“PAMAN!” Yu Ping menjerit sekuatnya. Namun yang dicari tak pernah muncul kembali, meski bocah malang itu berteriak memanggil namanya berulang kali.
“Yu Ping tak ingin berpisah dengan Paman, biar kita mencari perguruan dimana mereka juga bersedia menerima kita berdua,” Yu Ping menangis terisak. “Huhu … jangan tinggalkan aku, Paman Wu!”
Setelah hampir satu jam berlalu sia-sia, bocah itu sadar paman Wu Qing benar-benar telah meninggalkannya dan tak akan kembali lagi.
Ia mengusap air mata dengan lengan baju, berjanji pada diri sendiri bahwa ini merupakan air mata terakhirnya.
Akhirnya Yu Ping memutuskan untuk meneruskan langkahnya menuju perguruan Hoa San yang terletak di puncak bukit.
Begitu mencapai pintu gerbang perguruan, Yu Ping bertemu dengan dua orang pemuda bertubuh tegap sedang keluar dari sana.
“Hei Bocah, dari mana datangmu dan untuk apa kau kemari?” bentak seorang yang berwajah bulat begitu melihatnya.Belum lagi ia menjawab, pemuda satunya yang berkulit sawo matang menarik leher baju Yu Ping bagian belakang hingga kaki anak itu hampir tak berpijak ke tanah.“Pasti dia ini pencuri makanan di dapur kita yang selama ini berkeliaran, Kakak Pertama!” Pemuda berkulit sawo matang menyeringai sambil matanya memindai sosok Yu Ping dari atas ke bawah.“Benar, Adik Ketiga!” imbuh pemuda yang dipanggil Kakak pertama. “Mari kita bawa pada Guru!”Tanpa memberi kesempatan pada Yu Ping membela diri, kedua murid Hoa San itu menyeretnya masuk ke dalam gedung menuju aula.Di sana tiga tetua Hoa San sedang bercakap-cakap sambil menikmati teh. Mendengar keributan, mereka segera berdiri dan melihat murid Pertama dan Ketiga sedang menyeret anak laki-laki yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.“Apa yang terjadi, Murid Pertama?” tanya tetua Wang dengan mata menyelidik. Tetua Wang adalah wakil ketua Hoa San, berusia 40 tahun, bertubuh kurus dan berjenggot tipis.Meski begitu, ia adalah sosok yang disegani di Hoa San karena hampir semua ilmu peguruan Hoa San dikuasainya.“Guru Wang, kami sudah menemukan pencuri makanan yang selama ini berkeliaran!” setelah berkata demikian, pemuda berkulit sawo matang mencampakkan tubuh Yu Ping hingga jatuh tertelungkup di depan kaki tetua Wang.“Benarkah begitu?” Guru Wang memiringkan kepalanya. Yu Ping bangkit dan berlutut di depan Guru Wang.“Tidak benar, aku datang ingin menjadi murid!” Yu Ping berusaha menjelaskan, “Aku bukan pencuri!”“Ah, bohong!” bentak murid Pertama, “Kalau saja kami tidak memergokimu, kau pasti sudah mencuri lagi.”Yu Ping menggeleng kuat, ia menatap tetua Wang dengan pandangan memelas. “Tuan, percayalah padaku. Aku hanya ingin menjadi murid di sini.”“Murid? Ckk ckk, penampilan seperti pengemis ingin jadi murid Hoa san!” decih murid Pertama, “Kau lebih cocok berguru pada partai pengemis Kai Pang!”“Murid Pertama, tutup mulutmu!” bentakan tetua Wang berhasil membungkam mulut jahat murid Pertama.“Siapa namamu, Nak?” tanya tetua Wang.Yu Ping berpikir sejenak, lalu menjawab, “A Ping … namaku A Ping!”“A Ping, dari mana asalmu?” pertanyaan tetua Wang kali ini sangat sulit dijawab oleh Yu Ping. Semakin sedikit orang yang tahu asal-usulnya akan semakin baik.“Maaf aku lupa,” Yu Ping menjawab perlahan. “Sejak kecil tidak memiliki siapa-siapa hingga tak tahu asal -usulku.”Dalam hati ia meminta maaf pada Wang ji, ayah angkatnya. Ia terpaksa berbohong untuk menyembunyikan identitasnya.Setelah peristiwa penyerangan di desa Kuning yang merenggut nyawa ayah angkatnya, Yu Ping harus sangat berhati-hati karena banyak orang jahat mencari dan ingin membunuhnya.
