"Jagalah diri sendiri mulai sekarang, Yu Ping. Aku menyayangimu!" kata Xin Ru lewat tatapan matanya.
Yu Ping yang mampu menangkap arti tatapan sang kakak, makin deraslah air mata membasahi pipinya.Bibirnya bergetar saat ia menyaksikan untuk terakhir kali, Xin Ru bergandengan tangan dengan salah seorang dari gerombolan pendekar berhati keji, melangkah meninggalkan desa Kuning dan tak pernah menoleh lagi ke belakang.Tak pernah terpikir oleh anak laki-laki yang masih berusia 12 tahun itu bahwa ayah akan terbunuh dan keluarga tercerai-berai dalam satu hari, yang lebih menyakitkan semua itu disebabkan oleh karena dirinya.Mungkin benar kata ibunya, ia benar-benar anak pembawa sial.Seandainya saja ia tak pernah berada dalam keluarga Wang Ji, tentu pria penuh kasih itu tak akan gugur dan kakak perempuan angkatnya juga tak akan dibawa pergi oleh manusia-manusia berhati iblis.Pendekar Pedang Pendek memutuskan untuk membawa Yu Ping meninggalkan desa Kuning karena sudah tak memungkinkan bagi bocah itu tetap berada di sana.Ia memanggul tubuh Yu Ping meninggalkan hutan dengan menggunakan ilmu sin-kang yang lumayan tinggi.Bertahun-tahun lalu ia merupakan salah satu murid perguruan Kun Lun, namun karena sifat mata keranjangnya yang bertentangan dengan aturan perguruan tentang tidak boleh berhubungan dengan wanita, membuatnya didepak dari sana.Pendekar yang sering dipanggil Paman Wu Qing oleh Yu Ping itu menyia-nyiakan kesempatan menjadi pendekar hebat.Pria itu jatuh dari pelukan wanita satu ke wanita lain dan berprofesi sebagai pencuri bayaran, sampai akhirnya ia hampir tewas karena kecerobohannya.Beruntung ia dipertemukan dengan Ching-Ching, primadona rumah bordil yang baik hati menyembunyikan dirinya di tempat maksiat itu.Dari seorang pendekar sampah dan playboy, pria itu berubah menjadi seorang yang lebih baik hingga bersahabat dengan bocah kecil bernama Yu Ping.Wu Qing melihat sosok Yu Ping berbeda dengan anak kebanyakan, tidak manja dan selalu tersenyum meski memikul pekerjaan berat yang diberikan ibu angkatnya. Tak pernah mengeluh atau menjelek-jelekkan orang lain meski diperlakukan tak adil.Ia yakin kelak Yu Ping akan menjadi pria tersohor atau pendekar hebat.Setelah berlari cukup jauh dan hari sudah menjelang malam, Pendekar Pedang Pendek memutuskan beristirahat di sebuah kuil yang sudah bobrok tak berpenghuni.Ia menurunkan tubuh Yu Ping dan melepaskan totokannya. Begitu lepas dari totokan dan mampu bergerak lagi, Yu Ping melayangkan pukulannya ke dada dan perut Wu Qing sambil menangis.“Paman Wu jahat!” pekik anak itu pilu, “Mengapa tak biarkan aku menolong ayah dan kakakku? Mengapa membawa aku ke sini?”Pukulan-pukulan Yu Ping sama sekali tak menyakiti Wu Qing, meski begitu tetap saja menyedihkan hati.Pria bertubuh sedang dan berkumis tipis itu berjongkok, memegangi lengan Yu Ping kuat-kuat hingga bocah itu tak bisa bergerak.“Kau kira ayahmu akan tetap hidup bila kau keluar menyerahkan diri? Mereka tetap saja akan membunuh seluruh keluargamu!” bentak Wu Qing.