Hitam, gelap. Tidak ada apa pun sejauh mata memandang, bahkan setitik cahaya juga tidak terlihat. Hanya ada kegelapan di sekeliling, seperti kegelapan yang tak berujung. Ctar! Tiba-tiba selarik cahaya menyambar, sejenak mampu membelah kegelapan. Ah, ternyata hujan. Walau sebentar, terlihat hujan sedang turun membasahi bumi, banyak pula pepohonan tinggi yang tumbuh saling berdekatan. Mungkin ini adalah hutan.
Di tengah pepohonan, ada seseorang, ah, bukan, dua orang. Orang pertama cukup tinggi, dia memakai jas hujan berwarna gelap yang menutupi seluruh tubuhnya. Di depan orang itu, ada lagi seseorang yang jaraknya lumayan jauh dengan orang di belakangnya. Orang yang di depan sepertinya lebih pendek dari orang yang berada di belakang, dan dia tidak mengenakan jas hujan. Kedua orang itu berlari–kaki kedua orang itu melangkah cepat.
Ctar! Kilat menyambar lagi. Sekarang hanya ada satu orang, yaitu sosok yang bertubuh tinggi. Dia tidak lagi berlari. Dia berjalan pelan, benar-benar pelan, seperti mengendap-endap. Orang yang agak pendek tidak terlihat, entah berada di mana dia sekarang. Di tempat orang yang berjalan itu, hanya ada semak belukar. Pepohonan yang awalnya banyak, hanya tersisa beberapa dan bisa dihitung.
Gelap masih memenuhi hutan, tetap tidak ada setitik pun cahaya yang memasuki hutan walau pepohonan sudah relatif sedikit. Ctar! Kilat menyambar sekali lagi. Orang yang tinggi itu berdiri sambil menatap ke bawah, sepertinya ada orang lain di sana–mungkin orang yang satunya lagi. Tangan kanan orang yang bertubuh tinggi mengayunkan sesuatu yang menyilaukan. Benda yang di tangannya mengayun dan menancap di suatu tempat. Ada cairan yang terciprat dari sana, cairannya agak kental. Gelap kembali menyelimuti.
***
Kring! Kring! Suara alarm memenuhi ruangan. Aku menggeliat, tangan kananku meraba-raba nakas–mematikan alarm dari ponsel pintar. Mataku berkedip-kedip cepat, melindungi diri dari silaunya layar ponsel. Aku melirik jam yang tertera di layar ponsel sekilas. Aku terkejut, langsung segera bangkit dari tidur. Ini alarm keduaku, aku kesiangan! Aku berlari keluar dari kamar, kantukku langsung hilang semua. Tanganku cekatan membuka satu per satu gorden di ruang tamu, menyaksikan cahaya mentari pagi yang sudah menyinari halaman depan rumah.
Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Setelah selesai ritual di kamar mandi, aku pergi ke dapur untuk menanak nasi. Sambil menunggu nasi matang, aku menuju kamar Vian. Lampunya masih mati–dia sama sepertiku yang mematikan lampu saat tidur–tidurnya nyenyak sekali.
“Dek!” Aku memanggil Vian, membangunkannya pelan. Vian bukan tipe yang susah dibangunkan, dia mudah terbangun hanya dengan suara.
Aku menuju jendela kamar adikku, membuka gorden yang tertutup rapat. Cahaya mulai memasuki kamar menyingkirkan kegelapan. Kamar Vian minimalis, dengan tembok berwarna biru langit, barang-barang yang ada di sana hanya meja dan kursi kecil di bawah jendela, ranjang di dekat pintu, serta sebuah lemari di sudut ruangan. Aku menoleh ke ranjang, Vian ternyata sudah bangun dan duduk di tepi ranjang.
“Selamat pagi, Kak!” Vian mengucek matanya.
“Pagi adekku yang tampan,” balasku. “Kakak kesiangan, Dek. Setelah cuci muka, bantuin kakak bersih-bersih halaman, ya.” Vian mengangguk.
