Naura segera bangkit karena ia tidak mungkin berlama-lama di sana. Ia melajukan motornya yang sudah lecet akibat terjatuh, menuju ke kantor. Hari ini, Davin ada meeting, dan Naura harus menunggu pria itu sampai selesai rapat dengan Kepala Divisi di kantor Abimanyu Group.
Saat Naura tiba di kantor, Aldo melihat kekasihnya mengalami luka lecet dan segera menghampiri. “Kamu kenapa, sayang?” tanya Aldo. Sebetulnya, Naura sedang marahan dengan kekasihnya. Ketika ia meminta tolong pada Aldo untuk memberinya pinjaman melunasi utangnya pada rentenir, bukannya uang yang didapatkan, Naura justru menerima caci maki dari kekasihnya. “Jatuh,” jawab Naura dengan suara serak. “Jatuh di mana? Kenapa bisa jatuh? Kamu ini setiap kali bawa motor selalu tidak pernah hati-hati,” kata Aldo dengan nada ketus. Ia melihat ke arah sepeda motor yang ia hadiahkan untuk Naura, kini lecet, dan kemarahannya pun memuncak. “Kamu ini memang tidak pernah telaten! Dikasih apa pun, tidak pernah dijaga dengan baik. Sekarang lihat! Aku paling tidak suka melihat motor dalam kondisi lecet begini. Keluar uang lagi, kan?!” seru Aldo dengan suara menggelegar, membuat beberapa orang yang lewat di parkiran merasa kasihan pada Naura. “Nanti akan aku perbaiki. Setelah aku perbaiki, ambil saja lagi motor itu. Aku tidak membutuhkannya,” jawab Naura dengan nada kesal. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa kekasihnya sangat pelit, bahkan tidak memperbolehkan barang yang diberikan lecet sedikit pun. “Naura, tunggu!” teriak Aldo memanggil, namun Naura terus masuk ke dalam lift yang khusus digunakan para karyawan, menuju lantai 10 tempat meja kerjanya berada, persis di depan ruang kerja sang atasan. Aldo masih mengekor di belakang. Setelah Naura duduk di meja kerjanya, Aldo kembali bicara. “Bukan begitu maksudku, sayang. Tapi kamu memang kurang telaten, kurang hati-hati,” kata Aldo lagi. Naura, yang perasaannya sedang tak menentu, uang satu miliar telah dirampok, kini dia melampiaskan rasa kesalnya pada sang kekasih. “Cukup ya, Aldo! Aku muak dengan sikapmu yang seperti ini. Aku janji, setelah aku gajian, aku akan perbaiki motor itu dan aku kembalikan padamu. Tapi setelah itu, kita putus! Aku lelah pacaran dengan orang pelit sepertimu!” teriak Naura, membuat Aldo membeku mendengar permintaan putus dari kekasihnya. “Apa? Kamu mau putus dariku? Sampai kapan pun, itu tidak akan pernah terjadi, Naura! Aku hanya memintamu untuk hati-hati dan telaten merawat barang, hanya itu! Tapi kamu selalu saja mengancam dengan kata putus!” sahut Aldo marah, lalu pergi meninggalkan Naura di meja kerjanya. Naura benar-benar menangis tersedu-sedu. Tanpa ia sadari, Davin sudah berdiri di depan meja kerjanya setelah baru saja menyelesaikan meeting dengan Kepala Divisi. Alis Davin mengerut, merasa aneh melihat Naura seperti itu. Dengan suara tegas, ia meminta Naura masuk ke ruang kerjanya. “Ke ruang kerjaku sekarang,” ucapnya. Naura tersentak kaget karena tidak menyadari kehadiran Davin. Ia segera menghapus air matanya yang membasahi wajah, lalu masuk ke dalam ruang kerja sang atasan. “Ada apa?” tanya Davin saat melihat Naura menangis dan mengalami luka lecet. Sambil menangis tersedu, Naura menjawab, “Uang yang Anda berikan tadi dirampok preman, Pak Davin.” “Apaaaaaaa?!” Davin berteriak, terkejut. Yang awalnya sudah duduk, kini ia kembali berdiri, menatap tajam ke arah Naura. “Uang sebesar satu miliar itu dirampok? Apa kamu sudah gila, Naura? Bagaimana mungkin orang tahu kamu membawa uang sebanyak itu?” tanya Davin, marah. “Pak... Antonio, rentenir yang saya pinjami uang, meminta saya memberikannya uang tunai. Dia mengirimkan alamat agar saya menyerahkan uang itu di sana. Namun, sebelum saya sampai di lokasi, ada empat orang preman yang merampok uang tersebut,” tutur Naura, membuat Davin memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. “Kamu ini bodoh atau apa, Naura? Uang sebanyak itu kamu bawa seorang diri tanpa pengawalan dari siapa pun!” hardik Davin. Naura tak mampu menjawab. Ia hanya terus menunduk, air matanya berderai. “Keluar dari ruanganku!” usir Davin, tanpa memberi kesempatan Naura untuk berkata lebih lanjut.Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper