Share

Bab 6

Author: Tiyas Tuti
last update Last Updated: 2023-11-18 07:29:50

Sinar lembut matahari menyinari seluruh pelosok negeri. Langit tampak cerah, tidak ada awan satu pun yang menghalau sang mentari. Kantin sekolah penuh berdesakan oleh para siswa. Beberapa siswa laki-laki bermain sepak bola di lapangan dengan seragam putih abu yang masih melekat di badan. Beberapa siswi duduk-duduk bergerombol di tepi lapangan, bercengkerama ringan sambil sesekali tertawa.

Ruang kelasku kosong melompong, tidak ada seorang pun disana. Kami semua ikut memenuhi kantin dan saling berebut antrean untuk memesan menu. Teriakan-teriakan dilontarkan para siswa agar ibu kantin segera menyiapkan pesanan mereka. Aku dan Syla mengambil minuman instan di kulkas, tidak ingin berdesak-desakan. Kami berdua menghampiri gerombolan perempuan sekelas yang sudah duduk lebih dulu.

Ada tiga anak perempuan yang menempati dua bangku panjang yang saling berhadapan. Mereka sudah pesan minum dan jajan lebih dulu, menikmatinya sambil berbincang. Aku dan Syla duduk di tempat yang kosong, ikut mendengarkan obrolan. Syla langsung meneguk habis minuman 300 mili yang dibelinya dengan cepat. 

“Langsung habis?” Aira, salah seorang temanku meletakkan gelasnya di meja. Dia duduk di samping Syla, tampak tidak habis pikir dengannya. Syla mengembuskan napas kasar.

“Fisika memaksa otakku bekerja sangat keras.” Ia menggaruk kepalanya, rambutnya yang terurai menjadi berantakan.

“Ahaha, ngapain kerja keras? Nilainya juga nggak akan bagus.” Slamet menyahut, tiba-tiba duduk di sampingku sambil membawa gelas, sama seperti Aira.

“Dih, namanya juga usaha!” Syla bersungut-sungut, mengutuk Slamet dalam hati. Tidak ada yang mengajaknya bergabung, tiba-tiba merusak suasana saja.

“Vio, nih, nggak perlu diragukan lagi.” Syla memandangku yakin. Aku balas menatapnya bingung, tiba-tiba ekspresinya bisa berubah gitu. Dia mengambil minumanku kemudian diangkatnya tinggi-tinggi. 

“Nih, dia hanya butuh minum seperempatnya.” Syla meneguk botol minumku. Kami segerombolan mengamati gerak-gerik Syla. Dia sudah seperti tidak minum selama berhari-hari. Syla mengembalikan botol yang dia ambil kepadaku.

“Makasih, ya.” Aku menatap Syla dan botol di depanku bergantian. Syla balas menatapku dan mengikuti arah mataku yang menatap botol kosong di depanku

“Ups, sorry, nanti aku buang.” Syla mengucapkan itu sambil menyengir. Wajahnya menunjukkan kalau dia tidak melakukan kesalahan. Aku menggelengkan kepala dan tertawa.

“Gimana ujian kamu, Vi?” Aira bertanya kepadaku. Aku membalasnya dengan mengangguk.

“Sama seperti kalian. Ada beberapa soal yang sulit,” ujarku sambil mengangkat bahu.

“Yah…” Mereka semua bersandar ke kursi.

“Tidak akan lagi bertanya tentang ulangan ke Vio.” Aira kembali duduk tegak sambil mengangkat kedua tangannya. Sepertinya dia menyerah. Aku tersenyum sedikit.

“Ke taman aja, yuk! Di sini panas, banyak orang.” Slamet berdiri. Dia mengambil gelasnya dan berteriak, “Bu, gelasnya aku bawa ke taman, ya.”

Teriakan Slamet sangat menggelegar. Tapi tidak ada satu pun yang peduli dengan teriakannya, mereka terlalu sibuk dengan pesanan masing-masing. Pun tidak ada yang menjawab ucapan Slamet, namun dia tetap membawa gelas itu pergi. Teman-temanku yang lain ikut berdiri sambil membawa minumannya masing-masing.

“Aku beli minum lagi, ya, kalian duluan aja!” Kami semua berdiri bersamaan.

“Aku nggak ikut ke taman ya, guys, mau balik kelas.” Aku berpamitan pada teman-teman.

“Wah, kenapa, Vi?” tanya Syla.

