Beranda / Romansa / SEMALAM DENGAN PREMAN / 6. Kukira Preman. Ternyata...

Share

6. Kukira Preman. Ternyata...

Penulis: Melisristi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-01 20:20:32

"Jangan panggil aku Tuan, Bi! Udah berapa kali  Zavier suruh buat enggak manggil Zavier dengan Tuan?"

"Eh iya-iya, maaf. Habisnya aden perginya lama, kan Bibi jadi rindu."

Zavier membuka tudung hoodienya lebih dahulu. Pria itu tampak santai sekali, sedang wanita yang tampak berumur 40 tahunan itu kembali berucap, "Aden cepat masuk! Di luar angin, tak baik untuk kesehatan aden."

Zavier menggeleng kecil. "Udah biasa, Bi. Gak usah khawatir kayak gitu lah," ucapnya kemudian melenggang pergi. Namun, langkahnya terhenti saat teringat sesuatu, sampai ia kembali berbalik dan berbisik pada wanita tersebut. 

"Oh iya , di belakang ada perempuan, Zavier harap Bi Hawa gak buat dia jantungan," ucapnya setelah itu masuk ke dalam. 

Wanita bernama Hawa itu menoleh pada seseorang perempuan. Di mana ... Carissa yang kini sedang mematung. Mematung bagaikan patung. 

"Ka--kalian, kalian si--siaapa?" tanya Carissa dengan gelagapan.

Hawa mengerutkan alisnya, wanita itu berjalan mendekat ke arah Carissa. 

"Bukannya seharusnya aku yang bertanya, kau siapanya Den Zavier?" tanya Hawa membuat Carissa mengidipkan mata untuk beberapa saat. 

**

"Preman?" seru Hawa tertawa renyah. "ya ampun nona, apa yang nona pikirkan?" Wanita yang tampak berumur lebih dari 40 tahunan itu lagi-lagi tertawa. Walau sudah keriput tapi wajahnya tampak masih muda saja. Jiwa mudanya terlihat dari ramahnya dalam berkata. 

Carissa jadi canggung sendiri. Apa salahnya ia bertanya akan sosok Zavier? Hanya bertanya apa dia preman atau bukan malah ditertawakan begini. Kan jadinya malu sendiri. 

Niat Carissa yang hendak pergi tadi malah tertahan karena mengetahui sebuah kebenaran, yang mana tentang Zavier sendiri. Seorang laki-laki yang Carissa kira seorang preman, jahat, kejam, arrogant, seorang pencuri bahkan sampai berpikir bahwa lelaki itu tak mempunyai masa depan terhempas sudah. Sebuah kebenaran yang membuatnya tercengang, bahwa Zavier ...? 

"Dia itu cuma pura-pura berpenampilan seperti itu. Dia bukan seorang preman, justru dia orang paling penting di kota ini." Ucapan Hawa benar-benar membuat Carissa tidak percaya. Otaknya belum bisa diajak kompromi, masih ngelag dengan pikiran berkecamuk. 

"Sebentar ya? Bibi bawain dulu teh hangat buat kamu."

"Eh jangan, Bi. Gak usah!" Carissa langsung menjawab cepat. Hatinya jadi merasa tak enak saja. 

"Gak pa-pa, tunggu sebentar." Hawa pergi dari meja makannya, sedang Carissa masih terdiam di kursi, mematung dengan pikiran yang kian berkecamuk. 

"Apa kenyataan ini? Preman itu ... siapa sebenarnya dia?"

Carissa menatap bangunan di sini, besar, mewah dan sangat mengkilau. Tak percaya ini, Carissa seperti berada di istana saja, semuanya serba mengkilau dan mewah. Menakjubkan.

Sekilas Carissa menunduk, menatap penampilan dirinya sendiri. Lusuh, itulah dirinya sekarang. 

Aish! Malu sudah dirinya. Dengan pakaian yang sudah lusuh ini membuat Carissa merasa bahwa ia tak pantas menginjakkan kakinya di rumah besar ini. Terasa canggung. 

Di sana Carissa melihat Hawa berjalan sembari membawa nampan yang berisi gelas dan camilan lain. Hati Carissa semakin tak enak saja. 

Ah, kenapa tiba-tiba ia jadi disudutkan dengan mereka yang memiliki sebuah rahasia? Apalagi dengan Zavier sendiri? Yang mana tadi ia sudah berprasangka buruk terhadapnya. 

