Share

8. PERGURUAN HOA SAN

“PAMAN!” Yu Ping menjerit sekuatnya. Namun yang dicari tak pernah muncul kembali, meski bocah malang itu berteriak memanggil namanya berulang kali.

“Yu Ping tak ingin berpisah dengan Paman, biar kita mencari perguruan dimana mereka juga bersedia menerima kita berdua,” Yu Ping menangis terisak. “Huhu … jangan tinggalkan aku, Paman Wu!”

Setelah hampir satu jam berlalu sia-sia, bocah itu sadar paman Wu Qing benar-benar telah meninggalkannya dan tak akan kembali lagi.

Ia mengusap air mata dengan lengan baju, berjanji pada diri sendiri bahwa ini merupakan air mata terakhirnya.

Akhirnya Yu Ping memutuskan untuk meneruskan langkahnya menuju perguruan Hoa San yang terletak di puncak bukit.

Begitu mencapai pintu gerbang perguruan, Yu Ping bertemu dengan dua orang pemuda bertubuh tegap sedang keluar dari sana.

“Hei Bocah, dari mana datangmu dan untuk apa kau kemari?” bentak seorang yang berwajah bulat begitu melihatnya.

Belum lagi ia menjawab, pemuda satunya yang berkulit sawo matang menarik leher baju Yu Ping bagian belakang hingga kaki anak itu hampir tak berpijak ke tanah.

“Pasti dia ini pencuri makanan di dapur kita yang selama ini berkeliaran, Kakak Pertama!” Pemuda berkulit sawo matang menyeringai sambil matanya memindai sosok Yu Ping dari atas ke bawah.

“Benar, Adik Ketiga!” imbuh pemuda yang dipanggil Kakak pertama. “Mari kita bawa pada Guru!”

Tanpa memberi kesempatan pada Yu Ping membela diri, kedua murid Hoa San itu menyeretnya masuk ke dalam gedung menuju aula.

Di sana tiga tetua Hoa San sedang bercakap-cakap sambil menikmati teh. Mendengar keributan, mereka segera berdiri dan melihat murid Pertama dan Ketiga sedang menyeret anak laki-laki yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

“Apa yang terjadi, Murid Pertama?” tanya tetua Wang dengan mata menyelidik. Tetua Wang adalah wakil ketua Hoa San, berusia 40 tahun, bertubuh kurus dan berjenggot tipis.

Meski begitu, ia adalah sosok yang disegani di Hoa San karena hampir semua ilmu peguruan Hoa San dikuasainya.

“Guru Wang, kami sudah menemukan pencuri makanan yang selama ini berkeliaran!” setelah berkata demikian, pemuda berkulit sawo matang mencampakkan tubuh Yu Ping hingga jatuh tertelungkup di depan kaki tetua Wang.

“Benarkah begitu?” Guru Wang memiringkan kepalanya. Yu Ping bangkit dan berlutut di depan Guru Wang.

“Tidak benar, aku datang ingin menjadi murid!” Yu Ping berusaha menjelaskan, “Aku bukan pencuri!”

“Ah, bohong!” bentak murid Pertama, “Kalau saja kami tidak memergokimu, kau pasti sudah mencuri lagi.”

Yu Ping menggeleng kuat, ia menatap tetua Wang dengan pandangan memelas. “Tuan, percayalah padaku. Aku hanya ingin menjadi murid di sini.”

“Murid? Ckk ckk, penampilan seperti pengemis ingin jadi murid Hoa san!” decih murid Pertama, “Kau lebih cocok berguru pada partai pengemis Kai Pang!”

“Murid Pertama, tutup mulutmu!” bentakan tetua Wang berhasil membungkam mulut jahat murid Pertama.

“Siapa namamu, Nak?” tanya tetua Wang.

Yu Ping berpikir sejenak, lalu menjawab, “A Ping … namaku A Ping!”

“A Ping, dari mana asalmu?” pertanyaan tetua Wang kali ini sangat sulit dijawab oleh Yu Ping. Semakin sedikit orang yang tahu asal-usulnya akan semakin baik.

“Maaf aku lupa,” Yu Ping menjawab perlahan. “Sejak kecil tidak memiliki siapa-siapa hingga tak tahu asal -usulku.”

Dalam hati ia meminta maaf pada Wang ji, ayah angkatnya. Ia terpaksa berbohong untuk menyembunyikan identitasnya.

