Home / Urban / SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT / Kontrak hitam dan klaim kepemilikan

Share

Kontrak hitam dan klaim kepemilikan

Author: Nola N.
last update Last Updated: 2025-10-24 14:19:39

​Pukul 10.00 pagi.

​Elara duduk tegak di kursinya, berusaha keras terlihat sibuk dengan tumpukan file di meja barunya. Namun, setiap pori di tubuhnya terasa panas karena amarah dan rasa malu. Ancaman Ares melalui video CCTV tadi pagi membuat semua harapan perlawanannya pupus. Ia adalah tawanan yang dibayar mahal.

​Pintu kantor Ares terbuka. Ares keluar, mengenakan kacamata baca tipis yang entah mengapa membuat auranya semakin dominan.

​"Masuk," perintah Ares, suaranya tenang, seolah tidak pernah ada peristiwa memalukan atau mengancam terjadi di antara mereka.

​Elara segera bangkit, membawa notes dan pena. Ia masuk ke kantor Ares, yang kini terasa seperti jebakan emas.

​Ares duduk di sofa kulit yang tadi malam menjadi saksi bisu kehancurannya. Ia menepuk sofa di sampingnya, mengisyaratkan Elara duduk.

​"Tidak, Tuan. Saya akan berdiri," tolak Elara, mempertahankan jarak. "Ada beberapa jadwal yang perlu dikonfirmasi—"

​Ares melempar map hitam yang berisi kontrak mereka ke atas meja kopi. Map itu terbuka. "Duduk, Elara. Kau belum selesai dengan tugasmu semalam. Kita harus menyelesaikan kontrak rahasia itu."

​Wajah Elara memerah. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia berjalan kaku dan duduk di ujung sofa, sejauh mungkin dari Ares.

​"Apa lagi yang harus saya tanda tangani, Tuan?" tanya Elara, berusaha terdengar profesional dan dingin, menyembunyikan getaran di suaranya.

​"Tidak ada tanda tangan lagi. Hanya aturan main," jawab Ares, mengambil pena dan mulai menulis di kontrak kedua yang kosong itu.

​Elara mengamati. Tulisan tangan Ares cepat, tegas, dan elegan. Setiap kata yang ia tulis terasa seperti rantai yang mengikat Elara.

​"Aturan nomor satu," kata Ares, membaca sambil menulis. "Di kantor, kau adalah asisten pribadiku yang paling kompeten. Di luar kantor, kau adalah 'milikku', dan kau akan mendampingiku ke mana pun aku mau."

​Ares berhenti menulis dan menatap Elara. "Aku tidak suka memohon atau mengemis. Kau akan datang ketika kupanggil, tanpa pertanyaan. Itu termasuk akhir pekan."

​"Tuan, saya punya kehidupan pribadi—"

​"Tidak, Elara. Kau sudah menjual kehidupan pribadimu kepadaku semalam," potong Ares tajam, mengakhiri perlawanan Elara. "Aturan nomor dua: Aku akan membayar semua kebutuhan finansialmu dan keluargamu. Tapi semua yang kau terima dariku harus menjadi rahasia, termasuk ONS semalam. Jika bocor, kontrak ini gugur, dan ibumu akan tahu bagaimana kau mendapatkan uang untuk operasinya."

​Ancaman itu menghantam Elara lebih keras daripada ancaman video. Reputasi ibunya dan kedamaian keluarganya adalah yang paling ia takutkan.

​"Mengapa Anda melakukan ini, Tuan? Anda tidak perlu saya—"

​Ares menyeringai, senyum yang dingin. "Kau benar. Aku tidak butuh kau. Aku menginginkan kau. Dan aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan. Aturan nomor tiga: Tidak ada kontak atau hubungan romantis dengan pria lain selama kontrak ini berlaku. Kau hanya fokus padaku, Elara. Bahkan tatapanmu."

​Elara terdiam. Obsesi Ares jelas. Ini bukan hanya tentang seks atau uang; ini tentang kepemilikan.

​"Kontrak sudah selesai. Sekarang tugasmu," kata Ares, mengakhiri pembicaraan. Ia berdiri dan berjalan menuju dinding kaca. "Ada yang harus kau atur. Temui Kepala Divisi Riset, Tuan Danu. Dia terus-terusan mengirimu pesan."

​Elara merasa lega karena topik itu beralih ke pekerjaan. "Tuan Danu? Baik, saya akan menjadwalkan pertemuan—"

​"Tidak," potong Ares. "Batalkan. Dia tidak penting. Tapi aku melihat dia mengirimimu pesan kemarin. Pesan yang panjang."

​Ares berbalik, matanya menyipit. "Apa yang dia inginkan? Apakah dia tertarik padamu?"

​Elara terkejut. "Tuan Danu hanya meminta file presentasi yang saya kerjakan untuk Divisi Pemasaran, Tuan. Tidak ada yang lain."

