Share

Yang Terpilih

Tidak perlu menjadi orang lain agar semua orang mendekati kita. Cukup menjadi diri sendiri, bersahabat dengan beberapa orang asalkan ia bisa menjadi sahabat sejati yang selalu ada untuk setiap keluh kesah.

Dua minggu telah berlalu, selesai sudah Ujian Sekolahku. Hari ini aku dan om Agung menjadwalkan akan kembali bertemu dengan team pengembang. Demi melanjutkan latihan-latihanku. 

Aku masih duduk termangu di dalam kamarku, kamar yang kucintai, kamar yang penuh dengan kenangan. Kamarku berukuran sekitar 5 x 4 meter. Warna ungu muda menghiasi dindingnya. Jendela yang menghadap langsung ke jalanan. Dari sini aku selalu tahu apabila ada seseorang yang datang ke rumah. 

“Assalamu’alaikum,” Gita datang dengan membawa setoples wafer ditangannya.

“Wa’alaikumussalam,” Jawab ku.

“Kak, sekarang kan hari minggu, kita sudah jarang sekali keluar bersama. Apakah hari ini kakak sibuk?” Ucap Gita yang langsung duduk bersandar di bahu ku.

“Hari ini kakak ada janji dengan om Agung Git,” Jawabku dengan wajah sesal.

“Yah,,, kakak akhir-akhir ini sibuk terus.” Gita mengeluh dengan memasang muka sebalnya.

“Maaf ya Git, ini kakak lakukan untuk masa depan kita. Demi menjaga amanat papa dan mama.” Jawabku menjelaskan.

“Kakak janji, setelah ini selesai kita akan minta liburan keluar daerah bersama om Agung dan bi Tina.” Tambah ku.

“Bener kak,,” Sambut Gita dengan wajah sumringah.

“Iya, kakak janji,” Jawabku meyakinkan.

“Oke, Gita akan tagih janji kakak itu. Semangat ya kak, biar kerjaannya cepat selesai.” Ucap Gita dengan mengacungkan ibu jarinya.

“Siap adik ku,” Jawab ku dengan memadukan ibu jari kami.

“Johan, ayo berangkat,!” Suara om Agung dari bawah tanda ia sudah siap.

“Iya om,” Teriak ku menjawab panggilannya.

“Ya sudah, ayo kita ke bawah,” Ajak ku pada Gita.

Tidak banyak kata yang om Agung dan aku obrolkan di dalam mobil pada saat perjalanan. Kami lebih asik dengan lamunan kami masing-masing. Sengaja aku tidak mengajak om Agung bicara, karena sejak sarapan kulihat wajahnya muram, semakin membuat aku ingin cepat membantu menyelesaikan permasalahan yang ada di perusahaan. 

Beberapa menit kemudian, mobil om Agung sudah terparkir di tempat biasanya. Segera kami keluar dan menuju tempat pertemuan. Semua sudah siap menunggu. Tanpa bas-basi kami langsung memulai pembicaraan.

“Rekan ku sekalian, pertama kita bahas masalah latihan Johan dulu, karena itu sangat mendesak, kita sudah tertinggal beberapa langkah.” Ucap om Agung memulai diskusi.

“Bagaimana Johan, apa kamu sudah siap?” Lanjut om Agung.

“Sebenarnya ada yang ingin Johan sampaikan kepada om Agung dan semua,” Jawab ku.

Sejak awal, aku sudah menyiapkan sesuatu yang menurut ku itu harus kusampaikan kepada tim pengembang.

“Apa itu han?” Tanya om Agung penasaran, dan diikuti tatapan yang lain. Semua tertuju padaku.

“Aku memiliki beberapa teman, dan aku ingin membuat tim seperti ini dengan sahabat-sahabat ku. Aku sudah berbicara dengan mereka, dan mereka setuju.” Jawab ku menjelaskan.

“Tim baru ya,” Gumam Pak Hasan. Terlihat semua sedang memikirkan permintaanku.

“Emm, menurut saya itu bagus. Nantinya mereka bisa bergerak sendiri walaupun tetap di bawah pantauan kita.” Jawab Pak Chairil.

“Bagaimana yang lain,?” Tanya om Agung.

“Setuju,” Jawab yang lain secara bersamaan.

“Oke, lalu bagaimana dengan orang tua mereka han,? Belum tentu mereka setuju.” Lanjut om Agung.

“Kita biayai kuliah mereka om. Dengan begitu akan mudah mendapat izinnya.” Jawab ku.

