“Kau ingin menyusul ayahmu ke neraka rupanya, Bocah Bodoh!” desis Dewa Golok Hitam, bersiap mengayunkan goloknya.
Xin Ru yakin hidupnya akan segera berakhir, ia pun memejamkan mata dan membayangkan wajah ayahnya. Aku akan berkumpul lagi denganmu, Ayah!Satu, dua, tiga detik berlalu. Xin Ru tak juga merasakan apa-apa, ia mulai berpikir apakah mungkin tebasan golok itu luar biasa cepat hingga ia tak sempat merasakan sakit.Ia memeriksa leher dan dadanya dengan kedua tangan untuk memastikan apakah ia masih hidup, ternyata tubuhnya utuh.Gadis yang masih belia itu akhirnya memberanikan diri membuka mata perlahan.Di depannya seorang wanita bertubuh langsing dengan tinggi tak kurang dari 170 cm berdiri tegak menghadang si Pembunuh Keji.Xin Ru ingat wanita itu sebagai salah satu dari komplotan yang datang mengobrak-abrik desa Kuning, sungguh aneh bila berdiri membentenginya dari serangan golok rekannya sendiri.“Minggir, Mei Mei!” bentak Dewa Golok Hitam kesal.“Hitam, aku menyukai anak ini. Kau tidak boleh menyentuhnya!” jawab Dewi Seribu Wajah seraya mengerling ke arah Xin Ru.Dewa Golok Hitam menghentakkan kaki ke tanah, kesal tak bisa melanjutkan menghabisi salah satu anggota keluarga si bocah siluman.Tetapi ia tak mau bertengkar dengan saudari seperguruannya sendiri, akhirnya memilih diam dengan wajah keruh.Dewi Seribu Wajah yang biasa dipanggil Mei Mei memutar tubuh menghadap Xin Ru.Bibi ini cantik sekali, puji Xin Ru dalam hati. Meski kecantikan itu hanya sebatas kulit saja, hatinya dipenuhi napsu membunuh dan dendam mendalam.Usianya sekitar 30 tahun, berwajah manis namun mata bersinar bengis, hidung mungil dan bibir tipis.“Anak manis, siapa namamu?” Dewi Seribu Wajah membungkuk, menatapnya seraya tersenyum. Sikap wanita itu seolah sedang tidak terjadi apa-apa.Xin Ru berpikir cepat, bila ia bersikap baik dan bekerja sama dengan bibi ini, kemungkinan besar dapat menyelamatkan nyawa ibunya yang pingsan sedari tadi.“Namaku Xin Ru, Bibi …”“Panggil aku Bibi Mei!” Dewi Seribu Wajah mengusap debu di pipi Xin Ru dengan lembut.“Maukah Xin Ru ikut Bibi ke Kota Raja dan menjadi muridku?”Xin Ru tertegun, menjadi murid manusia haus darah? Mendengar saja ia sudah mual, apalagi salah satu dari mereka adalah pembunuh ayahnya.Selagi berpikir mencari cara untuk menolak, dari dalam desa muncul seorang pria berkulit putih pucat, menyeret pemuda yang berada dalam keadaan terikat tangan dan kakinya.Pria itu berperawakan kurus dan bersenjatakan golok, sekilas mirip sekali dengan Dewa Golok Hitam.Pria itu dijuluki Dewa Golok Putih, sesuai dengan penampilannya. Rambut putih, jubah putih, bahkan kulit tubuhnya pun putih seperti mayat hidup.Dewa Golok Putih melemparkan pemuda yang diseretnya tadi ke tengah-tengah, Xin Ru terkesiap begitu mengetahui siapa pemuda tersebut, tak lain Wang Zhi, kakak kandungnya sendiri.“Lihat, aku menemukan bocah ini bersembunyi di balik kandang ayam ketika kita menangkap orang tuanya!” Dewa Golok Putih tertawa mengejek seraya meletakkan kakinya di kepala Wang Zhi.Pemuda itu terkencing-kencing di celana saking takutnya.“Hancurkan saja otak kecilnya itu!” Dewa Golok Hitam tergelak seolah dia sedang menonton pertunjukan lucu.“Tunggu!” Xin Ru meraih tangan Dewi Seribu Wajah.Ia berlutut sambil meneteskan air mata, “Bibi Mei, aku bersedia jadi muridmu!”“Sungguh?” Dewi Seribu Wajah tersenyum lebar. Entah mengapa ia sangat menyukai gadis remaja jelita di depannya.Selain cantik, gadis kecil ini juga memiliki sinar mata yang menunjukkan kecerdasannya. Ia yakin kelak Xin Ru akan menjadi pendekar hebat seperti dirinya.“Sebagai muridmu, bolehkah kuminta satu hal?” Xin Ru memohon.“Baru jadi murid sudah banyak permintaan, apakah kau tidak berpikir dua kali sebelum mengambil anak belagu itu sebagai murid, Mei Mei?” Dewa Golok Hitam mendecih.