Share

14. Teman Terbaikku

Dua jam kebersamaanku dengan keluarga ini terasa singkat. Aku benar-benar hanyut dengan suasana akrab dengan mereka, padahal kami baru saja mengenal.

“Kamu yakin ini akan pulang, menuruti ibu dan pamanmu?”

Ragu-ragu, aku mengangguk kecil atas pertanyaan Pak Haji.

“Kalau memang mau menikah, tunggu dulu kabar bapakmu, Sekar. Usahakan mencarinya, biar pernikahanmu tidak batil,” nasihatnya lagi.

Pak Haji tadi bilang, kalau beliau dengar kabar terakhir Bapak sudah pulang ke Semarang, kebetulan tanah Bapak di desa seberang Mentaya itu dijual pada saudara Pak Haji, karena anak Bapak sakit. Kebetulan Pak Haji yang bantu urus dulu, masih tersimpan fotocopy KTP Bapak, yang akan jadi titik terang aku mencari kampung asalnya. Alhamdulillah, lari ke sini mungkin sudah jadi petunjuk-Nya untukku. 

“Terima kasih, Pak Haji. Sekar akan coba cari kabar Bapak.” Aku menggendong ransel, bersiap pergi.

“Benar ini tidak diantar?”

“Tidak usah, Pak Haji, Bu Haji. Terima kasih sudah bantu saya.”

Pamit, kutempelkan dua punggung tangan keriput itu bergantian ke kening. Saat yang sama di dalam hati kugumamkan maaf atas kebohongan ini. Aku bilang akan ke rumah Paman, tapi setelah keluar pelataran masjid aku melambai tukang becak, lalu berhenti di tempat travel untuk segera menuju kota madya.

Begitu tahu aku lari ke masjid tadi Yandi segera membelikan tiket via online. Penerbangan nanti malam, sengaja pilih dari kota karena dari kabupaten ini hanya sekali keberangkatan, tadi pagi. Yandi memang teman terbaik yang aku punya, pahlawan yang bisa diandalkan saat ini. Aku banyak berhutang budi padanya.

Empat jam perjalanan, membawaku meninggalkan semua yang aku punya di kota kecil ini. Termasuk nasib dua baju orang yang dipermak terbawa ke rumah Paman. Yah, mau bagaimana lagi, aku ‘kan terpaksa lari dari tanggung jawab.

Sampai di bandara aku mulai grogi, memikirkan rasa naik pesawat, sebab ini pengalaman pertama.

Saat check-in aku mengikuti apa yang calon penumpang lain lakukan, meski mungkin terbaca kaku. Aku juga banyak tanya dengan petugas, takut salah. Kalau sampai nyasar, ‘kan nggak lucu, hehe.

Setelah salat Magrib di mushala bandara, aku duduk di ruang tunggu sambil menerima telepon Yandi.

“Gimana, Sayang? Masih kuat?” tanyanya penuh perhatian. Tadi aku mabuk darat, setelah minum obat anti mabuk lumayan sudah berkurang peningnya.

“Mendingan, tapi masih panas dingin …,” gumamku sambil lihat di sana ada dua pesawat di landasan. Membayangkan benda itu akan terbang dengan ketinggian puluhan ribu meter dari tanah membuat napasku menyesak.

“Takut naik pesawat?” tanyanya, kurasa Yandi bicara sambil tersenyum lebar.

“Iya, Yan. Aku sampai bolak-balik ke kamar mandi."

“Grogi naik pesawat apa nggak sabar lihat aku?”

“Ya, grogi naik pesawat, Yan. Ini aku mulas campur takut ….”

“Trus, kalau ketemu aku gimana rasanya?”

Dasar. Ada-ada aja pertanyaannya.

“Itu beda kali, Yan, mulasnya kayak …” Aku menggantung kalimat, memikirkan. “kayak mau ujian dadakan … kayak mau tampil di panggung.”

“Ciee, berarti cinta banget sama aku.” Di sana dia terdengar senang. Sementara aku senyum-senyum, kalau lewat telepon aku berani ngomong begitu, dia kan nggak lihat juga.

