Share

SHIELD
SHIELD
Author: Dewi Norma

SATU

Jakarta - Oktober 2020

Gelapnya malam menjadi penyempurnaan, betapa kalut dan kacaunya pikiran Fandi. Dia terus menatap ponselnya, berharap berbunyi sebentar saja. Dia menghela napas sesekali. Bahkan, suara burung dan suara gelombang yang menabrak karang serta pinggiran dermaga tidak mampu mengurangi kekacauan hatinya.

Tania yang baru saja tiba menghampiri Fandi, dia duduk di samping Fandi dan memainkan rambut pria itu. Gadis itu menempelkan tubuhnya, dress merah ketat berbelahan dada rendah itu menjadi fokus setiap mata dalam ruangan ini. Dress itu terlalu pendek, mengekspos paha mulus Tania, memanjakan banyak mata.

Fandi menghela napas keras, dia tidak suka perlakuan Tania yang seperti ini, seperti ular kepanasan. Fandi berusaha menjauhkan tubuh Tania, tapi seolah ada magnetnya, gadis itu selalu kembali menempelinya.

“Kamu kenapa, Sayang?” Tania menyandarkan kepalanya di bahu Fandi. Meski pria itu selalu menolak perlakuan manjanya. “Apa yang mengganggu pikiranmu? Ceritalah padaku?” Tania mengelus lengan Fandi dengan gerakan pelan.

Fandi kembali menghempaskan tubuh Tania darinya, Fandi berdiri dan berjalan menuju meja bartender, Fandi mengambil sebotol bir lalu menegaknya secara langsung. Tania berdiri, mengikuti Fandi.

“Apa ini karena gadis kecilmu itu? Apa dia tidak menghubungimu?” Tania memeluk Fandi dari belakang dan menyandarkan kepalanya di punggung pria itu.

Fandi mengangkat tangannya, seketika music berhenti dan suasana menjadi hening. “Di mana Petra?”

Salah satu anak buah Fandi mendekat, Tio. “Petra sedang memeriksa keadaan tawanan, Bang. Mereka baru saja tiba.”

“Ada berapa malam ini?” Fandi melepas tangan Tania dari pinggangnya, lalu menghadap Tio.

Tania kembali menempel, kali ini dia bergelayut manja pada lengan Fandi.

“Ada sebelas, Bang.” Tio menatap jam tangannya. “Bos besar tiba dua jam lagi, Bos ingin Bang Fandi yang membagi kelasnya.”

Fandi mengangguk mengerti. “Oke. Ayo kita ke sana.” Fandi kembali menegak minumannya sesaat lalu berjalan menjauhi meja. Tania otomatis tertarik, dia masih pada tempelannya.

Fandi dan Tania mengikuti Tio, Tio membuka pintu untuk Fandi, angin pantai menyeruak menyalurkan hawa dingin.

Tania merapatkan tubuhnya pada Fandi. “Aku kedinginan, kamu mau menemaniku malam ini?” Tania tahu, jika pertanyaan konyolnya tidak akan mendapat jawaban, tapi tetap saja dia tak mampu menepis pesona Fandi hingga hari ini.

Fandi terus melangkah, tidak memedulikan apa saja ocehan Tania padanya. Dia hanya ingin ini cepat selesai dan pergi dari dermaga, memeriksa kenyataan apa yang sedang terjadi pada gadisnya, kenapa masih belum bisa dihubungi ataupun menghubunginya sampai sekarang.

Langkah kaki mereka tiba pada sebuah gudang tua. Tempat di mana para tawanan berada, para calon pelacur mereka bulan ini.

Tio membuka pintu, mereka disambut dengan tampilan beberapa orang yang jauh dari kata bersih -mata dan mulut mereka masih tertutup oleh kain-. Bahkan, hidung mancung Fandi mencium aroma anyir darah, masih segar. Fandi menatap Petra seketika, menuntut penjelasan dari pria besar itu. “Siapa yang mengizinkanmu memukul? Berapa kali harus aku katakan, mereka aset kita.”

Petra menundukkan wajahnya. “Maaf, Bang. Tapi gadis ini terlalu agresif. Dia membenturkan kepalanya di wajah saya.”

Fandi melepaskan tania dengan kasar, hingga gadis itu takut untuk kembali menempel. Fandi berjalan mendekati Petra dan menatapnya dengan tajam. “Bos besar membayarmu karena ototmu, bukan karena tampilanmu. Sedangkan mereka, sedikit saja ada bekas luka di tubuhnya, akan menurunkan harga. Kamu berani menanggung?”

