Home / Romansa / SEBENARNYA AKU KAYA / Bab 7 Rencana ke Pesta

Share

Bab 7 Rencana ke Pesta

Author: Maya Har
last update Last Updated: 2024-06-11 20:00:13

"Nanti malam kita diundang Ayu ke pesta ultah ibunya di hotel daerah Thamrin," ucap ibu memberitahu.

Beberapa orang yang sedang menikmati sarapan pagi langsung terpekik senang 

"Apa nama hotelnya, Bu?" tanya Mbak Siska dengan mata berbinar.

"Lupa ibu, tapi yang pasti hotel mewah," sahut perempuan paruh baya itu yang hendak menyuap nasi kuning ke mulutnya.

"Wah, itu udah pasti. Sekelas Mbak Ayu, kalau ngadain pesta, pasti tempatnya ga kaleng kaleng," ucap kakak iparku itu lagi.

"Asik, nih, bakalan makan enak nanti," timpal Mas Arga, suami Mbak Siska.

"Bawa tupperware, Mas, buat ngebungkus," seloroh Restu pada abangnya. Semua orang tertawa. Memang adik bungsu di keluarga ini suka bercanda.

"Aman, nanti Mas bawa yang paling besar. Tapi kamu yang ngambilin, hahaha," balas Mas Arga

Terlihat lelaki berusia dua puluh tahun itu menjulurkan lidah, meledek abangnya.

"Nanti ga ada cewek yang naksir aku lagi." 

Lagi lagi semua tertawa. Kecuali suamiku.

Sejak tadi ia diam saja, hanya sesekali tersenyum. Semalam aku meminta penjelasan mengenai foto yang dikirim seseorang.

Dalam foto itu tampak suamiku tengah memeluk seorang perempuan di depan gedung kantornya.  Sayangnya wajah si pemilik rambut hitam panjang itu tidak kelihatan. Terhalang oleh wajah Mas Prasetyo. 

Aku merasa jika postur tubuh perempuan yang memakai blazer itu tidak asing. Aku seperti mengenalnya. Hanya rambutnya saja yang berbeda. 

"Itu ga seperti yang kamu pikirkan Hana! Itu teman kantorku yang sedang tertimpa musibah," jelas Mas Prasetyo membuat pembelaan.

"Kenapa harus memeluk, Mas. Itu tidak pantas!" Aku memprotes dengan sikapnya itu.

"Ya mau gimana lagi! Ayahnya meninggal di Kalimantan, tentu ia sedih sehingga mencari sandaran. Mungkin saat itu karena Mas paling dekat jadi, ia tiba-tiba memeluk Mas. Masa orang lagi berduka, dibiarkan saja. Nanti ia semakin sedih."

"Apakah tidak ada teman perempuan di sana? Kenapa harus memeluk Mas Pras?" Aku masih tak habis pikir dengan kejadian itu. Penjelasan suamiku terasa tidak masuk akal.

"Sudahlah, Han. Kamu ini kebiasaan, selalu saja membesar besarkan masalah. Aku capek pulang kerja bukannya disuruh istirahat malah diteror dengan kecurigaanmu yang berlebihan." Lelaki yang wajahnya tampak memerah itu  meninggikan suaranya. 

Padahal untuk bertanya hal ini, aku harus menahan diri. Menunggu kedatangannya yang baru pulang jam 12 malam, lalu membiarkannya terlebih dahulu memakan cemilan juga membersihkan diri.

Setelah duduk santai aku baru mulai bertanya dengan baik baik. Memang dari awal, ia sudah terlihat gugup ketika pertanyaan itu terlontar. Dan seperti biasa, setiap permasalahan tak akan pernah selesai karena ia tak mau menjelaskan dengan detail.

Selalu mengakhiri perdebatan dengan suara yang meninggi dan meninggalkan masalah tanpa kejelasan dan solusi. Kemudian selanjutnya, ia akan bersikap seolah aku yang salah. Sejak bangun tidur suamiku mendiamkanku.

"Nanti malam kamu pake baju yang bagus, Han. Terus dandan, jangan malu-maluin pokoknya. Di sana pasti banyak pengusaha dan orang terpandang," celetuk ibu tiba-tiba. 

Aku yang sedang menyuapi Sakha langsung menoleh ke arah ibu.

"Tuh, Pras. Kamu pastiin istrimu bisa menyesuaikan diri. Kalau ga ada baju, coba kamu pinjam sama Wina. Kan, ukurannya hampir sama." Ibu berbicara santai, seolah apa yang diucapkan biasa saja.

