Share

DUA

Juli 2020

Cahaya berjalan sendiri, dalam gelapnya gang dan juga rasa lelah yang menumpuk di pundaknya. Pelan, dia memijit pundaknya sendiri sambil terus melangkah menuju kontrakan kecilnya.

Di tangan kanannya, dia membawa satu kantong plastik putih yang berisi dua butir telur dan juga dua bungkus mie instan. Menu makan malamnya dan juga sarapannya untuk esok pagi.

Langkah kaki Cahaya terhenti, ketika suar langkah kaki seolah berada tepat di belakangnya. Di membalikkan tubuh, menatap sekitar dengan memicingkan mata. Tidak ada siapa pun di sini, sepi dan sunyi. Cahaya menggelengkan kepala, mencoba mengusir jauh pikiran negatifnya. Dia melanjutkan langkah.

Namun, Cahaya kembali berhenti. Kali ini suara langkah itu terdengar semakin mendekat. Cahaya kembali berbalik, tapi lagi-lagi dia tidak mendapati apa pun. Cahaya meneruskan langkahnya dengan ritme yang sedikit cepat. Sambil tangan yang mengepal menahan takut.

Sebuah dekapan menghentikan langkah Cahaya, bibirnya di bungkam satu tangan besar beraroma tembakau. Cahaya meronta sekuat tenaga, dia mencoba berteriak hingga matanya berair ketakutan. Tapi, hanya gumaman dan lengkingan tak berarti yang tidak membawa dampak apa pun.

Tangan itu semakin kuat membungkamnya. Tubuh Cahaya di tarik menuju gang gelap, dengan paksaan yang menimbulkan rasa sakit yang tidak mampu digambarkan.

Sebuah tendangan dari arah belakang menghentikan semuanya, tangan dengan aroma tembakau itu terlepas. Cahaya tersungkur sambil menangis, begitu juga pria jahat yang membungkamnya. Fandi datang dengan kepalan dan gertakan giginya, dia menghampiri pria jahat yang berani menyentuh wanitanya. Fandi mencengkeram kerah pria itu, tidak ada perlawanan. Mungkin dia masih pusing karena tendangan Fandi tadi. Fandi membungkukkan badan sambil bertumpu pada lututnya, dia kembali melayangkan pukulannya hingga berkali-kali. Dia tidak bersuara, hanya meluapkan emosinya dengan pukulan semata. Fandi terus memaki dalam hatinya atas keterlambatannya.

“Hentikan.” Cahaya bersuara, terdengar lemah dan gemetar.

Fandi menghentikan gerakannya, dia menatap sesaat pria di depannya ini. Penjahat kelas teri yang sudah menjadi babak belur karenanya.

Fandi mengatur napas, dia berdiri lalu meludah tepat di pria itu. Dia menjauh, menghampiri Cahaya dan jongkok di depannya. “Kamu tidak apa-apa ‘kan?” Fandi menyentuh pipi Cahaya dengan sejuta kekhawatiran dalam pikirannya.

Cahaya menggelengkan kepala sambil sesenggukan. Fandi menghapus air mata gadis itu dan tersenyum lega. “Maaf, aku terlambat. Sekarang kita pulang, ya?”

Cahaya menganggukkan kepala. Dia menurut saat Fandi membantunya berdiri, bahkan merangkul bahunya untuk membantunya berjalan.

Fandi terdiam tanpa suara, begitu juga dengan Cahaya. Mereka melangkah menuju kontrakan kesayangan Cahaya. Cahaya membuka pintu dan mereka pun masuk. Fandi mendudukkan Cahaya di sofa krem yang sudah tampak lusuh itu. Dia berdiri dan mengambil air minum untuk Cahaya. “Minumlah.”

Cahaya menerima air putih dari tangan Fandi, dia meminumnya dengan sekali habis. “Terima kasih.” Cahaya mengembalikan gelasnya.

Fandi meletakkan gelas itu di meja. Dia kembali menghampiri Cahaya dan jongkok di depannya. “Sekarang lepaskan ini.” Fandi menunjuk kantong plastik yang tidak pernah lepas dari tangan Cahaya.

Cahaya memandang tangannya, lalu melepas genggamannya secara perlahan. Cahaya kembali menatap Fandi, pria itu tersenyum lembut mencoba menenangkan Cahaya dari rasa takutnya.

Fandi meletakkan kantong plastik itu di meja. “Tidurlah, aku akan menunggu di luar. Kamu pasti tidak nyaman jika aku di sini.” Fandi berdiri, dia akan meninggalkan Cahaya, membiarkan wanita itu istirahat.