“Lebih baik aku mati bersama mereka,” isak tangis Yu Ping menyayat hati.Wu Qing menghela napas berat, “Yu Ping, ayahmu rela mengorbankan nyawa untukmu. Masih tegakah kau ingin menyia-nyiakannya. Apakah kau ingat semua wejangan ayahmu sewaktu beliau hidup?”Yu Ping mengangguk, “Pria sejati tidak boleh menangis, harus kuat dalam menjalani jalan hidup.”“Kalau kau benar mengasihi ayahmu, jadilah seperti apa yang diminta mendiang ayah padamu!” nasihat Pendekar Pedang Pendek kali ini mengena di hati Yu Ping.Setelah Wu Qing melepaskan lengannya, bocah kecil berwajah tampan itu menghapus air mata dan berusaha meredakan isak tangisnya.Kini tangis tak lagi terdengar, hanya pundaknya yang masih naik-turun berusaha mengatur napas.“Anak pintar!” Wu Qing menepuk bahu Yu Ping.“Apa yang akan kita lakukan sekarang, Paman Wu?” tanya Yu Ping sambil menyeka pipinya yang basah dengan lengan baju.“Sekarang ini kau menjadi buronan kerajaan, tempat aman bagimu adalah perguruan Hoa San yang terletak di gunung Hoa San. Perguruan Hoa San adalah tempat terpencil, ketuanya melarang murid-muridnya berhubungan dengan dunia luar. Identitasmu akan aman di sana,” tutur Wu Qing panjang lebar.Yu Ping mengangguk-anggukkan kepala, lalu berkata sambil mengepalkan tangan, “Aku akan belajar ilmu silat agar kelak bisa membalaskan dendam ayah angkat!”Wu Qing tersenyum, “Untuk mengalahkan Tujuh Malaikat Pencabut Nyawa, dibutuhkan gabungan ilmu seluruh dunia persilatan.”“Sehebat itukah ilmu mereka, Paman?”“Ketujuh pendekar menggunakan racun untuk meningkatkan tenaga dalam, dan menguasai sebuah buku silat langka yang telah lama hilang dari dunia persilatan. Entah bagaimana mereka mendapatkannya, kini mereka menjadi para pendekar tak tertandingi hingga menyebut diri sendiri Malaikat Pencabut Nyawa.”“Apa gunanya menjadi pendekar hebat bila digunakan untuk kejahatan,” kata Yu Ping berapi-api.“Agar kelak ada pendekar berhati dewa yang jauh lebih hebat mengalahkan mereka semua!” Wu Qing mengarahkan telunjuknya ke dada murid kesayangannya. Dibalas dengan anggukan sang putra mahkota.“Sekarang kita beristirahat dulu, besok pagi-pagi sudah harus melanjutkan perjalanan!” kata Wu Qing seraya bangkit berdiri.Ia mengumpulkan beberapa kain kumal yang ditemukan di dalam kuil tua lalu digunakan sebagai alas tidur Yu Ping. Sementara ia sendiri tidur dengan posisi duduk, bersandar pada pilar.Tengah malam, Yu Ping terbangun karena mimpi buruk yang dialaminya.Ia bermimpi kakak perempuannya, Xin Ru berteriak minta tolong. Di belakang gadis itu berdiri Dewa Golok Hitam bersiap mengayunkan goloknya. Yu Ping berlari mendekat untuk menghalangi namun terlambat. Dewa Golok Hitam menebas punggung Xin Ru hingga kakak tercintanya ambruk bersimbah darah.Kakak, dimana Kakak berada? Aku sangat merindukanmu, air mata Yu Ping luruh kembali.Saat memegang perutnya yang terasa lapar, ia baru sadar ada sesuatu di balik baju sederhana bermodel kimono yang dikenakannya.Ia mengeluarkan benda tersebut, ternyata sebungkus manisan. Rupanya kakak Xin Ru yang memasukkan kantung manisan itu ke dalam kantong bajunya sebelum mereka berpisah.Ia menghitung jumlah manisan dalam kantong itu, sepuluh