​"Bagus," kata Ares, namun nadanya tidak meyakinkan. "Mulai sekarang, semua komunikasi pribadimu disensor. Aku tidak suka gangguan. Apalagi dari pria lain."

​Elara menelan ludah. Ini adalah kecemburuan. Kecemburuan yang sangat tidak rasional dari pria yang baru tidur dengannya semalam dan mengklaimnya sebagai pelarian.

​"Saya mengerti, Tuan. Saya akan memastikan semua komunikasi hanya terkait pekerjaan," janji Elara, tubuhnya menegang.

​Ares kembali mendekat, kali ini ia tidak berhenti. Ia membungkuk, mencondongkan tubuhnya ke atas Elara yang masih duduk kaku di sofa. Tangannya meraih dagu Elara, memaksa Elara mendongak.

​"Kau mengerti, Elara?" bisik Ares, napasnya yang hangat menerpa wajah Elara. "Kau adalah aset paling berharga yang kubeli dengan harga yang pantas. Aku ingin kau fokus. Aku ingin kau di sini, bersamaku, dalam setiap detikku."

​Ares mencondongkan wajahnya lebih dekat, mata birunya menahan Elara. Elara bisa merasakan jantungnya berdebar kencang, takut sekaligus terprovokasi.

​"Jauhkan semua pria lain. Aku cemburu. Dan kau tidak akan menyukai konsekuensinya, Elara."

​Ares melepaskan cengkeraman di dagu Elara, namun tatapannya tetap mengikat. Ia mengulurkan tangan ke belakang, mengambil dasi sutra merah yang tergantung di sandaran kursi. Dengan gerakan pelan dan dominan, ia mengikat dasi itu di pergelangan tangan Elara.

​"Tugas pertamamu," bisik Ares, suaranya mengandung bahaya. "Pakai dasiku. Di tanganmu. Sebagai pengingat bahwa kau adalah milikku. Sekarang, keluarlah. Dan jangan biarkan aku melihatmu berbicara dengan pria lain hari ini."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Sandiwara Di Atas Kemewahan

    ​Elara berdiri mematung di tengah suite Presiden yang mewah di The Peninsula. Aroma laut dan kemewahan yang mahal memenuhi udara. Di hadapannya, Ares baru saja mengunci pintu kamar tamu, secara efektif memaksanya untuk berbagi kamar utama.​"Anda tidak punya hak melakukan ini, Tuan Ares," ujar Elara, suaranya berusaha tegas, meskipun ia tahu protesnya tidak ada gunanya.​Ares melepaskan blazernya, berjalan santai menuju jendela besar yang memperlihatkan pemandangan Pelabuhan Victoria yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi Hong Kong. "Hak? Kau lupa, Elara? Hakku kuberikan padamu dalam bentuk cek yang menyelamatkan ibumu. Kau tidak punya hak untuk menuntut apa pun selain kepatuhan."​Ares berbalik, seringainya meremehkan. "Lagipula, bagaimana aku bisa meyakinkan Tuan Leo bahwa kita adalah pasangan yang harmonis jika kau kabur ke kamar sebelah setiap malam? Aku perlu melatihmu. Physical proximity adalah bagian dari sandiwara ini."​Elara mengepalkan tangan. Ia harus melawan, tetapi

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Penanda Tangan Di tempat Asing

    ​Elara menghabiskan waktu dua jam yang diberikan Ares dalam keadaan syok. Ia tidak bisa bergerak dari meja tempat ia didudukkan. Tunangan Palsu. Status baru itu terasa lebih berat dan konyol daripada label Asisten Pribadi di kartu ID-nya. Ares telah mendorongnya ke dalam peran yang tak hanya mengikat fisiknya, tetapi juga reputasi sosialnya. ​Ia akhirnya memaksa dirinya bangun, memungut kalung perak ibunya yang patah dari lantai marmer. Kalung itu terasa dingin dan rapuh di tangannya, seperti sisa-sisa harga dirinya. ​Ketika ia berjalan ke kamar tidur utama, ia melihat kamar itu sangat luas, didominasi warna gelap dan pemandangan kota. Sebuah tas koper mewah sudah tersedia di atas ranjang king size. ​Elara mendekat. Di dalamnya, sudah tersedia paspor darurat, dokumen perjalanan, dan satu set pakaian yang Ares siapkan untuknya. Pria itu benar-benar mengendalikan setiap aspek kehidupannya, bahkan logistiknya. Ia merasa marah, namun rasa amarahnya tertutup oleh kepanikan. Hong Kong.

