Malam telah datang, meninggalkan mentari dan mendatangkan rembulan. Kerlap-kerlip bintang yang bertaburan membuat langit semakin indah. Suara jangkrik yang mengerik, air sungai yang berdebum, hingga desau angin menambah syahdu suasana. Namun sayang, tidak semua daerah bisa menikmati suasana seperti itu. Boro-boro mendengarkan musik alamnya, melihat gemerlap bintang saja tidak bisa.
Cur! Gemercik air menghilang saat aku menutup keran wastafel dapur. Aku mengibas-ngibaskan tangan ke wastafel, lalu mengelapnya dengan serbet yang tergantung di sebelah kiri. Aku mengambil alat-alat makan yang selesai dicuci dan meletakkannya di rak sesuai tempat semula. Aku baru saja selesai beres-beres setelah makan malam. Aku melihat sekeliling, siapa tahu ada yang lupa aku rapikan.
Mataku tiba-tiba menatap rak pisau. Ada tiga buah pisau disana. Satu untuk memotong bumbu dapur, satu untuk memotong buah, dan satunya lagi bisa untuk memotong apa pun. Aku menelan ludah, tiba-tiba teringat kejadian kemarin. Dinginnya leherku yang ditempel pisau, hingga darah yang mulai mengucur. Aku mengambil segelas air minum dari dispenser, meneguknya hingga habis. Bagaimana mungkin aku bisa mengalami hal mengerikan seperti kemarin?
Aku mengembuskan napas, memalingkan wajah dari rak pisau dan menatap keheningan malam. Bintang-gemintang tampak meriah menghiasi langit, membuat langit yang cerah menjadi jelas dilihat dengan mata telanjang. Betapa indahnya suasana di luar sana. Aku tidak boleh memikirkan kejadian kemarin lagi. Mungkin saja pria itu salah orang. Benar, tidak perlu aku ingat-ingat lagi.
Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, aku harus melanjutkan aktivitas. Aku menutup gorden dapur dan berjalan menuju pintu depan. Aku mengecek ulang pintu dan jendela rumah, memastikan semuanya sudah terkunci rapat. Tidak ada yang lupa dikunci, semuanya aman. Aku mematikan lampu ruang tamu dan ruang keluarga yang tidak akan berguna lagi. Dua ruangan itu dipisahkan oleh tembok. Setelah semua ruangan yang tidak dipakai mati, aku menuju ruang perpustakaan yang ada di belakang ruang keluarga.
Aku menyibak gorden ruang perpustakaan, rak-rak buku yang terbuat dari kayu tampak berbaris rapi salam satu baris yang sama. Seorang anak laki-laki duduk di meja belajar di bawah jendela. Dia terlihat serius memperhatikan buku yang ada di depannya. Ada dua meja di perpustakaan ini, jaraknya berdekatan. Salah satu meja tepat di bawah jendela, satunya lagi menghadap dinding di sisi yang berbeda. Aku menuju salah satu rak buku, mengambil beberapa buku Fisika, ada dua buku tepatnya, aku merasa itu buku-buku yang bisa dipelajari untuk persiapan ujian harian besok. Aku menuju meja yang satunya lagi, meletakkan buku yang aku bawa, dan duduk dengan nyaman.
Meja belajar ini hanya berupa meja kayu biasa yang sama luasnya dengan meja komputer pada umumnya–hanya saja tidak ada tempat untuk keyboard. Di samping kanan bawahnya ada loker kecil dan besar yang bisa memuat buku-buku. Aku membuka rak kecil mencari sebuah buku tulis yang biasanya aku gunakan untuk latihan soal. Aku meletakkannya di atas meja setelah menemukan buku yang aku cari. Aku membuka buku materi yang aku ambil dari rak dan mulai membaca materi-materi yang akan diujikan besok. Aku membaca cepat materi-materi itu, lalu mulai latihan soal dari buku satunya.
Salah seorang guruku pernah berkata bahwa saintek adalah tentang latihan soal, apalagi jika itu matematika dan fisika. Jadi, aku selalu latihan soal saat belajar matematika atau fisika. Beberapa latihan soal sudah selesai aku kerjakan sebelumnya, karena itu aku mengumpulkan lagi berbagai buku latihan soal dari toko buku bekas yang ada di sudut kota.
