Share

Bab 7

Hitam, gelap. Tidak ada apa pun sejauh mata memandang, bahkan setitik cahaya juga tidak terlihat. Hanya ada kegelapan di sekeliling, seperti kegelapan yang tak berujung. Ctar! Tiba-tiba selarik cahaya menyambar, sejenak mampu membelah kegelapan. Ah, ternyata hujan. Walau sebentar, terlihat hujan sedang turun membasahi bumi, banyak pula pepohonan tinggi yang tumbuh saling berdekatan. Mungkin ini adalah hutan.

Di tengah pepohonan, ada seseorang, ah, bukan, dua orang. Orang pertama cukup tinggi, dia memakai jas hujan berwarna gelap yang menutupi seluruh tubuhnya. Di depan orang itu, ada lagi seseorang yang jaraknya lumayan jauh dengan orang di belakangnya. Orang yang di depan sepertinya lebih pendek dari orang yang berada di belakang, dan dia tidak mengenakan jas hujan. Kedua orang itu berlari–kaki kedua orang itu melangkah cepat.

Ctar! Kilat menyambar lagi. Sekarang hanya ada satu orang, yaitu sosok yang bertubuh tinggi. Dia tidak lagi berlari. Dia berjalan pelan, benar-benar pelan, seperti mengendap-endap. Orang yang agak pendek tidak terlihat, entah berada di mana dia sekarang. Di tempat orang yang berjalan itu, hanya ada semak belukar. Pepohonan yang awalnya banyak, hanya tersisa beberapa dan bisa dihitung.

Gelap masih memenuhi hutan, tetap tidak ada setitik pun cahaya yang memasuki hutan walau pepohonan sudah relatif sedikit. Ctar! Kilat menyambar sekali lagi. Orang yang tinggi itu berdiri sambil menatap ke bawah, sepertinya ada orang lain di sana–mungkin orang yang satunya lagi. Tangan kanan orang yang bertubuh tinggi mengayunkan sesuatu yang menyilaukan. Benda yang di tangannya mengayun dan menancap di suatu tempat. Ada cairan yang terciprat dari sana, cairannya agak kental. Gelap kembali menyelimuti.

***

Kring! Kring! Suara alarm memenuhi ruangan. Aku menggeliat, tangan kananku meraba-raba nakas–mematikan alarm dari ponsel pintar. Mataku berkedip-kedip cepat, melindungi diri dari silaunya layar ponsel. Aku melirik jam yang tertera di layar ponsel sekilas. Aku terkejut, langsung segera bangkit dari tidur. Ini alarm keduaku, aku kesiangan! Aku berlari keluar dari kamar, kantukku langsung hilang semua. Tanganku cekatan membuka satu per satu gorden di ruang tamu, menyaksikan cahaya mentari pagi yang sudah menyinari halaman depan rumah.

Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Setelah selesai ritual di kamar mandi, aku pergi ke dapur untuk menanak nasi. Sambil menunggu nasi matang, aku menuju kamar Vian. Lampunya masih mati–dia sama sepertiku yang mematikan lampu saat tidur–tidurnya nyenyak sekali.

“Dek!” Aku memanggil Vian, membangunkannya pelan. Vian bukan tipe yang susah dibangunkan, dia mudah terbangun hanya dengan suara.

Aku menuju jendela kamar adikku, membuka gorden yang tertutup rapat. Cahaya mulai memasuki kamar menyingkirkan kegelapan. Kamar Vian minimalis, dengan tembok berwarna biru langit, barang-barang yang ada di sana hanya meja dan kursi kecil di bawah jendela, ranjang di dekat pintu, serta sebuah lemari di sudut ruangan. Aku menoleh ke ranjang, Vian ternyata sudah bangun dan duduk di tepi ranjang.

“Selamat pagi, Kak!” Vian mengucek matanya.

“Pagi adekku yang tampan,” balasku. “Kakak kesiangan, Dek. Setelah cuci muka, bantuin kakak bersih-bersih halaman, ya.” Vian mengangguk.

Aku meninggalkan kamar Vian, mulai beberes rumah. Biasanya aku bangun sekitar jam empat, menikmati sejuknya udara pagi sebelum memulai aktivitas. Suasana terasa sangat damai. Tidak ada suara orang maupun kendaraan yang berlalu lalang, hanya ada sayup-sayup suara jangkrik yang mengerik dan syahdunya bisikan angin malam. Saat itulah, pikiran yang kusut menjadi jernih.

Vian masuk ke dalam rumah saat beras di magic-com telah menjadi nasi sepenuhnya. Dia membawa mangkuk di tangannya, diberi oleh bu Novi–tetangga kami. Bersyukur, aku tidak jadi keluar membeli lauk untuk sarapan. Aku menerima mangkuk yang dibawa Vian, meletakkannya di meja makan.

Matahari sudah naik, pukul tujuh tiga puluh ditunjukkan jam dinding yang ada di ruang tamu. Aku mengambil dua piring dan dua sendok dari rak piring, meletakkannya di meja. Vian mengambil dua gelas penuh minuman dari dispenser, lalu duduk di kursi. Aku mengambil nasi dari magic-com, tidak lupa mencabut kabelnya dan meletakkannya di atas meja.

Asap mengepul dari mangkuk yang berisi semur lele, menyebarkan aroma sedap di meja makan. Vian cekatan mengambil nasi dan satu potong ikan lele, lahap sekali dia makan. Aku tersenyum, memang sudah lama adikku itu tidak makan lauk favoritnya. Mau bagaimana lagi, bahan makanan di kulkas masih banyak, harus dihabiskan dulu.

“Kegiatanmu hari ini apa, Dek?” Aku bertanya pada Vian yang masih sibuk mengunyah

“Nggak ada Kak, paling nonton TV.” Vian menjawab setelah menelan kunyahan terakhirnya.

“Kamu nggak mau main sama teman?”

Vian tampak berpikir. Sebenarnya tidak banyak anak-anak yang seumuran Vian di lingkungan kami, hanya lima anak saja, itu pun tidak semuanya laki-laki. Jadi Vian memang agak jarang bermain dengan teman.

“Oh, iya, nanti mau main sepak bola di lapangan sebelah.” Vian melanjutkan makannya. Aku mengangguk.

“Mainnya hati-hati ya, Dek. Kakak nanti mau pergi sebentar, ada janji, jangan lupa kunci pintu dan pagar.” Vian mengangguk. Mulutnya masih sibuk mengunyah, menghabiskan makanan di piring.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status