Puas banget jalan di wisata sekitaran Istanbul. Selama di sini kami sudah kunjungi Istana Topkapi, jalan kaki menikmati suasana pasar malam, ke Taman Miniaturk juga lihat lebih dari ratusan miniatur wisata terkenal di wilayah Turki.
Puas? Banget! Karena kita berdua ini menjalaninya santai. Kita juga sambil kerja dari kejauhan. Aku masih sempat buat desain gaun muslim cantik, terinspirasi dari apa yang terlihat selama jalan-jalan.
“Siap terbang lagi?” Calvin selalu menanyakanku lebih dulu.
“Siap dong, Sayang. O, ya kenapa Cappadocia harus pake pesawat lagi, memang jauh ke sana?”
“Kamu bisa capek duduk berjam-jam di bus.”
“Ohya? Kalau naik pesawat berapa lama?”
“Satu jam setengah sudah sampai.”
“Oh, gitu? Yasudah mana y
"Ayo bangun. Makanan sudah siap masih molor.” “Hmm, jam berapa?” Kukucek mata yang malas membuka. “Setengah enam.” Kutarik tangannya yang tengah melipat selimut, sampai badannya jatuh menimpaku. “Aww, Yan?!” “Diam bentar aja.” Kudekap erat, mencari getar yang kuharap ada. “Udah, yuk, kita siap-siap kerja.” “Bentar lagi, masih kepagian.” “Ya, kalau kamu belum mandi, belum juga sarapan nanti lambat. Awh, geli!” Najwa menggeliat, makin kurapatkan badan. Naluri sebagai lelaki muncul. Kasihan juga sudah seminggu jadi pengantin aku belum menyentuhnya. Alasan kami adaptasi dulu. Ya, perasaan harus ada untuk memulai. Aku suka Najwa, sifatnya periang, tapi hati belum se
Mama tanya, dan aku langsung menoleh pada Najwa, sepertinya dia juga akan tanyakan hal sama. “Ada sih, tapi kangen-“ Ugh! Keceplosan. “Kangen suasana waktu kuliah, Ma.” Sial*n! Lupa! Sebut Surabaya di rumah ini seakan menyebut nama Sekar di mata mereka. Memangnya Surabaya milik Sekar? Ah, tapi mereka ada benarnya juga, aku penasaran mau lihat anak kembar Sekar. Kata Lintang makin besar cakepnya makin kelihatan. Kutahu Sekar lebih banyak mengurus usaha yang makin terkenal bran-nya, sementara Calvin masih dirahasiakan Lintang bagaimana kondisinya. Alasan tengah berobat di luar negeri. Agh! Kalau pikir itu aku memang menggebu mau bertemu. Biasalah, terkadang laki-laki move on lebih sulit. Itu terjadi padaku, walau tidak sekuat dulu menginginkannya lagi. Sekadar
“Janji…jangan pindah. Buatlah rumah nenek ramai. Canda kalian, tawa anak-anakmu kelak, Sekar. Keluarga yang hangat satu sama lain … ah, nenek tua ini ingin melihatnya, ingin ikut bahagia, tapi sepertinya itu ndak mungkin ….” Kalimat panjang diiringi senyuman itu terlontar dari Nenek. Sangat kuingat saat itu, ketika hari kedua beliau dirawat, dalam kondisi membaik, dan besoknya sudah diperbolehkan pulang. Beliau berbicara sambil menggenggam tangan dan Calvin, yang baru beberapa hari pulang bulan madu.