biji. Dimakannya dua biji manisan untuk mengurangi rasa lapar, lalu sisanya ia masukkan kembali ke balik baju. Setelah itu barulah ia bisa kembali tidur sambil membayangkan wajah ayah dan kakak perempuan. Keesokan harinya, pagi-pagi benar, mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju gunung Hoa San.Perjalanan itu memakan waktu sepuluh hari dengan berjalan kaki, beruntungnya mereka tak pernah bertemu dengan pasukan tentara atau salah satu dari Malaikat Pencabut Nyawa.Setelah tiba di kaki gunung Hoa San, Wu Qing berjongkok di depan Yu Ping agar bisa menatap mata anak itu. “Yu Ping, kita harus berpisah di sini. Kau harus naik sendiri menuju perguruan Hoa San dan memohonlah untuk menjadi murid di sana!”“Paman, aku tak mau berpisah dengan Paman!” rengek Yu Ping. Di dunia ini hanya tersisa paman Wu yang peduli padanya dan kini akan berpisah juga? Dewa sungguh tak adil, jerit hati Yu Ping.“Yu Ping, seluruh ketua dunia persilatan membenci Paman karena kesalahan di masa lalu. Kalau aku membawamu ke sana maka tak akan ada yang sudi menerima kita. Kau harus pergi ke sana tanpa Paman sekarang!” Wu Qing menjelaskan dengan tegar hati meski sedih bukan main.Yu Ping menangis lagi.“Yu Ping, ingatlah! Air mata adalah musuh pendekar sejati, jangan pernah menangis lag!” Wu Qing menyeka pipi bocah di depannya. Yu Ping mengangguk meski air matanya tetap mengalir turun.“Kelak bila kita berjodoh dipertemukan lagi, Paman ingin melihatmu sebagai pendekar terhebat di seluruh negeri!” Wu Qing tersenyum.Yu Ping mengangguk, “Setelah aku menjadi pendekar tanpa tanding, aku akan mencari Paman.”“Sekarang pergilah! Begitu kau berbalik, jangan pernah menoleh ke belakang lagi!” Wu Qing membalikkan tubuh kurus Yu Ping hingga bocah 12 tahun itu menghadap ke arah gunung.Yu Ping berjalan selangkah demi selangkah, kaki-kakinya seperti diikat dengan batu berton-ton beratnya. Ketika sudah beberapa langkah, ia lupa akan pesan sang paman.Bocah itu berbalik kembali, ingin memeluk pamannya dan mengatakan bahwa ia tak mau pergi ke Hoa San. Mereka bisa berdua saja, mempelajari ilmu silat di tempat lain tanpa harus berpisah.Namun saat berbalik, pamannya sudah menghilang entah ke mana.“PAMAN!” Yu Ping menjerit sekuatnya.“PAMAN!” Yu Ping menjerit sekuatnya. Namun yang dicari tak pernah muncul kembali, meski bocah malang itu berteriak memanggil namanya berulang kali. “Yu Ping tak ingin berpisah dengan Paman, biar kita mencari perguruan dimana mereka juga bersedia menerima kita berdua,” Yu Ping menangis terisak. “Huhu … jangan tinggalkan aku, Paman Wu!” Setelah hampir satu jam berlalu sia-sia, bocah itu sadar paman Wu Qing benar-benar telah meninggalkannya dan tak akan kembali lagi. Ia mengusap air mata dengan lengan baju, berjanji pada diri sendiri bahwa ini merupakan air mata terakhirnya. Akhirnya Yu Ping memutuskan untuk meneruskan langkahnya menuju perguruan Hoa San yang terletak di puncak bukit. Begitu mencapai pintu gerbang perguruan, Yu Ping bertemu dengan dua orang pemuda bertubuh tegap sedang keluar dari sana. “Hei Bocah, dari mana datangmu dan untuk apa kau kemari?” bentak seorang yang berwajah bulat begitu melihatnya. Belum lagi ia menjawab, pemuda satunya yang berkulit sawo matang mena
