Sinar lembut matahari menyinari seluruh pelosok negeri. Langit tampak cerah, tidak ada awan satu pun yang menghalau sang mentari. Kantin sekolah penuh berdesakan oleh para siswa. Beberapa siswa laki-laki bermain sepak bola di lapangan dengan seragam putih abu yang masih melekat di badan. Beberapa siswi duduk-duduk bergerombol di tepi lapangan, bercengkerama ringan sambil sesekali tertawa.
Ruang kelasku kosong melompong, tidak ada seorang pun disana. Kami semua ikut memenuhi kantin dan saling berebut antrean untuk memesan menu. Teriakan-teriakan dilontarkan para siswa agar ibu kantin segera menyiapkan pesanan mereka. Aku dan Syla mengambil minuman instan di kulkas, tidak ingin berdesak-desakan. Kami berdua menghampiri gerombolan perempuan sekelas yang sudah duduk lebih dulu.
Ada tiga anak perempuan yang menempati dua bangku panjang yang saling berhadapan. Mereka sudah pesan minum dan jajan lebih dulu, menikmatinya sambil berbincang. Aku dan Syla duduk di tempat yang kosong, ikut mendengarkan obrolan. Syla langsung meneguk habis minuman 300 mili yang dibelinya dengan cepat.
“Langsung habis?” Aira, salah seorang temanku meletakkan gelasnya di meja. Dia duduk di samping Syla, tampak tidak habis pikir dengannya. Syla mengembuskan napas kasar.
“Fisika memaksa otakku bekerja sangat keras.” Ia menggaruk kepalanya, rambutnya yang terurai menjadi berantakan.
“Ahaha, ngapain kerja keras? Nilainya juga nggak akan bagus.” Slamet menyahut, tiba-tiba duduk di sampingku sambil membawa gelas, sama seperti Aira.
“Dih, namanya juga usaha!” Syla bersungut-sungut, mengutuk Slamet dalam hati. Tidak ada yang mengajaknya bergabung, tiba-tiba merusak suasana saja.
“Vio, nih, nggak perlu diragukan lagi.” Syla memandangku yakin. Aku balas menatapnya bingung, tiba-tiba ekspresinya bisa berubah gitu. Dia mengambil minumanku kemudian diangkatnya tinggi-tinggi.
“Nih, dia hanya butuh minum seperempatnya.” Syla meneguk botol minumku. Kami segerombolan mengamati gerak-gerik Syla. Dia sudah seperti tidak minum selama berhari-hari. Syla mengembalikan botol yang dia ambil kepadaku.
“Makasih, ya.” Aku menatap Syla dan botol di depanku bergantian. Syla balas menatapku dan mengikuti arah mataku yang menatap botol kosong di depanku
“Ups, sorry, nanti aku buang.” Syla mengucapkan itu sambil menyengir. Wajahnya menunjukkan kalau dia tidak melakukan kesalahan. Aku menggelengkan kepala dan tertawa.
“Gimana ujian kamu, Vi?” Aira bertanya kepadaku. Aku membalasnya dengan mengangguk.
“Sama seperti kalian. Ada beberapa soal yang sulit,” ujarku sambil mengangkat bahu.
“Yah…” Mereka semua bersandar ke kursi.
“Tidak akan lagi bertanya tentang ulangan ke Vio.” Aira kembali duduk tegak sambil mengangkat kedua tangannya. Sepertinya dia menyerah. Aku tersenyum sedikit.
“Ke taman aja, yuk! Di sini panas, banyak orang.” Slamet berdiri. Dia mengambil gelasnya dan berteriak, “Bu, gelasnya aku bawa ke taman, ya.”
Teriakan Slamet sangat menggelegar. Tapi tidak ada satu pun yang peduli dengan teriakannya, mereka terlalu sibuk dengan pesanan masing-masing. Pun tidak ada yang menjawab ucapan Slamet, namun dia tetap membawa gelas itu pergi. Teman-temanku yang lain ikut berdiri sambil membawa minumannya masing-masing.