“Katakan saja, Apapun yang kau minta pasti kukabulkan!” janji Dewi Seribu Wajah pada Xin Ru tanpa mengindahkan saudaranya.Xin Ru merasa melihat secercah harapan keselamatan keluarga dan seluruh penduduk desa.“Kumohon ampunilah nyawa ibu dan kakak laki-laki-ku juga warga desa ini!” ucapnya penuh semangat.Dewa Golok Hitam dan Dewa Golok Putih tertawa tergelak, mentertawakan gadis kecil yang dianggap bodoh itu.“Dalam sejarah Tujuh Malaikat Pencabut Nyawa, tidak ada kata AMPUN, camkan itu!” bentak Dewa Golok Hitam disambung tawa Dewa Golok Putih.“Akan kukabulkan keinginanmu, Muridku!” ucapan Dewi Seribu Wajah mengejutkan enam pendekar yang lain.“Jangan main-main, Mei Mei!” tegur Dewa Golok Putih, “Tugas kita mencari Bocah Siluman belum selesai, mana bisa kita biarkan mereka semua ini hidup?”“Lepaskan mereka semua, kita kembali ke Kota Raja!” titah Dewi Seribu Wajah tak peduli.Keenam pendekar sadis saling pandang namun tak berani membantah. Dewi seribu Wajah adalah saudara angkat terkecil namun mereka sangat segan padanya.Wanita itu dulu dikenal sebagai Tabib Ajaib yang menyelamatkan mereka saat sekarat terkena pukulan Tapak Dewa ketua perguruan Kun Lun, 10 tahun yang lalu.Sejak saat itu mereka mengangkat saudara dan tak pernah berkonflik satu sama lain.“Kita tetap akan berjaga di sekitar desa ini dan kota terdekat untuk mencari Bocah Siluman, tidak perlu membunuh lagi!” Dewi Seribu Wajah menambahkan disambut anggukan dari enam saudara angkatnya.Akhirnya dengan patuh mereka meninggalkan desa, hanya tentara yang tinggal di sana untuk berjaga-jaga bila Yu Ping yang mereka juluki Bocah Siluman kembali.Dewi Seribu Wajah memegang tangan Xin Ru, “Aku sudah melakukan apa yang kau minta, Xin Ru. Kini giliranmu mendengarkanku!”“Aku akan mendengarkanmu, Bibi Mei!” jawab Xin Ru mantap.“Setelah menjadi muridku, kau tinggalkan semuanya termasuk keluarga dan desa ini!” kata Bibi Mei serius.Wanita pembunuh berdarah dingin itu tentu saja tak ingin suatu saat Xin Ru membalas dendam atas kematian ayahnya menggunakan semua ilmu yang ia berikan. Ia harus memutuskan semua ikatan antara Xin Ru dengan masa lalunya.Xin Ru tertegun, diam-diam melirik ke arah semak-semak di mana Yu Ping berada. Bocah laki-laki itu masih dalam keadaan tak mampu bergerak karena totokan Pendekar Pedang Pendek.Sedari tadi hanya berdiri di balik semak-semak menyaksikan penderitaan ayah, ibu, dan saudara-saudaranya tanpa daya menolong.Gadis itu dapat melihat wajah Yu Ping yang merah dan pipinya basah oleh air mata. Ia merasa sedih tak bisa lagi menjaga adik yang sangat dikasihinya.Meski bocah laki-laki itu bukanlah adik kandung, namun ia menyayanginya seperti saudara sedarah.'Jagalah diri sendiri mulai sekarang, Yu Ping. Aku menyayangimu!' kata Xin Ru lewat tatapan matanya seraya menahan tangis.Yu Ping yang mampu menangkap arti tatapan itu, makin deraslah air mata membasahi pipinya."Jagalah diri sendiri mulai sekarang, Yu Ping. Aku menyayangimu!" kata Xin Ru lewat tatapan matanya. Yu Ping yang mampu menangkap arti tatapan sang kakak, makin deraslah air mata membasahi pipinya. Bibirnya bergetar saat ia menyaksikan untuk terakhir kali, Xin Ru bergandengan tangan dengan salah seorang dari gerombolan pendekar berhati keji, melangkah meninggalkan desa Kuning dan tak pernah menoleh lagi ke belakang. Tak pernah terpikir oleh anak laki-laki yang masih berusia 12 tahun itu bahwa ayah akan terbunuh dan keluarga tercerai-berai dalam satu hari, yang lebih menyakitkan semua itu disebabkan oleh karena dirinya. Mungkin benar kata ibunya, ia benar-benar anak pembawa sial. Seandainya saja ia tak pernah berada dalam keluarga Wang Ji, tentu pria penuh kasih itu tak akan gugur dan kakak perempuan angkatnya juga tak akan dibawa pergi oleh manusia-manusia berhati iblis. Pendekar Pedang Pendek memutuskan untuk membawa Yu
