Share

TUJUH

Cahaya membuka air mineral di tangannya dan meminum dengan pelan, sesekali melirik Fandy yang sedang asyik menyantap makan siangnya.

Fandy tersenyum saat bertemu mata dengan kekasihnya itu. “Kenapa?”

Cahaya menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa.” Gadis itu kembali menutup air mineralnya dan menghela napas tipis.

“Jika ada yang ingin kamu katakan, tidak apa-apa. Bahkan jika itu menyakitkan.” Fandy tersenyum lagi, dia tidak ingin Cahaya terbebani oleh masalah yang sedang terjadi. “Aku selalu siap untuk kemungkinan apa pun.”

Cahaya membalas senyuman itu. “Aku tidak mau menyakitimu.” Cahaya menundukkan kepala dan melebarkan senyuman. “Aku hanya sedang bahagia di tengah kesulitan ini. Aku merasa menjadi manusia beruntung.” Cahaya mengangkat wajahnya menatap Fandy. “Aku beruntung memilikimu, kamu orang pertama dalam hidupku. Yang mendukungku, yang aku jadikan sandaran.”

Fandy tersenyum dan meneruskan kunyahannya. “Kamu juga wanita pertama yang bisa mengubahku. Berhenti menjadi pengecut dan mempunyai harapan berhenti berbuat dosa.” Fandy menundukkan wajahnya.

Cahaya tersenyum lembut, dia meletakkan botolnya dan menoleh menatap sekitar. “Sepertinya hujan akan datang lagi,” ucapnya mengalihkan rasa malu dan juga kesedihan.

Fandy yang sudah menyelesaikan makanannya dan juga menghabiskan makanan sisa milik Cahaya meletakkan sendok dan minum dengan mata yang mengarah ke arah luar rumah makan. Dia meletakkan gelasnya lalu berdiri. “Sebaiknya kamu kembali ke mobil dulu, aku akan membayar lalu kita lanjutkan perjalanan. Sebelum hujan memperlambat kita nanti.”

Cahaya berdiri dan menurut, dia berjalan keluar selagi Fandy membayarkan tagihan. Keduanya meninggalkan lokasi.

Hujan mulai turun, masih gerimis tapi sudah cukup mendatangkan kabut.

Fandy melajukan mobilnya dengan kecepatan pelan. “Saat kita sudah memiliki tempat nanti, ayo menikah.”

Cahaya yang cukup terkejut dengan itu, menoleh dan menatap Fandy dengan mata yang melebar. “Apa?”

Fandy tersenyum dan menoleh sesaat. “Kamu tidak akan menolakku kan?”

“Kamu melamarku?” Cahaya ingin memastikan pendengarannya, tentang hal yang membahagiakan ini. Dia mengepalkan kedua tangannya dan saling meremas di atas pangkuan.

Fandy menganggukkan kepala tanpa berani menoleh. Dia tersenyum, terus tersenyum. Merasa bahagia di saat yang mengerikan seperti yang mereka alami saat ini bukanlah sebuah kesalahan. Itu yang dia yakini.

Dia tetap ingin mendapatkan kebahagiaannya sekalipun sedang dalam suasana penuh dengan bahaya. Karena dengan itu, dia mampu tetap hidup.

Pada akhirnya Cahaya tersenyum. Dia membuang muka dan menatap ke arah luar. Dia masih mengepalkan kedua tangannya, menutupi rasa gugup yang tiba-tiba menyerang tanpa permisi.

Fandy menghentikan mobilnya sembarangan dan mematikan mesin mobilnya, dia melepaskan sabuk pengaman dan menghadap ke arah Cahaya. Tidak lupa dengan tangannya yang kini sudah menggenggam tangan Cahaya dengan erat dan penuh kehangatan.

“Kamu tidak akan menolak ajakanku kan? Aku yakin bisa melindungimu dan juga menafkahimu. Mungkin akan sulit di awal, tapi bertahanlah. Aku akan melakukan apa pun untuk membahagiakanmu.”

Cahaya masih tidak mampu membalas tatapan Fandy. Dia menghela napas dalam dan mengatur degup di dadanya.

“Jika kamu menjanjikan banyak hal yang begitu manis, bagaimana mungkin aku menolak.” Ucap Cahaya tanpa menoleh.

Fandy tersenyum, dia meremas tangan Cahaya lalu mengecupnya pelan. “Terima kasih.” Dia kembali mengangkat wajahnya menatap Cahaya yang belum juga membalas tatapannya. “Kamu tidak ingin menatapku? Aku sangat ingin melihat matamu.”

Pada akhirnya, tembok pertahanan Cahaya runtuh juga. Dia menoleh dan degup di dadanya terasa semakin bertabuh dengan kuat. Fandy maju dan mengecup bibirnya. Cahaya memejamkan mata, membiarkan rasa gugup dan juga bahagianya melebur menjadi satu.

