Share

Teka teki Om Ferdy

Karena kejadian penyusupan itu, aku lebih sering diminta menemani om Agung di kantor. Memeriksa berkas-berkas tentang laporan setiap cabang. Ada sekitar 50 cabang tersebar ke seluruh Lampung. 3 cabang di medan, 2 di Padang, 3 di Palembang dan 3 di Jambi dan 10 cabang di Pulau Jawa, termasuk 1 di Jakarta. Total, kami memiliki 71 cabang perusahaan. Kami memiliki impian melebarkan cabang kami hingga luar Negeri.   

 Pagi itu, matahari bersinar cerah, udara yang tidak terlalu dingin atau panas menemaniku dan om Agung yang tengah sibuk di kantor. Banyak berkas dari tim pemasaran yang berkaitan dengan model celana jeans terbaru yang harus kami periksa dan pilih menjadi produk unggulan kami.

 “Hallo, Assalamu’alaikum,” Sapa om Agung setelah mendengar bunyi dering Hp nya.

 “Wa’alaikumsalam,” Jawab penelfon di sebrang sana yang terdengar jelas oleh ku. Dari suaranya, ia adalah om Ferdy. Memang kami sedangmenunggu telfon darinya, karena sudah hampir satu minggu ia menghilang setelah terdengar kabar tentang amplop yang kami terima dari pelaku pembobolan.

 “Di manakamu Fer,?” Tanya om Agung.

 “Kenapa Gung, apakah kamu sudah tidak sabar menangkap ku,?” Jawab om Ferdy yang kali ini kehilangan suara sombongnya.

 “Bukan begitu Fer, kamu itu masih keluargaku juga, tentu aku khawatir tentang mu,” Sahut om Agung.

 “Aku sedang memburu pelaku itu Gung,” Jawab om Ferdy, “Apa?!” om Agung tercengang memotong pembicaraan.

 “Akan aku buktikan aku tidak bersalah Gung,” Lanjut om Ferdy.

 “Ceroboh kamu Fer,!” Cela om Agung yang tengah berdiri dari kursinya, menandakan ketegangan dan kekhawatiran nya.

 “Di mana kamu sekarang, dengan siapa kamu,?” Tanya om Agung tidak sabaran.

 “Gudang Tekstil kita yang kita jual ke China 3 tahun yang lalu,” Jawab om Ferdy.

 “Apakah ada hubungannya dengan tempat itu,?”

 “Tempat itu memang sudah menjadi persembunyiannya dari dulu, makanya aku menyuruh mu menjualnya, dan orang China itu hanya orang suruhan kami. Sebenarnya kamilah yang membelinya.” Om Ferdy menjelaskan.

 “Lalu, apa tujuanmu menghubungi ku,?” Tanya om Agung.

 “30 menit ke depan, aku sudah melakukan perjanjian akan bertemu disini, serang dan tangkaplah kami,” Jelas om Ferdy.

 “Jangan terlambat, terlambat sedikit saja, semua akan berubah,!” Lanjut om Ferdy.

 Om Agung menelan ludah. “Gegabah kamu Fer, ya sudah akan segera kami siapkan,” Jawab om Agung. Segera ia matikan telfonnya.

 Om Agung menarik nafas dalam-dalam. Seberapa detik kemudian ia memakai Jas hitam nya, kemudian hendak melangkah. “Johan, kita harus pergi sekarang!”

 Aku tak banyak tanya, hanya mengangguk. Karena aku sudah tahu apa yang terjadi setelah mendengar percakapan mereka.

 “Kamu ambil mobil di parkiran, om akan telfon Pak Reihan.” Perintah om Agung setelah melempar kunci mobilnya.

 “Baik om,” Jawab ku singkat.

******

 Beberapa menit kemudian kami sudah menaiki mobil menuju tempat yang ditunjukkan om Ferdy. Jantungku berdegup kencang. Ini awal aku ambil bagian dari hal yang berbau penyerangan atau urusan perusahaan di luar kantor. Biasanya aku hanya mengurusi berkas. Aku bersikap setenang mungkin di dalam mobil yang kini sudah di setir oleh om Agung langsung, karena kebetulan sopir pribadinya sedang sakit, sehingga tidak bisa mengantar. Ku tengok jalanan kota Bandar Lampung yang sangat ramai. Ku lirik jam tangan ku, pukul 09.10 pagi.