“Dua diantara mereka berasal dari keluarga yang sederhana, itu mungkin akan lebih mudah,” Tambah ku.

“Good Idea, mereka juga bisa berlatih dan nantinya bekerja di luar jam kuliah,” Ucap Pak Hasan menambahkan.

Setelah usulanku disepakati, akhirnya aku jelaskan kelebihan para sahabatku. Dan keinginan dari rencanaku. Dari poisi tim pengembang, aku hanya tidak memiliki seorang seperti Pak Chairil. Dan itu bisa dimaklumi. Pak Chairil bisa mencarikannya untuk ku ketika tim ku terbentuk. Akhirnya semua setuju, dan tinggal menyusun rencana selanjutnya. 

*****

Rencana pertama kami adalah mendatangi keluarga para sahabat ku, untuk bernegosiasi dengan keluarga mereka. om Agung dan Pak Chairil yang langsung menangani. Rencana kedua adalah tugas Pak Reihan yang mencarikan Lembaga Pendidikan bagi para sahabat ku kuliah setelah lulus sekolah nanti. 

Tanpa hambatan om Agung dan Pak Chairil sukses membujuk orang tua sahabat ku untuk merestui anak mereka diadopsi oleh perusahaan kami. Dan hari ini adalah hari latihan pertamaku dengan Pak Hasan. Aku tidak sendiri, melainkan ditemani Aris. Aku dan ajis akan berlatih bersama Pak Hasan. Setelah selesai membahas rencana di Fila biasa kami berkumpul, aku dan Ajis langsung ikut Pak Hasan menuju tempat latihan. Dalam fikiran kami, kami akan menuju ke sebuah gedung games atau rumah Pak Hasan. Tetapi mobil Pak Hasan melaju sampai ke tepi pantai. Aku dan Ajis saling menatap, perasaan kami mulai tidak enak, sepertinya kami akan mengikuti pelatihan ala militer.

Sesampainya di tempat, Pak Hasan keluar dari mobilnya, ia menyuruh kami keluar, dan mengeluarkan barang dari bagasi mobil yang kami tahu itu adalah tenda. 

“Inilah rumah kita selama 2 minggu ke depan,” Ucap Pak Hasan yang sejak tadi sibuk menyiapkan tenda.

“Setelah ini kita mandi, makan dan mulai latihan sore nanti,” Lanjutnya.

Aku dan Ajis hanya mengangguk tanda mengerti. Mengenai makanan, Pak Hasan tidak perhitungan, banyak persediaan yang telah ia siapkan untuk kebutuhan kami. Setelah sholat asyar, kami memulai latihan pertama kami. Hati bergetar, bulu kuduk kami berdiri, bertanya-tanya, ilmu apa yang akan kami dapatkan dari Pak Hasan. Ku lihat Pak Hasan juga telah mempersiapkan arena tempat latihan kami. Bendera tertancap dari ujung ke ujung sejauh kurang lebih 300 meter.

“Baiklah Johan,dan Ajis, silahkan kalian berlomba lari dari ujung satu ke ujung yang lain,” Ucap Pak Hasan mengawali pelombaan ini.

Segera kami berlari kencang, satu sesi kami lalui, lanjut ke dua dan seterusnya. Dalam pertandingan pertama ini aku selalu tertinggal 2 meter di belakang Ajis. Maklum, dia adalah pelatih silat ku. Tentu pengalaman dalam fisik dan lari, dia lebih unggul. Satu jam berlalu, kaki ku sudah tak kuat untuk berlari, bahkan melangkah. Nafas ku seperti mau putus. Aku tersungkur jatuh memeluk pasir pantai. Ajis merangkul dan memapah ku. 

“Kau harus kuat Johan, aku di sini karenamu,” Ucap Ajis sambil membawa ku terus berjalan menuju bendera.

“Waw,, sebuah kesetiaan yang kuat sudah kalian tunjukkan padaku,” Teriak Pak Hasan dari samping bendera. 

“Hari ini aku cukup puas dengan kinerja kalian, latihan hari ini berakhir,” Tambahnya.

Sepertinya Pak Hasan sudah tahu apa yang akan terjadi, tubuhku tidak mungkin bisa menandingi Ajis. Dia hanya menguji kesetiaan Ajis padaku. Karena itu sangat penting di masa depan. 