“Lalu bagaimana kau bisa kemari dan tertarik menjadi murid kami?”
“Aku dengar perguruan Hoa San adalah perguruan yang hebat, jadi aku ingin belajar ilmu bela diri di sini agar kelak menjadi orang kuat untuk melindungi yang lemah!” jawab Yu Ping lancar dan berani.“Omong kosong, kau hanya ingin makan tidur gratis di sini!” sergah murid Ketiga.“Murid Ketiga, siapa yang suruh kau angkat bicara?” tegur tetua Wang gusar. Murid Ketiga terdiam dengan hati dongkol.“A Ping, aku tahu kau memiliki niat yang mulia,” kata tetua Wang, “Tapi maaf, kami tak dapat menerimamu.”Murid Pertama dan Ketiga nyaris berjingkrak kegirangan, di bibir mereka tersungging senyuman puas. Sementara Yu Ping terpukul mendengarnya, Hoa San adalah satu-satunya harapan bagi bocah kecil itu untuk tinggal. Ia tak memiliki pilihan apapun lagi.“Mengapa, Guru?”“Kami tidak mungkin menerima murid yang tidak jelas asal-usulnya, sebaiknya kau cari perguruan lain saja!” Setelah berkata-kata, tetua Wang berbalik berniat meninggalkan Yu Ping namun bocah itu memeluk kaki kirinya erat-erat.“Guru, berikanlah aku kesempatan! Aku janji akan belajar dengan baik dan menjadi murid yang dapat diandalkan!” Yu Ping memohon dengan wajah memelas.“Dasar anak tak tahu malu!” murid Pertama dan Ketiga menarik paksa lengan Yu Ping yang membelit kaki tetua Wang hingga pelukan itu terlepas.Tetua Wang menggeleng-gelengkan kepala sambil mengelus jenggot tipisnya lalu melanjutkan langkah meninggalkannya.“Guru, aku akan terus berlutut di tempat ini sampai Guru menerimaku!” kata Yu Ping lagi namun para tetua itu tak mengindahkannya.Murid Pertama dan Ketiga menyeret tubuh kecil nan kurus Yu Ping keluar, sesampai di depan pintu gerbang ia dilemparkan begitu saja seperti sampah.Yu Ping bangkit dan berlutut, ia sudah bertekad tak akan keluar dari Hoa San apapun yang terjadi.“Heh ... mau apa lagi kau, Bocah?” bentak murid Ketiga.“Aku tak akan pergi sebelum Guru menerimaku menjadi murid!” ucap Yu Ping berkeras.“Dasar bodoh! Silahkan saja, asal tahu, sampai kau matipun tak akan diterima di tempat ini!” kedua pemuda itu tertawa mengejek lalu menutup pintu gerbang di depan Yu Ping, meninggalkannya sendirian.Yu Ping terus berlutut, tak peduli panas terik matahari dan guyuran hujan deras menyiksanya bergantian.Saat lapar, ia mengambil dua biji manisan untuk mengisi perutnya yang keroncongan.
Di hari ketiga, tubuhnya sudah semakin lemah. bibirnya pucat membiru dan badannya menggigil. Ia merasa sudah hampir mati kelelahan juga kelaparan.Ia mengambil kantong manisan dalam sakunya dengan tangan gemetar. Ia merogoh ke dalam kantong kertas yang sudah lusuh, saat mengeluarkan isinya ternyata hanya tersisa dua buah manisan.Kalau ia makan semua, maka kenangan akan ayah dan kakak angkatnya sudah tak ada lagi.Akhirnya ia memilih memasukkan kembali manisan itu ke dalam kantong dan menyembunyikannya dalam saku baju.Tak lama Yu Ping mulai limbung, ia merasa tubuhnya seringan kapas dan siap terbang tinggi. Bocah malang itu jatuh terlentang di atas tanah, pandangan matanya mulai mengabur.
Sebelum semua menjadi gelap, matanya menangkap bayangan wajah pria di atasnya.
