Share

Bab 5

Malam telah datang, meninggalkan mentari dan mendatangkan rembulan. Kerlap-kerlip bintang yang bertaburan membuat langit semakin indah. Suara jangkrik yang mengerik, air sungai yang berdebum, hingga desau angin menambah syahdu suasana. Namun sayang, tidak semua daerah bisa menikmati suasana seperti itu. Boro-boro mendengarkan musik alamnya, melihat gemerlap bintang saja tidak bisa.

Cur! Gemercik air menghilang saat aku menutup keran wastafel dapur. Aku mengibas-ngibaskan tangan ke wastafel, lalu mengelapnya dengan serbet yang tergantung di sebelah kiri. Aku mengambil alat-alat makan yang selesai dicuci dan meletakkannya di rak sesuai tempat semula. Aku baru saja selesai beres-beres setelah makan malam. Aku melihat sekeliling, siapa tahu ada yang lupa aku rapikan.

Mataku tiba-tiba menatap rak pisau. Ada tiga buah pisau disana. Satu untuk memotong bumbu dapur, satu untuk memotong buah, dan satunya lagi bisa untuk memotong apa pun. Aku menelan ludah, tiba-tiba teringat kejadian kemarin. Dinginnya leherku yang ditempel pisau, hingga darah yang mulai mengucur. Aku mengambil segelas air minum dari dispenser, meneguknya hingga habis. Bagaimana mungkin aku bisa mengalami hal mengerikan seperti kemarin?

Aku mengembuskan napas, memalingkan wajah dari rak pisau dan menatap keheningan malam. Bintang-gemintang tampak meriah menghiasi langit, membuat langit yang cerah menjadi jelas dilihat dengan mata telanjang. Betapa indahnya suasana di luar sana. Aku tidak boleh memikirkan kejadian kemarin lagi. Mungkin saja pria itu salah orang. Benar, tidak perlu aku ingat-ingat lagi.

Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, aku harus melanjutkan aktivitas. Aku menutup gorden dapur dan berjalan menuju pintu depan. Aku mengecek ulang pintu dan jendela rumah, memastikan semuanya sudah terkunci rapat. Tidak ada yang lupa dikunci, semuanya aman. Aku mematikan lampu ruang tamu dan ruang keluarga yang tidak akan berguna lagi. Dua ruangan itu dipisahkan oleh tembok. Setelah semua ruangan yang tidak dipakai mati, aku menuju ruang perpustakaan yang ada di belakang ruang keluarga.

Aku menyibak gorden ruang perpustakaan, rak-rak buku yang terbuat dari kayu tampak berbaris rapi salam satu baris yang sama. Seorang anak laki-laki duduk di meja belajar di bawah jendela. Dia terlihat serius memperhatikan buku yang ada di depannya. Ada dua meja di perpustakaan ini, jaraknya berdekatan. Salah satu meja tepat di bawah jendela, satunya lagi menghadap dinding di sisi yang berbeda. Aku menuju salah satu rak buku, mengambil beberapa buku Fisika, ada dua buku tepatnya, aku merasa itu buku-buku yang bisa dipelajari untuk persiapan ujian harian besok. Aku menuju meja yang satunya lagi, meletakkan buku yang aku bawa, dan duduk dengan nyaman.

Meja belajar ini hanya berupa meja kayu biasa yang sama luasnya dengan meja komputer pada umumnya–hanya saja tidak ada tempat untuk keyboard. Di samping kanan bawahnya ada loker kecil dan besar yang bisa memuat buku-buku. Aku membuka rak kecil mencari sebuah buku tulis yang biasanya aku gunakan untuk latihan soal. Aku meletakkannya di atas meja setelah menemukan buku yang aku cari. Aku membuka buku materi yang aku ambil dari rak dan mulai membaca materi-materi yang akan diujikan besok. Aku membaca cepat materi-materi itu, lalu mulai latihan soal dari buku satunya.

Salah seorang guruku pernah berkata bahwa saintek adalah tentang latihan soal, apalagi jika itu matematika dan fisika. Jadi, aku selalu latihan soal saat belajar matematika atau fisika. Beberapa latihan soal sudah selesai aku kerjakan sebelumnya, karena itu aku mengumpulkan lagi berbagai buku latihan soal dari toko buku bekas yang ada di sudut kota.