Sebelum semua menjadi gelap, matanya menangkap samar-samar wajah pria di atasnya. “A … Ayah?” bibir Yu Ping mengepak terbuka namun terlalu lemah untuk berkata-kata. Perlahan matanya menutup, ia ingin tertidur dan tak bangun lagi. *** Entah berapa lama tak sadarkan diri, Yu Ping kecil terbangun saat hari sudah gelap. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa dirinya sedang berada di dalam sebuah pondok bambu yang sederhana. Ia juga mengamati bajunya sudah berganti dengan baju berwarna putih bersih, siapa yang sudah begitu baik menolongnya?Ayah angkat sudah meninggal, kakak perempuan meninggalkannya, dan paman Wu Qing juga sudah pergi, Mungkinkah paman Wu Qing mengkhawatirkan dirinya lalu kembali menyelamatkannya? Saat mendengar suara orang memasak di luar pondok, Yu Ping seketika bersemangat. Tak salah lagi, orang yang telah menyelamatkannya pasti Wu Qing alias Pendekar Pedang Pendek. Saking senangnya, tanpa memedulikan bahwa tubuhnya masihlah sangat lemah, bocah itu meninggalkan t
“Apakah kau melihat saputangan hanyut di sekitar sungai ini?” tanya gadis itu padanya. Yu Ping tak mampu menjawab, ia takut begitu bibirnya terbuka, jantungnya ikut meloncat keluar karena berdetak terlalu kencang. Si makhluk cantik melambaikan tangan di depan mata Yu Ping, “Kau tidak apa-apa?” Yu Ping ingin menjawab namun lidahnya terasa kelu, hanya bibirnya saja yang mengepak terbuka seperti ikan mencari oksigen di permukaan air. “Oh kau gagu ya?” tatapan gadis itu berubah menjadi iba padanya. Mata Yu Ping membeliak, ia menggoyang-goyangkan kedua tangan. “Kau tidak melihat saputanganku, ya sudah tak apa-apa!” bibir si cantik tersenyum sangat manis. Saat gadis bergaun merah muda itu melambaikan tangan dan berbalik pergi, ia tak pernah menyadari telah membawa sekeping hati Yu Ping bersamanya. Yu Ping masih tak mempercayai bahwa ia bertemu dengan manusia bukannya hantu. Bahkan sesampainya di pondok, ia sibuk menjemur saputangan yang ditemukannya dan memandangi secarik kain terse
“Ingatlah bahwa kau harus menjadi pendekar nomor satu di dunia agar dapat membalaskan dendam kematian ayahmu, raja Qi You!" perintah Xian Lian dengan keras.“Qi Yun tak akan mengecewakan hati Ibu,” bocah laki-laki seumuran Yu Ping itu mengangguk tegas. Sebentar kemudian ia sudah berlatih jurus Pedang Bayangan kembali. Kali ini bocah tampan itu berfokus penuh pada pedang di tangannya. Saat berfokus itulah, gerakannya menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Ia berputar ke sana kemari seperti sedang menari di bawah sinar bulan purnama. Kedua kakinya hampir tak menapak tanah saat melesat ke arah dinding batu, berpijak lalu berlari menapak dinding batu tersebut dengan kecepatan tinggi melawan gravitasi bumi. Setelah cukup tinggi, ia menghentakkan kedua kaki, melesat terbang seraya menggerak-gerakkan pedang di tangan sekaligus memutar tubuhnya hingga dari kejauhan tampak seperti bola bercahaya bergulung-gulung di atas tanah.