Fandy menyesap dan melumat bibir wanita yang di cintainya itu dengan segenap ketulusan dalam hati. Dia semakin mendekat dan mengakhiri ciuman itu dengan isapan panjang dan dalam. Saat ciuman sudah benar-benar terlepas, keduanya saling menatap dan Fandy tersenyum. “Aku sangat mencintaimu.”

“Aku sangat mencintaimu.” Cahaya membalas ucapan cinta itu dengan yakin. Dan begitulah keduanya, saling mencintai dan berencana untuk merajut kebahagiaan di tengah kondisi kritis untuk hidup mereka. Tapi, keduanya sama sekali tidak memikirkan itu. Mereka hanya perlu lari sejauh mungkin hingga tidak ada siapa pun yang akan menemukan keberadaan mereka.

**

Tania sekali lagi melihat bagaimana seorang wanita mati di depannya, wanita itu teman dekat Cahaya. Bahkan dia juga sudah membunuh atasan gadis jalang itu karena tidak mampu memberinya informasi yang dia butuhkan.

“Nona, kali ini dengan apa kita akan menyamarkan kematian mereka.”

Tania tersenyum. “Bakar saja tempat ini. Orang akan mengira tempat ini kebakaran dan mereka tidak mampu menyelamatkan diri.”

“Tapi, Nona.”

Tania menoleh menatap pria yang kini berdiri di sampingnya dengan pistol di tangan. Tania merebut pistol itu. “Lakukan saja, jangan mengkhawatirkan apa pun.”

Pria itu menganggukkan kepala pelan. Dia menghela napas bersamaan dengan Tania yang berbalik meninggalkan tempat itu. Menyisakan beberapa anak buahnya yang mulai mengerjakan apa pun perintahnya.

Tania berjalan dengan kekesalan yang sudah sangat menumpuk, sudah hampir satu pekan ini berlangsung, dia tidak menemukan apa pun tentang keberadaan dua manusia yang sangat ingin di temuinya itu. Bahkan, tim pengejar kehilangan jejak.

Tania menghela napas bersamaan dengan tubuhnya yang masuk ke mobil. Tania mengepalkan kedua tangannya dan menatap pria yang kini duduk di kursi depan. “Ada kabar dari pengejar?”

Pria itu menggelengkan kepala.

“Kita harus segera menemukannya. Jika tidak, Ayah akan sangat marah.” Tania mengambil rokok di saku bajunya, dia menyepit rokok itu di antara bibirnya, pria yang berada di depan dengan cepat menyalakan rokok itu untuknya.

“Nona tidak perlu khawatir. Kami akan menemukan mereka segera. Mereka tidak akan bis meninggalkan pula ini karena saya sudah memastikan pemeriksaan di setiap bandara, pelabuhan, terminal juga stasiun.”

Tania mengeraskan rahangnya.  “Sudah banyak yang kamu lakukan dan kerjakan, kenapa belum ada kejelasan hingga hari ini? Menemukan dua orang saja bukan hal yang sulit kan seharusnya. Kalian biasa menangkap target yang kabur dari kita. Kenapa kali ini kalian kesulitan? Bodoh.” Tania berteriak. Dia tidak lagi sanggup menutupi kemarahannya pada anak buah, atau pun pada dirinya sendiri.

“Itu karena Tuan Fandy adalah salah satu orang terbaik kita dalam hal mencari. Dia juga pasti sangat pintar bersembunyi Nona.”

Tania melempar rokok yang telah menyala ke arah depan. “Maka dari itu, karena kalian tahu bagaimana caranya, cari dengan kemungkinan yang akan dia lakukan. Apa harus aku mengatakannya.”

Pria itu memungut rokok Tania dan memadamkannya dengan tangan. Sesaat dia mengeraskan rahang dan menahan rasa sakit dari tangannya itu. “Kami akan melakukannya Nona. Maafkan atas kelambatan kami.”

Tania menyandarkan tubuhnya dengan helaan napas panjang. “Hubungi Petra, minta dia menemuiku. Malam ini aku akan istirahat.”

“Baik Nona.”

Mobil berjalan menjauhi tempat itu bersamaan dengan pria yang Tiara tanya tadi mengambil ponselnya menghubungi Petra.

Tiara menatap ke arah luar. Dalam diamnya, dia berjanji akan menemukan dan mengambil pria yang sebetulnya memang miliknya.

Dia tidak akan mengampuni siapa pun yang menghalanginya memiliki Fandy. Tidak sekalipun.

Bahkan meski Fandy melindungi orang itu setengah mati. “Dan setelah aku menemukannya, aku pasti akan melenyapkan nyawanya.” Dia berbisik pelan dengan rahang yang mengeras, juga kedua tangannya.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status