Aku meninggalkan kamar Vian, mulai beberes rumah. Biasanya aku bangun sekitar jam empat, menikmati sejuknya udara pagi sebelum memulai aktivitas. Suasana terasa sangat damai. Tidak ada suara orang maupun kendaraan yang berlalu lalang, hanya ada sayup-sayup suara jangkrik yang mengerik dan syahdunya bisikan angin malam. Saat itulah, pikiran yang kusut menjadi jernih.
Vian masuk ke dalam rumah saat beras di magic-com telah menjadi nasi sepenuhnya. Dia membawa mangkuk di tangannya, diberi oleh bu Novi–tetangga kami. Bersyukur, aku tidak jadi keluar membeli lauk untuk sarapan. Aku menerima mangkuk yang dibawa Vian, meletakkannya di meja makan.
Matahari sudah naik, pukul tujuh tiga puluh ditunjukkan jam dinding yang ada di ruang tamu. Aku mengambil dua piring dan dua sendok dari rak piring, meletakkannya di meja. Vian mengambil dua gelas penuh minuman dari dispenser, lalu duduk di kursi. Aku mengambil nasi dari magic-com, tidak lupa mencabut kabelnya dan meletakkannya di atas meja.
Asap mengepul dari mangkuk yang berisi semur lele, menyebarkan aroma sedap di meja makan. Vian cekatan mengambil nasi dan satu potong ikan lele, lahap sekali dia makan. Aku tersenyum, memang sudah lama adikku itu tidak makan lauk favoritnya. Mau bagaimana lagi, bahan makanan di kulkas masih banyak, harus dihabiskan dulu.
“Kegiatanmu hari ini apa, Dek?” Aku bertanya pada Vian yang masih sibuk mengunyah
“Nggak ada Kak, paling nonton TV.” Vian menjawab setelah menelan kunyahan terakhirnya.
“Kamu nggak mau main sama teman?”
Vian tampak berpikir. Sebenarnya tidak banyak anak-anak yang seumuran Vian di lingkungan kami, hanya lima anak saja, itu pun tidak semuanya laki-laki. Jadi Vian memang agak jarang bermain dengan teman.
“Oh, iya, nanti mau main sepak bola di lapangan sebelah.” Vian melanjutkan makannya. Aku mengangguk.
“Mainnya hati-hati ya, Dek. Kakak nanti mau pergi sebentar, ada janji, jangan lupa kunci pintu dan pagar.” Vian mengangguk. Mulutnya masih sibuk mengunyah, menghabiskan makanan di piring.
“Halo, Vio!” Seorang wanita menyapa ramah. Dia melihatku yang berdiri di bingkai pintu dengan senyuman hangat. Wanita itu berdiri dari kursi kerjanya, berjalan mendekatiku. Tubuhku masuk ke dalam ruangan, lalu pintu aku tutup.Mataku melihat-lihat ruangan yang aku masuki. Meja kerja wanita tadi ada di dekat pintu masuk, jadi tidak aneh jika dia sudah ada di sampingku saat ini. Di atas meja kerjanya tertulis nama dan status yang dimiliki wanita itu, dokter Rara. Di tengah ruangan ada sofa dan meja sudut yang menghadap pintu masuk. Kami berjalan bersisian, dokter Rara membimbingku untuk duduk di sofa."Masih mengalaminya?" tanyanya.Dokter Rara duduk dengan anggun di sudut sofa, menatapku teduh. Sepertinya dia ingin memberiku rasa nyaman. Aku mengangguk pelan, duduk di sudut yang lain.“Bagaimana kabar adikmu?”Seperti biasa, dokter Rara menanyakan kabar terkini dariku. Aku sudah sering menemui dokter Rara, beberapa kali juga
