Home / Urban / SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT / Dasi merah di lift eksklusif

Share

Dasi merah di lift eksklusif

Author: Nola N.
last update Last Updated: 2025-10-24 14:22:41

​Elara keluar dari kantor Ares dengan jantung berdebar kencang. Dasi sutra merah milik Ares melingkar di pergelangan tangannya, terasa panas dan memalukan. Itu bukan perhiasan; itu adalah belenggu, simbol kepemilikan yang dipamerkan.

​Ia mencoba menyembunyikannya di balik pergelangan kemeja, tetapi warna merah mencolok itu sulit disembunyikan. Ia kembali duduk di meja kerjanya, yang kini terasa seperti sangkar.

​Baru lima menit ia berusaha memproses jadwal Ares, seorang asisten senior dari Divisi Keuangan, Brian, menghampirinya. Brian adalah pria sopan yang dulu pernah bekerja sama dengannya dalam beberapa proyek.

​"Elara? Saya dengar kamu dipromosikan. Selamat," sapa Brian dengan senyum ramah.

​Elara mendongak, berusaha tersenyum sopan. "Terima kasih, Brian. Ada yang bisa saya bantu?"

​Brian mencondongkan tubuh sedikit, berbicara pelan. "Aku hanya ingin tahu, apakah ada yang salah? Wajahmu pucat. Dan..." Brian mengedipkan mata, "ada apa dengan dasi Tuan Ares di tanganmu? Bukankah itu dasi khusus koleksinya?"

​Elara langsung menyembunyikan tangannya di bawah meja. Rasa panik membanjiri dirinya. Ini dia. Ujian pertama.

​"Oh, ini? Ini hanya gimmick dari Tuan Ares. Beliau ingin saya memastikan saya tidak kehilangan barang pribadinya saat lembur semalam," dusta Elara cepat, berharap Brian tidak terlalu curiga.

​Tepat saat Brian hendak membalas, pintu kantor Ares terbuka.

​"Brian," suara Ares dingin dan mematikan.

​Brian langsung berdiri tegak. Ares berdiri di ambang pintu, tatapannya membara, langsung tertuju pada Brian. "Apa yang kau lakukan di area kerjaku?"

​"Maaf, Tuan Ares. Saya hanya memberi selamat pada Nona Elara atas promosi. Saya akan segera kembali ke Lantai 40," jawab Brian, suaranya dipenuhi rasa takut.

​Ares tidak beranjak. Matanya melirik ke meja, lalu ke tangan Elara yang tersembunyi. "Nona Elara sedang sibuk. Dia tidak dibayar untuk mendengar gosip murahan di sini. Jika kau punya urusan bisnis, kirim email ke alamat formalnya. Sekarang pergilah."

​Perintah itu mutlak. Brian membungkuk sedikit dan bergegas menuju lift. Elara merasakan amarah pada Ares yang menggunakan kuasanya untuk mempermalukan orang lain.

​Begitu Brian pergi, Ares kembali ke kantornya, meninggalkan pintu terbuka sedikit. "Dasi itu tidak berfungsi jika kau menyembunyikannya, Elara. Aku ingin semua orang tahu kau sibuk denganku."

​Sentuhan verbal itu lebih menyakitkan daripada sentuhan fisik.

​Sore hari, pukul 17.30.

​Elara ditugaskan untuk mengurus penjemputan Tuan Leo, CEO perusahaan rekanan dari Hong Kong. Ares bersikeras agar Elara mendampinginya langsung ke bandara untuk menjemput.

​Mereka menunggu di private lift yang hanya bisa diakses oleh Ares. Elara berdiri canggung, masih dengan dasi merah yang kini ia biarkan terlihat, sebagai tanda kepatuhan.

​Keheningan di dalam lift pribadi itu menyesakkan, membuat Elara tidak nyaman. Ia memberanikan diri.

​"Tuan Ares, bisakah kita hentikan semua ini? Tentang dasi, tentang kontrak... Saya akan bekerja sangat keras, saya akan memberikan semua yang saya miliki untuk perusahaan, tapi—"

​"Tidak, Elara," potong Ares, suaranya tegas. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, menjebak Elara di sudut lift. Dinding lift yang terbuat dari kaca gelap memantulkan bayangan mereka yang kini terlalu dekat.

​"Kau melayani dua tuanku sekarang. Perusahaan, dan aku. Dan aku akan pastikan kau melayani tuanku yang kedua dengan lebih baik," bisik Ares, mendekatkan wajahnya.

​Elara memejamkan mata. "Mengapa Anda harus menjadikan hidup saya seperti ini? Saya bukan mainan, Tuan."

​"Aku tahu kau bukan mainan," jawab Ares, nadanya berubah serius. Ia mengangkat tangan kanannya, menyentuh pergelangan tangan Elara di mana dasi itu terikat. Jemarinya yang dingin mengusap simpul dasi merah itu.

