Share

7. PERPISAHAN MENYAKITKAN

"Jagalah diri sendiri mulai sekarang, Yu Ping. Aku menyayangimu!" kata Xin Ru lewat tatapan matanya.

Yu Ping yang mampu menangkap arti tatapan sang kakak, makin deraslah air mata membasahi pipinya.

Bibirnya bergetar saat ia menyaksikan untuk terakhir kali, Xin Ru bergandengan tangan dengan salah seorang dari gerombolan pendekar berhati keji, melangkah meninggalkan desa Kuning dan tak pernah menoleh lagi ke belakang.

Tak pernah terpikir oleh anak laki-laki yang masih berusia 12 tahun itu bahwa ayah akan terbunuh dan keluarga tercerai-berai dalam satu hari, yang lebih menyakitkan semua itu disebabkan oleh karena dirinya.

Mungkin benar kata ibunya, ia benar-benar anak pembawa sial.

Seandainya saja ia tak pernah berada dalam keluarga Wang Ji, tentu pria penuh kasih itu tak akan gugur dan kakak perempuan angkatnya juga tak akan dibawa pergi oleh manusia-manusia berhati iblis.

Pendekar Pedang Pendek memutuskan untuk membawa Yu Ping meninggalkan desa Kuning karena sudah tak memungkinkan bagi bocah itu tetap berada di sana.

Ia memanggul tubuh Yu Ping meninggalkan hutan dengan menggunakan ilmu sin-kang yang lumayan tinggi.

Bertahun-tahun lalu ia merupakan salah satu murid perguruan Kun Lun, namun karena sifat mata keranjangnya yang bertentangan dengan aturan perguruan tentang tidak boleh berhubungan dengan wanita, membuatnya didepak dari sana.

Pendekar yang sering dipanggil Paman Wu Qing oleh Yu Ping itu menyia-nyiakan kesempatan menjadi pendekar hebat.

Pria itu jatuh dari pelukan wanita satu ke wanita lain dan berprofesi sebagai pencuri bayaran, sampai akhirnya ia hampir tewas karena kecerobohannya.

Beruntung ia dipertemukan dengan Ching-Ching, primadona rumah bordil yang baik hati menyembunyikan dirinya di tempat maksiat itu.

Dari seorang pendekar sampah dan playboy, pria itu berubah menjadi seorang yang lebih baik hingga bersahabat dengan bocah kecil bernama Yu Ping.

Wu Qing melihat sosok Yu Ping berbeda dengan anak kebanyakan, tidak manja dan selalu tersenyum meski memikul pekerjaan berat yang diberikan ibu angkatnya. Tak pernah mengeluh atau menjelek-jelekkan orang lain meski diperlakukan tak adil.

Ia yakin kelak Yu Ping akan menjadi pria tersohor atau pendekar hebat.

Setelah berlari cukup jauh dan hari sudah menjelang malam, Pendekar Pedang Pendek memutuskan beristirahat di sebuah kuil yang sudah bobrok tak berpenghuni.

Ia menurunkan tubuh Yu Ping dan melepaskan totokannya. Begitu lepas dari totokan dan mampu bergerak lagi, Yu Ping melayangkan pukulannya ke dada dan perut Wu Qing sambil menangis.

“Paman Wu jahat!” pekik anak itu pilu, “Mengapa tak biarkan aku menolong ayah dan kakakku? Mengapa membawa aku ke sini?”

Pukulan-pukulan Yu Ping sama sekali tak menyakiti Wu Qing, meski begitu tetap saja menyedihkan hati.

Pria bertubuh sedang dan berkumis tipis itu berjongkok, memegangi lengan Yu Ping kuat-kuat hingga bocah itu tak bisa bergerak.

“Kau kira ayahmu akan tetap hidup bila kau keluar menyerahkan diri? Mereka tetap saja akan membunuh seluruh keluargamu!” bentak Wu Qing.

“Lebih baik aku mati bersama mereka,” isak tangis Yu Ping menyayat hati.

Wu Qing menghela napas berat, “Yu Ping, ayahmu rela mengorbankan nyawa untukmu. Masih tegakah kau ingin menyia-nyiakannya. Apakah kau ingat semua wejangan ayahmu sewaktu beliau hidup?”

Yu Ping mengangguk, “Pria sejati tidak boleh menangis, harus kuat dalam menjalani jalan hidup.”

“Kalau kau benar mengasihi ayahmu, jadilah seperti apa yang diminta mendiang ayah padamu!” nasihat Pendekar Pedang Pendek kali ini mengena di hati Yu Ping.

Setelah Wu Qing melepaskan lengannya, bocah kecil berwajah tampan itu menghapus air mata dan berusaha meredakan isak tangisnya.

Kini tangis tak lagi terdengar, hanya pundaknya yang masih naik-turun berusaha mengatur napas.

“Anak pintar!” Wu Qing menepuk bahu Yu Ping.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang, Paman Wu?” tanya Yu Ping sambil menyeka pipinya yang basah dengan lengan baju.

“Sekarang ini kau menjadi buronan kerajaan, tempat aman bagimu adalah perguruan Hoa San yang terletak di gunung Hoa San. Perguruan Hoa San adalah tempat terpencil, ketuanya melarang murid-muridnya berhubungan dengan dunia luar. Identitasmu akan aman di sana,” tutur Wu Qing panjang lebar.

