Share

7. KEDATANGAN TAMU ISTIMEWA

“Aku sudah bilang kalau Tiara lagi pergi, apa kamu masih belum mengerti juga?” aku kembali mengulang ucapanku. Entah berapa kali harus ku ulang agar dia mengerti.

“Aku ke sini bukan untuk Tiara. Tapi untuk bicara denganmu!” ujarnya dengan lembut dan membuatku risih. Aku harus lebih tegas untuk menghadapinya.

“Mas Arman! Aku tidak mau bicara apapun, titik!”kembali mempertegas ucapanku untuk membuatnya mengerti.

“Tunggu sebentar!”

Mas Arman berjalan ke arah mobil. Dan tak berapa lama, muncul seorang pria berbadan tegap dan terlihat sangat mempesona. Kulitnya putih bersih.

“Siapa dia? Dan kenapa Mas Arman mengajaknya ke sini?” aku terus mengamati pria yang masih berbicara dengan Mas Arman.

Saat keduanya berjalan ke arahku, aku seperti tak asing dengan wajah pria berhidung mancung itu.

“Astaga! Wajahnya sangat mirip dengan dr. Ibrahim. Tapi mana mungkin. Dan untuk apa Mas Arman mengajaknya kemari?’ aku bergumam sembari terus mengamati pria tampan yang menjadi idola para pasiennya.

Saat jarak begitu dekat, aku sangat yakin dia adalah dokter yang membantu kelahiran Tiara dulu. Lalu untuk apa beliau kemari. Bukankah aku sedang tidak hamil.

“Ini benar-benar kejutan!” ujarku masih dengan mata melebar dan bibir terbuka. Tak percaya dengan penglihatanku. Berkali-kali mengucek mata untuk memastikan penglihatanku.

“Khanza. Kenalkan, ini ibrahim, teman SMA ku dulu. Kami tak sengaja bertemu kembali kemarin di rumah sakit!” ucap Mas Arman sembari tersenyum.

Tanpa dia mengenalkan aku juga sudah tahu. Namun pria itu begitu sopan dan tidak mau bersalaman denganku. Dia hanya menempelkan kedua telapak tangannya di depan dada sembari menguntai senyum manis.

Akupun membalas dengan melakukan hal yang sama.

“Ibrahim!” pria itu memperkenalkan diri.

“Saya Khanza. Anda dr. Ibrahim’kan?” tanyaku memberanikan diri untuk memastikan apa betul dia dokter yang aku maksud, walaupun aku sudah yakin sembilan puluh sembilan persen.

“Iya, betul. Anda mengenal saya?” jawabnya dengan tersenyum manis. Dan senyumnya itu membuat jantungku berdebar kencang.

“Jadi kalian sudah saling kenal?” tanya Mas Arman sembari menatapku dan dr. Ibrahim secara bergantian. Wajah Mas Arman terlihat gusar.

Aku mengamati wajah dr. Ibrahim yang seperti kebingungan. Jelas saja dia lupa karena terlalu banyaknya pasien di rumah sakit. Tak mungkinlah dia hafal pasien satu per satu. Walaupun mungkin ada sebagian yang diingatnya.

“Mengenal baik sih tidak. Hanya saja dr. Ibrahim ini yang mengoperasi waktu saya melahirkan Tiara.”

“Benarkah? Maaf, saya lupa,” jawab dr. Ibrahim dengan senyum merekah. Rupanya teka teki yang bercokol di kepala sudah terjawab.

“Saya maklum kalau dokter lupa. Pasien dokter’kan banyak. Dan Tiara saja sekarang sudah tujuh tahun usianya.”

“Iya, Maaf, kalau saya tidak mengenali Anda!”

“Tidak apa-apa, Dok!”

“Jadi kamu yang membantu istriku melahirkan, Him? Kok aku bisa sampai tidak tahu ya?” Mas Arman seperti berusaha mengingat sesuatu.

“Ya jelas saja tidak ingat. Saat aku melahirkan Tiara, kamu’kan pergi bersama wanita murahan itu dan tidak pulang ke rumah selama dua bulan!” tiba-tiba saja aku menjadi kesal. Kejadian menyedihkan yang terekam dengan jelas pada memory otakku kembali membuatku sangat membenci mantan suamiku itu.

“Benarkah, Arman? Pria macam apa yang bisa setega itu?!” ucap dr. Ibrahim dengan nada tinggi. Dari wajahnya terlihat tidak suka dengan mas arman.

“Ah itu’kan masa lalu, Bro! Sekarang aku sudah taubat!” jawab Mas Arman datar. Terlihat  gugup pada wajahnya.

Aku terdiam. Berjuta tanya yang melintas di otakku tentang apa tujun Mas Arman datang kesini. Apalagi dia bersama dr.ibrahim. Entah apa yang ada dalam otak liciknya itu. Aku harus berhati-hati menghadapinya.

“Khanza, boleh kami duduk?” tanya Mas Arman kepadaku. Kalau saja tak ada orang lain, sudah kututup pintu rumahku.

“Boleh. Tapi di luar saja, ya. Karena saat ini saya sendiri di rumah. Kalau kalian masuk ke dalam rumah, takut menimbulkan fitnah.” Jawabku dengan sopan sembari menatap ke arah dr. Ibrahim. Sungguh aku tak mengira kalau dr. tampan itu kini ada di hadapanku. Benar-benar seperti kejatuhan durian runtuh.

“Duh, mikir apa sih aku!” aku memukul kepala pelan untuk menghilangkan pikiran yang tak seharusnya bercokol di kepala.

“Kau kenapa Khanza?” tanya Mas Arman terlihat khawatir. Mungkin dia sempat melihatku memukul kepala tadi.

“Tidak apa-apa. Silakan duduk. Aku mau cuci tangan sebentar!” aku mempersilakan Mas Arman dan dr. Ibrahim untuk duduk di kursi tamu yang berada di teras. Sementara itu aku ke dapur untuk mencuci tangan dan membuatkan minuman.

Kali ini kuberikan bonus kopi kesukaan Mas Arman karena sudah membawa dr. ibrahim ke rumah. Aku senyum-senyum seperti orang gila. Kedatangan malaikat tampan itu seperti menghipnotis diriku.

Aku membawa minuman dan cemilan lalu menghidangkan di meja.

“Silakan diminum,” tawarku kepada tamu.

“Silakan diminum, ibrahim. Kopi buatan Khanza sangat istimewa. Dulu aku sangat menyukainya!” ucap Mas Arman sembari menatap ke arahku.

Aku tahu dia sedang merayuku. Ih, dasar lelaki buaya.

“Silakan, Dok!” aku mempersilakan dr. Ibrahim untuk minum kopi.

“Terima kasih,” jawabnya sembari menyeruput kopi yang masih mengepul. Aku terus memperhatikan setiap gerakan dokter tampan itu. Rasanya tak bosan melihat malaikat tampan itu. Dia terlihat begitu mempesona.

“Ehem ehem ....”

Suara Mas Arman membuatku tersadar dan terpaksa membuang pandangan ke arah lain.

“Oh, ya Khanza. Maksud kedatanganku kemari adalah untuk membahas tentang tata cara rujuk untuk kita dan .... “

“Apah?!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status