Share

6. DIANGKAT MURID

“Kau ingin menyusul ayahmu ke neraka rupanya, Bocah Bodoh!” desis Dewa Golok Hitam, bersiap mengayunkan goloknya.

Xin Ru yakin hidupnya akan segera berakhir, ia pun memejamkan mata dan membayangkan wajah ayahnya. Aku akan berkumpul lagi denganmu, Ayah!

Satu, dua, tiga detik berlalu. Xin Ru tak juga merasakan apa-apa, ia mulai berpikir apakah mungkin tebasan golok itu luar biasa cepat hingga ia tak sempat merasakan sakit.

Ia memeriksa leher dan dadanya dengan kedua tangan untuk memastikan apakah ia masih hidup, ternyata tubuhnya utuh.

Gadis yang masih belia itu akhirnya memberanikan diri membuka mata perlahan.

Di depannya seorang wanita bertubuh langsing dengan tinggi tak kurang dari 170 cm berdiri tegak menghadang si Pembunuh Keji.

Xin Ru ingat wanita itu sebagai salah satu dari komplotan yang datang mengobrak-abrik desa Kuning, sungguh aneh bila berdiri membentenginya dari serangan golok rekannya sendiri.

“Minggir, Mei Mei!” bentak Dewa Golok Hitam kesal.

“Hitam, aku menyukai anak ini. Kau tidak boleh menyentuhnya!” jawab Dewi Seribu Wajah seraya mengerling ke arah Xin Ru.

Dewa Golok Hitam menghentakkan kaki ke tanah, kesal tak bisa melanjutkan menghabisi salah satu anggota keluarga si bocah siluman.

Tetapi ia tak mau bertengkar dengan saudari seperguruannya sendiri, akhirnya memilih diam dengan wajah keruh.

Dewi Seribu Wajah yang biasa dipanggil Mei Mei memutar tubuh menghadap Xin Ru.

Bibi ini cantik sekali, puji Xin Ru dalam hati. Meski kecantikan itu hanya sebatas kulit saja, hatinya dipenuhi napsu membunuh dan dendam mendalam.

Usianya sekitar 30 tahun, berwajah manis namun mata bersinar bengis, hidung mungil dan bibir tipis.

“Anak manis, siapa namamu?” Dewi Seribu Wajah membungkuk, menatapnya seraya tersenyum. Sikap wanita itu seolah sedang tidak terjadi apa-apa.

Xin Ru berpikir cepat, bila ia bersikap baik dan bekerja sama dengan bibi ini, kemungkinan besar dapat menyelamatkan nyawa ibunya yang pingsan sedari tadi.

“Namaku Xin Ru, Bibi …”

“Panggil aku Bibi Mei!” Dewi Seribu Wajah mengusap debu di pipi Xin Ru dengan lembut.

“Maukah Xin Ru ikut Bibi ke Kota Raja dan menjadi muridku?”

Xin Ru tertegun, menjadi murid manusia haus darah? Mendengar saja ia sudah mual, apalagi salah satu dari mereka adalah pembunuh ayahnya.

Selagi berpikir mencari cara untuk menolak, dari dalam desa muncul seorang pria berkulit putih pucat, menyeret pemuda yang berada dalam keadaan terikat tangan dan kakinya.

Pria itu berperawakan kurus dan bersenjatakan golok, sekilas mirip sekali dengan Dewa Golok Hitam.

Pria itu dijuluki Dewa Golok Putih, sesuai dengan penampilannya. Rambut putih, jubah putih, bahkan kulit tubuhnya pun putih seperti mayat hidup.

Dewa Golok Putih melemparkan pemuda yang diseretnya tadi ke tengah-tengah, Xin Ru terkesiap begitu mengetahui siapa pemuda tersebut, tak lain Wang Zhi, kakak kandungnya sendiri.

“Lihat, aku menemukan bocah ini bersembunyi di balik kandang ayam ketika kita menangkap orang tuanya!” Dewa Golok Putih tertawa mengejek seraya meletakkan kakinya di kepala Wang Zhi.

Pemuda itu terkencing-kencing di celana saking takutnya.

“Hancurkan saja otak kecilnya itu!” Dewa Golok Hitam tergelak seolah dia sedang menonton pertunjukan lucu.

“Tunggu!” Xin Ru meraih tangan Dewi Seribu Wajah.

Ia berlutut sambil meneteskan air mata, “Bibi Mei, aku bersedia jadi muridmu!”