Padahal setiap kata seolah menggores luka di hati, dan rasanya sangat pedih. Kenapa juga ibu berbicara seperti itu? Seolah aku seseorang yang tak mengerti apapun. 

"Ya udah, nanti aku coba pinjam sama Wina," jawab Mas Prasetyo menimpali permintaan ibunya.

"Ga usah, Mas. Aku masih ada baju."

"Udah biarin aja, sih. Baju Wina, kan, modis modis. Biar keliatan elegan dan berkelas. Jadi, kita ga malu," sahut ibu 

"Nah, betul itu, Han. Malam ini kita harus tampil cetar. Ntar soal riasan tenang, deh, aku yang make up-in kamu," timpal Mbak Siska dengan wajah manis. Tumben sekali ia mau berbaik hati seperti itu.

"Makasih, Mbak, tapi ga usah repot repot. Aku ada make up sendiri." Aku berbicara sehalus mungkin.

"Haduh, kamu, Han. Ga usah ga usah terus. Dibantuin, kok, ya ga menghargai. Ini, kan, untuk kebaikan kita," sungut ibu yang terlihat kesal.

"Lagian kamu memang ada peralatan make up? Paling bedak sama lipstik doang, kan? Ga pernah ibu lihat kamu dandan," cibirnya.

Aku menghela napas. Memang semenjak menikah dengan Mas Prasetyo aku tidak menggunakan make up. Cukup memakai skincare untuk perawatan, itupun hampir beberapa bulan tak kugunakan.

"Ada, Bu, lengkap malah!" 

Kulihat Mas Prasetto menoleh cepat ke arahku, memastikan kebenaran ucapaku. Mungkin ia merasa mustahil aku memiliki alat alat itu. Sebab uang yang diberikan setiap bulan hanya cukup untuk kebutuhan Sakha.

"Ya udah, terserah kamu, tapi kalau nanti hasilnya kek lenong, mending kamu ga usah ikut, di rumah aja! Daripada bikin malu." Kembali ibu meragukanku. Bahkan, kali ini disertai ancaman.

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Lihat saja! Aku akan membuat semua orang tak berkedip melihat penampilan seorang Hanna Wijaya Salim. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dede Rukiah
bagus untuk yg suka membaca
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SEBENARNYA AKU KAYA   Bab 34

    "Hana, kamu telah menabuh peperangan denganku!" ucap seseorang di seberang sana dengan suara bariton yang tegas, penuh intimidasi.Aku tertegun."Siapa kamu?" tanyaku, mencoba tetap tenang meskipun jantungku berdegup kencang.Orang di seberang tertawa pelan. Suara dinginnya membuat bulu kudukku meremang, seakan ada hawa gelap yang menyelinap ke dalam pikiranku."Kamu tidak perlu tahu siapa aku, Hana. Kamu hanya perlu mempersiapkan diri untuk mendapatkan kejutan selanjutnya."Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam kegelisahan yang mulai merayapi pikiranku."Apa maksudmu?" Aku bertanya kembali, mencoba menggali lebih dalam."Nanti kamu akan tahu sendiri!"Nada suaranya penuh ancaman. Aku mengerutkan kening, firasat buruk semakin kuat menyelimutiku."Tunggu saja!" ucapnya sebelum sambungan tiba-tiba terputus.Aku menatap layar ponselku dengan perasaan tak menentu. Ada sesuatu ya

  • SEBENARNYA AKU KAYA   Bab 33

    "Aku memang ingin menyingkirkan Hana!"Suara Mbak Ayu menggema di ruangan, dipenuhi kebencian yang begitu kentara.Aku menelan ludah, merasakan tubuhku menegang."Karena kamu telah menghancurkan semua rencanaku, Hana!" lanjutnya dengan suara bergetar penuh emosi.Matanya menatapku tajam, berkilat dengan kemarahan membara, seolah ingin menelanku hidup-hidup. Aku membalas tatapannya dingin. Aku tidak pernah memulai, tetapi ia yang mencoba mengambil kesempatan dari kelemahanku.Bahkan, baru kusadari jika ia memanipulasi perusahaan ibuku dengan mendekati Om Leo, membuat segalanya semakin runyam. Namun, kini ia berlagak seolah korban."Ayu, kenapa begini? Ibu tidak menyangka kamu bisa berpikir sejauh itu?" Suara Ibu terdengar lirih, tidak menyangka jika menantunya yang dulu dibanggakan memiliki pemikiran keji.Namun, Mbak Ayu menoleh padanya dengan wajah tanpa penyesalan sedikit pun."Karena Hana