Setelah peristiwa penyerangan di desa Kuning yang merenggut nyawa ayah angkatnya, Yu Ping harus sangat berhati-hati karena banyak orang jahat mencari dan ingin membunuhnya.

“Lalu bagaimana kau bisa kemari dan tertarik menjadi murid kami?”

“Aku dengar perguruan Hoa San adalah perguruan yang hebat, jadi aku ingin belajar ilmu bela diri di sini agar kelak menjadi orang kuat untuk melindungi yang lemah!” jawab Yu Ping lancar dan berani.

“Omong kosong, kau hanya ingin makan tidur gratis di sini!” sergah murid Ketiga.

“Murid Ketiga, siapa yang suruh kau angkat bicara?” tegur tetua Wang gusar. Murid Ketiga terdiam dengan hati dongkol.

“A Ping, aku tahu kau memiliki niat yang mulia,” kata tetua Wang, “Tapi maaf, kami tak dapat menerimamu.”

Murid Pertama dan Ketiga nyaris berjingkrak kegirangan, di bibir mereka tersungging senyuman puas. Sementara Yu Ping terpukul mendengarnya, Hoa San adalah satu-satunya harapan bagi bocah kecil itu untuk tinggal. Ia tak memiliki pilihan apapun lagi.

“Mengapa, Guru?”

“Kami tidak mungkin menerima murid yang tidak jelas asal-usulnya, sebaiknya kau cari perguruan lain saja!” Setelah berkata-kata, tetua Wang berbalik berniat meninggalkan Yu Ping namun bocah itu memeluk kaki kirinya erat-erat.

“Guru, berikanlah aku kesempatan! Aku janji akan belajar dengan baik dan menjadi murid yang dapat diandalkan!” Yu Ping memohon dengan wajah memelas.

“Dasar anak tak tahu malu!” murid Pertama dan Ketiga menarik paksa lengan Yu Ping yang membelit kaki tetua Wang hingga pelukan itu terlepas.

Tetua Wang menggeleng-gelengkan kepala sambil mengelus jenggot tipisnya lalu melanjutkan langkah meninggalkannya.

“Guru, aku akan terus berlutut di tempat ini sampai Guru menerimaku!” kata Yu Ping lagi namun para tetua itu tak mengindahkannya.

Murid Pertama dan Ketiga menyeret tubuh kecil nan kurus Yu Ping keluar, sesampai di depan pintu gerbang ia dilemparkan begitu saja seperti sampah.

Yu Ping bangkit dan berlutut, ia sudah bertekad tak akan keluar dari Hoa San apapun yang terjadi.

“Heh ... mau apa lagi kau, Bocah?” bentak murid Ketiga.

“Aku tak akan pergi sebelum Guru menerimaku menjadi murid!” ucap Yu Ping berkeras.

“Dasar bodoh! Silahkan saja, asal tahu, sampai kau matipun tak akan diterima di tempat ini!” kedua pemuda itu tertawa mengejek lalu menutup pintu gerbang di depan Yu Ping, meninggalkannya sendirian.

Yu Ping terus berlutut, tak peduli panas terik matahari dan guyuran hujan deras menyiksanya bergantian.

Saat lapar, ia mengambil dua biji manisan untuk mengisi perutnya yang keroncongan.

Di hari ketiga, tubuhnya sudah semakin lemah. bibirnya pucat membiru dan badannya menggigil. Ia merasa sudah hampir mati kelelahan juga kelaparan.

Ia mengambil kantong manisan dalam sakunya dengan tangan gemetar. Ia merogoh ke dalam kantong kertas yang sudah lusuh, saat mengeluarkan isinya ternyata hanya tersisa dua buah manisan.

Kalau ia makan semua, maka kenangan akan ayah dan kakak angkatnya sudah tak ada lagi.

Akhirnya ia memilih memasukkan kembali manisan itu ke dalam kantong dan menyembunyikannya dalam saku baju.

Tak lama Yu Ping mulai limbung, ia merasa tubuhnya seringan kapas dan siap terbang tinggi. Bocah malang itu jatuh terlentang di atas tanah, pandangan matanya mulai mengabur.

Sebelum semua menjadi gelap, matanya menangkap bayangan wajah pria di atasnya.

“A … Ayah?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status