"Minum dulu, biar pikiranmu lebih fresh!" ucap Hawa tersenyum tipis. Wanita itu duduk berhadapan dengan Carissa. 

Karena tenggorokannya yang sedari tadi memang sudah kering membuat Carissa mengambil gelas tersebut. Canggung sebenarnya, tapi karena haus ya sudahlah, ia akan menurunkan gengsinya lebih dahulu. 

Carissa menyeruput pelan teh hangat yang dibuatkan Hawa, begitu terasa enak saat kehangatan itu menelusur masuk ke dalam organnya. Walau merasa lega tapi pikirannya belum merasa lega atas pertanyaan ini. 

Tentang Zavier! Ia masih penasaran akan dirinya. 

Carissa menyimpan gelas tersebut, kemudian perempuan itu menatap Hawa dalam diam. Bingung juga mengawalinya seperti apa. 

"Kau masih penasaran tentang Den Zavier?" tanya Hawa membuat Carissa mengangguk. 

Hawa tersenyum tipis. "saya kira kau sudah tahu tentangnya, karena masalahnya dia tidak pernah membawa seorang perempuan ke rumahnya." 

Carissa terkejut, penjelas apalagi ini? 

"Jangankan membawa, dekat dengan perempuan saja di enggan."

"Maksud Bibi, saya perempuan pertama yang---" Belum sempat menuntaskan ucapannya Hawa sudah mengangguk-nganggukan kepala. 

"Itulah maksudku, makannya aku bertanya demikian," ucapnya. Carissa menggeleng, ia memang mengenal Zavier, hanya saja sebagai seorang preman yang sering meresahkan kompleknya. Dan pun ... pria itu yang selalu menjadi incaran para polisi, bagaimana bisa Carissa tidak mengenal dirinya? 

"Aku tidak mengenalnya, Bi. Makannya aku juga bertanya pada Bibi. Jadi, sebenarnya Zavier itu siapa?" tanya Carissa dengan jantung berdetak. Namun, sudah beberapa detik lamanya Hawa malah terdiam, tidak membuka suara. 

"Kau jangan panggil dia dengan nama Zavier!" ucap Hawa setengah berbisik, mata wanita itu menoleh terlebih dahulu ke anak tangga. Takut ada majikannya yang akan turun di sana. 

"Bagi kami, siapa saja yang memanggil namanya tanpa embel Tuan atau Aden, maka kepalanya akan dipotong!"

Refleks Carissa memegang lehernya. Yang benar saja? Hanya karena tak membawa embel Tuan atau Aden, kepala seseorang itu akan dipotong? Apa semua orang di sini seorang psycopat? 

Carissa merinding, mendadak nyalinya menciut. 

"Lalu, aku harus memanggilnya apa?" tanya Carissa. Baru saja ia kenal, jadi wajar jika ia mengatai laki-laki itu dengan nama Zavier. 

"Panggil dengan nama Tuan juga, kau akan selamat," ujarnya memberitahukan. 

Carissa terdiam, ia hanya mengangguk sebagai respon bahwa ia akan menurut. Memanggil namanya dengan nama Tuan. 

"Jadi, sekarang bisa Bibi bisa jawab siapa sebenarnya Tuan Zavier?" tanya Carissa lagi. Menyebut nama Tuan membuat Carissa merasa aneh, pasalnya ia kan baru kenal dengan pria itu, jadi masih terasa aneh. 

"Tuan Zavier ... dia ... eh---Den Zavier?" Tiba-tiba Hawa mengalihkan perhatiannya dalam menatap Carissa. Perempuan itu menoleh ke arah tangga di mana Zavier turun dengan penampilan khasnya. 

"Mana makanannya, Bi? Zavier udah lapar nih," ucap pria itu yang kini sudah berada di anak tangga. Pria itu berjalan menuju meja makan, sebelum itu ia menoleh pada Carissa yang juga menatapnya. Sedetik berikutnya pandangan keduanya terputus saat mendengar suara Hawa. 

"Bibi ambilin dulu ya Den. Kebetulan udah dimasak kok," ucapnya kemudian berlalu meninggalkan dua sejoli yang kini sama-sama terdiam. 

Baik Carissa maupun Zavier keduanya sama-sama terdiam. Entahlah, kenapa tiba-tiba suasana terasa canggung saja, membuat keduanya enggan untuk memulai sebuah pembicaraan. 