“Mau menyelesaikan novel.” Mereka semua mengangguk, dan kami berpisah ke tempat masing-masing.

Di perjalanan menuju kelas, pundakku tiba-tiba tersenggol oleh seseorang dengan keras, membuatku terjatuh. Mataku yang menunduk, melihat ada sepasang sepatu di depanku.

“Kalau jalan tuh, lihat depan. Jangan nunduk!” Aku mendongak, menatap wajah orang di hadapanku. Dia seorang siswa laki-laki. Sekilas menyelisik, aku tidak mengenali wajahnya. Aku berdiri, meminta maaf padanya.

“Maafkan aku.”

Laki-laki itu mengamatiku dari wajah hingga sepatu. Aku melihat bola matanya yang bergerak dengan bingung, apa yang sedang dia lakukan? Tak lama, dia melengos dan melenggang pergi. Aku menatap punggungnya yang menjauh hingga hilang di ujung lorong. Dia siapa, ya? Kenapa kasar sekali? Aku mengangkat bahu. Ya sudahlah.

Aku meneruskan berjalan menuju kelas, menyapa beberapa teman yang berpapasan denganku. Ruang kelasku berada di lantai dua, jadi harus naik tangga. Lantai dua memang menyenangkan, bisa sekalian curi-curi kesempatan untuk olahraga bagi orang sepertiku. Aku berhenti di tembok pembatas depan kelas. Aku juga suka menatap kegiatan yang berlangsung di lapangan sekolah saat jam istirahat. Melihat senyum dan tawa mereka membuatku ikut tersenyum, ampuh untuk memperbaiki suasana hati.

Lapangan sekolah tidak pernah sepi, kecuali kalau tidak ada pelajaran olahraga. Di dekat kelasku ada anak-anak yang bermain voli, kebetulan netnya terpasang. Pasti tadi ada kelas olahraga. Di sekelilingnya, ramai siswa-siswi bersorak menonton basket. Entah mendukung seluruh tim yang bertanding, atau orang tertentu saja.

Di depanku agak jauh, para siswa bermain sepak bola tanpa gawang. Siswa-siswa itu bermain dengan bola plastik yang dibawa sendiri oleh salah satu dari mereka. Jangan lupakan mereka yang nongki di tepi lapangan. Anak-anak perempuan bergerombol sendiri, dan anak-anak laki-laki bergerombol sendiri. Entah mereka membicarakan apa, mereka terlihat bahagia. 

Aku mengamati lapangan basket yang agak jauh dari tempatku berdiri. Bola basket yang di dribble salah satu siswa memantul dengan indah. Siswa itu akan melakukan lay up. Dia bersiap-siap, dan masuk. Para siswi yang menonton di dekat mereka berteriak kegirangan, sedangkan siswa yang berhasil memasukkan bola ke ring bertos ria dengan teman-teman satu timnya. Aku tersenyum.

“Awas, bola!” aku terkejut, memalingkan kepala dari tim basket menuju ke asal suara. Belum sempat menoleh ke asal suara, aku melihat sebuah bola voli melayang ke arahku. Refleks, aku berbalik. Namun terlambat, bola itu mengenai bahu kananku dengan cukup keras. Aku mengaduh perlahan, memegang bahu kananku, rasanya sakit sekali.

Sorry!” teriak seseorang dari bawah. Aku melihat ke arah suara. Seorang siswa mengangkat tangan kanannya sambil menunjukkan giginya. Aku tersenyum, melepaskan bahu kananku. Aku berbalik, mengambil bola dan melemparkannya ke orang yang meneriakiku dari bawah. Dia mengucapkan terima kasih kepadaku lantas kembali bermain voli. Aku masuk ke dalam kelas kemudian, memutuskan untuk menunggu pelajaran dengan damai.

***

Jam pelajaran telah usai sejak bel sekolah berbunyi dengan nyaring. Para siswa berhamburan keluar dari sekolah. Wajah-wajah sumringah mereka tunjukkan sambil bercanda-tawa dengan teman. Syla sudah meninggalkan kelas beberapa saat lalu, meninggalkanku yang masih mengemas buku. Aku segera menggendong tas dan keluar dari kelas selesai beberes. Masih ada beberapa siswa di ruang kelas, bercengkerama satu-sama lain sambil membicarakan makanan yang akan dimakan nanti. 

"Pulang dulu, semua." Aku berteriak dan menatap mereka sambil melambaikan tangan, mereka semua menoleh kepadaku. 

