Share

Bab 6

Sinar lembut matahari menyinari seluruh pelosok negeri. Langit tampak cerah, tidak ada awan satu pun yang menghalau sang mentari. Kantin sekolah penuh berdesakan oleh para siswa. Beberapa siswa laki-laki bermain sepak bola di lapangan dengan seragam putih abu yang masih melekat di badan. Beberapa siswi duduk-duduk bergerombol di tepi lapangan, bercengkerama ringan sambil sesekali tertawa.

Ruang kelasku kosong melompong, tidak ada seorang pun disana. Kami semua ikut memenuhi kantin dan saling berebut antrean untuk memesan menu. Teriakan-teriakan dilontarkan para siswa agar ibu kantin segera menyiapkan pesanan mereka. Aku dan Syla mengambil minuman instan di kulkas, tidak ingin berdesak-desakan. Kami berdua menghampiri gerombolan perempuan sekelas yang sudah duduk lebih dulu.

Ada tiga anak perempuan yang menempati dua bangku panjang yang saling berhadapan. Mereka sudah pesan minum dan jajan lebih dulu, menikmatinya sambil berbincang. Aku dan Syla duduk di tempat yang kosong, ikut mendengarkan obrolan. Syla langsung meneguk habis minuman 300 mili yang dibelinya dengan cepat. 

“Langsung habis?” Aira, salah seorang temanku meletakkan gelasnya di meja. Dia duduk di samping Syla, tampak tidak habis pikir dengannya. Syla mengembuskan napas kasar.

“Fisika memaksa otakku bekerja sangat keras.” Ia menggaruk kepalanya, rambutnya yang terurai menjadi berantakan.

“Ahaha, ngapain kerja keras? Nilainya juga nggak akan bagus.” Slamet menyahut, tiba-tiba duduk di sampingku sambil membawa gelas, sama seperti Aira.

“Dih, namanya juga usaha!” Syla bersungut-sungut, mengutuk Slamet dalam hati. Tidak ada yang mengajaknya bergabung, tiba-tiba merusak suasana saja.

“Vio, nih, nggak perlu diragukan lagi.” Syla memandangku yakin. Aku balas menatapnya bingung, tiba-tiba ekspresinya bisa berubah gitu. Dia mengambil minumanku kemudian diangkatnya tinggi-tinggi. 

“Nih, dia hanya butuh minum seperempatnya.” Syla meneguk botol minumku. Kami segerombolan mengamati gerak-gerik Syla. Dia sudah seperti tidak minum selama berhari-hari. Syla mengembalikan botol yang dia ambil kepadaku.

“Makasih, ya.” Aku menatap Syla dan botol di depanku bergantian. Syla balas menatapku dan mengikuti arah mataku yang menatap botol kosong di depanku

“Ups, sorry, nanti aku buang.” Syla mengucapkan itu sambil menyengir. Wajahnya menunjukkan kalau dia tidak melakukan kesalahan. Aku menggelengkan kepala dan tertawa.

“Gimana ujian kamu, Vi?” Aira bertanya kepadaku. Aku membalasnya dengan mengangguk.

“Sama seperti kalian. Ada beberapa soal yang sulit,” ujarku sambil mengangkat bahu.

“Yah…” Mereka semua bersandar ke kursi.

“Tidak akan lagi bertanya tentang ulangan ke Vio.” Aira kembali duduk tegak sambil mengangkat kedua tangannya. Sepertinya dia menyerah. Aku tersenyum sedikit.

“Ke taman aja, yuk! Di sini panas, banyak orang.” Slamet berdiri. Dia mengambil gelasnya dan berteriak, “Bu, gelasnya aku bawa ke taman, ya.”

Teriakan Slamet sangat menggelegar. Tapi tidak ada satu pun yang peduli dengan teriakannya, mereka terlalu sibuk dengan pesanan masing-masing. Pun tidak ada yang menjawab ucapan Slamet, namun dia tetap membawa gelas itu pergi. Teman-temanku yang lain ikut berdiri sambil membawa minumannya masing-masing.

“Aku beli minum lagi, ya, kalian duluan aja!” Kami semua berdiri bersamaan.

“Aku nggak ikut ke taman ya, guys, mau balik kelas.” Aku berpamitan pada teman-teman.

“Wah, kenapa, Vi?” tanya Syla.

“Mau menyelesaikan novel.” Mereka semua mengangguk, dan kami berpisah ke tempat masing-masing.

Di perjalanan menuju kelas, pundakku tiba-tiba tersenggol oleh seseorang dengan keras, membuatku terjatuh. Mataku yang menunduk, melihat ada sepasang sepatu di depanku.

“Kalau jalan tuh, lihat depan. Jangan nunduk!” Aku mendongak, menatap wajah orang di hadapanku. Dia seorang siswa laki-laki. Sekilas menyelisik, aku tidak mengenali wajahnya. Aku berdiri, meminta maaf padanya.

“Maafkan aku.”

Laki-laki itu mengamatiku dari wajah hingga sepatu. Aku melihat bola matanya yang bergerak dengan bingung, apa yang sedang dia lakukan? Tak lama, dia melengos dan melenggang pergi. Aku menatap punggungnya yang menjauh hingga hilang di ujung lorong. Dia siapa, ya? Kenapa kasar sekali? Aku mengangkat bahu. Ya sudahlah.