“Kakak” Aku berhenti menulis, menoleh ke kanan. Anak laki-laki yang tadi duduk di meja seberang berdiri di sampingku. Aku memutar badan, menghadap anak laki-laki itu.

“Kenapa, Dek?” dia adikku satu-satunya, Vian. Usianya baru menginjak sembilan tahun beberapa bulan yang lalu. Seharusnya dia baru kelas empat sekolah dasar, namun saat ini dia sudah kelas lima. Vian tidak pernah merasakan bangku taman kanak-kanak, dan langsung masuk sekolah dasar. Dia dipaksa mulai berpikir, saat anak-anak yang lain masih asyik bermain dan bernyanyi. Aku mengembuskan napas perlahan.

“Ini, Kak.” Vian memberiku sebuah kertas sambil tersenyum. Aku mengulurkan tangan, menerimanya. Ada angka yang cukup besar terletak di kanan atas, 98. Ah, ini kertas ujian bahasa Indonesia. Aku mulai melihat soal-soal yang ada.

Aku menatap adikku dan kertas yang aku pegang tidak percaya. Ini menarik, soal-soal bahasa Indonesia ini tergolong sulit. Penuh dengan bahasa baku, dan EYD. Adikku cuma salah menempatkan tanda baca sekali di soal mengarang. Aku mengangguk, memberikan kembali kertas ujian ke adikku.

“Wih, ada yang dapat nilai bagus, nih,” godaku. 

Vian tersenyum bangga, menerima kertas yang aku berikan. “Iya, kak, tadi ada ujian mendadak, dan aku mendapat nilai tertinggi.” Aku mengangguk-angguk, semakin tidak paham. Ujiannya mendadak, dan dia mendapatkan nilai seperti itu?

“Kamu suka pelajaran bahasa, Dek?” tanyaku. Adikku mengangguk antusias, wajahnya sangat menggemaskan.

“Aku suka semua, Kak. Pelajarannya seru-seru!” Aku mengangguk, menepuk-nepuk pundak adikku. “Selamat ya, Dek! Kamu keren banget!” Aku memberikan jempol ke adikku.

Adikku mengangguk lantas pergi menuju meja belajarnya. Aku tersenyum mengawasi gerakannya, adikku ternyata sudah sebesar itu. Cepat sekali dia tumbuh besar. Aku memutar badan dan kembali fokus ke buku-buku di meja. Buku latihan soal ini baru aku beli dua hari yang lalu. Aku mampir ke toko buku setelah pulang sekolah. Kebetulan toko buku bekasnya searah dengan rumahku.

Aku mengerjakan soal dengan teliti. Satu-dua soal bisa aku kerjakan tanpa melihat rumus, mudah saja aku pahami. Namun lebih banyak yang belum aku pahami, memaksaku untuk membuka buku catatan dan buku materi kembali. Detik demi detik berlalu. Aku terus berlatih soal hingga bisa menyelesaikan semuanya dengan lancar dan tanpa membuka buku catatan. Namun, itu hanya sebuah rencana. Aku masih belum bisa menyelesaikan soal dengan baik selama hampir satu jam.

Kriet! Suara kursi berderit terdengar, aku menoleh ke arah adikku. Vian memasukkan beberapa buku tulis dan buku paket ke tas sekolah hitamnya, sepertinya dia sudah selesai belajar. Jam digital di meja belajarku menunjukkan pukul 21.00, oh, ternyata sudah satu jam. Ini memang sudah waktunya adikku untuk beristirahat. Vian menggendong tas hitamnya di pundak, beranjak meninggalkan meja belajarnya.

Aku dan Vian terbiasa untuk menyiapkan buku-buku pelajaran buat besok di malam hari setelah belajar. Walaupun semua buku disimpan di perpustakaan, tas untuk sekolah harus dibawa ke kamar sesudah belajar. Hal itu membantuku dan Vian untuk mengingat lagi hal-hal yang mungkin terlupakan. Misalnya, ada tugas yang belum dikerjakan, atau buku yang lupa terbawa.

"Selamat malam, Kak." Aku mengangguk. Vian melambaikan tangan ke arahku, aku membalas lambaian tangannya. "Mimpi indah," ujarku. Aku mengikuti langkah Vian sampai menghilang tertutup gorden, lantas kembali berkutat dengan buku-buku yang ada di depanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status