“Mm, emang kamu nggak grogi mau ketemu aku?” Lumayan juga efek ngobrol bucin begini, aku sedikit lupa takut terbang.

“Biasa aja.”

“Biasa? Maksudnya?”

“Biasa … kayak ada banyak hewan kecil beterbangan di dalam perut, bikin sedikit susah napas, dan … nggak bisa nahan diri mau …” Kubulatkan mata mendengar arah bicaranya. Yandi sengaja menggantung kalimat beberapa detik.

“Mau apa?” Refleks kututup mulut yang keceplosan tanya.

“Mau … mau halalin kamu, Sayang!”

Hahaa. Aku menahan perut yang geli saat spontan tertawa lepas. Terhenti seketika saat ingat ini tempat umum. Menoleh ke kiri sepertinya ada satu dua orang melirik tapi kemudian cuek lagi. Pas noleh ke kanan, tertumbuk pada seseorang di sana, berjaket coklat tengah menelepon.

Kak Evan?!

Lekas kupaling wajah, untung duduk agak jauh jadi mungkin Kak Evan belum menyadari keberadaanku.

Sebelum pesawat berangkat aku masih teleponan dengan Yandi, bicara dengan suara kecil.

*

Bagai terkurung dalam ruang sempit, tanpa ada ventilasi udara lalu diputar di dalamnya. Ough! Seperti itulah rasaku saat pesawat mulai naik. Susah mengambil napas, dan yang menambahku tersiksa kak Evan duduknya di deretan sama, aku harus pakai ujung kerudung untuk dijadikan masker wajah, hanya menyisakan mata.

Jangan sampai Kak Evan mengenaliku.

Begitu pesawat melandas, aku sengaja menunggu Kak Evan sudah jauh, baru bergerak. Kakak ipar pertamaku itu pasti sedang ada tugas. Berarti dia masih kerja di perusahaan leasing, yang kadang memang ditugaskan ke cabang lain.

Kak Evan sudah pergi, aku melangkah tenang. Sempat kaget melihat yang menjemputnya wanita berambut panjang ber-blazer abu. Menepis fikiran negatif, aku menerka itu mungkin rekan kerjanya.

“Sekar!” Tampaklah cowok tinggi dengan tawa semringah melambai dan mendekat ke sini.

“Yandi!” Setengah berlari aku menghampirinya.

“Kasian, mabuk, ya? Kok muka sampe berantakan gini?”

“Berantakan? Emang mulutku pindah tempat?” sahutku berpura sewot.

Diacaknya pucuk kerudungku.

“Kangen lihat kamu ngambek. Ayo,” ujarnya seraya mengambil alih ranselku, digendongnya, dan aku jalan mengekor di sisi.

Ada rasa tenang melihat sosok ini di sampingku.

Kami naik taksi sampai melintasi lalu lintas padat khas kota besar. Aku cukup terpana melihat apa yang tersaji di depan mata, sampai Yandi bicara apa aku kurang nyambung menjawab.

Mobil berhenti aku mengikutinya turun.

“Ciee, yang bawa istri.” Mengerut dahi aku mendengar beberapa cowok menggoda Yandi, saat kami masuk ke rumah berlantai dua.

“Ciee, yang ngiri,” balas Yandi disahuti riuh.

“Woww, Lesti Kejora itu, ya, Yan?”

“Wah, calon istrinya artis, euy!”

Kucubit lengan Yandi yang sibuk balas memanasi mereka dengan merangkul bahuku, dia sontak mengaduh merasakan kejamnya jariku. Tau rasa!

Rumah luas ini ternyata kos, dengan kamar saling berhadap-hadapan, seperti lorong … penginapan. Tiap kamar ada papan nama, mungkin menunjukkan siapa penghuninya.

“Masuk.” Kami terhenti di pintu bertuliskan nama Novri Yanditrias.

“Yan … memangnya aku tinggal di sini?” tanyaku ragu, sambil mengekorinya masuk.

“Istirahat aja dulu, aku udah izin Bu Kos, kok.”

“Diizinin?”

Dia mengangguk.

“Pasti kamu bilang aku istri?”