“A … Ayah?”Sebelum semua menjadi gelap, matanya menangkap samar-samar wajah pria di atasnya. “A … Ayah?” bibir Yu Ping mengepak terbuka namun terlalu lemah untuk berkata-kata. Perlahan matanya menutup, ia ingin tertidur dan tak bangun lagi. *** Entah berapa lama tak sadarkan diri, Yu Ping kecil terbangun saat hari sudah gelap. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa dirinya sedang berada di dalam sebuah pondok bambu yang sederhana. Ia juga mengamati bajunya sudah berganti dengan baju berwarna putih bersih, siapa yang sudah begitu baik menolongnya?Ayah angkat sudah meninggal, kakak perempuan meninggalkannya, dan paman Wu Qing juga sudah pergi, Mungkinkah paman Wu Qing mengkhawatirkan dirinya lalu kembali menyelamatkannya? Saat mendengar suara orang memasak di luar pondok, Yu Ping seketika bersemangat. Tak salah lagi, orang yang telah menyelamatkannya pasti Wu Qing alias Pendekar Pedang Pendek. Saking senangnya, tanpa memedulikan bahwa tubuhnya masihlah sangat lemah, bocah itu meninggalkan t
“Apakah kau melihat saputangan hanyut di sekitar sungai ini?” tanya gadis itu padanya. Yu Ping tak mampu menjawab, ia takut begitu bibirnya terbuka, jantungnya ikut meloncat keluar karena berdetak terlalu kencang. Si makhluk cantik melambaikan tangan di depan mata Yu Ping, “Kau tidak apa-apa?” Yu Ping ingin menjawab namun lidahnya terasa kelu, hanya bibirnya saja yang mengepak terbuka seperti ikan mencari oksigen di permukaan air. “Oh kau gagu ya?” tatapan gadis itu berubah menjadi iba padanya. Mata Yu Ping membeliak, ia menggoyang-goyangkan kedua tangan. “Kau tidak melihat saputanganku, ya sudah tak apa-apa!” bibir si cantik tersenyum sangat manis. Saat gadis bergaun merah muda itu melambaikan tangan dan berbalik pergi, ia tak pernah menyadari telah membawa sekeping hati Yu Ping bersamanya. Yu Ping masih tak mempercayai bahwa ia bertemu dengan manusia bukannya hantu. Bahkan sesampainya di pondok, ia sibuk menjemur saputangan yang ditemukannya dan memandangi secarik kain terse
“Ingatlah bahwa kau harus menjadi pendekar nomor satu di dunia agar dapat membalaskan dendam kematian ayahmu, raja Qi You!" perintah Xian Lian dengan keras.“Qi Yun tak akan mengecewakan hati Ibu,” bocah laki-laki seumuran Yu Ping itu mengangguk tegas. Sebentar kemudian ia sudah berlatih jurus Pedang Bayangan kembali. Kali ini bocah tampan itu berfokus penuh pada pedang di tangannya. Saat berfokus itulah, gerakannya menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Ia berputar ke sana kemari seperti sedang menari di bawah sinar bulan purnama. Kedua kakinya hampir tak menapak tanah saat melesat ke arah dinding batu, berpijak lalu berlari menapak dinding batu tersebut dengan kecepatan tinggi melawan gravitasi bumi. Setelah cukup tinggi, ia menghentakkan kedua kaki, melesat terbang seraya menggerak-gerakkan pedang di tangan sekaligus memutar tubuhnya hingga dari kejauhan tampak seperti bola bercahaya bergulung-gulung di atas tanah.
“Hiih … dia bersisik!” beberapa bergidik melihat punggung Yu Ping. “Siluman!” teriak yang lain. Wajah Yu Ping pucat, ia teringat dengan peristiwa di sungai lima tahun lalu dimana anak-anak sebayanya ketakutan dan memanggil dirinya siluman air. Gara-gara berita siuman air itu menyebar, desanya mengalami bencana besar. Kini murid-murid Hoa San sudah mengetahui tentang sisik di punggungnya juga, akankah Hoa San mengalami nasib yang sama dengan desa kelahirannya dulu? Tiba-tiba saja murid Pertama dan Ketiga membekuknya dari belakang, kedua tangan dikunci di belakang punggung. Kali ini Yu Ping tak melawan, ia membiarkan dirinya digiring ke aula gedung Hoa San. Murid Pertama dan Ketiga memegangi kedua bahunya, memaksanya berlutut. Lagi-lagi pemuda itu tak memberikan perlawanan meski sebenarnya tidak sulit mengalahkan mereka berdua. Tetua Wang muncul bersama dua tetua lain karena mendengar suara