"Hati-hati, Vio!" Aku mengangguk dan melenggang pergi.

Aku berjalan menuju halte, menunggu angkutan untuk pulang ke rumah. Banyak siswa-siswi yang duduk-duduk di trotoar, entah untuk menunggu angkutan atau hanya bersenda gurau sebelum berpisah. Aku duduk di halte dengan seorang siswi. Kebanyakan siswa memang tidak suka duduk di halte, lebih memilih memenuhi trotoar.

Kami berdua diam saja. Siswi di dekatku sibuk menatap telepon pintarnya, aku tidak berniat mengganggu. Lalu aku melihat seorang siswa yang berjalan mendekati halte. Dia duduk tepat di sebelah kiriku, sedangkan siswa yang tadi ada di kananku. Aku agak bergeser ke kanan, memberi jarak kepadanya karena dia laki-laki.

“Bahumu baik-baik saja?” Aku menoleh, menatap siswa di sampingku. Kami saling bertatapan. Sepertinya dia salah satu anak yang ikut bermain voli tadi. Aku mengangguk.

“Ya, aku rasa begitu.” Aku berujar sambil tersenyum. Dia mengangguk, lantas menatap ke depan.

“Syukurlah, kamu sempat menghindar. Maafkan kami yang tidak memperhatikan hal lain.” Wajahnya menunduk ke bawah, menunjukkan rasa menyesal.

“Tidak masalah, aku mengerti. Terima kasih sudah menanyakan keadaanku.” aku mengangguk dan tersenyum. Dia kembali menoleh ke arahku.

“Aku Yudha.” Dia mengulurkan tangan ke arahku, dan aku menyambutnya.

“Vio.” Sebuah angkutan berhenti di depan halte. Itu angkutan ke rumahku. Aku berpamitan dengan Yudha dan menaiki angkutan.

“Duluan, ya.” Aku melambaikan tangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SELUMBARI   Bab 26

    “Tidak!” Teriakan menggelegar memenuhi hutan sejenak, berhasil mengalahkan bunyi hujan yang turun dengan deras. Seorang pria paruh baya yang sedang berteduh di bawah pohon besar terhenyak. Ia menoleh mencari asal suara. Dalam kondisi hujan deras dan di tengah hutan, ia harus segera siap menolong orang yang sedang dalam bahaya.Sepertinya pria paruh baya itu sedang menunggu sesuatu, entah menunggu hujan reda atau menunggu seseorang. Agaknya tidak mungkin ada orang yang sengaja berada di hutan apalagi dalam keadaan hujan deras. Raut wajah pria itu terlihat khawatir dan panik, mungkin teriakan tadi berasal dari orang yang dia kenal. Pria paruh baya itu langsung berlari ke arah suara, menghiraukan sakitnya terkena air hujan dan tanah becek yang memperlambat laju langkahnya.Guruh saling bersahutan memenuhi hutan, menambah suasana mengerikan di tengah derasnya hujan. Petir menyambar berkali-kali, memberikan cahaya barang sedetik. Pria paruh baya itu mantap berlari menuju ke arah tertentu s

  • SELUMBARI   Bab 25

    Jam istirahat sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, aku di perpustakaan bersama Syla. Minimal seminggu sekali kami berdua pergi ke perpustakaan, update bacaan dan pinjaman buku. Ini sudah waktunya kami ke perpustakaan, dan di sinilah kami berada. Kami mengembalikan buku langsung ke petugas sesampainya di perpustakaan. Kami berpisah mencari bacaan masing-masing setelah mengembalikan buku.Memang benar kemarin aku membeli buku, namun belum aku buka. Aku mengingat dengan jelas hari ini waktunya ke perpustakaan, jadi aku simpan buku yang sudah dibeli untuk dibaca nanti. Buku dari perpustakaan ini yang akan aku baca lebih dulu, setelah tidak ada bacaan aku akan membaca buku baru itu. Aku menuju rak buku fiksi, menelusuri setiap judul dari buku yang ada. Peletakan buku di perpustakaan berdasarkan nama penulis, apa pun genrenya.Aku tidak mengenal penulis bergenre thriller, jadi setiap menemui penulis yang belum aku kenal, aku mengambil buku tersebut dan membaca blurbnya.