“Aku beli minum lagi, ya, kalian duluan aja!” Kami semua berdiri bersamaan.
“Aku nggak ikut ke taman ya, guys, mau balik kelas.” Aku berpamitan pada teman-teman.
“Wah, kenapa, Vi?” tanya Syla.
“Mau menyelesaikan novel.” Mereka semua mengangguk, dan kami berpisah ke tempat masing-masing.
Di perjalanan menuju kelas, pundakku tiba-tiba tersenggol oleh seseorang dengan keras, membuatku terjatuh. Mataku yang menunduk, melihat ada sepasang sepatu di depanku.
“Kalau jalan tuh, lihat depan. Jangan nunduk!” Aku mendongak, menatap wajah orang di hadapanku. Dia seorang siswa laki-laki. Sekilas menyelisik, aku tidak mengenali wajahnya. Aku berdiri, meminta maaf padanya.
“Maafkan aku.”
Laki-laki itu mengamatiku dari wajah hingga sepatu. Aku melihat bola matanya yang bergerak dengan bingung, apa yang sedang dia lakukan? Tak lama, dia melengos dan melenggang pergi. Aku menatap punggungnya yang menjauh hingga hilang di ujung lorong. Dia siapa, ya? Kenapa kasar sekali? Aku mengangkat bahu. Ya sudahlah.
Aku meneruskan berjalan menuju kelas, menyapa beberapa teman yang berpapasan denganku. Ruang kelasku berada di lantai dua, jadi harus naik tangga. Lantai dua memang menyenangkan, bisa sekalian curi-curi kesempatan untuk olahraga bagi orang sepertiku. Aku berhenti di tembok pembatas depan kelas. Aku juga suka menatap kegiatan yang berlangsung di lapangan sekolah saat jam istirahat. Melihat senyum dan tawa mereka membuatku ikut tersenyum, ampuh untuk memperbaiki suasana hati.
Lapangan sekolah tidak pernah sepi, kecuali kalau tidak ada pelajaran olahraga. Di dekat kelasku ada anak-anak yang bermain voli, kebetulan netnya terpasang. Pasti tadi ada kelas olahraga. Di sekelilingnya, ramai siswa-siswi bersorak menonton basket. Entah mendukung seluruh tim yang bertanding, atau orang tertentu saja.
Di depanku agak jauh, para siswa bermain sepak bola tanpa gawang. Siswa-siswa itu bermain dengan bola plastik yang dibawa sendiri oleh salah satu dari mereka. Jangan lupakan mereka yang nongki di tepi lapangan. Anak-anak perempuan bergerombol sendiri, dan anak-anak laki-laki bergerombol sendiri. Entah mereka membicarakan apa, mereka terlihat bahagia.
Aku mengamati lapangan basket yang agak jauh dari tempatku berdiri. Bola basket yang di dribble salah satu siswa memantul dengan indah. Siswa itu akan melakukan lay up. Dia bersiap-siap, dan masuk. Para siswi yang menonton di dekat mereka berteriak kegirangan, sedangkan siswa yang berhasil memasukkan bola ke ring bertos ria dengan teman-teman satu timnya. Aku tersenyum.
“Awas, bola!” aku terkejut, memalingkan kepala dari tim basket menuju ke asal suara. Belum sempat menoleh ke asal suara, aku melihat sebuah bola voli melayang ke arahku. Refleks, aku berbalik. Namun terlambat, bola itu mengenai bahu kananku dengan cukup keras. Aku mengaduh perlahan, memegang bahu kananku, rasanya sakit sekali.
“Sorry!” teriak seseorang dari bawah. Aku melihat ke arah suara. Seorang siswa mengangkat tangan kanannya sambil menunjukkan giginya. Aku tersenyum, melepaskan bahu kananku. Aku berbalik, mengambil bola dan melemparkannya ke orang yang meneriakiku dari bawah. Dia mengucapkan terima kasih kepadaku lantas kembali bermain voli. Aku masuk ke dalam kelas kemudian, memutuskan untuk menunggu pelajaran dengan damai.