 “Om sudah menghubungi Pak Hasan, kita tidak akan melibatkan pihak kepolisian.” Ucap om Agung di tengah lamunan ku. “Kita akan menyerang dengan kekuatan pasukan khusus perusahaan.” Lanjut om Agung. “Tapi sayangnya Pak Hasan sedang ke Jakarta untuk mengurus cabang disana, om juga yang menyuruhnya kemarin.”

 “Terus bagaimana selanjutnya om,” Tanyaku

 “Dia sudah mengutus Reina yang memimpin, kemungkinan Ajis juga ikut,” Jawab om Agung.

 Reina, bukankah dia masih bocah. Apa mungkin bisa dia mengemban tugas seperti ini. “Apa Reina mampu om?” Tanyaku penasaran.

 “Hampir 3 tahun ini Reina menjadi andalan perusahaan dalam menyelesaikan perkara penyerangan atau hal lain yang berhubungan dengan fisik. Hasilnya selalu sempurna, jadi om yakin kali ini dia juga pasti bisa.” Terang om Agung.

 Aku mengangguk. “Ternyata dia bukan gadis sembarangan ya om,?” aku melanjutkan percakapan.

 “Haaa, tentu. Makanya jangan coba-coba kamu mainkan hatinya,” Gurau om Agung. Aku hanya tersenyum tipis.

 Mobil kami terus melaju ke arah Kabupaten Pringsewu. Sudah 30 menit kami meninggalkan kantor. Aku terus berusaha tenang, meski hati ini bercampur aduk rasanya. Aku juga memikirkan bagaimana nasib om Ferdy selanjutnya. meskipun sudah terbukti ia adalah salah satu pelaku penyebab kecelakaan papa, tapi hati kecil ini masih tidak percaya. Om Ferdy sejatinya adalah orang yang baik, hanya sifatnya yang pendiam dan terlalu menutup diri sehingga aku kurang dekat dengannya.

 Aku jadi teringat disaat om Ferdy datang ke rumah membawakan mainan atau oleh-oleh yang lain untukku atau Gita. Tak pernah terbesit di benakku ia akan menyelakai papa. Hati ini bercampur antara amarah dan iba. Aku pun tak tau mana yang lebih besar.

 “Hallo Reina. Apa semua sudah siap?”

 Suara om Agung membuyarkan laju khayalanku. Kami sudah masuk ke sebuah gang kecil.

 “Kami sudah siap menyerang Pak,” Jawab Reina dari balik Hp nya.

 “Laporkan keadaan,” Lanjut om Agung.

 “Kami melihat Pak Ferdy sedang berbincang dengan dua orang laki-laki memakai topi dan pakaian serba hitam Pak,” Jawabnya. “Lakukan apa yang harus dilakukan, kami segera menyusul!” Perintah om Agung.

 “Siap laksanakan pak!” Jawab Reina singkat.

 “Kita sampai Johan.” Ucap om Agung yang langsung bersiap keluar mobil. Tanpa pikir panjang aku mengikuti apa yang ia lakukan. Kami masuk ke sebuah gang yang lebih sempit. Berlari bagai seorang pasukan khusus yang sedang melakukan penyergapan. Gerakan kami harus taktis agar tidak ada kecurigaan musuh ataupun orang lain. Meskipun tempat ini sepi. Kami terus berlari melompat turun ke aliran got, lebih tepatnya limbah pabrik. Sekitar seratus meter kami naik, dan om Agung memberi tanda agar aku lebih waspada dan lebih berhati-hati dalam melangkah.

 Jantungku berdegup sangat cepat, kaki ini sedikit gemetar. Om Agung memberikan sebuah pistol rakitan padaku. Sebuah senjata yang sudah tidak asing bagiku, karena aku dan om Agung sering berlatih menembak sebagai hiburan kami saat hari libur dulu. Kami sudah sampai tepat di belakang sebuah pabrik atau gudang yang berukuran cukup besar. Kami berjalan dengan sangat hati-hati, menoleh ke kanan, kiri, atas, depan bahkan belakang. Sungguh detik-detik yang begitu menegangkan.