“Sungguh?” Dewi Seribu Wajah tersenyum lebar. Entah mengapa ia sangat menyukai gadis remaja jelita di depannya.

Selain cantik, gadis kecil ini juga memiliki sinar mata yang menunjukkan kecerdasannya. Ia yakin kelak Xin Ru akan menjadi pendekar hebat seperti dirinya.

“Sebagai muridmu, bolehkah kuminta satu hal?” Xin Ru memohon.

“Baru jadi murid sudah banyak permintaan, apakah kau tidak berpikir dua kali sebelum mengambil anak belagu itu sebagai murid, Mei Mei?” Dewa Golok Hitam mendecih.

“Katakan saja, Apapun yang kau minta pasti kukabulkan!” janji Dewi Seribu Wajah pada Xin Ru tanpa mengindahkan saudaranya.

Xin Ru merasa melihat secercah harapan keselamatan keluarga dan seluruh penduduk desa.

“Kumohon ampunilah nyawa ibu dan kakak laki-laki-ku juga warga desa ini!” ucapnya penuh semangat.

Dewa Golok Hitam dan Dewa Golok Putih tertawa tergelak, mentertawakan gadis kecil yang dianggap bodoh itu.

“Dalam sejarah Tujuh Malaikat Pencabut Nyawa, tidak ada kata AMPUN, camkan itu!” bentak Dewa Golok Hitam disambung tawa Dewa Golok Putih.

“Akan kukabulkan keinginanmu, Muridku!” ucapan Dewi Seribu Wajah mengejutkan enam pendekar yang lain.

“Jangan main-main, Mei Mei!” tegur Dewa Golok Putih, “Tugas kita mencari Bocah Siluman belum selesai, mana bisa kita biarkan mereka semua ini hidup?”

“Lepaskan mereka semua, kita kembali ke Kota Raja!” titah Dewi Seribu Wajah tak peduli.

Keenam pendekar sadis saling pandang namun tak berani membantah. Dewi seribu Wajah adalah saudara angkat terkecil namun mereka sangat segan padanya.

Wanita itu dulu dikenal sebagai Tabib Ajaib yang menyelamatkan mereka saat sekarat terkena pukulan Tapak Dewa ketua perguruan Kun Lun, 10 tahun yang lalu.

Sejak saat itu mereka mengangkat saudara dan tak pernah berkonflik satu sama lain.

“Kita tetap akan berjaga di sekitar desa ini dan kota terdekat untuk mencari Bocah Siluman, tidak perlu membunuh lagi!” Dewi Seribu Wajah menambahkan disambut anggukan dari enam saudara angkatnya.

Akhirnya dengan patuh mereka meninggalkan desa, hanya tentara yang tinggal di sana untuk berjaga-jaga bila Yu Ping yang mereka juluki Bocah Siluman kembali.

Dewi Seribu Wajah memegang tangan Xin Ru, “Aku sudah melakukan apa yang kau minta, Xin Ru. Kini giliranmu mendengarkanku!”

“Aku akan mendengarkanmu, Bibi Mei!” jawab Xin Ru mantap.

“Setelah menjadi muridku, kau tinggalkan semuanya termasuk keluarga dan desa ini!” kata Bibi Mei serius.

Wanita pembunuh berdarah dingin itu tentu saja tak ingin suatu saat Xin Ru membalas dendam atas kematian ayahnya menggunakan semua ilmu yang ia berikan. Ia harus memutuskan semua ikatan antara Xin Ru dengan masa lalunya.

Xin Ru tertegun, diam-diam melirik ke arah semak-semak di mana Yu Ping berada. Bocah laki-laki itu masih dalam keadaan tak mampu bergerak karena totokan Pendekar Pedang Pendek.

Sedari tadi hanya berdiri di balik semak-semak menyaksikan penderitaan ayah, ibu, dan saudara-saudaranya tanpa daya menolong.

Gadis itu dapat melihat wajah Yu Ping yang merah dan pipinya basah oleh air mata. Ia merasa sedih tak bisa lagi menjaga adik yang sangat dikasihinya.

Meski bocah laki-laki itu bukanlah adik kandung, namun ia menyayanginya seperti saudara sedarah.

'Jagalah diri sendiri mulai sekarang, Yu Ping. Aku menyayangimu!' kata Xin Ru lewat tatapan matanya seraya menahan tangis.

Yu Ping yang mampu menangkap arti tatapan itu, makin deraslah air mata membasahi pipinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status