Ah bukan. Lebih tepatnya dari sisi Carissa. Perempuan itu menatap Zavier dengan tatapan terpaku. Penampilan pria itu benar-benar berbeda. Dengan kaos oblong bewarna hitam dan celana pendek bewarna mocca, membuat ketampanan Zavier bertambah dua kali lipat. Berbeda saat pria itu memakai celana bolong-bolong dengan pakaian yang tampak lusuh, pria itu seperti gelandangan saja. 

Tak hanya itu, rambut yang sering acak-acakan menutup ketampanan Zavier yang sebenarnya. Ah, pria itu bahkan ditatap menyeramkan kala berpenampilan seperti preman. Sekarang siapa yang mengira bahwa lelaki yang dikira preman, tak jelas asal-usul dan tak memiliki masa depan justru menjadi orang terpandang di kota ini? 

Teringat akan ucapan Hawa tadi, bahwa Zavier seseorang yang terpandang di kota ini. Jika benar begitu lantas ... kenapa pria itu harus berubah seperti seorang preman? Kenapa pria itu sering berkeliaran dikompleknya? Dan kenapa pria itu harus menutup identitas yang sebenarnya? 

Jadi, siapa sebenarnya Zavier ini? 

"Kau tidak---"

"Maaf untuk---"

Serempak keduanya membuka suara. Sudah membuka suara, barengan pula, membuat helaan napas dari Zavier terdengar pelan. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SEMALAM DENGAN PREMAN   Bab 39

    “Zav, Papa mau bicara sama kamu.” “Ah, Papa masuk aja, enggak dikunci kok,” jawab Zavier dari dalam kamar. Zayn yang mendapat respon masuk ke dalam kamar. Dilihatnya putra pertamanya yang tampak sedang bermain gitar di atas kasur king sizenya. Zayn ikut duduk di samping, melihat Zavier yang tampak acuh. Ah, sudah terhitung seminggu Zavier tampak galau, semua itu dikarenakan Carissa. Perempuan yang dia cintai tak bisa Zavier temukan. Ada perasaan bersalah saat Zayn mengingat bagaimana dirinya dahulu, ia terlalu menjadikan Zavier satu-satunya penghasil uang. “Ada apa Pa?” tanya Zavier tanpa menoleh. Matanya hanya menatap fokus buku yang berisi not petikan gitar. “Papa mau pergi,” ucap Zayn pelan. Tak ada tanggapan dari Zavier. “Papa mau sembuhin Zafira di luar negeri, selain itu Papa punya perusahaan yang harus Papa kembangkan di sana. Kamu … tidak apa-apa kalau Papa tinggal sendiri?” tanya Zayn hati-hati. Bukan tak ingin mengajak Zavier, hanya saja Zayn tau bahwa Zavier tak per

  • SEMALAM DENGAN PREMAN   Bab 38

    “Baiklah, mari kita bertemu, Rissa.”Zavier tersenyum binar kala ia menatap masa depan di depan sana, yang nyatanya hanyalah sebuah jalanan kosong tanpa ada kendaraan apapun. Zavier menyugarkan rambutnya terlebih dahulu lewaf jari-jemarinya, lantas pria itu memakai topi untuk menutup atas kepalanya, tak lupa, masker ia gunakan pula untuk menutupi sebagian wajahnya. Ya, tepat hari ini Zavier akan pergi untuk menemui Carissa. Perbincangan dengan sang Papa saat itu menjadi topik hangat untuk dibicarakan di masa depan, karena nyatanya Papanya mendukung ia untuk mendapatkan cintanya.. Cinta? Yang benar saja, bahkan Zavier belum berani untuk mengatakan cinta itu. Ia masih mengumpulkan keberanian dalam menyatakan cinta tersebut. Permintaan Zayn dalam mengubah penampilannya tidak Zavier turuti. Dimintai menjadi gelandangan? Tentu saja ditolak Zavier. Enak saja! Mau ditaruh di mana mukanya bilamana nanti ia bertemu dengan Carissa? Malulah! Sebelumnya Zayn memang sempat menolak, menegaskan