“Tapi aku lapar.” Cahaya menundukkan kepala sambil berucap lirih.

Fandi berbalik. Dia menatap mie instan di kantong plastik itu sesaat. “Itu makan malammu?”

Cahaya mengangguk pelan.

Fandi tersenyum, dia kembali meraih kantong plastik itu lalu berjalan menuju dapur. “Tunggulah. Aku akan menyiapkannya.”

Fandi berjalan menuju dapur yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempat cahaya duduk. Dia memanaskan air dan menatap Cahaya sesaat. Gadis itu menunduk, mungkin dia sedang mengontrol rasa takut dan terkejutnya karena kejadian ini.

Fandi memutuskan tatapannya, dia meneruskannya memasak mie dan menambahkan telur. Tidak ada apa pun di dalam lemari pendingin, bahkan sayur sekalipun. Fandi tidak bisa menambahkan mienya apa-apa selain telur.

Setelah selesai, Fandi menuangkannya pada dua mangkuk yang sudah dia siapkan, lalu membawanya kembali menuju meja di depan Cahaya. Dia menyiapkan air mineral setelah itu.

Fandi duduk di samping Cahaya. “Perlu aku suapi?”

Cahaya menggelengkan kepala. Dia menatap dua mangkuk mie di depannya. “Kenapa dua?”

“Aku juga lapar. Aku perlu energi menjagamu malam ini.” Fandi mendekatkan mangkuknya, lalu mulai menyantap.

Cahaya melakukan hal yang sama. Dia menghela napas sebelum ikut menyantap makan malamnya. Sesekali Cahaya melirik. Bukan Fandi yang dia lirik, tapi menu sarapan yang kini tinggal kenangan saja.

Mereka berdua menikmati makan malam, dengan terdiam dan tidak saling pandang. Seperti dua orang asing yang terjebak bersama keterpaksaan. Walau keadaannya memang seperti itu.

Makan malam sederhana mereka selesai. Fandi mengemasi semua lalu meletakkannya pada tempat cuci, bahkan Fandi juga mencucinya sambil masih terdiam.

Cahaya menatap punggung Fandi, dia menghela napas pelan. “Terima kasih.”

Fandi menoleh, menatap Cahaya sesaat. Dia tersenyum lalu meneruskan kegiatannya. “Aku seharusnya yang berterima kasih. Sudah diperbolehkan memakannya. Itu pasti persiapanmu untuk esok ‘kan?”

Cahaya tersenyum. “Tidak masalah. Aku bisa mencarinya lagi. Aku berterima kasih bukan untuk makanannya. Tapi, untuk bantuanmu.” Cahaya menundukkan kepala.

Fandi selesai. Dia kembali duduk di samping Cahaya dan menatapnya dalam. “Jangan pikirkan, aku kebetulan lewat. Sekarang, bersihkan dirimu, lalu istirahat. Aku akan berjaga di teras.” Sesaat Fandi menyentuh bahu Cahaya, dia tersenyum lalu beranjak dari duduknya.

Fandi keluar, dia memilih duduk di kursi teras sambil menyalakan rokoknya. Dia menyandarkan tubuhnya, menerawang jauh sambil terus menyesap rokoknya. Dia mengingat bagaimana di bisa ada di sini, dia ingin menjadikan Cahaya sebagai slah satu pelacurnya, tapi ....

Fandi menghela napas berat. Perasaannya tidak karuan, dia menjadi ingin memiliki Cahaya seorang diri, dia ingin menyembunyikan Cahaya. Fandi berharap, ini hanya perasaan yang akan menghilang dengan berjalannya waktu.

Ya, semoga saja begitu.

***

“Fandi?” Cahaya mengerutkan alis. Pria di depan pintunya ini tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya. Dia mengacungkan kantong plastik putih berisikan dua box berwarna putih juga.

“Selamat pagi, Cahaya. Aku membawa sarapan untukmu.” Fandi mengangkat alisnya, meminta Cahaya segera menerima pemberiannya. “Dan satu lagi, aku senang mendengarmu memanggil namaku.”

Cahaya menerima kantong plastik itu dan kembali menutup pintu dengan cepat. Fandi menundukkan kepala. Tangannya kembali mengetuk pintu pelan. Tak berapa lama, pintu kembali terbuka. “Aku juga belum sarapan. Box satunya milikku.”

Cahaya mengambil satu box lalu menyodorkannya pada Fandi.

“Boleh aku sarapan di dalam? Di sini dingin.” Fandi memeluk tubuhnya sendiri sambil berpura-pura menggigil. Dia tak sabar menunggu jawaban Cahaya, Fandi melangkah masuk begitu saja.

