INICIAR SESIÓNRaja Ayah menarik napas panjang. Dadanya naik turun, bukan karena marah semata, tapi karena lelah, lelah menghadapi kebenaran yang terus diputarbalikkan.“Cukup,” ucap Raja Ayah. “Kau bertanya apakah sejak awal aku tak pernah percaya padamu, Dias?”Raja Ayah melangkah satu langkah mendekat, menatap Dias lurus tanpa kebencian, hanya kekecewaan yang tertahan.“Dengar baik-baik jawabanku, nak,” katanya tegas. “Aku percaya padamu sejak hari pertama kau menikah dengan David. Aku memilihmu untuk jadi bagian dari istana ini.”Dias terdiam. Alisnya berkerut, seolah tak siap mendengar itu.“Justru saat istriku menolakmu,” lanjut Raja Ayah, suaranya sedikit bergetar namun mantap, “akulah yang berdiri paling depan. Akulah yang memaksa Ratu Ibu menerima kau sebagai menantuku. Aku percaya kau bisa menjadi istri yang baik bagi anakku, David.”David mengangguk pelan. “Itu benar, Dias,” katanya lirih tapi jelas. “Ayah yang meyakinkan Ibu… Ayah yang selalu membelamu, Dias. Ayah percaya dan sayang pada
Raja Ayah menghela napas panjang sebelum kembali menatap Dias. Tatapannya tajam, namun suaranya berusaha tetap terkendali.“Ayah tidak menyalahkan tanpa dasar, Dias,” ucapnya pelan tapi menekan. “Saksi sudah bicara. Bukti memang sempat hilang, tapi benangnya jelas mengarah ke kalian. Ayah hanya meminta kejujuran sebelum semuanya semakin membesar.”Dias tersenyum miring. Senyum yang tidak sampai ke mata.“Kejujuran?” ulangnya, getir. “Atau pengakuan yang Ayah inginkan supaya selir itu bisa kembali ke istana?”David tersentak. “Dias, tolong!”“Tidak!” potong Dias keras. Ia menatap suaminya sekilas, lalu kembali menghadapi Raja Ayah. “Jangan pura-pura netral, David. Dari tadi kau hanya diam saja, membiarkan Ayahmu menekan aku dan Ibuku seolah kami ini penjahat. Kalau memang kau percaya pada kami, kenapa kau di sini?”Raja Ayah berdiri dari duduknya. Suaranya meninggi untuk pertama kalinya.“Karena ini menyangkut istana, nama keluarga, dan nasib orang-orang kecil yang kalian sakiti! Jang
Ruang kecil di sisi barat istana itu tertutup rapat. Tirai tebal ditarik, hanya menyisakan cahaya temaram dari lampu. Raja Ayah duduk di kursi kayu, punggungnya tegak meski wajahnya tampak lelah. Di hadapannya, Dias dan Ibunya berdiri. David berada di sisi kanan ruangan, gelisah, sementara para pelayan diperintahkan menjauh dari mereka.“Tidak ada yang perlu didengar orang lain,” tutur Raja Ayah. “Apa yang akan kita bicarakan di sini, hanya untuk kita.”Dias mendengus kecil. Tangannya menyilang di dada, sorot matanya tajam. Ibunya berdiri setengah langkah di depan Dias, sikapnya defensif, dagu terangkat seolah sedang berhadapan dengan musuh.Raja Ayah menghela napas panjang.“Aku memanggil kalian bukan tanpa alasan,” katanya. “Saksi sudah bicara terkait pemalakan padaku dan David. Warga yang selama ini kalian tekan akhirnya berkata jujur. Iuran itu bukan untuk istana. Itu untuk kepentingan pribadi kalian berdua.”David spontan maju selangkah.“Ayah.”Raja Ayah mengangkat tangan, meng
Raja Ayah menepuk bahu Gita dengan lembut. Sorot matanya penuh rasa bersalah sekaligus tekad yang jarang terlihat.“Tenanglah, Nak,” ucapnya pelan namun tegas. “Aku tidak akan membiarkanmu diperlakukan seperti ini sama David. Kau tidak sendiri. Aku akan membantumu.”Gita menunduk, air matanya jatuh tanpa suara. Semua tudingan, semua penolakan David, dan semua tawa sinis Dias masih berputar di kepalanya. Ia ingin percaya pada Raja Ayah, tapi hatinya sudah terlalu lelah.“Ayah akan bicara pada David,” lanjut Raja Ayah. “Dia hanya sedang buta oleh perasaan dan kewajiban. Tapi kebenaran... kebenaran tidak akan bisa dikubur selamanya.”Tak menunggu jawaban Gita, Raja Ayah langsung memanggil David. Nada suaranya berubah, tidak memberi ruang penolakan.“Kau harus ikut Ayah sekarang, David. Kita temui saksi yang mengaku dipalak ibu mertuamu.”David terkejut. “Ayah, untuk apa? Semua ini sudah kacau. Aku lelah, Ayah.”“Justru karena sudah kacau, kau tidak boleh lari,” potong Raja Ayah keras. “S
Sidang darurat itu digelar di aula kecil istana. Ratu Ibu duduk tegak di kursi utama, wajahnya serius, bukan hanya karena duka atas kematian Ibu Sagara, tapi karena keyakinannya bahwa ada tangan licik yang bermain di balik tragedi itu. Gita berdiri di sisi ruangan, jemarinya gemetar. Ia masih mengingat jelas bagaimana ia menemukan aksesori permaisuri Dias di rumah Sagara, bagaimana Ratu Ibu sendiri menyaksikan jejak kaki yang begitu mirip dengan milik Ibu Dias. Bukti itu seharusnya ada di tangannya sekarang. Namun saat Ratu Ibu meminta Gita menyerahkan barang bukti, Gita membeku. “Aksesori itu ada di mana?” tanya Ratu Ibu. Wajah Gita memucat. Ia membuka tasnya, membuka lipatan kain, mencarinya dengan panik. Di dalam tas kosong, tak ada apa pun. “Ampun, Yang Mulia,” suara Gita bergetar. “Tadi… tadi masih ada.” Suasana langsung ricuh. Dias menyandarkan tubuhnya santai, lalu tersenyum. Senyum yang terlalu tenang untuk situasi sepenting ini. Ibu Dias bahkan tak berusaha menye
Aula istana terasa semakin sempit meski orang-orang mulai menjaga jarak. Udara dipenuhi bisik-bisik, tatapan tajam, dan kemarahan yang ditahan setengah mati. Ayah Dian akhirnya melangkah ke depan, wajahnya memerah menahan emosi.“Cukup,” suaranya berat dan bergetar. “Aku akan membawa putriku pulang malam ini juga.”Ia menoleh ke arah Ratu Ibu, Raja Ayah, dan David bergantian. “Dan istana harus bertanggung jawab. Tragedi ini terjadi saat anakku berada di bawah perlindungan kalian. Aku tidak akan diam melihat Dian dijadikan tumbal.”Belum sempat Ratu Ibu menjawab, suara Ibunya Dias memotong dengan tawa.“Haha, bertanggung jawab?” sindirnya lantang. “Lucu sekali ya, Anda. Seorang ayah malah melindungi anaknya yang jelas-jelas berada di lokasi pembunuhan.”Dias ikut maju setengah langkah, matanya tajam menatap Dian yang masih terduduk pucat. “Kalau memang tidak bersalah,” katanya, “kenapa harus buru-buru dibawa pulang?”Dian tersentak, napasnya memburu. Tangannya gemetar, seolah ingin mem