“Kakak” Aku berhenti menulis, menoleh ke kanan. Anak laki-laki yang tadi duduk di meja seberang berdiri di sampingku. Aku memutar badan, menghadap anak laki-laki itu.
“Kenapa, Dek?” dia adikku satu-satunya, Vian. Usianya baru menginjak sembilan tahun beberapa bulan yang lalu. Seharusnya dia baru kelas empat sekolah dasar, namun saat ini dia sudah kelas lima. Vian tidak pernah merasakan bangku taman kanak-kanak, dan langsung masuk sekolah dasar. Dia dipaksa mulai berpikir, saat anak-anak yang lain masih asyik bermain dan bernyanyi. Aku mengembuskan napas perlahan.
“Ini, Kak.” Vian memberiku sebuah kertas sambil tersenyum. Aku mengulurkan tangan, menerimanya. Ada angka yang cukup besar terletak di kanan atas, 98. Ah, ini kertas ujian bahasa Indonesia. Aku mulai melihat soal-soal yang ada.
Aku menatap adikku dan kertas yang aku pegang tidak percaya. Ini menarik, soal-soal bahasa Indonesia ini tergolong sulit. Penuh dengan bahasa baku, dan EYD. Adikku cuma salah menempatkan tanda baca sekali di soal mengarang. Aku mengangguk, memberikan kembali kertas ujian ke adikku.
“Wih, ada yang dapat nilai bagus, nih,” godaku.Vian tersenyum bangga, menerima kertas yang aku berikan. “Iya, kak, tadi ada ujian mendadak, dan aku mendapat nilai tertinggi.” Aku mengangguk-angguk, semakin tidak paham. Ujiannya mendadak, dan dia mendapatkan nilai seperti itu?
“Kamu suka pelajaran bahasa, Dek?” tanyaku. Adikku mengangguk antusias, wajahnya sangat menggemaskan.
“Aku suka semua, Kak. Pelajarannya seru-seru!” Aku mengangguk, menepuk-nepuk pundak adikku. “Selamat ya, Dek! Kamu keren banget!” Aku memberikan jempol ke adikku.
Adikku mengangguk lantas pergi menuju meja belajarnya. Aku tersenyum mengawasi gerakannya, adikku ternyata sudah sebesar itu. Cepat sekali dia tumbuh besar. Aku memutar badan dan kembali fokus ke buku-buku di meja. Buku latihan soal ini baru aku beli dua hari yang lalu. Aku mampir ke toko buku setelah pulang sekolah. Kebetulan toko buku bekasnya searah dengan rumahku.
Aku mengerjakan soal dengan teliti. Satu-dua soal bisa aku kerjakan tanpa melihat rumus, mudah saja aku pahami. Namun lebih banyak yang belum aku pahami, memaksaku untuk membuka buku catatan dan buku materi kembali. Detik demi detik berlalu. Aku terus berlatih soal hingga bisa menyelesaikan semuanya dengan lancar dan tanpa membuka buku catatan. Namun, itu hanya sebuah rencana. Aku masih belum bisa menyelesaikan soal dengan baik selama hampir satu jam.
Kriet! Suara kursi berderit terdengar, aku menoleh ke arah adikku. Vian memasukkan beberapa buku tulis dan buku paket ke tas sekolah hitamnya, sepertinya dia sudah selesai belajar. Jam digital di meja belajarku menunjukkan pukul 21.00, oh, ternyata sudah satu jam. Ini memang sudah waktunya adikku untuk beristirahat. Vian menggendong tas hitamnya di pundak, beranjak meninggalkan meja belajarnya.
Aku dan Vian terbiasa untuk menyiapkan buku-buku pelajaran buat besok di malam hari setelah belajar. Walaupun semua buku disimpan di perpustakaan, tas untuk sekolah harus dibawa ke kamar sesudah belajar. Hal itu membantuku dan Vian untuk mengingat lagi hal-hal yang mungkin terlupakan. Misalnya, ada tugas yang belum dikerjakan, atau buku yang lupa terbawa.
"Selamat malam, Kak." Aku mengangguk. Vian melambaikan tangan ke arahku, aku membalas lambaian tangannya. "Mimpi indah," ujarku. Aku mengikuti langkah Vian sampai menghilang tertutup gorden, lantas kembali berkutat dengan buku-buku yang ada di depanku.