  • SEMALAM DENGAN PREMAN   37. Mencari Keberadaan Carissa

    "Zav, kita harus pergi dari tempat ini!" "Apa?" Kening Zavier mengernyit, mendengar penuturan Zayn membuatnya menatap heran. "Tempat ini tidak aman, kita harus pindah dari sini," ucap Zayn. Setelah lama berkecamuk mengenai isi kepalanya, akhirnya Zayn memilih untuk pergi. Ia tidak ingin egois, ia tidak ingin kembali menyiksa putranya, apalagi menjadikan putranya adalah bonekanya. Tidak! Sudah cukup! Sekarang tidak lagi. Ia akan memperlakukan Zavier layaknya putra tercintanya, memberinya kasih sayang, nasehat serta menjaganya. Ia tidak ingin ada pemaksaan kembali, mengambil bahagia serta kebebasannya. "Tapi kenapa, Pah?" Zavier tetap bertanya membuat emosi Zayn sedikit naik. Kesal karena putranya ini banyak bertanya. "Turuti saja apa yang Papa katakan! Mengerti!" ucapnya tegas. Zavier terdiam, bungkam. "Tapi Zafira akan ikut, kan?" "Tentu saja Zafira akan Papa bawa juga, demi keselamatan kita, kita harus bisa bersembunyi."Zavier menatap bingung, perkataan Zayn membuatnya teri

  • SEMALAM DENGAN PREMAN   36. Hal Yang Disembunyikan

    "Tapi tempat ini ...?""Adik kamu di rawat di rumah sakit ini, Zav. Dia ... dia sakit gangguan jiwa." Ucapan Zayn membuat Zavier melebarkan pupil matanya. "J--kadi, selama ini ... Zafira gangguan jiwa?" Zavier menatap tidak percaya. "tidak, tidak mungkin!""Kau tidak akan percaya sebelum kau melihat keadaannya secara langsung," ujar Zayn kemudian melenggang pergi. Zavier mengikuti dari belakang, perasaannya kini bercampur, antara percaya dan tidak ia benar-benar belum mempercayainya. Nyatanya saat ini Zayn menunjukkan rumah sakit khusus bagi orang yang gangguan jiwa. Semua orang di sini sakit, gila dan ... tidak waras, setiap orang yang keduanya lewati memandang dirinya dengan tatapan tajam, adapula yang meledek, atau mungkin tertawa sendiri. Zavier mengepalkan tangannya dalam diam, tak menyangka bahwa sang adik ternyata ada di sini. Dalam beberapa koridor yang sudah Zavier lewati, Zayn akhirnya berhenti di sebuah ruangan. Ruangan itu tertutup, namun dibagian pintu utama terdapat

  • SEMALAM DENGAN PREMAN   35. Kebenaran Mengenai Adik Zavier

    Zavier mengerjapkan matanya tatkala sebuah cahaya masuk ke dalam retina matanya. Dalam remang-remang ia mengerjap matanya, dan perlahan mata itu mulai terbuka. Zavier terdiam, menatap langit-langit. Selimut hangat membungkus tubuhnya, tersadar bahwa ini … kamarnya. “Sial!” Zavier mengusap kasar wajahnya, mengacak rambutnya frustasi. Ditengah kesialan yang Zavier rasa tiba-tiba pintu terbuka. “Kau sudah bangun, putraku?” Dia Zayn, berjalan masuk menuju ranjang Zavier. Zavier terurung emosi sekaligus kesal setelah mendengar suara itu. Ia membuang muka ke arah jendela, merasa tak sudi jika harus melihat Papanya yang benar-benar egois terhadap dirinya. “Makan ini, dua bulan lebih berlalu makananmu pasti tidak sehat dan bergizi, lihat, badanmu bahkan terasa kurusan,” ucapnya menyimpan nampak yang ia bawa. Suara ‘tak’ yang terdengar tak mengubris tatapan Zavier untuk menoleh. Ranjang Zavier sedikit bergerak, Zayn duduk di bibir ranjang tepat di samping Zavier. Zavier sedikit bergeser

  • SEMALAM DENGAN PREMAN   34. Membawa Pulang Zavier

    Zavier segera berlari menuju jalan yang dipenuhi oleh semak-semak, mengubris setiap semak yang ada, entah lebat ataupun tidak ia lalui dengan perasaan berat. Di satu sisi ia memikirkan nasibnya apabila tertangkap, namun di sisi lain ia memikirkan keadaan Carissa di belakang sana. Ah, hatinya tak tentu arah, bercampur baur dengan perasaan mengganjal. Tapi untuk sekarang tampaknya ia harus selamat terlebih dahulu. Biarlah urusan dengan Carissa, dia akan mencari tahu tentangnya apabila waktu memang mengizinkannya untuk bertemu. Sebuah jalan raya Zavier temukan di depan sana. Rasa gembira karena ia berhasil keluar membuatnya tersenyum membanggakan diri. “Yes! Selamat!” ucapnya semakin cepat berlari. Zavier menuju jalan raya tersebut, saat ia berada di sana, tak ia temukan kendaraan yang melintas. “Ayolah, ke mana roda empat ini berada?” ucapnya resah sembari menatap kiri-kanan, berharap ada kendaraan yang melintas. Jika ada tentulah ia bisa ikut untuk ke kota. Sambil menunggu kend