“Bu, percaya Sekar, Bu ... Sekar nggak sadar-“Plak!!Tamparan keras Ibu layangkan ke pipi, membuat pandanganku mengabur."Siapa yang bisa percaya omonganmu, Sekar!'Pipiku panas dan perih. Namun, lebih sakit sayatan luka di hati ini.Gimana lagi aku bilang kalau aku nggak salah, Bu …? Aku korban ...!~~*~~Sejak beberapa bulan lalu aku memang merasa tak aman di rumah sendiri. Dimulai saat sikap kakak ipar terasa berbeda saat memandangku.“Sekar ...?" Suatu hari Bang Jordi juga pernah tiba-tiba muncul di depan pintu kamar, membuatku yang tengah terbaring letih sepulang sekolah langsung terduduk.Sontak aku merutuk, betapa bodohnya aku terlupa kunci pintu kamar. Biasanya pasti ku kunci setiap masuk, demi berjaga-jaga, apalagi jika cuma ada aku dan kakak ipar saja di rumah.“Mau apa Abang?!” Panik aku melihatnya masuk, gerak cepat pasang kembali kerudung sekolah yang tadi sudah lepas.Dia berjalan mendekat, menarik tanganku."Abang mau apa?!" teriakku keras.“Udah, ayo, sini ke kamar aba
Mereka tinggalkan aku dalam keadaan tak karuan di kamar Kak Rana ….Tak taukah keluargaku, melihat ranjang itu saja hati terasa disayat.Susah payah kutarik diri bangun, merapikan pakaian yang sudah tak berbentuk karena sebagian robek.Langkah tertatih merasakan perih dan nyeri di sekujur badan. Sampai di ambang pintu makin jelas terdengar suara mereka ribut di dapur. Suara Kak Rana, lelaki itu juga Ibu. Keributan oleh kejadian di siang bolong ini seperti badai menerpa keluargaku. Kak Rana menangis, Ibu apalagi, terdengar sangat menyakitkan.Mereka saling lempar kata kasar, ada namaku disebut, juga lelaki Jahan** itu. Namun dia terdengar mati-matian membela diri.“Maafkan abang … harusnya abang nolak, Sayang. Abang ….”Aghh! Air mataku makin deras mengalir. Mau perlihatkan kebohongan Bang Jordi, tapi aku tak punya bukti. Ibu dan Kak Rana juga tidak percaya padaku. Meski gemetar, kaki terus melangkah ke kamarku. Allah … akan seperti apa masa depanku nanti …? Ketakutan mendera, meme
Pagi ini, saat masih jam lima lewat Kak Winda menegurku saat keluar kamar, aku sudah gendong tas dan mengenakan seragam.“Sekar ke sekolah, Kak," sahutku saat ditanya. “Nggak libur aja dulu? Mata kamu sembab gitu.” Kacamata netral yang dipegang tadi kupasang.“Gini nggak kelihatan, ‘kan, Kak Win?” Ku urai senyum, sedikit bergaya seperti biasa, seolah tak ada yang berat terjadi padaku sebelumnya. Wajah Kak Winda sesaat melongo melihatku.“Hari ini ada ulangan, Kak, sayang kalau ketinggalan,” ujarku lagi sambil jalan menuju rak sepatu.“Tapi, kok pagi-pagi sekali?”Sepatu sudah terpasang, mendongak sebentar kulihat pemilik mata sipit itu masih menelisik gerak-gerikku. Di belakangnya ada Ibu baru keluar kamar, rambut ikal tebal Ibu yang berantakan menandakan Ibu baru saja bangun.“Sekali kamu keluar rumah, jangan pulang sekalian, Sekar!” ancam Ibu dengan suara berat.Ah, lagi-lagi wajah Ibu menampakan amarah, sama seperti kemarin sore. Diusapnya muka dengan kasar, seperti membuang sisa
“Bagaimana, Sekar? Sudah lebih baik?” Pundakku diusap lembut Bu Fris, setelah aku meneguk segelas teh hangat dan sebungkus klepon. Makanan itu bagian Bu Fris dari dapur sekolah_khusus untuk guru setiap pagi, tapi malah diberikannya padaku.Aku tersenyum merasakan hangat perhatiannya. Benar-benar senyum. Bagai merasa akan mendapat jalan keluar terbaik setelah ini.Tisu Bu Friskelly berikan untukku menghapus sisa jejak air mata. Hampir 15 menit menangis kuat, cukup membuat mataku terasa menyipit.Begitu tenang, kupasang lagi kacamata agar tak begitu terlihat mata sembab.“Ibu akan bersama kamu, Sekar. Kamu harus semangat, ya.” Selain memegang tanganku, pelukan beliau berikan lagi sebelum aku kembali ke kelas. Pelukan erat yang bisa membuatku merasa lega.“Saya ada ulangan,
“Bagaimana pun kita tetap harus bersyukur. Kejadian ini tidak sampai membuahkan janin.” Penuh kelembutan Bu Friskelly menaikkan lagi semangatku.“Masih banyak perempuan di luar sana yang menanggung ujian lebih berat darimu, Sekar … tetaplah kuat.”Aku kembali terpuruk, merasa tidak ingin berbuat apa-apa.Malamnya, berkunjung wanita paruh baya yang kemarin ikut mendampingiku dari KPAI, beliau mungkin dihubungi Bu Fris, datang karena kasihan padaku.Aku memang pantas dikasihani … mungkin begitulah hidupku seharusnya. Entah, jangankan berpikir, menggerakkan jari melanjutkan menjahit saja aku enggan.Tanpa mengeluhkan sikapku, wanita tak kalah lembut dengan Bu Fris itu mulai bercerita, kalau di pekerjaannya dia temukan banyak perempuan_korban sepertiku juga yang