***
Jam pelajaran telah usai sejak bel sekolah berbunyi dengan nyaring. Para siswa berhamburan keluar dari sekolah. Wajah-wajah sumringah mereka tunjukkan sambil bercanda-tawa dengan teman. Syla sudah meninggalkan kelas beberapa saat lalu, meninggalkanku yang masih mengemas buku. Aku segera menggendong tas dan keluar dari kelas selesai beberes. Masih ada beberapa siswa di ruang kelas, bercengkerama satu-sama lain sambil membicarakan makanan yang akan dimakan nanti.
"Pulang dulu, semua." Aku berteriak dan menatap mereka sambil melambaikan tangan, mereka semua menoleh kepadaku.
"Hati-hati, Vio!" Aku mengangguk dan melenggang pergi.
Aku berjalan menuju halte, menunggu angkutan untuk pulang ke rumah. Banyak siswa-siswi yang duduk-duduk di trotoar, entah untuk menunggu angkutan atau hanya bersenda gurau sebelum berpisah. Aku duduk di halte dengan seorang siswi. Kebanyakan siswa memang tidak suka duduk di halte, lebih memilih memenuhi trotoar.
Kami berdua diam saja. Siswi di dekatku sibuk menatap telepon pintarnya, aku tidak berniat mengganggu. Lalu aku melihat seorang siswa yang berjalan mendekati halte. Dia duduk tepat di sebelah kiriku, sedangkan siswa yang tadi ada di kananku. Aku agak bergeser ke kanan, memberi jarak kepadanya karena dia laki-laki.
“Bahumu baik-baik saja?” Aku menoleh, menatap siswa di sampingku. Kami saling bertatapan. Sepertinya dia salah satu anak yang ikut bermain voli tadi. Aku mengangguk.
“Ya, aku rasa begitu.” Aku berujar sambil tersenyum. Dia mengangguk, lantas menatap ke depan.
“Syukurlah, kamu sempat menghindar. Maafkan kami yang tidak memperhatikan hal lain.” Wajahnya menunduk ke bawah, menunjukkan rasa menyesal.
“Tidak masalah, aku mengerti. Terima kasih sudah menanyakan keadaanku.” aku mengangguk dan tersenyum. Dia kembali menoleh ke arahku.
“Aku Yudha.” Dia mengulurkan tangan ke arahku, dan aku menyambutnya.
“Vio.” Sebuah angkutan berhenti di depan halte. Itu angkutan ke rumahku. Aku berpamitan dengan Yudha dan menaiki angkutan.
“Duluan, ya.” Aku melambaikan tangan.
