Jantung Yu Ping berdebar kencang. Meski sudah lima tahun berlalu, ia masih saja terpesona melihat sosok yang hanya bisa menghiasi mimpi dan kini berada di sampingnya. Qing Ning. “Kakak Pertama, apakah tidak malu sebagai murid Hoa San merundung anak kecil?” bentak Qing Ning dengan kedua tangan menumpu pada pinggangnya yang ramping. Mata indahnya memelototi kelima pria di depannya dengan ekspresi marah, membuat hati mereka menciut. Bagaimana tidak, Qing Ning adalah cucu dari ketua Hoa San, Wu Xian. Ilmu silatnya pun tak dapat dianggap enteng. Selain sangat cantik, ia juga pandai ilmu pedang. Bukan hanya Yu Ping, hampir semua pemuda di perguruan Hoa San mengagumi kecantikan gadis itu. Matanya besar dan indah berkilauan serta memiliki daya tarik kuat bagi setiap orang yang memandang, namun sinar mata itu juga mengandung ketegasan dan kewibawaan yang sepertinya diturunkan oleh Wu Xian, sang kakek. Anak kecil? mata Yu Ping membulat mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan anak ke
“Malam ini kau akan mati di tanganku, Wu Xian!” Pria berbaju dan berkedok serba hitam itu mendekati tempat tidur, mengangkat tangan kanannya dan mengerahkan tenaga dalam penuh. Tangan kiri meraih selimut dan menariknya dengan cepat, seraya siap memukulkan tangan kanan ke arah leher Wu Xian. Namun ia terkejut bukan main, ketika selimut tersibak ternyata hanya ada sebuah bantal di baliknya. Ia menoleh ke kanan kiri, mencari keberadaan sosok Wu Xian dalam kegelapan. Menyadari ada sepasang mata sedang mengawasinya, pria berkedok itu perlahan mendongak ke atas, ke langit-langit tempat tidur. Ternyata Wu Xian sedari tadi bersembunyi di langit-langit, dengan kedua tangan dan kedua kaki berpijak pada empat tiang tempat tidur. Begitu musuh menengadah ke atas, Wu Xian langsung melompat turun sambil menghujamkan tinjunya ke arah pria misterius di bawahnya. Sosok itu meloncat ke belakang guna menghindari serangan hingga tinju Wu Xian menghantam tempat tidur yang terbuat dari papan kayu.
Sinar matahari pagi memancar indah, menghangatkan penghuni bumi sebelah utara. Di kaki pegunungan Qionglai yang memiliki pemandangan indah terutama di pagi hari, sudah banyak orang yang berlalu-lalang. Rata-rata dari mereka adalah pedagang, jasa ekspedisi, dan pengembara yang lewat dari Wenchuan menuju Sichuan atau sebaliknya. Namun hari itu sedikit berbeda, tak sedikit pria gagah perkasa dan bersenjata yang lewat di sepanjang jalan.Terlihat empat orang pemuda gagah memasuki sebuah kedai teh yang terletak di dataran berpasir. Di kedai itu sudah duduk seorang pemuda tampan berjubah putih menikmati tehnya dalam diam. Dari gerak-geriknya terlihat pemuda ini bukanlah pemuda sembarangan, terpelajar dan berilmu tinggi.Keempat pemuda yang baru masuk itu duduk berhadap-hadapan dan sesekali mencuri pandang ke arahnya. “Siapa pemuda itu, Kakak Pertama?” tanya seorang yang lebih muda, “Wajahnya asing tapi terlihat berilmu tinggi.” “Entahlah, mungkin dia juga salah satu peserta pertandinga
Gadis itu menusukkan pedangnya ke arah leher Qi Yun sambil berteriak nyaring, “Mampus!” Pemuda itu berkelit ke samping, menangkap pergelangan tangan lawannya. Si gadis berusaha melepaskan tangannya namun cengkeraman Qi Yun terlalu kuat, akhirnya ia memutar tubuh ke samping agar cengkeraman itu terlepas lalu melayangkan sebelah kakinya ke atas untuk memukul kepala Qi Yun. Pemuda itu sigap mengibaskan tangan dan menangkis serangan yang datang. Karena mulai kesal, dan malas meladeni, setelah beberapa jurus, Qi Yun segera mengakhiri serangan nona dari Iblis Darah itu dengan mengunci kedua tangannya ke belakang dan memaksanya berlutut. “Cepat berikan penawar racun untuk tuan-tuan ini atau wajah cantikmu akan kubuat cacat!” bentak Qi Yun. Gadis itu tertegun, wajahnya merona merah. Seorang pemuda yang sejak awal melihat tadi sudah ia kagumi kegagahan dan ketampanannya memanggil dirinya cantik.Bagai kerbau dicocok hidung, tanpa banyak protes, gadis itu menyerahkan penawar racun pada pe