​"Aku melakukan ini karena aku tidak percaya pada wanita yang kutinggal sendirian. Aku tidak percaya pada janji yang tidak diikat kontrak," kata Ares, tiba-tiba terdengar pahit. "Tugasku bukan hanya menjalankan perusahaan. Tugasku adalah memastikan kau tetap berada di sisiku. Dengan cara apa pun."

​Pengakuan itu terasa seperti luka batin yang bocor. Elara menyadari, kontrol Ares adalah manifestasi dari ketidakpercayaan yang mendalam.

​"Ketidakpercayaan Anda tidak ada hubungannya dengan saya, Tuan. Saya tidak seperti mereka," tantang Elara, suaranya tegas.

​Ares hanya menatapnya lama, lalu menyeringai sinis. Ia menarik simpul dasi itu, memperketatnya sedikit. Sensasi dasi yang mencekik pergelangan tangan Elara terasa seperti ciuman yang kejam.

​"Semua wanita sama, Elara. Tapi aku sudah mengikatmu dengan cek, dan dengan ancaman. Kau tidak akan pergi. Dan kau akan belajar untuk hanya fokus padaku."

​Tangan Ares kemudian bergerak naik, menyentuh pipi Elara, lalu ke tengkuknya. Ia menarik tubuh Elara lebih dekat. Elara bisa merasakan panas tubuh Ares dan aroma cologne yang memabukkan.

​Tepat saat bibir Ares nyaris menyentuh bibir Elara, lift terbuka di lobby utama, dipenuhi para eksekutif yang menanti.

​Ares mundur satu langkah, wajahnya tenang seolah tak terjadi apa-apa. Ia menatap Elara yang terengah-engah.

​"Bersiaplah, Elara. Tuan Leo tidak suka menunggu. Dan pastikan dasiku tetap terikat di sana. Itu adalah penanda," bisik Ares, tatapan matanya penuh janji terlarang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Sandiwara Di Atas Kemewahan

    ​Elara berdiri mematung di tengah suite Presiden yang mewah di The Peninsula. Aroma laut dan kemewahan yang mahal memenuhi udara. Di hadapannya, Ares baru saja mengunci pintu kamar tamu, secara efektif memaksanya untuk berbagi kamar utama.​"Anda tidak punya hak melakukan ini, Tuan Ares," ujar Elara, suaranya berusaha tegas, meskipun ia tahu protesnya tidak ada gunanya.​Ares melepaskan blazernya, berjalan santai menuju jendela besar yang memperlihatkan pemandangan Pelabuhan Victoria yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi Hong Kong. "Hak? Kau lupa, Elara? Hakku kuberikan padamu dalam bentuk cek yang menyelamatkan ibumu. Kau tidak punya hak untuk menuntut apa pun selain kepatuhan."​Ares berbalik, seringainya meremehkan. "Lagipula, bagaimana aku bisa meyakinkan Tuan Leo bahwa kita adalah pasangan yang harmonis jika kau kabur ke kamar sebelah setiap malam? Aku perlu melatihmu. Physical proximity adalah bagian dari sandiwara ini."​Elara mengepalkan tangan. Ia harus melawan, tetapi

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Penanda Tangan Di tempat Asing

    ​Elara menghabiskan waktu dua jam yang diberikan Ares dalam keadaan syok. Ia tidak bisa bergerak dari meja tempat ia didudukkan. Tunangan Palsu. Status baru itu terasa lebih berat dan konyol daripada label Asisten Pribadi di kartu ID-nya. Ares telah mendorongnya ke dalam peran yang tak hanya mengikat fisiknya, tetapi juga reputasi sosialnya. ​Ia akhirnya memaksa dirinya bangun, memungut kalung perak ibunya yang patah dari lantai marmer. Kalung itu terasa dingin dan rapuh di tangannya, seperti sisa-sisa harga dirinya. ​Ketika ia berjalan ke kamar tidur utama, ia melihat kamar itu sangat luas, didominasi warna gelap dan pemandangan kota. Sebuah tas koper mewah sudah tersedia di atas ranjang king size. ​Elara mendekat. Di dalamnya, sudah tersedia paspor darurat, dokumen perjalanan, dan satu set pakaian yang Ares siapkan untuknya. Pria itu benar-benar mengendalikan setiap aspek kehidupannya, bahkan logistiknya. Ia merasa marah, namun rasa amarahnya tertutup oleh kepanikan. Hong Kong.

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Pertempuran kenikmatan

    Pengakuan Elara di ruangan kaca itu memicu respons yang eksplosif dari Ares. Ia telah mengakui bahwa ia milik Ares, dan kemenangan itu membuat Ares menyeringai puas, sebuah kemenangan yang jauh lebih berarti daripada akuisisi bisnis mana pun.​"Bagus, Elara," kata Ares, suaranya dalam dan penuh hasrat. "Aku suka wanita yang jujur dengan perasaannya. Dan kebencianmu... itu hanya akan membuatku semakin bersemangat untuk membuatmu melupakannya dengan sentuhanku."​Ares menarik tubuh Elara lebih dekat. Sentuhannya kini menjadi lebih intens, menuntut, dan tanpa ampun. Elara merasakan semua kontrol dirinya menghilang. Sentuhan Ares terasa familiar, dan tubuhnya yang lelah melawan kini mulai menyerah. Ia tahu ia membenci Ares karena telah memaksanya, tetapi bagian gelap dalam dirinya mulai mengakui bahwa ia menginginkan sentuhan kuat dan dominasi itu. Ini adalah kenikmatan yang lahir dari keputusasaan, dan ia takut mengakui betapa adiktifnya hal itu.​Ares merobek gaun sutra di bahu Elara, s

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Permainan di ruang kaca

    ​Ares menarik Elara menjauh dari meja makan, membawanya ke sebuah ruangan di sudut penthouse. Ruangan itu seluruhnya berdinding kaca, menghadap langsung ke kota di bawah. Cahaya bulan menerangi ruangan itu, menciptakan siluet yang dramatis.​"Mengapa kita ke sini, Tuan?" tanya Elara, suaranya tercekat. Ia tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia harus terus melawan melalui kata-kata.​"Melihat pemandangan, tentu saja," jawab Ares, nadanya sarkastis. "Dan merayakan betapa jauhnya kita bisa jatuh bersama."​Ares menyudutkan Elara di dekat dinding kaca, di mana pemandangan kota terlihat seperti lukisan. Ia tidak menyentuh Elara, tetapi auranya sangat mengintimidasi.​"Aku akan memberimu dua pilihan, Elara," kata Ares. "Malam ini, kau bisa memilih untuk melayaniku sebagai asisten yang patuh, atau sebagai wanita yang menginginkanku."​Elara terdiam. Pilihan itu jebakan. Jika ia memilih yang pertama, Ares akan tetap menggunakan kuasanya untuk memaksanya. Jika ia memilih yang kedua, ia mengakui

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Gaun hitam dan penghancuran emosional

    ​Malam itu, pukul 20.30.​Elara berdiri di depan cermin, di dalam kamar mandi kantor Lantai 45. Gaun hitam satin yang ia kenakan terasa berat, bukan karena bahannya, melainkan karena beban kehinaan. Itu adalah gaun termahal dan paling terbuka yang pernah ia kenakan. Potongan V-neck rendah dan belahan paha tinggi itu terasa seperti kostum yang dipaksakan. Ia merasa seperti trofi yang dipoles untuk dipamerkan dan dikonsumsi.​"Ini demi Ibu," bisik Elara pada dirinya sendiri, menguatkan hati. Ia mencoba menghubungi ibunya, memastikan kondisinya stabil pasca-operasi. Laporan bahwa ibunya sudah pulih memberinya sedikit kedamaian, pengingat bahwa semua kehinaan ini ada tujuannya.​Pukul 21.00. Elara sampai di penthouse Ares. Ia disambut oleh pintu yang terbuka otomatis. Ares sudah menunggunya di ruang tamu, mengenakan celana bahan gelap dan kemeja silk hitam yang sedikit terbuka di dada. Ia terlihat santai, namun auranya tetap dominan dan berbahaya.​"Kau terlambat dua menit," kata Ares, ta

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Asisten dengan belenggu sutera

    Pagi hari, pukul 07.00.​Elara terbangun di sofa mewah penthouse Ares, dengan aroma cologne mahal yang tersisa di bantal sutra. Semalam suntuk Ares tidak kembali. Rasa lelah dan ketegangan membuat tidurnya nyaris tidak berkualitas. Ia segera menuju kamar mandi utama. Di sana, ia menemukan amenities mewah dan bahkan satu set pakaian baru—kemeja putih rapi, rok pensil hitam, dan blazer elegan—yang ukurannya pas. Ares benar-benar menyiapkan segalanya, seolah ia mempekerjakan model pribadinya.​Setelah merapikan diri, Elara menemukan notes baru di atas meja dapur marmer.​Aku akan menjemputmu. 08.00. Jangan terlambat.​— Ares.​Tak ada pilihan. Elara hanya punya waktu sepuluh menit untuk sarapan buah yang sudah tersedia dan mengatur mentalnya. Ia merasa seperti boneka yang jadwalnya diatur tanpa ampun.​Tepat pukul 08.00, Ares muncul di pintu penthouse, wajahnya terlihat letih karena begadang semalam, namun auranya tetap sekuat baja.​"Kau berani sekali meninggalkan markasku sendirian," s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status