“Semangat, Kak!” Teriakan itu terasa menggelegar di telingaku. Padahal adikku berada seratus meter di depanku, jarak yang lumayan jauh untuk dapat menggelegarkan telinga. Aku bersungut-sungut. Separuh sebal karena kekuatan tubuhku, separuhnya lagi kesal karena telah mempermalukan diri di depan adik sendiri.“Semangat!” teriakku.Walaupun aku berteriak, aku tetap berlari dengan kecepatan yang rendah. Boro-boro menambah kecepatan, saat ini saja aku masih berusaha mengatur napas yang sudah mulai tidak beraturan. Sejujurnya, satu-satunya hal yang tidak aku suka di dunia ini adalah berolahraga. Kenapa sih, kita harus berolahraga? Padahal kita juga sudah makan dengan gizi seimbang, dan berkegiatan yang bisa menguras keringat. Namun, tentu saja itu cuma ada dalam pikiranku. Aku tidak mungkin membagi pikiran kurang benar ini kepada adikku. Maka, di sinilah aku sekarang. Lari sore bersama adikku tercinta.Kami joging mengelilingi kompleks, t
Bel istirahat sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, aku sudah memasukkan buku-buku yang berserakan di meja ke dalam tas, dan menutup rapat resleting tas. Beberapa siswa sudah pergi ke kantin setelah bel berbunyi untuk pertama kalinya—bahkan guru belum meninggalkan ruang kelas. Aku mencolek lengan Syla. “Syl, mau ke perpus, nggak?” tanyaku. Syla membalas dengan gelengan kepala tanpa melihatku. Syla sepertinya sedang sibuk dengan kertas-kertas di meja. “Kamu mengerjakan apa?” Aku memandangi kertas-kertas yang berserakan di meja. Syla menghentikan kegiatannya. “Tidak apa-apa, selamat membaca.” Syla tersenyum menatapku. Aku mengangguk, meninggalkan ruang kelas. Sepertinya Syla tidak ingin aku mengetahui kegiatannya. Tidak masalah, semua orang memiliki rahasianya masing-masing. Perpustakaan sepi seperti biasa, aku menyapa petugas perpustakaan di dekat pintu masuk yang menganggukkan kepala. Umumnya perpustakaan, aku melakukan presensi di komputer yang tersedia di dekat meja peminjaman.
Aku tiba-tiba dikejar lagi saat pulang sekolah, tepatnya beberapa saat setelah aku turun dari angkutan. Sepertinya orang yang mengejarku memang menungguku turun dari angkutan. Aku segera berlari setelah menyadari ada orang yang membuntutiku, mencari tempat ramai agar fokus si pengejar terpecah. Alhasil aku sampai di balai desa yang penuh dengan banyak orang. Persembunyianku berbuah hasil, aku tidak lagi dikejar setelah beberapa saat tidak menunjukkan diri.Aku keluar dari persembunyian setelah memastikan tidak melihat orang yang mengejarku. Tidak seperti malam waktu itu, aku sudah tahu harus berjalan ke mana. Suasana siang dan malan hari saja sudah berbeda, apalagi waktu itu suasana sepi mencekam, otak yang harusnya memikirkan langkah selanjutnya itu mendadak kehilangan fungsinya.“Vio!”Ditengah perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba ada yang memanggilku. Aku menghentikan langkah, menoleh ke sekeliling. Ada Slamet di sana, dia melambaikan tangan kepa
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa saat yang lalu. Para siswa berlalu lalang memenuhi halaman sekolah. Aku masih berada di laboratorium biologi bersama beberapa teman. Kami sekelas baru saja selesai praktikum bentuk-bentuk sel. Mikroskop-mikroskop berjejer rapi di atas meja, langsung disusun setelah selesai praktikum.Aku bersama Syla dan Ani beberes di lab, kami bertiga sudah melepas jas lab kami sejak teman-teman meninggalkan lab. Ani adalah penanggung jawab lab biologi, dia harus mengembalikan kunci lab kepada guru. Aku dan Syla membantunya memastikan lab sudah seperti semula. Tidak ada bahan kimia yang tercecer, dan tidak ada alat yang kotor serta berserakan.. “Sudah selesai!” Ani berkata dengan nada senang. Aku dan Syla mengangguk, kami bersama-sama keluar dari lab. Setelah Ani mengunci pintu lab, kami berpamitan dengan Ani.“Jadi ke mal?” Aku bertanya pada Syla. Kami berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Syla mengangguk.“Let’s go!”Kami mengepalkan tangan ke ata