Sinar lembut matahari menyinari seluruh pelosok negeri. Langit tampak cerah, tidak ada awan satu pun yang menghalau sang mentari. Kantin sekolah penuh berdesakan oleh para siswa. Beberapa siswa laki-laki bermain sepak bola di lapangan dengan seragam putih abu yang masih melekat di badan. Beberapa siswi duduk-duduk bergerombol di tepi lapangan, bercengkerama ringan sambil sesekali tertawa. Ruang kelasku kosong melompong, tidak ada seorang pun disana. Kami semua ikutmemenuhi kantin dan saling berebut antreanuntuk memesan menu. Teriakan-teriakan dilontarkan para siswa agar ibu kantin segera menyiapkan pesanan mereka. Aku dan Syla mengambil minuman instan di kulkas, tidak ingin berdesak-desakan. Kami berdua menghampiri gerombolan perempuan sekelas yang sudah duduk lebih dulu. Ada tiga anak perempuan yang menempati dua bangku panjang yang saling berhadapan. Mereka sudah pesan minum dan jajan lebih dulu, menikmatinya sambil berbincang. Aku dan Syla duduk di tem
Hitam, gelap. Tidak ada apa pun sejauh mata memandang, bahkan setitik cahaya juga tidak terlihat. Hanya ada kegelapan di sekeliling, seperti kegelapan yang tak berujung. Ctar! Tiba-tiba selarik cahaya menyambar, sejenak mampu membelah kegelapan. Ah, ternyata hujan. Walau sebentar, terlihat hujan sedang turun membasahi bumi, banyak pula pepohonan tinggi yang tumbuh saling berdekatan. Mungkin ini adalah hutan.Di tengah pepohonan, ada seseorang, ah, bukan, dua orang. Orang pertama cukup tinggi, dia memakai jas hujan berwarna gelap yang menutupi seluruh tubuhnya. Di depan orang itu, ada lagi seseorang yang jaraknya lumayan jauh dengan orang di belakangnya. Orang yang di depan sepertinya lebih pendek dari or
“Halo, Vio!” Seorang wanita menyapa ramah. Dia melihatku yang berdiri di bingkai pintu dengan senyuman hangat. Wanita itu berdiri dari kursi kerjanya, berjalan mendekatiku. Tubuhku masuk ke dalam ruangan, lalu pintu aku tutup.Mataku melihat-lihat ruangan yang aku masuki. Meja kerja wanita tadi ada di dekat pintu masuk, jadi tidak aneh jika dia sudah ada di sampingku saat ini. Di atas meja kerjanya tertulis nama dan status yang dimiliki wanita itu, dokter Rara. Di tengah ruangan ada sofa dan meja sudut yang menghadap pintu masuk. Kami berjalan bersisian, dokter Rara membimbingku untuk duduk di sofa."Masih mengalaminya?" tanyanya.Dokter Rara duduk dengan anggun di sudut sofa, menatapku teduh. Sepertinya dia ingin memberiku rasa nyaman. Aku mengangguk pelan, duduk di sudut yang lain.“Bagaimana kabar adikmu?”Seperti biasa, dokter Rara menanyakan kabar terkini dariku. Aku sudah sering menemui dokter Rara, beberapa kali juga
“Semangat, Kak!” Teriakan itu terasa menggelegar di telingaku. Padahal adikku berada seratus meter di depanku, jarak yang lumayan jauh untuk dapat menggelegarkan telinga. Aku bersungut-sungut. Separuh sebal karena kekuatan tubuhku, separuhnya lagi kesal karena telah mempermalukan diri di depan adik sendiri.“Semangat!” teriakku.Walaupun aku berteriak, aku tetap berlari dengan kecepatan yang rendah. Boro-boro menambah kecepatan, saat ini saja aku masih berusaha mengatur napas yang sudah mulai tidak beraturan. Sejujurnya, satu-satunya hal yang tidak aku suka di dunia ini adalah berolahraga. Kenapa sih, kita harus berolahraga? Padahal kita juga sudah makan dengan gizi seimbang, dan berkegiatan yang bisa menguras keringat. Namun, tentu saja itu cuma ada dalam pikiranku. Aku tidak mungkin membagi pikiran kurang benar ini kepada adikku. Maka, di sinilah aku sekarang. Lari sore bersama adikku tercinta.Kami joging mengelilingi kompleks, t
Bel istirahat sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, aku sudah memasukkan buku-buku yang berserakan di meja ke dalam tas, dan menutup rapat resleting tas. Beberapa siswa sudah pergi ke kantin setelah bel berbunyi untuk pertama kalinya—bahkan guru belum meninggalkan ruang kelas. Aku mencolek lengan Syla. “Syl, mau ke perpus, nggak?” tanyaku. Syla membalas dengan gelengan kepala tanpa melihatku. Syla sepertinya sedang sibuk dengan kertas-kertas di meja. “Kamu mengerjakan apa?” Aku memandangi kertas-kertas yang berserakan di meja. Syla menghentikan kegiatannya. “Tidak apa-apa, selamat membaca.” Syla tersenyum menatapku. Aku mengangguk, meninggalkan ruang kelas. Sepertinya Syla tidak ingin aku mengetahui kegiatannya. Tidak masalah, semua orang memiliki rahasianya masing-masing. Perpustakaan sepi seperti biasa, aku menyapa petugas perpustakaan di dekat pintu masuk yang menganggukkan kepala. Umumnya perpustakaan, aku melakukan presensi di komputer yang tersedia di dekat meja peminjaman.