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Pertempuran kenikmatan

    Pengakuan Elara di ruangan kaca itu memicu respons yang eksplosif dari Ares. Ia telah mengakui bahwa ia milik Ares, dan kemenangan itu membuat Ares menyeringai puas, sebuah kemenangan yang jauh lebih berarti daripada akuisisi bisnis mana pun.​"Bagus, Elara," kata Ares, suaranya dalam dan penuh hasrat. "Aku suka wanita yang jujur dengan perasaannya. Dan kebencianmu... itu hanya akan membuatku semakin bersemangat untuk membuatmu melupakannya dengan sentuhanku."​Ares menarik tubuh Elara lebih dekat. Sentuhannya kini menjadi lebih intens, menuntut, dan tanpa ampun. Elara merasakan semua kontrol dirinya menghilang. Sentuhan Ares terasa familiar, dan tubuhnya yang lelah melawan kini mulai menyerah. Ia tahu ia membenci Ares karena telah memaksanya, tetapi bagian gelap dalam dirinya mulai mengakui bahwa ia menginginkan sentuhan kuat dan dominasi itu. Ini adalah kenikmatan yang lahir dari keputusasaan, dan ia takut mengakui betapa adiktifnya hal itu.​Ares merobek gaun sutra di bahu Elara, s

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Permainan di ruang kaca

    ​Ares menarik Elara menjauh dari meja makan, membawanya ke sebuah ruangan di sudut penthouse. Ruangan itu seluruhnya berdinding kaca, menghadap langsung ke kota di bawah. Cahaya bulan menerangi ruangan itu, menciptakan siluet yang dramatis.​"Mengapa kita ke sini, Tuan?" tanya Elara, suaranya tercekat. Ia tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia harus terus melawan melalui kata-kata.​"Melihat pemandangan, tentu saja," jawab Ares, nadanya sarkastis. "Dan merayakan betapa jauhnya kita bisa jatuh bersama."​Ares menyudutkan Elara di dekat dinding kaca, di mana pemandangan kota terlihat seperti lukisan. Ia tidak menyentuh Elara, tetapi auranya sangat mengintimidasi.​"Aku akan memberimu dua pilihan, Elara," kata Ares. "Malam ini, kau bisa memilih untuk melayaniku sebagai asisten yang patuh, atau sebagai wanita yang menginginkanku."​Elara terdiam. Pilihan itu jebakan. Jika ia memilih yang pertama, Ares akan tetap menggunakan kuasanya untuk memaksanya. Jika ia memilih yang kedua, ia mengakui

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Gaun hitam dan penghancuran emosional

    ​Malam itu, pukul 20.30.​Elara berdiri di depan cermin, di dalam kamar mandi kantor Lantai 45. Gaun hitam satin yang ia kenakan terasa berat, bukan karena bahannya, melainkan karena beban kehinaan. Itu adalah gaun termahal dan paling terbuka yang pernah ia kenakan. Potongan V-neck rendah dan belahan paha tinggi itu terasa seperti kostum yang dipaksakan. Ia merasa seperti trofi yang dipoles untuk dipamerkan dan dikonsumsi.​"Ini demi Ibu," bisik Elara pada dirinya sendiri, menguatkan hati. Ia mencoba menghubungi ibunya, memastikan kondisinya stabil pasca-operasi. Laporan bahwa ibunya sudah pulih memberinya sedikit kedamaian, pengingat bahwa semua kehinaan ini ada tujuannya.​Pukul 21.00. Elara sampai di penthouse Ares. Ia disambut oleh pintu yang terbuka otomatis. Ares sudah menunggunya di ruang tamu, mengenakan celana bahan gelap dan kemeja silk hitam yang sedikit terbuka di dada. Ia terlihat santai, namun auranya tetap dominan dan berbahaya.​"Kau terlambat dua menit," kata Ares, ta

  • SENTUHAN TUAN CEO DI RUANG RAPAT   Asisten dengan belenggu sutera

    Pagi hari, pukul 07.00.​Elara terbangun di sofa mewah penthouse Ares, dengan aroma cologne mahal yang tersisa di bantal sutra. Semalam suntuk Ares tidak kembali. Rasa lelah dan ketegangan membuat tidurnya nyaris tidak berkualitas. Ia segera menuju kamar mandi utama. Di sana, ia menemukan amenities mewah dan bahkan satu set pakaian baru—kemeja putih rapi, rok pensil hitam, dan blazer elegan—yang ukurannya pas. Ares benar-benar menyiapkan segalanya, seolah ia mempekerjakan model pribadinya.​Setelah merapikan diri, Elara menemukan notes baru di atas meja dapur marmer.​Aku akan menjemputmu. 08.00. Jangan terlambat.​— Ares.​Tak ada pilihan. Elara hanya punya waktu sepuluh menit untuk sarapan buah yang sudah tersedia dan mengatur mentalnya. Ia merasa seperti boneka yang jadwalnya diatur tanpa ampun.​Tepat pukul 08.00, Ares muncul di pintu penthouse, wajahnya terlihat letih karena begadang semalam, namun auranya tetap sekuat baja.​"Kau berani sekali meninggalkan markasku sendirian," s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status