  • SEMALAM DENGAN PREMAN   33. Janji Yang Diingkari

    “A--apa ini? Pa--papa? Papa menuju ke sini?!”Saking terkejut ponsel Zavier sampai terjatuh pula. Tidak lama setelah itu, sering ponsel terdengar membuyarkan lamunan Zavier yang masih mencerna.Segera Zavier angkat, itu dari Alan. “Kau di mana hah?! Daritadi aku mencoba menghubungimu, tapi kau malah asik sendiri?” Alan membuka suara dengan nada geram. “ini– apa maksud semua ini?” tanya Zavier memastikan ulang akan Zayn yang tau keberadaannya. Bagaimana bisa? “Sekarang kau di mana?” tanya Alan. Zavier menjawab cepat, ia memberitahukan tempat di mana ia berada kepada Alan. “Apa kau tidak waras, Zav?! Tempat itu tempat yang sering Papa kamu kunjungi dahulu!”“Apa?!” Zavier berdiri dengan terkejut. “Iya, dan jelas Papa kamu akan tau tempat itu, bahkan jika kau nanti kabur, dia akan tetap menemukanmu!”Zavier mulai panik, sialnya! Carissa masih tak kunjung datang membuat Zavier harus memilih antara menunggu sampai ditangkap atau kabur dan memilih selamat? “Lalu apa yang harus aku lak

  • SEMALAM DENGAN PREMAN   32. Dibuat Resah

    Sudah 30 menit berlalu, tapi Carissa belum juga keluar membuat Zavier yang terduduk diam merasakan resah. Beberapa kali Zavier melirik ke arah di mana tadi Carissa pergi dengan Erwin, berharap Carissa segera hadir dan menemuinya. Namun tak urung, Carissa masih tak menunjukkan batang hidungnya. “Ck! Ke mana mereka? Kenapa mereka belum juga ke sini?” ucap Zavier resah. “apa jangan-jangan Erwin menculik Carissa?” Pikiran Zavier berkecamuk akan keadaan Carissa, mengenai hal buruk pun ia pikirkan. “Tidak, tidak mungkin. Risa pasti baik-baik saja.” Zavier menggelengkan kepalanya, menolak keras pikirannya yang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Zavier berdiri dari tempatnya, berjalan ke tempat yang Erwin dan Carissa masuk. Sebuah tempat yang dibatasi sebuah tembok besar, terdapat pintu di tengah-tengah hanya saja Zavier tidak tau cara membuka pintu tersebut. Dicoba pun tidak bisaa, pasalnya pintu tersebut tidak ada knop ataupun gagang pintu. Pintu berbahan kayu itu hanya tergambar polos s

  • SEMALAM DENGAN PREMAN   31. Kesembuhan Zayn

    “Baiklah, dengarkan ini!” Mendadak ruangan itu terdiam sunyi, tak ada suara, bahkan napas pun terasa ditahan saja. “Sebenarnya … aku tidak akan memberitahukannya selain pada Clara sendiri!” Sudah lama terdiam, serius, dan yang keluar dibibir Erwin hanha kalimat itu? “Kau mengusirku dengan cara halus, heh?” Zavier bersuara. Entah kenapa ia jadi kesal, benar-benar kesal pada sosok pria di hadapannya ini. “Bukan hanya mengusir, tapi kau memang tidak diperlukan untuk kami,” jawab Erwin enteng. Zavier mengepalkan tangannya, saat hendak mengangkat tangan untuk membalas perlakuan Erwin, tangan itu langsung dihentikan oleh Carissa. “Tolong untuk tidak berantem,” ucap Carissa menatap Zavier. Perempuan itu menenangkan Zavier dengan cara mengenggam tangannya. “Tidak usah sungkan, Kak. Katakan saja, Zavier … Zavier pria yang baik. Dia yang sudah menolongku untuk sampai ke sini. Jika bukan karena dia, mungkin aku tidak akan bisa bertemu denganmu ataupun mengetahui kebenaran ini.” Ucapan Ca

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status