Hitam, gelap. Tidak ada apa pun sejauh mata memandang, bahkan setitik cahaya juga tidak terlihat. Hanya ada kegelapan di sekeliling, seperti kegelapan yang tak berujung. Ctar! Tiba-tiba selarik cahaya menyambar, sejenak mampu membelah kegelapan. Ah, ternyata hujan. Walau sebentar, terlihat hujan sedang turun membasahi bumi, banyak pula pepohonan tinggi yang tumbuh saling berdekatan. Mungkin ini adalah hutan.Di tengah pepohonan, ada seseorang, ah, bukan, dua orang. Orang pertama cukup tinggi, dia memakai jas hujan berwarna gelap yang menutupi seluruh tubuhnya. Di depan orang itu, ada lagi seseorang yang jaraknya lumayan jauh dengan orang di belakangnya. Orang yang di depan sepertinya lebih pendek dari or
“Halo, Vio!” Seorang wanita menyapa ramah. Dia melihatku yang berdiri di bingkai pintu dengan senyuman hangat. Wanita itu berdiri dari kursi kerjanya, berjalan mendekatiku. Tubuhku masuk ke dalam ruangan, lalu pintu aku tutup.Mataku melihat-lihat ruangan yang aku masuki. Meja kerja wanita tadi ada di dekat pintu masuk, jadi tidak aneh jika dia sudah ada di sampingku saat ini. Di atas meja kerjanya tertulis nama dan status yang dimiliki wanita itu, dokter Rara. Di tengah ruangan ada sofa dan meja sudut yang menghadap pintu masuk. Kami berjalan bersisian, dokter Rara membimbingku untuk duduk di sofa."Masih mengalaminya?" tanyanya.Dokter Rara duduk dengan anggun di sudut sofa, menatapku teduh. Sepertinya dia ingin memberiku rasa nyaman. Aku mengangguk pelan, duduk di sudut yang lain.“Bagaimana kabar adikmu?”Seperti biasa, dokter Rara menanyakan kabar terkini dariku. Aku sudah sering menemui dokter Rara, beberapa kali juga
“Semangat, Kak!” Teriakan itu terasa menggelegar di telingaku. Padahal adikku berada seratus meter di depanku, jarak yang lumayan jauh untuk dapat menggelegarkan telinga. Aku bersungut-sungut. Separuh sebal karena kekuatan tubuhku, separuhnya lagi kesal karena telah mempermalukan diri di depan adik sendiri.“Semangat!” teriakku.Walaupun aku berteriak, aku tetap berlari dengan kecepatan yang rendah. Boro-boro menambah kecepatan, saat ini saja aku masih berusaha mengatur napas yang sudah mulai tidak beraturan. Sejujurnya, satu-satunya hal yang tidak aku suka di dunia ini adalah berolahraga. Kenapa sih, kita harus berolahraga? Padahal kita juga sudah makan dengan gizi seimbang, dan berkegiatan yang bisa menguras keringat. Namun, tentu saja itu cuma ada dalam pikiranku. Aku tidak mungkin membagi pikiran kurang benar ini kepada adikku. Maka, di sinilah aku sekarang. Lari sore bersama adikku tercinta.Kami joging mengelilingi kompleks, t
Bel istirahat sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, aku sudah memasukkan buku-buku yang berserakan di meja ke dalam tas, dan menutup rapat resleting tas. Beberapa siswa sudah pergi ke kantin setelah bel berbunyi untuk pertama kalinya—bahkan guru belum meninggalkan ruang kelas. Aku mencolek lengan Syla. “Syl, mau ke perpus, nggak?” tanyaku. Syla membalas dengan gelengan kepala tanpa melihatku. Syla sepertinya sedang sibuk dengan kertas-kertas di meja. “Kamu mengerjakan apa?” Aku memandangi kertas-kertas yang berserakan di meja. Syla menghentikan kegiatannya. “Tidak apa-apa, selamat membaca.” Syla tersenyum menatapku. Aku mengangguk, meninggalkan ruang kelas. Sepertinya Syla tidak ingin aku mengetahui kegiatannya. Tidak masalah, semua orang memiliki rahasianya masing-masing. Perpustakaan sepi seperti biasa, aku menyapa petugas perpustakaan di dekat pintu masuk yang menganggukkan kepala. Umumnya perpustakaan, aku melakukan presensi di komputer yang tersedia di dekat meja peminjaman.