“PAMAN!” Yu Ping menjerit sekuatnya. Namun yang dicari tak pernah muncul kembali, meski bocah malang itu berteriak memanggil namanya berulang kali. “Yu Ping tak ingin berpisah dengan Paman, biar kita mencari perguruan dimana mereka juga bersedia menerima kita berdua,” Yu Ping menangis terisak. “Huhu … jangan tinggalkan aku, Paman Wu!” Setelah hampir satu jam berlalu sia-sia, bocah itu sadar paman Wu Qing benar-benar telah meninggalkannya dan tak akan kembali lagi. Ia mengusap air mata dengan lengan baju, berjanji pada diri sendiri bahwa ini merupakan air mata terakhirnya. Akhirnya Yu Ping memutuskan untuk meneruskan langkahnya menuju perguruan Hoa San yang terletak di puncak bukit. Begitu mencapai pintu gerbang perguruan, Yu Ping bertemu dengan dua orang pemuda bertubuh tegap sedang keluar dari sana. “Hei Bocah, dari mana datangmu dan untuk apa kau kemari?” bentak seorang yang berwajah bulat begitu melihatnya. Belum lagi ia menjawab, pemuda satunya yang berkulit sawo matang mena
Sebelum semua menjadi gelap, matanya menangkap samar-samar wajah pria di atasnya. “A … Ayah?” bibir Yu Ping mengepak terbuka namun terlalu lemah untuk berkata-kata. Perlahan matanya menutup, ia ingin tertidur dan tak bangun lagi. *** Entah berapa lama tak sadarkan diri, Yu Ping kecil terbangun saat hari sudah gelap. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa dirinya sedang berada di dalam sebuah pondok bambu yang sederhana. Ia juga mengamati bajunya sudah berganti dengan baju berwarna putih bersih, siapa yang sudah begitu baik menolongnya?Ayah angkat sudah meninggal, kakak perempuan meninggalkannya, dan paman Wu Qing juga sudah pergi, Mungkinkah paman Wu Qing mengkhawatirkan dirinya lalu kembali menyelamatkannya? Saat mendengar suara orang memasak di luar pondok, Yu Ping seketika bersemangat. Tak salah lagi, orang yang telah menyelamatkannya pasti Wu Qing alias Pendekar Pedang Pendek. Saking senangnya, tanpa memedulikan bahwa tubuhnya masihlah sangat lemah, bocah itu meninggalkan t
“Apakah kau melihat saputangan hanyut di sekitar sungai ini?” tanya gadis itu padanya. Yu Ping tak mampu menjawab, ia takut begitu bibirnya terbuka, jantungnya ikut meloncat keluar karena berdetak terlalu kencang. Si makhluk cantik melambaikan tangan di depan mata Yu Ping, “Kau tidak apa-apa?” Yu Ping ingin menjawab namun lidahnya terasa kelu, hanya bibirnya saja yang mengepak terbuka seperti ikan mencari oksigen di permukaan air. “Oh kau gagu ya?” tatapan gadis itu berubah menjadi iba padanya. Mata Yu Ping membeliak, ia menggoyang-goyangkan kedua tangan. “Kau tidak melihat saputanganku, ya sudah tak apa-apa!” bibir si cantik tersenyum sangat manis. Saat gadis bergaun merah muda itu melambaikan tangan dan berbalik pergi, ia tak pernah menyadari telah membawa sekeping hati Yu Ping bersamanya. Yu Ping masih tak mempercayai bahwa ia bertemu dengan manusia bukannya hantu. Bahkan sesampainya di pondok, ia sibuk menjemur saputangan yang ditemukannya dan memandangi secarik kain terse
“Ingatlah bahwa kau harus menjadi pendekar nomor satu di dunia agar dapat membalaskan dendam kematian ayahmu, raja Qi You!" perintah Xian Lian dengan keras.“Qi Yun tak akan mengecewakan hati Ibu,” bocah laki-laki seumuran Yu Ping itu mengangguk tegas. Sebentar kemudian ia sudah berlatih jurus Pedang Bayangan kembali. Kali ini bocah tampan itu berfokus penuh pada pedang di tangannya. Saat berfokus itulah, gerakannya menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Ia berputar ke sana kemari seperti sedang menari di bawah sinar bulan purnama. Kedua kakinya hampir tak menapak tanah saat melesat ke arah dinding batu, berpijak lalu berlari menapak dinding batu tersebut dengan kecepatan tinggi melawan gravitasi bumi. Setelah cukup tinggi, ia menghentakkan kedua kaki, melesat terbang seraya menggerak-gerakkan pedang di tangan sekaligus memutar tubuhnya hingga dari kejauhan tampak seperti bola bercahaya bergulung-gulung di atas tanah.
