendukung untuk pertemuan bisnis. Akan tetapi, pikiranku terbagi memikirkan Sakha yang berada di meja lain, beberapa langkah di belakangku.Aku sengaja membawanya kali ini, karena rasa khawatir yang masih membayangi. Setelah insiden beberapa waktu lalu, aku tidak ingin jauh darinya terlalu lama.

  • SEBENARNYA AKU KAYA   Bab 29

    Aku menghirup aroma teh hangat di tanganku, mencoba menenangkan pikiran. Matahari baru saja muncul, tetapi hatiku penuh dengan gelisah. Suara mobil berhenti di depan rumah mengalihkan perhatianku. Aku berjalan ke pintu, membuka, dan melihat Ummi Evi turun dengan langkah cepat.“Hana,” panggilnya lembut sambil meraih tanganku. Pelukannya hangat, tetapi aku tahu ada kekhawatiran di matanya.“Ummi, terima kasih sudah datang,” kataku pelan.“Bagaimana Sakha? Maaf, Ummi baru bisa menjenguk sekarang.”“Sakha baik-baik saja, Ummi,” jawabku sambil menghela napas. “Tapi keadaan di sini benar-benar buruk. Ada orang yang ingin mencelakai Sakha."Wajah Ummi Evi berubah. “Apa maksudmu, Hana? Ceritakan semuanya.”Aku membawa Ummi ke ruang tamu dan mulai menceritakan kejadian beberapa hari terakhir—dari penyusupan di malam itu hingga pengkhianatan Mina. Saat menyebutkan nama Ayu sebagai otak dari semua ini, wajah Ummi Evi se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status