“Mama, kok ke sini?” ucap Bara yang menatap wajah ibunya, namun masih duduk di atas sofa meski tampak ia tak menyukai kehadiran ibunya pagi itu. “Mama kan bebas ke kantor kamu, masa nggak boleh?” ucap ibunya sambil tersenyum dan meletakkan boks berisi kue dan makanan lainnya di atas meja. “Itu siapa?” tanya ibunya yang melihat seseorang berdiri menghadap jendela dan tengah berbincang di telepon. “Itu tuh perempuan yang aku ceritain ke Mama,” ucap Della sambil tersenyum sinis dan segera duduk di atas sofa yang sama dengan Bara. Dona segera mematikan teleponnya dan perlahan ia berbalik badan. “Ow... Jadi ini perempuan yang...” ucap ibunya Bara saat melihat Dona yang baru saja berbalik badan dan menatap ke arahnya. Dona terpaku memandangi wajah wanita itu, yang ternyata tak begitu ia ingat sebagai wajah mertuanya sendiri. Sementara itu, mertuanya tampak terkejut melihat perubahan drastis penampilan menantunya yang kini terlihat semakin cantik, elegan, dan cerdas. “Maaf, Pak. Saya
“Kayaknya posisi Deni sebagai asisten pribadinya Pak Bara bakal ditukar sama staf tadi deh.” “Bisa jadi. Kita lihat aja nanti.” Bara menuju ruang kerja pribadinya, sementara Dona kembali ke ruangannya dan segera mengerjakan tugas sebagai staf konsultan keuangan. Tak lama kemudian, Deni melangkah ke arah ruang kerja Dona. Wajahnya terlihat serius, tapi nada suaranya tetap sopan. “Mbak, diminta Pak Bara ke ruang kerjanya,” ucapnya. “Oh, oke,” jawab Dona sambil tersenyum tipis tanpa melepas pandangannya dari layar laptop. “Terus... dia bilang, buatin kopi dulu,” lanjut Deni, kali ini dengan nada suara lebih pelan dan senyum nakal di sudut bibirnya. “What? Hah... iya deh,” sahut Dona dengan tawa tertahan. Sorot matanya seolah tak percaya, tapi ia tetap bangkit dari kursi dengan ekspresi geli yang tersembunyi. Deni berlalu, kembali ke ruangannya. Sementara itu, Dona berdiri sejenak, menarik napas, lalu bergumam pelan sambil menggeleng pelan. “Doyan banget sama kopi hitam.
Dona menggigit bibir bawahnya. Suaranya merendah, tapi penuh tekanan, “Em... begini, Ma. Mas Rangga itu nggak pernah jemput Olla. Guru-guru di sana jadi nggak kenal dia. Di sekolah Olla, aturannya cukup ketat. Kalau mereka belum pernah lihat atau kenal siapa yang jemput, anak-anak nggak akan diizinkan pulang. Kecuali aku yang kasih konfirmasi langsung.” Hening sejenak. Suara di seberang terdengar berat saat berkata, “Jadi... selama ini Rangga nggak pernah jemput Olla? Sekalipun nggak pernah muncul di sekolah?” “Nanti aku jelasin, Ma,” jawab Dona pelan, matanya mulai berkaca-kaca. Ia memejam sejenak, berusaha menenangkan hatinya yang terasa penuh sesak. “Udah dulu ya, Ma...” “Oke,” sahut sang mertua akhirnya, terdengar lebih datar dan singkat. ••• “Kenapa, Ma?” tanya ayah mertuanya sambil menyeruput teh hangat. Ia duduk santai di teras belakang, namun raut wajahnya berubah penasaran. “Dona bilang, hape dia mati. Tadi dia telepon pakai nomor lain,” ucap ibu mertuanya sem
“Mas… kita udah mandi,” ucap Dona sambil tersenyum manja, namun ia tak menjauh. Justru, ia memiringkan tubuhnya agar lebih dekat pada Bara. Napasnya mulai tidak beraturan saat tangan suaminya menyusuri lekuk tubuhnya dengan kelembutan yang menggetarkan. Sentuhan Bara begitu menguasai, seakan menghapus jarak, luka, dan kekacauan yang baru saja mereka alami. Dona menggigit bibir bawahnya perlahan, menahan desah yang muncul dari dadanya. “Ah… Mas…” gumam Dona pelan, setengah tertahan, seolah tak ingin menyerahkan dirinya begitu cepat—namun ia tahu, ia sudah kalah oleh sentuhan dan tatapan itu. Bara membaringkan tubuh Dona di atas ranjang dengan penuh kehati-hatian, seperti memperlakukan sesuatu yang sangat ia sayangi dan lindungi. Saat ia menindih tubuh istrinya, ia berbisik tepat di telinga Dona, penuh keyakinan dan cinta yang nyaris menggelora: “Enggak ada lagi orang lain selain aku.” Kata-katanya adalah janji yang tak diucapkan di pelaminan, tapi terasa lebih nyata daripada
Dona melirik Bara dari balik tembok kaca kamar mandi. Terlihat Bara dengan tenang membasuh tubuh atletisnya itu, seolah tak ada amarah yang pernah menyentuh dirinya. Air mengalir pelan dari shower, membasahi kulit gelap eksotis yang bersinar di bawah lampu kamar mandi. Dona menahan napas, memeluk tubuhnya sendiri. Di balik wajah lembut suaminya, baru kini ia menyadari sesuatu yang menakutkan: Bara bukan sekadar pria dingin dan pendiam—ia pencemburu, posesif, dan jika batasnya disentuh, ia tak segan menghancurkan apa pun di depannya. Namun meski begitu, hatinya membela. "Tapi dia nggak pernah pukul aku..." bisik Dona pelan, nyaris tanpa suara, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ingatannya memutar ulang saat-saat ketika Bara marah—memecahkan gelas, membanting pintu, menahan napasnya sendiri sambil menunduk tajam. Tapi tak pernah sekalipun tangannya menyentuh Dona dengan kekerasan.
Dona mencoba mengaktifkan ponselnya lagi pagi itu. Dengan penuh perasaan was was, ia pun berhasil menghidupkan ponselnya kembali. Baru saja ponsel menyala, pesan dari Rangga langsung masuk bertubi-tubi. “Sayang, aku kerja dulu. Nanti sore aku ke kantor tempat kamu kerja. Aku jemput kamu,” tulis Rangga. Ada pula pesan lain, di mana Rangga mengirimkan foto-foto kegiatan paginya saat membuat kopi, merapikan kamar tidur mereka, dan hal-hal kecil yang jarang ia lakukan sejak menikah dengan Dona selama beberapa tahun terakhir. “Sayang, aku minta maaf. Aku tahu aku salah, tapi aku punya penjelasan,” tulisnya lagi. “Sayang, kenapa hape kamu mati? Kamu di mana? Aku anterin ke kantor, ya?” Dona terdiam. Matanya menatap layar ponsel yang terus berkedip menampilkan notifikasi pesan lain dari Rangga. Ia meletakkan ponsel itu di atas ranjang dan menunduk, lesu. Lalu, tanpa banyak pikir lagi, Dona melirik ke arah jam tangan milik Bara yang tergeletak di atas meja sudut. Ia segera menuju kama