Murid Ketiga memutuskan untuk mendekat dan mengintai dari lubang jendela. Tampak olehnya tetua Wang dan sosok misterius berdiri berhadap-hadapan, lilin dimatikan hingga ruangan menjadi gelap namun murid Ketiga masih dapat melihat siluet keduanya. “Memanggilku kemari ada berita penting apa?” tanya tamu misterius berbaju hitam. “Aku menemukan bocah dengan sisik emas, sepertinya dia bukan anak sembarangan,’ terang tetua Wang. “Bocah bersisik emas? Kalau benar, dia adalah buronan yang selama ini dicari-cari oleh raja Qi!” kata pria misterius di depan tetua Wang. Buronan? Murid Ketiga menutup mulut dengan kedua tangan, khawatir berteriak saking kagetnya. Jadi murid kesayangan ketua Hoa San itu seorang buronan? Hmm, kalau aku laporkan ke penegak hukum di kota maka aku akan mendapatkan uang banyak, tiba-tiba muncul niat jahat di kepala murid Ketiga. Bila Guru Besar mengetahui siapa murid kesayangan yang sebenarnya tentu dia akan m
“Sebuah pukulan tangan kosong ke batang leher dengan tenaga dalam yang sangat kuat tanpa ada bekas pukulan dan memar di kulit, hanya satu orang yang bisa melakukannya. Tidak lain Pendekar Tapak Sakti, Liu Heng dari perguruan Kun Lun!” Tiga tetua saling memandang tak percaya, sementara para murid terlihat bengong tak mengerti. “Tetapi hal itu tidak mungkin,” tetua Wang mendekati jenazah murid Ketiga dengan penasaran. “Apa yang membuat Ketua Wu berpikiran pelakunya Liu Heng?” “Aku tidak yakin pelakunya adalah Liu Heng, tetapi orang yang membunuh murid kita menggunakan jurus yang dimiliki oleh pendekar Tapak Sakti!” Wu Xian mengelus jenggotnya. “Setahuku, Liu Heng sudah berubah menjadi gila karena melakukan kesalahan saat mempelajari jurus tertinggi Tapak Dewa!” kata tetua Wang lagi. “Benar,” Wu Xian mengangguk. “Masalah ini sangat pelik, kita tak bisa sembarangan menuduh karena selama ini perguruan Kun Lun dan Hoa San tidak pernah ada masalah sedangkan Liu Heng adalah mantan tetua
Jantung Yu Ping berdebar kencang. Meski sudah lima tahun berlalu, ia masih saja terpesona melihat sosok yang hanya bisa menghiasi mimpi dan kini berada di sampingnya. Qing Ning. “Kakak Pertama, apakah tidak malu sebagai murid Hoa San merundung anak kecil?” bentak Qing Ning dengan kedua tangan menumpu pada pinggangnya yang ramping. Mata indahnya memelototi kelima pria di depannya dengan ekspresi marah, membuat hati mereka menciut. Bagaimana tidak, Qing Ning adalah cucu dari ketua Hoa San, Wu Xian. Ilmu silatnya pun tak dapat dianggap enteng. Selain sangat cantik, ia juga pandai ilmu pedang. Bukan hanya Yu Ping, hampir semua pemuda di perguruan Hoa San mengagumi kecantikan gadis itu. Matanya besar dan indah berkilauan serta memiliki daya tarik kuat bagi setiap orang yang memandang, namun sinar mata itu juga mengandung ketegasan dan kewibawaan yang sepertinya diturunkan oleh Wu Xian, sang kakek. Anak kecil? mata Yu Ping membulat mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan anak ke
“Malam ini kau akan mati di tanganku, Wu Xian!” Pria berbaju dan berkedok serba hitam itu mendekati tempat tidur, mengangkat tangan kanannya dan mengerahkan tenaga dalam penuh. Tangan kiri meraih selimut dan menariknya dengan cepat, seraya siap memukulkan tangan kanan ke arah leher Wu Xian. Namun ia terkejut bukan main, ketika selimut tersibak ternyata hanya ada sebuah bantal di baliknya. Ia menoleh ke kanan kiri, mencari keberadaan sosok Wu Xian dalam kegelapan. Menyadari ada sepasang mata sedang mengawasinya, pria berkedok itu perlahan mendongak ke atas, ke langit-langit tempat tidur. Ternyata Wu Xian sedari tadi bersembunyi di langit-langit, dengan kedua tangan dan kedua kaki berpijak pada empat tiang tempat tidur. Begitu musuh menengadah ke atas, Wu Xian langsung melompat turun sambil menghujamkan tinjunya ke arah pria misterius di bawahnya. Sosok itu meloncat ke belakang guna menghindari serangan hingga tinju Wu Xian menghantam tempat tidur yang terbuat dari papan kayu.