Petra kembali menundukkan kepalanya. “Maaf, Bang.”

Fandi menghadap para tawanan mulusnya, menatapnya satu persatu. Matanya berhenti pada gadis terakhir, dia mengenal tubuh itu tapi sedetik kemudian dia menepis pikiran buruknya. Tidak mungkin itu gadisnya.

“Buka penutup matanya.” Instruksi Fandi singkat. Matanya mengarah pada satu sosok. Fandi ingin menghindari pikirannya, tapi tubuh itu terlalu mirip dengan tubuh yang biasa dipeluknya, biasa disentuhnya.

Dalam diam, dada Fandi berdegup dengan kencang. Saat beberapa anak buahnya melepas penutup mata mereka. Jantung Fandi serasa berhenti berdetak. Dia mundur secara perlahan sebelum mata cantik itu menyadari keberadaannya, sambil menggelengkan kepala pelan. Mata tajamnya menatap Tania seketika, Tania tersenyum puas menatap gadis itu, Fandi mengepalkan tangan seketika. Fandi melengkah mendekati Tania, menarik tangannya dengan kasar keluar dari tempat ini.

“Sayang, sabar dong. Pelan-pelan ih.” Tania bersuara bersama senyum menggodanya.

Fandi meninggalkan gudang, berjalan menjauh. Dia tiba di pinggiran dermaga, dekat dengan gedung kamar untuk para tawanan nanti. Fandi menghempas tubuh kurus itu menjauh.

Tania nyaris tersungkur, ini semua karena sepatu hak tingginya. “Sayang, kamu kenapa sih?” Dia merapikan rok pendek dan rambutnya yang diterpa oleh angin.

Fandi mendekat. “Apa ini perbuatanmu?”

“Perbuatan apa, Sayang?” Tania mendekat dan mencoba menyentuh Fandi.

Fandi mendorong tubuh Tania menjauh darinya, dengan kasar dan tanpa belas kasihan sama sekali. Dia mengeraskan rahangnya. “Brengsek. Aku bilang, jangan ganggu dia. Dia menjadi tanggung jawabku, aku sudah mengatakannya padamu, aku akan mengganti dengan 100 wanita sekalipun, asal jangan dia.”

Tania mendekat, membelai rahang Fandi dengan gaya menggoda. “Jadi itu? Apa istimewanya gadis itu dari aku? Soal ranjang, aku yakin masih hebat aku ‘kan?”

Fandi mencengkeram rahang Tania seketika. “Lepaskan dia. Atau aku buat kamu memohon untuk mati di tanganku?”

Tania tertawa di tengah rasa sakitnya. “Sayang. Kamu tahu kan? Siapa pun bisa meninggalkan tempat ini hanya jika mati.”

Fandi memperkuat cengkeramannya. “Sialan. Kamu mau main-main denganku?”

“Kamu sangat mengerti, sebesar apa keinginanku untuk bermain denganmu.” Tania mengerlingkan matanya sambil menyentuh Dada Fandi.

“Kau lebih menjijikkan dari pelacur. Sekarang, masih tidak mau melepaskan dia?” Fandi kembali mengeraskan rahangnya.

“Tidak bisa, Sayang. Aku sudah terlanjur memasukkan namanya ke dalam list terbaik. Dia akan menjadi pelacur, jika kau ingin menikmatinya, kau bisa membayar nanti.” Tangan Tania terangkat, bergerak menyentuh pipi Fandi dan menatap bibir pria itu, bibir yang begitu ingin dia sentuh. Pria yang selalu menjadi fantasinya setiap bercinta.

Fandi menghempaskan Tania dengan cara yang jauh lebih kasar. “Jika begitu, aku sendiri yang akan melakukannya.” Fandi berbalik dan melangkah kembali ke gudang.

“Ayah sudah tahu tentang ini, aku sudah mengatakannya. Bagaimana liciknya kamu, menyembunyikan gadis yang awal mulanya sebagai target.” Tania mendekat begitu Fandi menghentikan langkahnya. “Kamu tahu, seberapa besar marahnya padamu?”

Fandi meneruskan langkahnya tanpa berbalik lagi. Dia akan menanggung semuanya, dia hanya tidak ingin gadisnya terluka. Itu saja.

Tania tersenyum penuh kemenangan. Dia mengangkat tangannya, memanggil salah seorang penjaga yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Pria itu mendekat dan menundukkan badan sesaat. Tania menatapnya. “Katakan pada Petra. Lanjutkan rencana.”

