Mag-log inMalam itu lorong istana terasa dingin, meski angin sama sekali tidak berhembus. David menunggu Dias di ruang baca kecil dekat kamar mereka, ruangan sempit yang biasanya mereka gunakan untuk bicara berdua.Tapi malam ini, suasananya jauh dari hangat.Dias masuk dengan langkah cepat, wajahnya masih memerah sisa kemarahan sebelumnya.“Apa lagi sekarang, David?” tanya Dias dengan nada tinggi.David menahan napas sejenak sebelum bicara.“Sayang, kenapa kamu bicara seperti itu. Aku mau bicara baik-baik denganmu. Tentang Ayah.”Dias menghela napas. “Kalau mau bilang aku kurang merawat Ayah, sudah cukup ya. Aku capek.”David menatapnya lekat-lekat..“Aku cuma tanya satu hal: yang merawat Ayah selama ini, kau atau Gita?”Dias langsung menegang. “Aku. Tentu saja aku! Masa kau percaya Gita? Aku yang merawat Ayah!”“Sayang, bukan soal percaya,” David mencoba tenang, “tapi aku lihat sendiri tangan Gita merah karena sering membersihkan kamar Ayah. Aku lihat pakaiannya basah karena sup. Aku lihat dia
Lorong istana malam itu sunyi. Di kamar Raja Ayah, lelaki itu baru saja terbangun, matanya sayu, kulitnya pucat, dengan napas tersengal-sengal. Ia mencoba meraih segelas air di nakas, namun tangannya gemetar.Pintu kamar berderit. Masuklah Gita, rambutnya diikat asal-asalan, pipi sedikit merah karena berlari naik turun tangga. Di tangannya ada mangkuk air hangat dan kain bersih.“Pelan-pelan, Paduka Ayah,” ucap Gita sambil menahan lengan Raja Ayah dengan hati-hati.Raja Ayah menatap wajah Gita beberapa detik. Ada simpati, tapi juga kebingungan.“Gita, kenapa kau lagi? Bukannya Dias yang bilang dia yang merawatku?” tanya Raja Ayah.Gita menelan ludah. Sebentar saja ia ragu.“Saya hanya membantu, Paduka Ayah. Permaisuri Dias mungkin belum bangun.”Raja Ayah meremas selimut. “Sudah tiga hari belum bangun? Kau pikir Ayah tidak melihat?”Nada suaranya rendah, tapi tajam seperti pisau tumpul yang tetap melukai.Gita tak menjawab. Ia mengganti kompres di dahi Raja Ayah, lalu memijat pelan ja
Ternyata yang berdiri di balik tembok itu… Dias.Matanya membelalak. Ia sudah berniat memanggil David lebih dulu, tapi langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu yang membuat seluruh dadanya panas.Gita duduk berdua dengan David. Berbicara pelan. Terlihat dekat, setidaknya di mata Dias yang sedang dikuasai campuran marah, cemburu, dan ketakutan.Ia mematung beberapa detik sebelum akhirnya berbalik cepat dan masuk lewat pintu belakang lorong. Kakinya menghentak namun ia paksa tetap terdengar normal.Saat David berpisah dengan Gita dan berjalan kembali ke kamarnya, Dias sudah menunggu di tikungan.Begitu Gita lewat, Dias langsung menggenggam pergelangan tangannya keras.“Kamu ngapain sama David?” tanya Dias dengan nada keras."Aa sakit, ampun Permaisuri Dias," rintih Gita.Dias mendekat, tatapannya penuh tekanan.“Apa kamu pikir aku nggak lihat? Kamu duduk dengannya. Kamu buatkan teh. Kamu senyum-senyum. Kamu pikir aku bodoh, Gita?”Gita menggeleng cepat, tubuhnya gemetar.“Tidak. Saya