Cahaya hanya terdiam, dia menghela napas sesaat lalu menutup pintu rumahnya. Cahaya berbalik, dia menatap Fandi yang sudah duduk manis di atas sofa menunggunya dengan senyum yang entah mengapa selalu dia rindukan.

Fandi memulai sarapannya. Cahaya berjalan mendekat lalu duduk di samping Fandi, mengingat kursi di rumahnya hanya sofa ini saja. Cahaya memakan menu sarapannya dalam diam.

Fandi menyelesaikan makannya terlebih dahulu. Dia meletakkan kembali box makanannya ke dalam plastik. Fandi ke bali terdiam, ha ya melirik sedikit saja, mencari tahu apa yang tengah Cahaya lakukan. Gadis itu hampir menyelesaikan sarapannya.

Fandi mengeluarkan secarik kertas yang berisikan nomor ponsel di sana dan meletakkannya di depan Cahaya. “Kamu bisa menghubungiku saat butuh apa pun. Aku pasti datang.” Fandi berdehem pelan setelah mengatakan itu.

Cahaya mengambil secarik kertas itu, menatapnya sesaat. “Baiklah.” Cahaya berdiri, dengan box makanan kosongnya dan kantong plastik sisa box makanan Fandi. Cahaya  membuangnya.

“Aku akan bekerja. Bisa keluar?” Cahaya menatap Fandi sesaat.

Fandi berdiri dan mendekat. “Aku akan mengantarmu.”

“Apa kamu tidak punya pekerjaan? Jika di ingat-ingat, kamu selalu ada di sekitar toko, hampir setiap hari.” Cahaya mengambil tas lalu berjalan keluar.

“Aku bekerja online, jadi tidak harus ada di kantor atau apa pun.” Fandi melangkah mengikuti Cahaya. “Jadi, selama ini kamu memperhatikanku?” Fandi berdiri di depan Cahaya menunggu gadis iti mengunci pintu rumahnya.

Cahaya berbalik. “Tidak. Untuk apa?” Cahaya menyingkirkan tubuh Fandi dengan tangan kurusnya. Gadis itu melangkah meninggalkan rumah.

Fandi tersenyum sambil menatap Cahaya nakal, lalu bergerak kembali di depan gadis itu dan berjalan berbalik. “Jujur saja, aku senang mendengarnya.” Fandi mengancungkan dua jari. “Suer.”

Cahaya memilih mengalihkan pandangannya sambil terus melangkah maju. Fandi tersenyum gemas, perlahan tangannya terangkat membelai kepala Cahaya.

Cahaya menghentikan langkahnya karena gerakan itu. Fandi tersenyum, dia juga menghentikan langkahnya. “Apa yang kamu lakukan?” Cahaya menampik tangan Fandi.

“Menggemaskan.” Fandi tersenyum manis, dia masih menatap gadis itu.Fandi mulai melangkah mundur kala Cahaya juga mulai melangkah maju.

“Bisa tidak berjalan yang benar?” Cahaya berucap dengan nada cukup ketus.

Fandi tersenyum lagi. “Ini sudah benar.”

“Benar apanya? Jalan itu ke depan, bukan seperti itu. Berbaliklah, bagaimana nanti kalau kamu jatuh? Lalu merepotkan aku.”

“Jika aku berbalik, bagaimana aku menatapmu? Bagaimana jika nanti aku rindu?” Fandi memiringkan kepala dan menatap Cahaya dengan senyum usilnya.

“Orang gila,” gumam Cahaya dengan suara yang sangat pelan.

Langkah mereka panjang, menuju tempat kerja Cahaya yang di hiasi dengan godaan gemas dari Fandi untuk Cahaya. Cahaya menanggapi semuanya biasa saja, justru malah terkesan ketus dan tidak nyaman.

Tapi, ke-ketus-an itu sama sekali tidak menghentikan tatapan atau godaan Fandi. Dia menyukainya, dia menganggap ekspresi yang Cahaya tunjukkan padanya hanya kepura-puraan semata. Jauh di lubuk hati gadis itu, Fandi yakin dia menyukainya. Mungkin bahkan, akan merindukannya nanti.

Setelah tiba di depan tempat kerja Cahaya. “Selamat bekerja. Aku kembali saat kamu pulang kerja. Hati-hati.” Fandi melangkah menjauh setelah menyempatkan diri menyentuh lengan Cahaya sesaat.

“Kamu mau ke mana?” Cahaya menyempatkan diri bertanya. Dia pura-pura tidak peduli, tapi dia juga ingin tahu ke mana tujuan pria itu.

“Pekerjaan.” Fandi tersenyum sambil mengerlingkan matanya sesaat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status