  • SELUMBARI   Bab 24

    Hari itu, sinar matahari sangat terik, panasnya menusuk hingga ke tulang. Pengendara sepeda motor banyak yang berteduh di bawah pohon apalagi ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Mobil-mobil full AC, mobil yang tidak punya pendingin harus menggunakan kipas angin. Tidak ada pejalan kaki yang mau menanggung panasnya matahari secara langsung. AC di dalam ruangan-ruangan kantor saja hanya berupa angin, tidak terasa dingin–entah karena belum dibersihkan atau cuaca memang sepanas itu.Woosh! Tiba-tiba angin kencang mengembus dari dalam ruangan setelah masuk sebuah gedung. Membuat perbedaan nyata antara di dalam dan di luar ruangan. Walaupun pintu terbuka lebar, suhu panas seperti alergi dengan gedung ini–tidak mau masuk.“Dingin, kak!” Vian tertawa riang, dia berlari ke sebelah kiri ruangan.Aku tersenyum, senang sekali melihat adikku bisa tertawa lepas seperti itu. Begitu banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini, sehingga aku jadi kur

  • SELUMBARI   Bab 23

    Jam pelajaran keempat dimulai, aku berada di laboratorium kimia bersama teman-teman satu kelas. Bu guru sudah memberi tahu kami bahwa minggu ini akan ada praktikum di laboratorium. Kami baru saja selesai berolahraga, praktikum bola kasti di lapangan sekolah. Walaupun setengah jam yang lalu masih pada berkeringat, seluruh ruangan lab kimia menguar wangi parfum. Sekolah kami mewajibkan pelajaran olahraga untuk diselesaikan tiga puluh menit lebih awal dari seharusnya agar para siswa dapat beristirahat sebentar dan berganti pakaian setelah berkeringat.Hari ini kami akan melaksanakan praktikum uji nyala api pada unsur alkali dan alkali tanah. Kami dibagi menjadi enam siswa yang ditempatkan pada satu meja. Masing-masing dari enam orang itu akan mencoba satu kristal senyawa tertentu yang akan diuji unsur di dalamnya dengan larutan Hcl melalui warna nyala api yang dihasilkan. Eksperimen seperti ini sangat menyenangkan bagi kami, karena tidak perlu melihat papan tulis, buku, dan mendengarkan g

  • SELUMBARI   Bab 22

    Tik… tik… tik… suara detik jam dinding bergema memenuhi ruangan. Jarum pendek berhenti sejenak di angka 4, sedangkan jarum panjang masih berjalan memutar. Jalanan gelap gulita, kendaraan tidak banyak yang berlalu lalang apalagi lampu jalan juga banyak yang mati. Lampu lalu lintas tidak benar-benar mati walau jarang kendaraan lewat. lampu warna kuningnya berkedip-kedip, meminta pengguna jalan tetap berhati-hati walau jalan nampak sepi. Pasar menjadi satu-satunya tempat yang ramai di jam itu. Kumpulan sawi putih, kol, dan wortel yang dibawa oleh mobil pick up sangat menggugah selera. Warnanya masih begitu tampak segar, membuat siapa pun yang melihatnya ingin segera membawa sayur-sayur itu untuk dibawa pulang lalu dimasak. Walaupun ramai, jam segitu masih belum banyak barang yang dijual di pasar, hanya sayur-sayuran dan beberapa ikan-ikanan.Mesin-mesin pabrik-pabrik masih banyak yang beroperasi, siang dan malam nonstop. Beberapa operatornya terpantau mengangguk-anggukkan kepala selama b

  • SELUMBARI   Bab 21

    Tik! Tik! Tik! Suara jarum jam dinding yang berdenting samar-samar terdengar. Kesiur angin menggerakkan helai rambut perlahan, terasa menggelitik kulit. Aroma minyak kayu putih tipis-tipis menguar masuk ke hidung, mataku sayup-sayup terbuka karenanya. Aku melihat lurus ke depan, ada langit-langit rumah berwarna putih polos. Kakiku tidak memijak apa pun, tanganku merasakan suatu permukaan, sepertinya ini sebuah kasur. Berarti saat ini aku sedang dalam posisi terlentang. Aku langsung mengangkat punggungku hingga posisi terduduk. Mataku menelusuri sekujur tubuhku. Pakaianku tidak berubah, aku masih memakai seragam tadi siang, bahkan sepatuku juga masih menempel di kaki.Sekarang pertanyaannya, aku di mana? Mataku melihat sekeliling. Ada sebuah jendela yang terbuka di sebelah kanan. Tirainya bergerak cepat, seolah-olah angin enggan terjebak di luar. Di pojok ruangan ada lemari besar dari kayu—sepert

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status