LOGINGita dipaksa masuk istana sebagai selir Raja David. Di balik kemegahan kerajaan, ia harus menghadapi dinginnya sang raja dan egoisnya permaisuri Dias. Antara cinta, intrik, dan pengorbanan, akankah seorang selir sederhana mampu merebut hati raja sekaligus bertahan dalam permainan istana?
View MoreSuasana desa sore itu begitu hening. Angin berhembus pelan, menggoyangkan pucuk padi yang mulai menguning. Dari kejauhan, Gita duduk di depan rumah panggung sederhana milik keluarganya. Senyumnya tipis, wajahnya teduh, tapi ada resah yang tak bisa ia sembunyikan.
Keramaian tiba-tiba pecah ketika beberapa prajurit kerajaan datang menunggang kuda. Debu beterbangan, langkah mereka mantap, tapi sorot matanya serius. Hati Gita langsung berdebar, seolah firasat buruk sedang menjemput.
“Putri Gita,” ucap salah satu prajurit dengan suara tegas. “Mulai besok, kau harus bersiap. Nama keluargamu terpilih untuk mengirim seorang gadis sebagai selir raja. Dan keluarga memilihmu.”
Kata-kata itu jatuh bagai palu. Gita terpaku, tubuhnya kaku. Selir? Ia nyaris tak bisa bernapas. Dunia kecilnya yang sederhana tiba-tiba runtuh.
Ibunya menunduk, wajahnya penuh pasrah. Ayahnya mencoba tersenyum, meski jelas kegelisahan menari di sorot matanya. “Gita,” ujarnya lirih, “ini kehormatan besar. Menjadi bagian dari istana adalah kebanggaan. Raja membutuhkan penerus, dan kau... terpilih untuk itu.”
Tapi Gita tahu, kata-kata ayahnya hanya pembungkus. Di baliknya ada ketakutan: menolak titah istana sama saja mengundang murka.
Malam itu, di kamar kayu kecilnya, Gita duduk termenung. Lampu minyak berkelip samar, bayangan menari di dinding . Dadanya sesak. Ia bukan gadis yang mengejar kemewahan. Hidup sederhana bersama keluarga di desa damai adalah cukup baginya. Tapi kini, takdir menyeretnya ke arah yang tak pernah ia bayangkan.
Keesokan harinya, kereta kuda berhias lambang kerajaan datang menjemput. Warga berbaris di tepi jalan, menunduk hormat ketika Gita melewati mereka. Air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. Orang tuanya melambai, senyum terpaksa di wajah mereka membuat hatinya makin perih. Apakah aku masih bisa pulang suatu hari nanti?
Perjalanan menuju ibu kota memakan waktu dua hari. Hamparan sawah, hutan, hingga perkampungan perlahan berganti dengan jalan batu dan bangunan megah. Gita hanya diam, matanya menatap kosong, pikirannya penuh pertanyaan.
Saat kereta memasuki halaman istana, napasnya tercekat. Dinding tinggi menjulang, ukiran emas memantulkan cahaya sore, prajurit berjaga dengan tatapan tajam. Indah sekaligus menakutkan.
“Mulai sekarang, ini rumahmu,” kata seorang dayang yang menjemputnya. Suaranya lembut, tapi matanya penuh kewaspadaan. “Kau akan tinggal di paviliun selir. Ingat, di istana, satu kesalahan kecil bisa berakibat besar.”
Gita hanya mengangguk, meski jantungnya berdegup kencang.
Malam pertamanya di istana terasa asing. Dayang-dayang menyiapkannya dengan pakaian sutra, rambut disanggul sederhana, lalu membawanya ke aula pertemuan.
Aula itu berkilau diterangi obor, pilar-pilar tinggi menjulang, lantai berkilat bagaikan kaca. Dan di ujung ruangan, duduklah sosok yang membuat langkah Gita goyah.
Raja David.
Wajahnya tampan namun dingin. Jubah hitam berhiaskan benang emas membuatnya tampak berwibawa. Sorot matanya tajam, penuh perhitungan.
“Ini gadisnya?” suara David terdengar datar.
Dayang segera memberi hormat. “Ampun, Baginda. Inilah Putri Gita, yang terpilih menjadi selir sesuai titah.”
David menatap Gita lama, lalu kembali menunduk pada dokumen di tangannya. “Bawa dia ke paviliun. Besok aku ingin melihat apakah dia cukup patuh pada aturan istana.”
Hanya itu. Tanpa senyum, tanpa sapaan hangat.
Gita menelan ludah, hatinya semakin berat. Apa ini takdir yang harus ia jalani-hidup sebagai wanita tanpa suara di samping raja yang bahkan tak sudi menoleh padanya?
Namun di balik kegelisahan itu, Gita berjanji dalam hati: jika memang ia harus hidup di istana, ia akan menjalaninya sebaik mungkin. Tidak dengan ambisi, tetapi dengan hati.
Tapi benarkah hati yang tulus bisa bertahan di tengah intrik dan dinginnya kekuasaan Raja David?