Yu Ping mengangguk-anggukkan kepala, lalu berkata sambil mengepalkan tangan, “Aku akan belajar ilmu silat agar kelak bisa membalaskan dendam ayah angkat!”

Wu Qing tersenyum, “Untuk mengalahkan Tujuh Malaikat Pencabut Nyawa, dibutuhkan gabungan ilmu seluruh dunia persilatan.”

“Sehebat itukah ilmu mereka, Paman?”

“Ketujuh pendekar menggunakan racun untuk meningkatkan tenaga dalam, dan menguasai sebuah buku silat langka yang telah lama hilang dari dunia persilatan. Entah bagaimana mereka mendapatkannya, kini mereka menjadi para pendekar tak tertandingi hingga menyebut diri sendiri Malaikat Pencabut Nyawa.”

“Apa gunanya menjadi pendekar hebat bila digunakan untuk kejahatan,” kata Yu Ping berapi-api.

“Agar kelak ada pendekar berhati dewa yang jauh lebih hebat mengalahkan mereka semua!” Wu Qing mengarahkan telunjuknya ke dada murid kesayangannya. Dibalas dengan anggukan sang putra mahkota.

“Sekarang kita beristirahat dulu, besok pagi-pagi sudah harus melanjutkan perjalanan!” kata Wu Qing seraya bangkit berdiri.

Ia mengumpulkan beberapa kain kumal yang ditemukan di dalam kuil tua lalu digunakan sebagai alas tidur Yu Ping. Sementara ia sendiri tidur dengan posisi duduk, bersandar pada pilar.

Tengah malam, Yu Ping terbangun karena mimpi buruk yang dialaminya.

Ia bermimpi kakak perempuannya, Xin Ru berteriak minta tolong. Di belakang gadis itu berdiri Dewa Golok Hitam bersiap mengayunkan goloknya. Yu Ping berlari mendekat untuk menghalangi namun terlambat. Dewa Golok Hitam menebas punggung Xin Ru hingga kakak tercintanya ambruk bersimbah darah.

Kakak, dimana Kakak berada? Aku sangat merindukanmu, air mata Yu Ping luruh kembali.

Saat memegang perutnya yang terasa lapar, ia baru sadar ada sesuatu di balik baju sederhana bermodel kimono yang dikenakannya.

Ia mengeluarkan benda tersebut, ternyata sebungkus manisan. Rupanya kakak Xin Ru yang memasukkan kantung manisan itu ke dalam kantong bajunya sebelum mereka berpisah.

Ia menghitung jumlah manisan dalam kantong itu, sepuluh biji. Dimakannya dua biji manisan untuk mengurangi rasa lapar, lalu sisanya ia masukkan kembali ke balik baju. Setelah itu barulah ia bisa kembali tidur sambil membayangkan wajah ayah dan kakak perempuan.

Keesokan harinya, pagi-pagi benar, mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju gunung Hoa San.

Perjalanan itu memakan waktu sepuluh hari dengan berjalan kaki, beruntungnya mereka tak pernah bertemu dengan pasukan tentara atau salah satu dari Malaikat Pencabut Nyawa.

Setelah tiba di kaki gunung Hoa San, Wu Qing berjongkok di depan Yu Ping agar bisa menatap mata anak itu. “Yu Ping, kita harus berpisah di sini. Kau harus naik sendiri menuju perguruan Hoa San dan memohonlah untuk menjadi murid di sana!”

“Paman, aku tak mau berpisah dengan Paman!” rengek Yu Ping. Di dunia ini hanya tersisa paman Wu yang peduli padanya dan kini akan berpisah juga? Dewa sungguh tak adil, jerit hati Yu Ping.

“Yu Ping, seluruh ketua dunia persilatan membenci Paman karena kesalahan di masa lalu. Kalau aku membawamu ke sana maka tak akan ada yang sudi menerima kita. Kau harus pergi ke sana tanpa Paman sekarang!” Wu Qing menjelaskan dengan tegar hati meski sedih bukan main.

Yu Ping menangis lagi.

“Yu Ping, ingatlah! Air mata adalah musuh pendekar sejati, jangan pernah menangis lag!” Wu Qing menyeka pipi bocah di depannya. Yu Ping mengangguk meski air matanya tetap mengalir turun.

“Kelak bila kita berjodoh dipertemukan lagi, Paman ingin melihatmu sebagai pendekar terhebat di seluruh negeri!” Wu Qing tersenyum.

Yu Ping mengangguk, “Setelah aku menjadi pendekar tanpa tanding, aku akan mencari Paman.”

“Sekarang pergilah! Begitu kau berbalik, jangan pernah menoleh ke belakang lagi!” Wu Qing membalikkan tubuh kurus Yu Ping hingga bocah 12 tahun itu menghadap ke arah gunung.

Yu Ping berjalan selangkah demi selangkah, kaki-kakinya seperti diikat dengan batu berton-ton beratnya. Ketika sudah beberapa langkah, ia lupa akan pesan sang paman.

Bocah itu berbalik kembali, ingin memeluk pamannya dan mengatakan bahwa ia tak mau pergi ke Hoa San. Mereka bisa berdua saja, mempelajari ilmu silat di tempat lain tanpa harus berpisah.

Namun saat berbalik, pamannya sudah menghilang entah ke mana.

“PAMAN!” Yu Ping menjerit sekuatnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
mantap bah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status