Aku tiba-tiba dikejar lagi saat pulang sekolah, tepatnya beberapa saat setelah aku turun dari angkutan. Sepertinya orang yang mengejarku memang menungguku turun dari angkutan. Aku segera berlari setelah menyadari ada orang yang membuntutiku, mencari tempat ramai agar fokus si pengejar terpecah. Alhasil aku sampai di balai desa yang penuh dengan banyak orang. Persembunyianku berbuah hasil, aku tidak lagi dikejar setelah beberapa saat tidak menunjukkan diri.Aku keluar dari persembunyian setelah memastikan tidak melihat orang yang mengejarku. Tidak seperti malam waktu itu, aku sudah tahu harus berjalan ke mana. Suasana siang dan malan hari saja sudah berbeda, apalagi waktu itu suasana sepi mencekam, otak yang harusnya memikirkan langkah selanjutnya itu mendadak kehilangan fungsinya.“Vio!”Ditengah perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba ada yang memanggilku. Aku menghentikan langkah, menoleh ke sekeliling. Ada Slamet di sana, dia melambaikan tangan kepa
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa saat yang lalu. Para siswa berlalu lalang memenuhi halaman sekolah. Aku masih berada di laboratorium biologi bersama beberapa teman. Kami sekelas baru saja selesai praktikum bentuk-bentuk sel. Mikroskop-mikroskop berjejer rapi di atas meja, langsung disusun setelah selesai praktikum.Aku bersama Syla dan Ani beberes di lab, kami bertiga sudah melepas jas lab kami sejak teman-teman meninggalkan lab. Ani adalah penanggung jawab lab biologi, dia harus mengembalikan kunci lab kepada guru. Aku dan Syla membantunya memastikan lab sudah seperti semula. Tidak ada bahan kimia yang tercecer, dan tidak ada alat yang kotor serta berserakan.. “Sudah selesai!” Ani berkata dengan nada senang. Aku dan Syla mengangguk, kami bersama-sama keluar dari lab. Setelah Ani mengunci pintu lab, kami berpamitan dengan Ani.“Jadi ke mal?” Aku bertanya pada Syla. Kami berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Syla mengangguk.“Let’s go!”Kami mengepalkan tangan ke ata
Sejak beberapa bulan yang lalu, tidak pernah cuaca terasa lebih panas dari ini. Matahari yang begitu terik membuat siswa laki-laki yang biasanya bermain di lapangan menjadi menghabiskan waktu istirahat dengan nongkrong di kantin. Kantin yang biasanya penuh dengan para siswi sekarang seimbang oleh laki-laki dan perempuan. Tawa-tawa renyah yang biasanya memenuhi kantin, tenggelam dengan suara terbahak-bahak oleh para siswa laki-laki.“Kenapa sih, akhir-akhir ini cuaca sangat panas?” Slamet memecah keheningan. Kedua tangannya sibuk mengipas-ngipas wajahnya.“Iya ih, mukaku jadi kering banget.” Aira menyentuh dua pipinya dengan kedua tangan, wajahnya tampak kesal.Aku dan beberapa teman sekelas—tepatnya empat orang—duduk melingkar di bangku hutan sekolah. Sekolah kami memanfaat sedikit lahan di samping kantin menjadi hutan mini yang penuh pepohonan rindang. Tempat duduk di hutan sekolah sangat eksklusif, tidak semua orang bisa men