Malam semakin larut. Raja Ayah yang tersengal pelan. Ia baru saja mencoba meminum air, tapi tangannya bergetar dan gelas hampir jatuh.Pintu kamar terbuka cepat.Gita masuk lebih dulu. Dia langsung menahan gelas sebelum pecah, memapah tangan Raja Ayah dengan lembut.“Pelan-pelan, Yang Mulia. Airnya masih hangat.”Suaranya tenang, penuh kesabaran.Raja Ayah memandangnya dengan dahi berkerut. “Gita? Bukan Dias?”Gita terdiam sejenak, lalu tersenyum.“Oh… Permaisuri Dias mungkin capek sekali, Yang Mulia. Tadi dia bilang tubuhnya agak pegal, jadi istirahat sebentar.”Raja Ayah menatapnya lama, penuh tanda tanya. “Begitu, ya.”Ia tidak menuduh, tidak menyalahkan. Tapi raut matanya jelas: ia mulai curiga ada yang disembunyikan.Gita merapikan bantal, membersihkan sedikit noda air di meja kecil, lalu membantu Raja Ayah berbaring lebih nyaman.“Kalau butuh apa-apa, panggil saya ya, Yang Mulia.”Raja Ayah mengangguk pelan..“Terima kasih, kamu anak baik.”Begitu keluar kamar, Gita menarik napas
Kondisi Raja Ayah semakin menurun. Tubuhnya makin lemah, matanya sering terpejam, dan sesekali ia kehilangan fokus saat diajak bicara. Tabib datang dua kali sehari, tapi tidak ada perubahan berarti.Yang mengejutkan, Ratu Ibu justru mulai menjauh.“Aku tidak sanggup melihatnya seperti itu,” katanya. “Dias saja yang merawat. Dia kan menantu kebanggaannya!”Mendengar ucapan ibunya, David terdiam. Ia ingin protes, tapi lelahnya sudah menumpuk. Ratu Ibu berlalu, sama sekali tidak menengok ke kamar suaminya.Dias berdiri di sisi ranjang Raja Ayah.“Kalau begitu, biar saya yang jaga Ayah, David,” katanya.Raja Ayah tersenyum, lega. “Terima kasih, Dias, aku tahu kamu memang anak baik.”Dias menunduk, ekspresi penuh bakti, tapi itu semua hanya di depan Raja Ayah.Begitu ia keluar kamar dan memastikan tidak ada David maupun Ratu Ibu di dekat lorong, napasnya langsung berat. Ia menepuk tangan dan memanggil para pelayan.“Kalian yang masak makanan beliau mulai hari ini. Jangan ada yang salah. Da
Ratu Ibu menemui Dias ketika perempuan itu baru keluar dari kamar Raja Ayah.Dias bahkan belum sempat menarik napas ketika tangan Ratu Ibu sudah menutup pintu dengan keras.“Jadi ini caramu jadi menantu, Dias?” suara Ratu Ibu tinggi. “Kamu adukan aku pada ibumu sampai ibumu berani datang ke istana dan memaki-maki aku? Lihat akibatnya, suamiku jatuh sakit!”Dias mengerutkan dahi, terkejut. “Yang Mulia Ibu, saya tidak mengadu apa pun pada Ibu saya. Saya bahkan tidak tahu Ibu datang ke istana. Saya...”“Jangan bohong, Dias!” bentak Ratu Ibu, langkahnya maju, menekan. “Kamu memang pandai berpura-pura suci, ya? Di depan Raja, di depan David, tapi di belakangmu? Kamu menyulut api!”Dias menggigit bibir, wajahnya memerah menahan diri. “Saya bersumpah, saya tidak seperti yang Ibu tuduhkan.”“Cukup!” Ratu Ibu menunjuk ke arahnya. “Mulai hari ini, aku akan mengawasi setiap langkahmu. Jangan pikir aku akan diam saja melihat kamu dan Ibumu hancurkan keluargaku.”Dias menunduk. Bukan karena takut,