Pria itu kembali membungkuk dan berlari menuju gudang. Dia melewati Fandi yang sama sekali tidak menaruh curiga.

Tania menggigit bibir bawahnya, pikirannya sudah membayangkan, bagaimana Fandi akan menemuinya dan pasrah padanya. Dengan rencana ini, Tania yakin akan mampu membuat Fandi berada di ranjangnya, menuruti apa pun kemauannya.

Tania berbalik, menuju kapal yang menjadi tempatnya bermalam tiap kali ke dermaga. Dengan senyum puas dia masuk dan merebahkan tubuh seksinya.

Membayangkan bagaimana Fandi akan menjadi penghangatnya malam ini. Pria yang sudah sangat didambanya, sejak pertama pria itu dinyatakan sebagai Kakak angkatnya.

***

Fandi mengepalkan kedua tangannya sambil terus melangkah maju. Jika memang harus mati malam ini, dia akan mati. Setelah memastikan gadisnya selamat, bisa lari dan terbebas dari neraka ini, dia akan mati, dia akan menanggung semua dosanya hingga gadisnya harus ikut menanggung seperti saat ini.

Fandi membuka pintu, tapi ...

Ruangan ini tinggal Petra dan beberapa anak buahnya. Wajah mereka tidak lagi memasang wajah takut ketika bertemu mata dengannya. Fandi tersenyum sinis. “Ternyata, kalian semua ikut andil. Brengsek.” Fandi mengedarkan mata, dia juga menatap satu persatu pria besar yang berjajar di depannya. “Di mana para tawanan? Katakan.” Fandi masih mencoba mengontrol nada bicara dan emosi yang sesungguhnya sudah membakar jiwanya.

“Maaf, Bang. Abang tidak lagi berhak atas para tawanan.” Petra maju, dia mengepalkan tangan, mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Fandi menatap kedua tangan Petra, lalu menatap kedua mata anak buahnya itu. Fandi maju, tanpa rasa takut dia meninggikan nada suaranya. “Lepaskan, Cahaya. Atau ...” Fandi mengepalkan tangannya. “Kalian semua akan mati di tanganku.”

***

Juni 2020

Fandi duduk dengan sebatang rokok di tangannya. Rokok itu tidak menyala, dia hanya hadir sebagai objek permainan jarinya saja.

Di hadapan Fandi, ada segelas Cappucino dingin dan Cake rasa vanila kesukaannya.  Dia sedang berada di teras sebuah caffe, yang mungkin sudah satu bulan ini menjadi kafe favoritnya.

Kafe ini berhadapan dengan mini market yang buka 24 jam. Di setiap hari selasa hingga kamis, pukul 7 pagi. Ada satu wajah yang menjadi pembuka harinya, dia cantik. Dengan kucir kuda dan wajah tanpa make up, cantik. Akan berbeda jika hari Jumat hingga senin, dia hadir setiap pukul 5 sore sampai malam.

Fandi tersenyum. Dia meraih Cappucinonya dan menyesapnya pelan. Matanya mengarah pada sosok cantik itu, sosok sederhana yang membuatnya sangat ingin mendekat dan mengenalnya.

Fandi menatap ponsel di tangannya. Foto gadis itu terpampang manis di layar, dengan senyum tulus ketika sedang melayani pembeli.

Fandi memasukkan ponsel di saku jaketnya, dia menghabiskan Cappucinonya seketika. Fandi berdiri dan meninggalkan kafe. Langkah kakinya mengarah pada tempat di mana gadis itu berada.

“Selamat datang, selamat berbelanja.” Fandi di sambut dengan suara manis itu begitu tangannya membuka pintu.

Fandi bukannya ingin membeli sesuatu. Tapi, langkah kakinya justru mendekati meja kasir. Dia berhenti tepat di depan gadis itu.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan.” Gadis itu tersenyum ramah.

Fandi mengulurkan tangannya. “Aku Fandi. Boleh tahu siapa namamu? Apa lagi kalau kamu bersedia memberiku nomor ponselmu, aku pasti akan membeli banyak dari sini.”

Gadis itu tersenyum canggung. “Nama saya Cahaya. Untuk nomor ponsel, mungkin tidak sekarang.” Dia memberanikan diri menyambut uluran tangan Fandi.

Fandi tersenyum manis. “Oke.” Tangan itu masih disentuhnya. “Aku hanya akan membeli rokok saja kalau begitu.”

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status