“Hiih … dia bersisik!” beberapa bergidik melihat punggung Yu Ping. “Siluman!” teriak yang lain. Wajah Yu Ping pucat, ia teringat dengan peristiwa di sungai lima tahun lalu dimana anak-anak sebayanya ketakutan dan memanggil dirinya siluman air. Gara-gara berita siuman air itu menyebar, desanya mengalami bencana besar. Kini murid-murid Hoa San sudah mengetahui tentang sisik di punggungnya juga, akankah Hoa San mengalami nasib yang sama dengan desa kelahirannya dulu? Tiba-tiba saja murid Pertama dan Ketiga membekuknya dari belakang, kedua tangan dikunci di belakang punggung. Kali ini Yu Ping tak melawan, ia membiarkan dirinya digiring ke aula gedung Hoa San. Murid Pertama dan Ketiga memegangi kedua bahunya, memaksanya berlutut. Lagi-lagi pemuda itu tak memberikan perlawanan meski sebenarnya tidak sulit mengalahkan mereka berdua. Tetua Wang muncul bersama dua tetua lain karena mendengar suara
Murid Ketiga memutuskan untuk mendekat dan mengintai dari lubang jendela. Tampak olehnya tetua Wang dan sosok misterius berdiri berhadap-hadapan, lilin dimatikan hingga ruangan menjadi gelap namun murid Ketiga masih dapat melihat siluet keduanya. “Memanggilku kemari ada berita penting apa?” tanya tamu misterius berbaju hitam. “Aku menemukan bocah dengan sisik emas, sepertinya dia bukan anak sembarangan,’ terang tetua Wang. “Bocah bersisik emas? Kalau benar, dia adalah buronan yang selama ini dicari-cari oleh raja Qi!” kata pria misterius di depan tetua Wang. Buronan? Murid Ketiga menutup mulut dengan kedua tangan, khawatir berteriak saking kagetnya. Jadi murid kesayangan ketua Hoa San itu seorang buronan? Hmm, kalau aku laporkan ke penegak hukum di kota maka aku akan mendapatkan uang banyak, tiba-tiba muncul niat jahat di kepala murid Ketiga. Bila Guru Besar mengetahui siapa murid kesayangan yang sebenarnya tentu dia akan m
“Sebuah pukulan tangan kosong ke batang leher dengan tenaga dalam yang sangat kuat tanpa ada bekas pukulan dan memar di kulit, hanya satu orang yang bisa melakukannya. Tidak lain Pendekar Tapak Sakti, Liu Heng dari perguruan Kun Lun!” Tiga tetua saling memandang tak percaya, sementara para murid terlihat bengong tak mengerti. “Tetapi hal itu tidak mungkin,” tetua Wang mendekati jenazah murid Ketiga dengan penasaran. “Apa yang membuat Ketua Wu berpikiran pelakunya Liu Heng?” “Aku tidak yakin pelakunya adalah Liu Heng, tetapi orang yang membunuh murid kita menggunakan jurus yang dimiliki oleh pendekar Tapak Sakti!” Wu Xian mengelus jenggotnya. “Setahuku, Liu Heng sudah berubah menjadi gila karena melakukan kesalahan saat mempelajari jurus tertinggi Tapak Dewa!” kata tetua Wang lagi. “Benar,” Wu Xian mengangguk. “Masalah ini sangat pelik, kita tak bisa sembarangan menuduh karena selama ini perguruan Kun Lun dan Hoa San tidak pernah ada masalah sedangkan Liu Heng adalah mantan tetua