Ratu Ibu berdiri tegak di hadapan Raja Ayah dan David. Tangannya mengepal, bukan karena marah yang meledak-ledak, tapi karena kemarahan yang sudah terlalu lama ditahan.“Aku yakin,” ucapnya pelan tapi tajam, “Dias terlibat dalam pembunuhan Ibu Sagara. Entah langsung atau tidak. Dan Ibunya, jelas bukan orang biasa.”David langsung menoleh. Wajahnya menegang.“Tidak. Ibu tidak bisa bicara seperti itu tanpa bukti,” katanya cepat. “Dias itu istriku. Aku tau betul Dias, tidak mungkin membunuh.”“Justru karena dia istrimu, David, aku bicara,” balas Ratu Ibu. “Aksesorisnya ditemukan di rumah Sagara. Bukan satu. Dan bukan sebuah kebetulan.”David menggeleng keras. “Tidak, aku tidak percaya! Itu bisa saja dijebak, sama seperti Gita. Semua orang sekarang mudah menuduh tanpa bukti kuat.”Raja Ayah menghela napas panjang. Ia memijat pelipisnya, suaranya lebih rendah ketika bicara.“Ayah tidak ingin menuduh siapa pun tanpa dasar. Tapi ada satu hal yang tak bisa Ayah abaikan.”David menatap ayahnya
Dias menutup pintu kamarnya dengan tangan gemetar, seolah menandai kepanikan yang tak lagi bisa ia sembunyikan. Ia bersandar di daun pintu, napasnya tersengal, dadanya naik turun cepat.“Ibu,” suaranya pecah ketika menoleh. “Gimana kalau mereka tahu? Kalau Ratu Ibu benar-benar yakin, gimana kalau mereka tahu aku dan Ibu yang melakukan pembunuhan Ibu Sagara itu?”“Diam. Jangan bicara apa pun, Dias!” Ibunya memotong tajam. Wajah perempuan itu mengeras, bukan panik, bukan takut, melainkan marah. “Kamu ini kenapa jadi lemah begini?”Dias mendekat, menurunkan suara. “Aksesoris itu… itu memang punyaku. Aku ingat betul. Tidak ada orang lain yang punya. Ratu Ibu menunjukkannya. Kalau Dian dipanggil, kalau dia bicara semuanya, gimana? Ibu, aku takut!”Ibunya mendengus, berjalan mondar-mandir dengan langkah berat. “Kecerobohan kecil. Itu saja.” Ia berhenti tepat di depan Dias. “Kesalahanmu cuma satu: meninggalkan barang. Tapi itu belum bukti.”“Haa, ibu bilang belum bukti?” Dias tertawa, nyaris
Ruang pertemuan kecil di istana terasa berbeda malam ini.. Dias berdiri di satu sisi ruangan, jemarinya saling mencengkeram tanpa sadar. Di sebelahnya, Ibunya duduk dengan punggung tegak, dagu terangkat, seolah datang bukan sebagai tamu yang dipanggil, tapi sebagai orang yang siap bertarung.Pintu terbuka.Ratu Ibu masuk tanpa senyum, tanpa basa-basi.Tangannya membawa sebuah kotak kecil berlapis kain. Langkahnya berhenti tepat di depan Dias.“Aku tak akan berputar-putar,” ucap Ratu Ibu pelan. “Aku menemukan ini di rumah Sagara.”Ia membuka kotak itu..Sebuah aksesoris kecil terbaring di dalamnya. Logamnya berkilau di bawah cahaya lampu. Bentuknya sederhana, tapi sangat dikenal.Napas Dias tercekat. Ia mengenalnya.Ia sangat mengenalnya.“Itu bukan milik kami,” Ibu Dias langsung menyahut, suaranya cepat dan tajam. “Benda seperti itu bisa dimiliki siapa saja.”Ratu Ibu tidak menoleh padanya. Pandangan matanya terkunci pada wajah Dias.“Dias, kau masih ingat ini, bukan?” tanya Ratu Ibu p
Dias berdiri kaku di tengah ruangan. Ibunya melangkah setengah ke depan, seolah ingin melindungi anaknya sekaligus menantang siapa pun yang berdiri di hadapannya.“Kami berdua tetap tidak akan minta maaf,” ucap Ibu Dias lantang. “Kami tidak melakukan kesalahan apa pun.”Raja Ayah memejamkan mata sesaat. Tarikan napasnya berat, jelas menahan amarah dan kekecewaan yang menumpuk. Saat ia membuka mata kembali, sorotnya bukan lagi sekadar tegas, ada luka di sana.“Kalian berdua keras kepala,” katanya pelan tapi menusuk. “Aku tidak pernah meminta kalian mengaku sesuatu yang tidak kalian lakukan. Aku hanya meminta kejujuran dan tanggung jawab.”Dias tertawa. “Haha, tanggung jawab?” Ia menoleh ke David. “Atau maksud Ayah, tanggung jawab versi istana yang selalu memihak selir itu?”David mendongak cepat. “Jaga ucapanmu, Dias!”“Oh, aku menjaga,” balas Dias tajam. “Aku hanya menyebut kenyataan. Dari awal, setiap masalah selalu berujung pada satu nama. Gita.Raja Ayah menggeleng perlahan.“Ini b






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews