Home / Urban / SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT / Penanda di depan mata publik

Share

Penanda di depan mata publik

Author: Nola N.
last update Last Updated: 2025-10-24 14:24:48

​Elara melangkah keluar dari lift dengan langkah gemetar, tubuhnya masih terasa panas oleh intensitas beberapa detik di dalam. Ia berusaha keras mengabaikan tatapan sinis dan penasaran dari para eksekutif yang melihatnya keluar bersama Ares. Dasi merah itu, yang kini melilit pergelangan tangannya, terasa semakin mencekik.

​Ares sama sekali tidak terpengaruh. Ia berjalan tenang, mendominasi lobby utama Chandra Group. Ia tidak meletakkan tangan di punggung Elara seperti seorang gentleman, melainkan membiarkan Elara berjalan sedikit di belakangnya—sebagai asisten, sekaligus sebagai properti yang harus mengikuti pemiliknya.

​"Mobil sudah menunggu," kata Ares tanpa menoleh. "Kita tidak punya waktu untuk drama, Elara. Fokus pada tugasmu."

​Di luar gedung, sedan mewah hitam yang disopiri oleh pengawal pribadi Ares sudah menunggu. Ares membukakan pintu untuk Elara, sebuah tindakan yang seharusnya sopan, tetapi terasa seperti perintah. Saat Elara masuk, ia mengamati jemari Ares di tepi pintu mobil.

​"Tugasmu: sambut Tuan Leo dengan semua data Proyek Titan di luar kepala," perintah Ares, lalu ia masuk ke sisi Elara, menutup pintu. Ruang sempit di dalam mobil langsung dipenuhi oleh aroma maskulin Ares.

​Selama perjalanan ke Bandara Halim, Elara menyibukkan diri membaca ulang ringkasan proyek, mencoba mengabaikan kehadiran Ares yang duduk terlalu dekat. Namun, Ares tidak membiarkannya tenang.

​"Apakah dasiku terasa longgar, Elara?" tanya Ares, tiba-tiba.

​Elara menoleh, bingung. "Tidak, Tuan. Tali dasinya sudah kuat."

​"Bagus," Ares menyeringai, tidak melihat Elara, tetapi fokus pada ponselnya. "Aku hanya ingin memastikan pengingatmu tetap melekat. Beberapa pria di lobi tadi menatapmu terlalu lama. Itu mengganggu konsentrasiku."

​Pengakuan kecemburuan itu membuat Elara marah. "Tuan Ares, para eksekutif itu menatap dasi Anda. Dan mereka menatap karena Anda mempermalukan saya dengan mengikat benda ini di tangan saya."

​Ares meletakkan ponselnya, wajahnya kini berbalik sepenuhnya ke arah Elara. Matanya dingin, tapi ada kilatan aneh. "Mempermalukan? Tidak, Elara. Aku sedang mengklaarkan status. Mereka harus tahu bahwa asisten pribadiku tidak tersedia, tidak untuk mereka."

​"Dan Anda melakukannya di depan umum? Bagaimana jika ini merusak reputasi perusahaan?" tantang Elara.

​Ares tertawa kecil, tawa yang tidak menyenangkan. "Reputasi Chandra Group didirikan di atas kuasa, Elara. Bukan moral. Dan reputasiku... reputasiku hanya akan semakin kuat jika aku menunjukkan bahwa aku bisa mengklaim apa pun yang kuinginkan."

​Elara terdiam. Ia baru menyadari betapa dalamnya lubang yang ia gali. Reputasinya adalah nol, dibandingkan dengan ego dan kuasa Ares.

​Setibanya di Bandara, mereka langsung menuju private jet Tuan Leo. Tuan Leo, seorang pria paruh baya yang tenang dan cerdik, menyambut mereka dengan hangat.

​"Ares, teman lamaku! Dan ini pasti asisten pribadimu yang baru. Aku dengar kau merekrut yang terbaik," sapa Tuan Leo.

​Ares memimpin. Ia meletakkan tangan di pinggang Elara, sentuhan gentleman yang berlebihan, dan menarik Elara sedikit lebih dekat ke sisinya. Sentuhan itu terasa menjerat.

​"Dia yang terbaik, Leo," jawab Ares, nadanya penuh kepemilikan. "Elara Putri. Dia mengurus semua detailku."

​Saat Tuan Leo menyalami Elara, matanya berhenti sejenak pada dasi merah di pergelangan tangan Elara.

​"Dasi yang unik, Nona Elara," komentar Tuan Leo, tersenyum kecil.

​"Itu adalah dasiku," potong Ares cepat, menjawab pertanyaan yang tidak terucapkan itu. "Aku memintanya memakainya. Aku suka memastikan semua asetku berada dalam jarak pandang."

​Kata "aset" itu menusuk hati Elara. Ia mengatupkan rahangnya, memaksa dirinya tersenyum profesional. Di depan Tuan Leo, seorang klien bisnis yang penting, ia tidak bisa menunjukkan amarahnya.

​Tuan Leo mengangguk mengerti, ekspresinya berubah. Ia tidak melihat Elara sebagai asisten lagi, tetapi sebagai tanda power play Ares.

​Setelah negosiasi awal yang singkat di mobil Tuan Leo, mereka berpisah. Elara kembali ke mobil Ares, terkejut menyadari bahwa tangan Ares masih melingkar posesif di pinggangnya, bahkan ketika mereka sendirian.

​Ares menatap Elara, matanya berkilat gembira. "Kau berhasil, Elara. Leo tahu kau bukan hanya asisten. Kau adalah penanda. Dan penanda itu penting."

​Ares mendekat, membuka ikatan dasi di pergelangan tangan Elara, namun ia tidak melepaskannya. Ia menarik Elara mendekat, memaksanya bersandar ke sandaran kepala mobil.

​"Selamat atas tugas pertamamu yang berhasil," bisik Ares, suaranya mengandung janji dan ancaman. "Sekarang, kita rayakan. Di apartemenku. Aku ingin melihat apa lagi yang bisa dilakukan aset berhargaku ini selain mengurus file."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Sandiwara Di Atas Kemewahan

    ​Elara berdiri mematung di tengah suite Presiden yang mewah di The Peninsula. Aroma laut dan kemewahan yang mahal memenuhi udara. Di hadapannya, Ares baru saja mengunci pintu kamar tamu, secara efektif memaksanya untuk berbagi kamar utama.​"Anda tidak punya hak melakukan ini, Tuan Ares," ujar Elara, suaranya berusaha tegas, meskipun ia tahu protesnya tidak ada gunanya.​Ares melepaskan blazernya, berjalan santai menuju jendela besar yang memperlihatkan pemandangan Pelabuhan Victoria yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi Hong Kong. "Hak? Kau lupa, Elara? Hakku kuberikan padamu dalam bentuk cek yang menyelamatkan ibumu. Kau tidak punya hak untuk menuntut apa pun selain kepatuhan."​Ares berbalik, seringainya meremehkan. "Lagipula, bagaimana aku bisa meyakinkan Tuan Leo bahwa kita adalah pasangan yang harmonis jika kau kabur ke kamar sebelah setiap malam? Aku perlu melatihmu. Physical proximity adalah bagian dari sandiwara ini."​Elara mengepalkan tangan. Ia harus melawan, tetapi

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Penanda Tangan Di tempat Asing

    ​Elara menghabiskan waktu dua jam yang diberikan Ares dalam keadaan syok. Ia tidak bisa bergerak dari meja tempat ia didudukkan. Tunangan Palsu. Status baru itu terasa lebih berat dan konyol daripada label Asisten Pribadi di kartu ID-nya. Ares telah mendorongnya ke dalam peran yang tak hanya mengikat fisiknya, tetapi juga reputasi sosialnya. ​Ia akhirnya memaksa dirinya bangun, memungut kalung perak ibunya yang patah dari lantai marmer. Kalung itu terasa dingin dan rapuh di tangannya, seperti sisa-sisa harga dirinya. ​Ketika ia berjalan ke kamar tidur utama, ia melihat kamar itu sangat luas, didominasi warna gelap dan pemandangan kota. Sebuah tas koper mewah sudah tersedia di atas ranjang king size. ​Elara mendekat. Di dalamnya, sudah tersedia paspor darurat, dokumen perjalanan, dan satu set pakaian yang Ares siapkan untuknya. Pria itu benar-benar mengendalikan setiap aspek kehidupannya, bahkan logistiknya. Ia merasa marah, namun rasa amarahnya tertutup oleh kepanikan. Hong Kong.

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Pertempuran kenikmatan

    Pengakuan Elara di ruangan kaca itu memicu respons yang eksplosif dari Ares. Ia telah mengakui bahwa ia milik Ares, dan kemenangan itu membuat Ares menyeringai puas, sebuah kemenangan yang jauh lebih berarti daripada akuisisi bisnis mana pun.​"Bagus, Elara," kata Ares, suaranya dalam dan penuh hasrat. "Aku suka wanita yang jujur dengan perasaannya. Dan kebencianmu... itu hanya akan membuatku semakin bersemangat untuk membuatmu melupakannya dengan sentuhanku."​Ares menarik tubuh Elara lebih dekat. Sentuhannya kini menjadi lebih intens, menuntut, dan tanpa ampun. Elara merasakan semua kontrol dirinya menghilang. Sentuhan Ares terasa familiar, dan tubuhnya yang lelah melawan kini mulai menyerah. Ia tahu ia membenci Ares karena telah memaksanya, tetapi bagian gelap dalam dirinya mulai mengakui bahwa ia menginginkan sentuhan kuat dan dominasi itu. Ini adalah kenikmatan yang lahir dari keputusasaan, dan ia takut mengakui betapa adiktifnya hal itu.​Ares merobek gaun sutra di bahu Elara, s

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Permainan di ruang kaca

    ​Ares menarik Elara menjauh dari meja makan, membawanya ke sebuah ruangan di sudut penthouse. Ruangan itu seluruhnya berdinding kaca, menghadap langsung ke kota di bawah. Cahaya bulan menerangi ruangan itu, menciptakan siluet yang dramatis.​"Mengapa kita ke sini, Tuan?" tanya Elara, suaranya tercekat. Ia tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia harus terus melawan melalui kata-kata.​"Melihat pemandangan, tentu saja," jawab Ares, nadanya sarkastis. "Dan merayakan betapa jauhnya kita bisa jatuh bersama."​Ares menyudutkan Elara di dekat dinding kaca, di mana pemandangan kota terlihat seperti lukisan. Ia tidak menyentuh Elara, tetapi auranya sangat mengintimidasi.​"Aku akan memberimu dua pilihan, Elara," kata Ares. "Malam ini, kau bisa memilih untuk melayaniku sebagai asisten yang patuh, atau sebagai wanita yang menginginkanku."​Elara terdiam. Pilihan itu jebakan. Jika ia memilih yang pertama, Ares akan tetap menggunakan kuasanya untuk memaksanya. Jika ia memilih yang kedua, ia mengakui

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Gaun hitam dan penghancuran emosional

    ​Malam itu, pukul 20.30.​Elara berdiri di depan cermin, di dalam kamar mandi kantor Lantai 45. Gaun hitam satin yang ia kenakan terasa berat, bukan karena bahannya, melainkan karena beban kehinaan. Itu adalah gaun termahal dan paling terbuka yang pernah ia kenakan. Potongan V-neck rendah dan belahan paha tinggi itu terasa seperti kostum yang dipaksakan. Ia merasa seperti trofi yang dipoles untuk dipamerkan dan dikonsumsi.​"Ini demi Ibu," bisik Elara pada dirinya sendiri, menguatkan hati. Ia mencoba menghubungi ibunya, memastikan kondisinya stabil pasca-operasi. Laporan bahwa ibunya sudah pulih memberinya sedikit kedamaian, pengingat bahwa semua kehinaan ini ada tujuannya.​Pukul 21.00. Elara sampai di penthouse Ares. Ia disambut oleh pintu yang terbuka otomatis. Ares sudah menunggunya di ruang tamu, mengenakan celana bahan gelap dan kemeja silk hitam yang sedikit terbuka di dada. Ia terlihat santai, namun auranya tetap dominan dan berbahaya.​"Kau terlambat dua menit," kata Ares, ta

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Asisten dengan belenggu sutera

    Pagi hari, pukul 07.00.​Elara terbangun di sofa mewah penthouse Ares, dengan aroma cologne mahal yang tersisa di bantal sutra. Semalam suntuk Ares tidak kembali. Rasa lelah dan ketegangan membuat tidurnya nyaris tidak berkualitas. Ia segera menuju kamar mandi utama. Di sana, ia menemukan amenities mewah dan bahkan satu set pakaian baru—kemeja putih rapi, rok pensil hitam, dan blazer elegan—yang ukurannya pas. Ares benar-benar menyiapkan segalanya, seolah ia mempekerjakan model pribadinya.​Setelah merapikan diri, Elara menemukan notes baru di atas meja dapur marmer.​Aku akan menjemputmu. 08.00. Jangan terlambat.​— Ares.​Tak ada pilihan. Elara hanya punya waktu sepuluh menit untuk sarapan buah yang sudah tersedia dan mengatur mentalnya. Ia merasa seperti boneka yang jadwalnya diatur tanpa ampun.​Tepat pukul 08.00, Ares muncul di pintu penthouse, wajahnya terlihat letih karena begadang semalam, namun auranya tetap sekuat baja.​"Kau berani sekali meninggalkan markasku sendirian," s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status