Aku tiba-tiba dikejar lagi saat pulang sekolah, tepatnya beberapa saat setelah aku turun dari angkutan. Sepertinya orang yang mengejarku memang menungguku turun dari angkutan. Aku segera berlari setelah menyadari ada orang yang membuntutiku, mencari tempat ramai agar fokus si pengejar terpecah. Alhasil aku sampai di balai desa yang penuh dengan banyak orang. Persembunyianku berbuah hasil, aku tidak lagi dikejar setelah beberapa saat tidak menunjukkan diri.Aku keluar dari persembunyian setelah memastikan tidak melihat orang yang mengejarku. Tidak seperti malam waktu itu, aku sudah tahu harus berjalan ke mana. Suasana siang dan malan hari saja sudah berbeda, apalagi waktu itu suasana sepi mencekam, otak yang harusnya memikirkan langkah selanjutnya itu mendadak kehilangan fungsinya.“Vio!”Ditengah perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba ada yang memanggilku. Aku menghentikan langkah, menoleh ke sekeliling. Ada Slamet di sana, dia melambaikan tangan kepa
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa saat yang lalu. Para siswa berlalu lalang memenuhi halaman sekolah. Aku masih berada di laboratorium biologi bersama beberapa teman. Kami sekelas baru saja selesai praktikum bentuk-bentuk sel. Mikroskop-mikroskop berjejer rapi di atas meja, langsung disusun setelah selesai praktikum.Aku bersama Syla dan Ani beberes di lab, kami bertiga sudah melepas jas lab kami sejak teman-teman meninggalkan lab. Ani adalah penanggung jawab lab biologi, dia harus mengembalikan kunci lab kepada guru. Aku dan Syla membantunya memastikan lab sudah seperti semula. Tidak ada bahan kimia yang tercecer, dan tidak ada alat yang kotor serta berserakan.. “Sudah selesai!” Ani berkata dengan nada senang. Aku dan Syla mengangguk, kami bersama-sama keluar dari lab. Setelah Ani mengunci pintu lab, kami berpamitan dengan Ani.“Jadi ke mal?” Aku bertanya pada Syla. Kami berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Syla mengangguk.“Let’s go!”Kami mengepalkan tangan ke ata
Sejak beberapa bulan yang lalu, tidak pernah cuaca terasa lebih panas dari ini. Matahari yang begitu terik membuat siswa laki-laki yang biasanya bermain di lapangan menjadi menghabiskan waktu istirahat dengan nongkrong di kantin. Kantin yang biasanya penuh dengan para siswi sekarang seimbang oleh laki-laki dan perempuan. Tawa-tawa renyah yang biasanya memenuhi kantin, tenggelam dengan suara terbahak-bahak oleh para siswa laki-laki.“Kenapa sih, akhir-akhir ini cuaca sangat panas?” Slamet memecah keheningan. Kedua tangannya sibuk mengipas-ngipas wajahnya.“Iya ih, mukaku jadi kering banget.” Aira menyentuh dua pipinya dengan kedua tangan, wajahnya tampak kesal.Aku dan beberapa teman sekelas—tepatnya empat orang—duduk melingkar di bangku hutan sekolah. Sekolah kami memanfaat sedikit lahan di samping kantin menjadi hutan mini yang penuh pepohonan rindang. Tempat duduk di hutan sekolah sangat eksklusif, tidak semua orang bisa men
Tulisan “Taman Pandai” di gapura besar seperti menyambut kedatanganku dan Vian yang mengendarai sepeda motor. Tulisan itu sudah terlihat dua ratus meter sebelum sampai di lokasi, menandakan begitu besar dan tingginya gapura masuk tempat ini. Aku membayar karcis parkir tepat di bawah gapura, lalu lanjut mencari tempat parkir yang aman dan nyaman versiku. Langit hari ini berwarna biru cerah, matahari bersinar tidak begitu terik walau tidak ada satu pun awan di langit.Seperti namanya, Taman Pandai berisi berbagai wahana bermain dan belajar untuk anak-anak, walaupun bisa juga untuk umum. Kami memasuki wahana Astronium, sebuah bangunan berbentuk roket yang di dalamnya terdapat beberapa ruangan yang berisi miniatur benda-benda langit. Vian dengan semangat memasuki ruangan pertama yang dekat pintu masuk. Ini bukan tempat wisata baru, kami pernah datang ke sini beberapa kali sebelumnya, dan Vian selalu bersemangat saat pergi ke Taman Pandai ini.Aku mengikuti Vian memasuki ruangan yang sama.