Aku meneruskan berjalan menuju kelas, menyapa beberapa teman yang berpapasan denganku. Ruang kelasku berada di lantai dua, jadi harus naik tangga. Lantai dua memang menyenangkan, bisa sekalian curi-curi kesempatan untuk olahraga bagi orang sepertiku. Aku berhenti di tembok pembatas depan kelas. Aku juga suka menatap kegiatan yang berlangsung di lapangan sekolah saat jam istirahat. Melihat senyum dan tawa mereka membuatku ikut tersenyum, ampuh untuk memperbaiki suasana hati.

Lapangan sekolah tidak pernah sepi, kecuali kalau tidak ada pelajaran olahraga. Di dekat kelasku ada anak-anak yang bermain voli, kebetulan netnya terpasang. Pasti tadi ada kelas olahraga. Di sekelilingnya, ramai siswa-siswi bersorak menonton basket. Entah mendukung seluruh tim yang bertanding, atau orang tertentu saja.

Di depanku agak jauh, para siswa bermain sepak bola tanpa gawang. Siswa-siswa itu bermain dengan bola plastik yang dibawa sendiri oleh salah satu dari mereka. Jangan lupakan mereka yang nongki di tepi lapangan. Anak-anak perempuan bergerombol sendiri, dan anak-anak laki-laki bergerombol sendiri. Entah mereka membicarakan apa, mereka terlihat bahagia. 

Aku mengamati lapangan basket yang agak jauh dari tempatku berdiri. Bola basket yang di dribble salah satu siswa memantul dengan indah. Siswa itu akan melakukan lay up. Dia bersiap-siap, dan masuk. Para siswi yang menonton di dekat mereka berteriak kegirangan, sedangkan siswa yang berhasil memasukkan bola ke ring bertos ria dengan teman-teman satu timnya. Aku tersenyum.

“Awas, bola!” aku terkejut, memalingkan kepala dari tim basket menuju ke asal suara. Belum sempat menoleh ke asal suara, aku melihat sebuah bola voli melayang ke arahku. Refleks, aku berbalik. Namun terlambat, bola itu mengenai bahu kananku dengan cukup keras. Aku mengaduh perlahan, memegang bahu kananku, rasanya sakit sekali.

Sorry!” teriak seseorang dari bawah. Aku melihat ke arah suara. Seorang siswa mengangkat tangan kanannya sambil menunjukkan giginya. Aku tersenyum, melepaskan bahu kananku. Aku berbalik, mengambil bola dan melemparkannya ke orang yang meneriakiku dari bawah. Dia mengucapkan terima kasih kepadaku lantas kembali bermain voli. Aku masuk ke dalam kelas kemudian, memutuskan untuk menunggu pelajaran dengan damai.

***

Jam pelajaran telah usai sejak bel sekolah berbunyi dengan nyaring. Para siswa berhamburan keluar dari sekolah. Wajah-wajah sumringah mereka tunjukkan sambil bercanda-tawa dengan teman. Syla sudah meninggalkan kelas beberapa saat lalu, meninggalkanku yang masih mengemas buku. Aku segera menggendong tas dan keluar dari kelas selesai beberes. Masih ada beberapa siswa di ruang kelas, bercengkerama satu-sama lain sambil membicarakan makanan yang akan dimakan nanti. 

"Pulang dulu, semua." Aku berteriak dan menatap mereka sambil melambaikan tangan, mereka semua menoleh kepadaku. 

"Hati-hati, Vio!" Aku mengangguk dan melenggang pergi.

Aku berjalan menuju halte, menunggu angkutan untuk pulang ke rumah. Banyak siswa-siswi yang duduk-duduk di trotoar, entah untuk menunggu angkutan atau hanya bersenda gurau sebelum berpisah. Aku duduk di halte dengan seorang siswi. Kebanyakan siswa memang tidak suka duduk di halte, lebih memilih memenuhi trotoar.

Kami berdua diam saja. Siswi di dekatku sibuk menatap telepon pintarnya, aku tidak berniat mengganggu. Lalu aku melihat seorang siswa yang berjalan mendekati halte. Dia duduk tepat di sebelah kiriku, sedangkan siswa yang tadi ada di kananku. Aku agak bergeser ke kanan, memberi jarak kepadanya karena dia laki-laki.

“Bahumu baik-baik saja?” Aku menoleh, menatap siswa di sampingku. Kami saling bertatapan. Sepertinya dia salah satu anak yang ikut bermain voli tadi. Aku mengangguk.

“Ya, aku rasa begitu.” Aku berujar sambil tersenyum. Dia mengangguk, lantas menatap ke depan.

“Syukurlah, kamu sempat menghindar. Maafkan kami yang tidak memperhatikan hal lain.” Wajahnya menunduk ke bawah, menunjukkan rasa menyesal.

“Tidak masalah, aku mengerti. Terima kasih sudah menanyakan keadaanku.” aku mengangguk dan tersenyum. Dia kembali menoleh ke arahku.

“Aku Yudha.” Dia mengulurkan tangan ke arahku, dan aku menyambutnya.

“Vio.” Sebuah angkutan berhenti di depan halte. Itu angkutan ke rumahku. Aku berpamitan dengan Yudha dan menaiki angkutan.

“Duluan, ya.” Aku melambaikan tangan.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status