“Hiih … dia bersisik!” beberapa bergidik melihat punggung Yu Ping. “Siluman!” teriak yang lain. Wajah Yu Ping pucat, ia teringat dengan peristiwa di sungai lima tahun lalu dimana anak-anak sebayanya ketakutan dan memanggil dirinya siluman air. Gara-gara berita siuman air itu menyebar, desanya mengalami bencana besar. Kini murid-murid Hoa San sudah mengetahui tentang sisik di punggungnya juga, akankah Hoa San mengalami nasib yang sama dengan desa kelahirannya dulu? Tiba-tiba saja murid Pertama dan Ketiga membekuknya dari belakang, kedua tangan dikunci di belakang punggung. Kali ini Yu Ping tak melawan, ia membiarkan dirinya digiring ke aula gedung Hoa San. Murid Pertama dan Ketiga memegangi kedua bahunya, memaksanya berlutut. Lagi-lagi pemuda itu tak memberikan perlawanan meski sebenarnya tidak sulit mengalahkan mereka berdua. Tetua Wang muncul bersama dua tetua lain karena mendengar suara
Murid Ketiga memutuskan untuk mendekat dan mengintai dari lubang jendela. Tampak olehnya tetua Wang dan sosok misterius berdiri berhadap-hadapan, lilin dimatikan hingga ruangan menjadi gelap namun murid Ketiga masih dapat melihat siluet keduanya. “Memanggilku kemari ada berita penting apa?” tanya tamu misterius berbaju hitam. “Aku menemukan bocah dengan sisik emas, sepertinya dia bukan anak sembarangan,’ terang tetua Wang. “Bocah bersisik emas? Kalau benar, dia adalah buronan yang selama ini dicari-cari oleh raja Qi!” kata pria misterius di depan tetua Wang. Buronan? Murid Ketiga menutup mulut dengan kedua tangan, khawatir berteriak saking kagetnya. Jadi murid kesayangan ketua Hoa San itu seorang buronan? Hmm, kalau aku laporkan ke penegak hukum di kota maka aku akan mendapatkan uang banyak, tiba-tiba muncul niat jahat di kepala murid Ketiga. Bila Guru Besar mengetahui siapa murid kesayangan yang sebenarnya tentu dia akan m
“Sebuah pukulan tangan kosong ke batang leher dengan tenaga dalam yang sangat kuat tanpa ada bekas pukulan dan memar di kulit, hanya satu orang yang bisa melakukannya. Tidak lain Pendekar Tapak Sakti, Liu Heng dari perguruan Kun Lun!” Tiga tetua saling memandang tak percaya, sementara para murid terlihat bengong tak mengerti. “Tetapi hal itu tidak mungkin,” tetua Wang mendekati jenazah murid Ketiga dengan penasaran. “Apa yang membuat Ketua Wu berpikiran pelakunya Liu Heng?” “Aku tidak yakin pelakunya adalah Liu Heng, tetapi orang yang membunuh murid kita menggunakan jurus yang dimiliki oleh pendekar Tapak Sakti!” Wu Xian mengelus jenggotnya. “Setahuku, Liu Heng sudah berubah menjadi gila karena melakukan kesalahan saat mempelajari jurus tertinggi Tapak Dewa!” kata tetua Wang lagi. “Benar,” Wu Xian mengangguk. “Masalah ini sangat pelik, kita tak bisa sembarangan menuduh karena selama ini perguruan Kun Lun dan Hoa San tidak pernah ada masalah sedangkan Liu Heng adalah mantan tetua
Jantung Yu Ping berdebar kencang. Meski sudah lima tahun berlalu, ia masih saja terpesona melihat sosok yang hanya bisa menghiasi mimpi dan kini berada di sampingnya. Qing Ning. “Kakak Pertama, apakah tidak malu sebagai murid Hoa San merundung anak kecil?” bentak Qing Ning dengan kedua tangan menumpu pada pinggangnya yang ramping. Mata indahnya memelototi kelima pria di depannya dengan ekspresi marah, membuat hati mereka menciut. Bagaimana tidak, Qing Ning adalah cucu dari ketua Hoa San, Wu Xian. Ilmu silatnya pun tak dapat dianggap enteng. Selain sangat cantik, ia juga pandai ilmu pedang. Bukan hanya Yu Ping, hampir semua pemuda di perguruan Hoa San mengagumi kecantikan gadis itu. Matanya besar dan indah berkilauan serta memiliki daya tarik kuat bagi setiap orang yang memandang, namun sinar mata itu juga mengandung ketegasan dan kewibawaan yang sepertinya diturunkan oleh Wu Xian, sang kakek. Anak kecil? mata Yu Ping membulat mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan anak ke