 “Doooorrrrrr.” Suara letusan senjata api terdengar dari dalam ruangan tersebut. Selang berapa detik disusul puluhan dengan suara yang sama. Inikah yang namanya perang ?. aku menelan ludah, keringat mengucur dari seluruh tubuh.

 Om Agung segera berlari menuju salah satu pintu kecil, “Braaakkkk,” sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi menabrak keluar dari pintu yang tidak begitu jauh dari posisi kami. “Dooorrrr,” Om Agung menembak mobil tersebut beberapa kali tembakan.

 “Hentikan mobil itu Han!” Teriak om Agung. Segera ku tarik pelatuk senjataku menuju ban mobil tersebut. Satu ban depan terkena tembakan kami. Mobil menjadi oleng. Aku terus menembak sambil berlimdung di tumpukan bata merah. Tidak ada tembakan balasan dari pengendara mobil.

 Tembakan om Agung mengenai ban belakang mobil, dan menyebabkan mobil menabrak sebuah tiang listrik. Terlihat Reina keluar dari dalam gudang disusul beberapa orang yang berlatih bersama ku di pantai termasukjuga Ajis.

 “Johan, kamu tidak apa-apa,” Tanya Ajis setelah melihat ku terduduk lemas di balik tumpukan bata. Ia pun langsung berlari menghampiri ku.

 Aku tersenyum sambil menelan ludah menghilangkan kepanikanku. “Aku sehat Jis,” jawab ku.

 Ajis tersenyum dan menepuk pundak ku. “Ini sebuah pengalaman yang luar biasa Han,” Ucap nya sembari tersenyum.

 Seperdetik kemudian ia memasang muka yang berbeda, muka kesedihan. “Tapi han,” Ucap nya. “Tapi Apa Jis,?” Tanyaku heran.

 “Cepat lihat ke dalam, lihat keadaan om Ferdy.” Jawabnya. “Om Ferdy?” Tanyaku. Ajis hanya menganggukkan kepala. Ku lihat om Agung berlari masuk ke dalam. Segera aku mengikutinya.

 Om Ferdy tengah tergeletak tak berdaya dengan luka tembak di kepala belakangnya. Darah mengalir mengelilingi kepalanya.

 “Ya ampun Ferdy. Kenapa bisa begini?” Tanya om Agung panik.

 “Aku... gagal mengetahui iden....titas bos ku... Gung. Ia menembak ku dari be...lakang.” Ucap om Ferdy dengan terbata-bata.

 “Cukup Fer, kita bicarakan nanti, sekarang kita harus ke rumah sakit!” Pinta om Agung yang hendak menggotong om Ferdy.

 “Percuma Gung, aku tak akan terto...long. se..karang dengarkan baik-baik. Kamu juga Johan.” Pinta om Ferdy dengan memfokuskan pandangannya padaku yang sudah duduk di sampingnya.

 “Di saku ku ada flash...disk. itu bis-sa jadi infor-masi.” suara om Ferdy semakin berat, kini aku sangat iba padanya. Ia adalah keluargaku. Dan kini diambang kematian.

 “Gung, dan kamu Han, ingat sel-lalu perkata-anku. Hati-hat-ti dengan tim peng-ngem-bang.” Itulah kalimat akhir om Ferdy. Tubuhnya menjadi semakin dingin. Om Agung segera mengecek saraf nadinya. Tapi, om Ferdy telah meninggal. Aku menghapus tetesan air mata yang entah kapan datangnya.

 Om Ferdy, seorang yang misterius. Salah satu pelaku penyebab kematian orang tuaku. Kini ia telah meninggal. Seharusnya aku senang. Tapi yang ada hati ini malah sakit. “Apakah ini kesedihan?”. Om ferdy, seseorang yang satu tahun terakhir menghilang dari kehidupanku. Kini terbujur kaku di dekapanku. Dengan meninggalkan sebuah teka-teki baru.

 Terkadang, kita akan merasa betapa berharganya seseorang setelah orang tersebut pergi meninggalkan kita.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status