“Aku Liu Heng, Pendekar Tapak Sakti yang terkenal di seluruh dunia!” kakek tua itu memperkenalkan diri dengan bangga seraya mendongakkan dagu dan membusungkan dada. Kakek itu tidak membual, dia benar adalah Liu Heng, mantan pendekar sejati sekaligus tetua Kun Lun yang sudah lama menghilang sejak dikabarkan hilang ingatan. “Bagaimana? Sudah siap berlutut di … huh?’ Liu Heng celingukan menyadari Yu Ping sudah menghilang saat pria tua itu menoleh ke arahnya. “Bocah Nakal, mau main petak umpet denganku ya?” Liu Heng bertepuk tangan girang. “Kalau tertangkap, kau harus jadi muridku … hahaha!” Sementara itu Yu Ping sudah melesat jauh menggunakan ilmu meringankan tubuhnya melarikan diri dari Liu Heng. Begitu tiba di depan pondok, Yu Ping berhenti, mengatur napas yang ngos-ngos-an. “Pertanda apa ini, bertemu kakek pencuri yang tiba-tiba minta aku menjadi muridnya?” Yu Ping berdialog dengan dirinya sendiri. Pendekar Tapak
Hari itu juga Yu Ping menerima seragam baru sebagai murid perguruan Hoa San, rasa bangga menyelimuti hatinya. Ia bertanya-tanya dalam hati mengapa Guru melakukan itu semua kepadanya. “Sebentar lagi akan ada pertandingan mencari ketua dunia persilatan dan pendekar nomor satu,” kata Wu Xian setelah acara pengangkatan Yu Ping sebagai murid Hoa San selesai. Para tetua dan murid mendengarkan dengan penuh perhatian. “Aku akan bertapa untuk menyempurnakan ilmuku sampai hari pertandingan tiba. Selama aku tidak berada di sini, jaga persaudaraan di antara kalian, dan saling melindungi!” “Baik, Guru!” para murid membungkuk hormat. Wu Xian menghela napas panjang, ia tahu mereka tak sepenuh hati mendengarkan nasihatnya. “Yu Ping, antarkan aku ke tempat pertapaan!” Wu Xian menoleh pada murid yang paling dikasihinya. Yu Ping mengangguk cepat, segera mengikuti gurunya meninggalkan aula menuju pertapaan yang letaknya be
“Bocah Nakal, dimana kau bersembunyi? Guru datang mencarimu … hahaha!” terdengar tawa yang tak asing di telinga Yu Ping. Murid-murid Hoa San menghadang kakek yang dijuluki Pendekar Sinting itu agar tak menyerbu ke dalam gedung. “Siapa kau ini, bertamu ke tempat kami dengan berteriak-teriak, sungguh tak tahu malu!” bentak murid Pertama seraya mengacungkan tongkatnya. Pria itu seperti tuli, tetap saja berteriak-teriak. “Maaf Paman, tetapi siapakah nama murid yang Paman cari itu?” tanya murid Keempat lebih sopan. Liu Heng berhenti berteriak, menengadah ke atas seraya mengetuk kening dengan telunjuknya. Ia berpikir keras mengingat nama pemuda yang pernah bertemu dengannya di kaki gunung waktu itu. Yu Ping yang bersembunyi di balik pilar hanya bisa berdoa semoga kakek itu tak mengingat namanya, dan doanya terkabul. “Aku hanya ingat namanya Bocah nakal!” Liu Heng akhirnya menjawab setelah bermenit-menit lamanya berpikir
"Vampir penghisap darah akan datang malam ini, itu tadi lonceng peringatannya!" jawab si pemilik penginapan dengan tubuh gemetar. Sontak penjelasan pemilik tempat penginapan itu mengundang reaksi dari seluruh pengunjung. “Vampir? Omong kosong apa itu?” celetuk salah seorang dari anak buah Xue Yi, pengawal ekspedisi. “Sungguh saya tidak bohong!” si pemilik penginapan melanjutkan dengan serius. “ Setiap malam bulan purnama, manusia penghisap darah akan datang dan meminta satu nyawa. Korbannya selalu ditemukan mati kehabisan darah, itu sebabnya setiap lonceng berbunyi, kita harus memastikan untuk berada di rumah dan berjaga sepanjang malam.” “Sungguh tidak masuk di akal,” gumam Ru Chen, ketua perguruan Pedang Langit. “Tetapi kita juga tidak bisa bersikap sembrono,” timpal Xun Huan, ketua perguruan Bu Tong yang diikuti anggukan orang-orangnya. Qi Yun yang melihat kesempatan bagus untuk berkenalan dengan ketiga ketua perguruan dari dunia persilatan, bangkit berdiri seraya menangkupkan