Sejak beberapa bulan yang lalu, tidak pernah cuaca terasa lebih panas dari ini. Matahari yang begitu terik membuat siswa laki-laki yang biasanya bermain di lapangan menjadi menghabiskan waktu istirahat dengan nongkrong di kantin. Kantin yang biasanya penuh dengan para siswi sekarang seimbang oleh laki-laki dan perempuan. Tawa-tawa renyah yang biasanya memenuhi kantin, tenggelam dengan suara terbahak-bahak oleh para siswa laki-laki.“Kenapa sih, akhir-akhir ini cuaca sangat panas?” Slamet memecah keheningan. Kedua tangannya sibuk mengipas-ngipas wajahnya.“Iya ih, mukaku jadi kering banget.” Aira menyentuh dua pipinya dengan kedua tangan, wajahnya tampak kesal.Aku dan beberapa teman sekelas—tepatnya empat orang—duduk melingkar di bangku hutan sekolah. Sekolah kami memanfaat sedikit lahan di samping kantin menjadi hutan mini yang penuh pepohonan rindang. Tempat duduk di hutan sekolah sangat eksklusif, tidak semua orang bisa men
Tulisan “Taman Pandai” di gapura besar seperti menyambut kedatanganku dan Vian yang mengendarai sepeda motor. Tulisan itu sudah terlihat dua ratus meter sebelum sampai di lokasi, menandakan begitu besar dan tingginya gapura masuk tempat ini. Aku membayar karcis parkir tepat di bawah gapura, lalu lanjut mencari tempat parkir yang aman dan nyaman versiku. Langit hari ini berwarna biru cerah, matahari bersinar tidak begitu terik walau tidak ada satu pun awan di langit.Seperti namanya, Taman Pandai berisi berbagai wahana bermain dan belajar untuk anak-anak, walaupun bisa juga untuk umum. Kami memasuki wahana Astronium, sebuah bangunan berbentuk roket yang di dalamnya terdapat beberapa ruangan yang berisi miniatur benda-benda langit. Vian dengan semangat memasuki ruangan pertama yang dekat pintu masuk. Ini bukan tempat wisata baru, kami pernah datang ke sini beberapa kali sebelumnya, dan Vian selalu bersemangat saat pergi ke Taman Pandai ini.Aku mengikuti Vian memasuki ruangan yang sama.
Musim kemarau sudah berjalan berbulan-bulan, terik matahari yang tidak bisa diabaikan begitu saja semakin menyengat kulit. Daun-daun pohon jati semakin banyak yang meninggalkan rantingnya dan berserakan di tanah. Berbeda dengan pohon jati, sebuah pohon yang sama besarnya tampak tumbuh besar dan kuat tidak terpengaruh iklim. Pohon itu adalah pohon ulin, pohon yang sulit ditemui.Beberapa orang terlihat sibuk memotong pohon ulin, pohon tinggi besar yang kayunya sangat kuat. Karena kekuatannya, kayu pohon ulin bahkan mendapat sebutan kayu besi. Tidak seperti besi yang bisa berkarat, kayu pohon ulin tahan terhadap air termasuk air laut. Masyarakat sekitar biasanya memotong pohon ulin seminggu sekali. Mereka juga menyiapkan tanaman pohon ulin baru dengan membawa bibit pohon yang sudah dirawat sekitar lima tahun.Belasan orang bergerombol tidak jauh dari sana, mereka berbincang-bincang sambil menunggu pohon tumbang. Kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu 30-an keatas, m