  • SEBENARNYA AKU KAYA   Bab 32

    "Kurang ajar anak itu!" maki bapak dengan wajah yang memerah."Dari dulu memang selalu membuat masalah," ucapnya lagi. Kali ini ada gurat kesedihan bercampur kekesalan.Tentu bapak sangat terpukul mengetahui fakta yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya.Aku hanya diam saja. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menenangkan bapak. Perasaanku sendiri juga sedang dilanda kekacauan. Kenapa bisa? Lelaki yang merupakan kakak iparku itu melakukan hal itu.Aku tahu selama ini dialah yang paling tak terkendali dalam keluarga bapak, sifatnya yamg tempramental juga malas selalu membuat masalah dalam keluarga. Tapi aku tak pernah terpikirkan jika perbuatannya sampai sejauh ini.Kendaraan yang kami tumpaangi sudah berhenti di depan rumah bapak, dengan sigap lelaki yang sudah tidak muda lagi itu bergegas turun dan melangkah dengan tergesa memasuki rumah "ARGA!" Panggil Bapak dengan suara yang menggelegar."ANAK SIA_LAN! KELUAR

  • SEBENARNYA AKU KAYA   Bab 31

    Duniaku seolah berhenti berputar saat mendengar penuturan Bapak. Aku menatap kalung di tanganku dengan gemetar. Kalung ini bukan sekadar barang biasa—ini adalah milik Mas Elang. “Bapak yakin milik teman Ari?” Aku bertanya pelan.Bapak mengangguk.“Bapak tidak mungkin salah ingat. Lelaki itu memakainya saat Bapak mengobati luka di kepalanya."Aku mengepalkan tangan yang menggenggam kalung itu. Dadaku sesak, berbagai pikiran berkecamuk di benakku. Jika itu benar milik Mas Elang, berarti dia masih hidup. Tapi mengapa dia tidak kembali? Kenapa dia tidak mencari keluarga kami?Oh, ya. Ari bilang temannya bertingkah seperti anak-anak. Itu artinya ..."Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi dengan Mas Elang?"Aku menoleh ke Bapak, yang menatapku dengan sorot penuh perhatian."Pak, kapan peristiwa Ari dan Mas Elang dikejar preman terjadi?""Sekitar setahun lalu, Nak!""Setahun." Aku memejamkan mata, me

  • SEBENARNYA AKU KAYA   Bab 30

    Aku melangkah memasuki restoran mewah dengan perasaan campur aduk. Suasana elegan langsung menyambutku. Lampu gantung kristal berkilauam di langit-langit, meja-meja dengan taplak putih bersih, dan para pelayan yang bergerak dengan anggun. Namun, pikiranku sama sekali tidak tenang.Aku menarik napas panjang, berusaha menghilangkan rasa gelisah. Meeting ini sangat penting untuk kelangsungan proyekku. Aku tidak boleh terlihat gugup di depan klien. Aku hanya berharap, malam ini berjalan lancar—tanpa ada kejadian tak terduga yang merusak segalanya. Selama meeting aku mencoba fokus pada percakapan dengan klien penting di depanku. Restoran ini begitu elegan, suasanya mendukung untuk pertemuan bisnis. Akan tetapi, pikiranku terbagi memikirkan Sakha yang berada di meja lain, beberapa langkah di belakangku.Aku sengaja membawanya kali ini, karena rasa khawatir yang masih membayangi. Setelah insiden beberapa waktu lalu, aku tidak ingin jauh darinya terlalu lama.

  • SEBENARNYA AKU KAYA   Bab 29

    Aku menghirup aroma teh hangat di tanganku, mencoba menenangkan pikiran. Matahari baru saja muncul, tetapi hatiku penuh dengan gelisah. Suara mobil berhenti di depan rumah mengalihkan perhatianku. Aku berjalan ke pintu, membuka, dan melihat Ummi Evi turun dengan langkah cepat.“Hana,” panggilnya lembut sambil meraih tanganku. Pelukannya hangat, tetapi aku tahu ada kekhawatiran di matanya.“Ummi, terima kasih sudah datang,” kataku pelan.“Bagaimana Sakha? Maaf, Ummi baru bisa menjenguk sekarang.”“Sakha baik-baik saja, Ummi,” jawabku sambil menghela napas. “Tapi keadaan di sini benar-benar buruk. Ada orang yang ingin mencelakai Sakha."Wajah Ummi Evi berubah. “Apa maksudmu, Hana? Ceritakan semuanya.”Aku membawa Ummi ke ruang tamu dan mulai menceritakan kejadian beberapa hari terakhir—dari penyusupan di malam itu hingga pengkhianatan Mina. Saat menyebutkan nama Ayu sebagai otak dari semua ini, wajah Ummi Evi se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status