“Iya, kan benar istri.” Kupelototi dia yang cengengesan. “Iya, iya … calon istri.”

Diletakkan ranselku ke atas meja. Mengambil handuk, dikalungkan ke leherku.

“Mandi gih, kasian kusut banget. Aku mau carikan makan malam dulu. Habis makan kuantar kamu ke kos cewek.”

Aku mau protes Yandi keburu keluar kamar.

Bengong sesaat, kuedar pandang pada ruang ini. Ukuran sekitar 4x4. Bersih. Rapi.

Ada kasur nomor tiga dengan seprai motif bola, kaku. Buku tertata, ada gitar di pojok, dan juga lemari sorong plastik lima tingkat.

Setelah mengambil pakaian ganti dari ransel, aku masuk kamar mandi. Entah kenapa dada ini tiba-tiba sesak teramat sangat, dan air mata minta ditumpahkan segera. Aku menangis sambil menyiram kepala. Sampai air mata itu hilang dengan sendirinya. Sedikit sensitif merasa hidup ini terombang-ambing.

Sampo Men Care milik Yandi menyebarkan rasa dingin di kulit kepala, sengaja kubiarkan sesaat sambil pijat ringan kepala, biar dingin ini meresap sampai ke otakku. Alhamdulillah, setelah mandi malam badan terasa segar.

Mulai sekarang aku janji akan lebih kuat memulai hidupku dari sini.

Keluar kamar mandi aku sudah berpakaian rapi.

Ternyata Yandi sudah datang, mata kami bertemu saat dia menoleh pintu kamar mandi.

“Kenapa? Kok, heran gitu?” tanyaku melihatnya memandangku tanpa kedip.

“… masih pake kerudung juga?” tanyanya setengah menggumam.

Aku tertawa geli. “Iyalah, Yan.” Aku mengusap muka dengan handuk sebelum menaruh di tempatnya.

“Kamu keramas, ‘kan? Rambut masih basah ditutupin?”

“Nggak papa, nanti juga kering sendiri. Waah, nasi padang.” Mataku langsung membelalak melihat makanan enak sudah di piring.

Aku langsung duduk di lantai keramik, bersiap makan.

“Sekar?”

“Hmm.”

“Makasih ya kamu mau melawan ibumu demi aku.”

Kuangkat wajah, melihat mata Yandi.

“Aku memang belum mau nikah, Yan.”

“Ohh, jadi aku geer ya, kirain kamu nolak dinikahin karena aku.”

Gemas. Kucubit dadanya. “Karena kamu juga,” ujarku mengoreksi jawaban.

“Alhamdulillah. Makasih, Sayang. Ayo makan. Habisin. Nanti aku antar ke kos teman, tadi udah bilang dan mereka mau nampung kamu.”

“Makasih ya, Yan. Kamu jaga aku kayak saudara.”

“Nggak juga. Aslinya aku nggak bisa nahan diri.” Sambil ngunyah dia senyam-senyum.

 “Tadi sedikit kecewa lihat kamu keluar kamar mandi pake kerudung. Padahal ngarap, mau lihat … rambutmu," ujar lagi.

“Dasar, Omes!” Kutowel sambal ijo ke ujung hidungnya seraya tergelak.

Cepat disambarnya tisu. “Benar, Sekar. Aku sudah nggak sabar. Pokoknya aku akan usahain cepat lulus. Kita berjuang bersama, ya ….”

Dia memandangku penuh rasa sayang. Sorot mata yang melindungi.

Terharu, ada rasa teriris di hati atas kebaikan Yandi. Kuharap kami benar berjodoh.

Kubalas kalimatnya dengan senyum, sambil melanjutkan makan. Sebenarnya mau bilang, aku makin sayang atas semua yang sudah dia lakukan, tapi bersabar tunggu halal ajalah. Saat itu akan kuhujani dia dengan yang terbaik.

Bunga-bunga di hati terasa berhenti menari saat handphone Yandi berbunyi, sebab mata ini langsung melihat layar benda yang tergeletak di dekat piringnya.

Kami kemudian saling pandang sesaat dengan wajah kaku.

Itu … Video call dari mamanya …!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status