*****

Satu minggu berlalu, aku dan ajis masih di tempat yang sama, kebiasaan yang sama, dan pola latihan yang sama.  Setiap pagi, siang, sore dan malam kami hanya berlatih pertandingan berlari. Entah sudah berapa puluh atau ratus kami bolak-balik dari sudut bendera ke sudut bendera satunya. Kini tubuhku sudah mulai terbiasa dengan latihan fisik ini, bahkan terkadang aku sudah bisa mengimbangi kecepatan Ajis. Kami menikmati setiap detik latihan ini. meskipun kami belum tahu apa tujuan Pak Hasan melakukan latihan ini.

Di malam ke delapan, aku dan Ajis kembali bersiap di tepi pantai. Ada yang berbeda dengan arena latihan. Bendera tak lagi tertancap gagah di sana. Tetapi berganti dengan sebuah garis lingkaran. Aku dan Ajis sudah siap menunggu sesi latihan selanjutnya. Terlihan Pak Hasan berjalan dari kejauhan, kali ini ia tidak sendiri, ada 10 orang di belakangnya. Pak Hasan memberikan kode kepada mereka untuk berpencar, segera mereka duduk berada di luar lingkaran. mengitari aku dan Ajis. Pak Hasan mendekati kami.

“Silahkan kau duduk Johan, biarkan Ajis yang berada di tengah arena,” Perintah Pak Hasan padaku.

“Agenda malam ini adalah bertahan dengan melawan, akan ada 10 pesilat yang meyerang mu secara bergiliran, tetapi mereka boleh masuk 3 orang sekaligus, tujuan mereka adalah mengalahkan mu dengan menghajar atau membuang mu keluar lingkaran, bertahanlah selama yang kau bisa,” Ucap Pak Hasan menjelaskan,” Ucap Pak Hasan menjelaskan. 

“Lebih tepatnya adalah tarung bebas, apakau kau paham Jis,?” Tambah nya. 

“Lebih dari siap Pak,” Jawab Ajis lantang.

“Bersedia, siap, mulaiiiii,!” Teriak Pak Hasan memulai pertandingan.” Lanjut Pak Hasan.

Satu pesilat sudah masuk ke arena, Ajis dengan sigap menyambut kedatangannya. Tendangan kuat mendarat di bahu Ajis. 

“Beegghhh,” Suara banttingan terdengar jelas, pesilat itu tumbang dibantinting Ajis. Sesutu yang di luar dugaan. 

Beberapa pesilat datang silih berganti. Dengan wajah sinis bak seorang pembunuh, Ajis tegar berdiri. Kini ia tengah menghadapi pesilat terakhir. Kali ini Ajis terpojok oleh kehebatan musuhnya itu, badan tinggi tegap, gerakan kakinya lincah, tendangannya sangat mematikan. Ajis harus berhati-hati untuk bisa mengalahkannya. 

Berbagai trik dan teknik ditunjukkan oleh kedua pesilat, dengan gerakan tipuan Ajis mencoba menyerang, terbuka kesempatan ketika dada musuh terbuka lebar karena lengah. Ajis pasti menang dengan satu pukulan telak. 

“Arrrgghhh,” Suara Ajis menjerit kesakitan, setelah terkena serangan memutar oleh musuhnya. Kesempatan menyerang tadi adalah tipuan. Ajis terkena serangan telak di dadanya. Ia tersungkur ke pasir. Dengan keringan yang mengucur deras, ia menahan sakit. Tak lama, para pesilat yang lain datang membantu Ajis untuk duduk di sudut lingkaran. salah seorang dari mereka mengeluarkan sejenis salep yang memang sudah disiapkan sebagai bahan P3K.

“Waw,, waw,, waw,,, aku tak bisa berhenti gemetar Jis, melihat perjuanganmu, teknik mu, hampir saja kau mengalahkan pesilat terbaikku.” Ucap Pak Hasan yang kini sudah berada di tengah lingkaran. terlihat senyum lebarnya, menandakan sebuah kepuasan.

“Kau lihat Johan, Ajis, calon pelindung mu telah menunjukkan hasil yang luar biasa, bagaimana dengan mu,?” Lanjut Pak Hasan yang kemudian menunjuk ku pertanda giliranku telah tiba.

Tubuhku berdiri dengan sigap, jantung berdetak cepat, bergetar serasa tubuh ini. “Apakah kau takut Johan,?” Gumamku dalam hati.

Aku adalah murid Ajis, guruku mampu bertahan menglahkan 4 musuh, maka aku pasti mampu juga. Satu musuh telah berada di depan ku. Matanya melotot marah, senyum sinisnya begitu membuat hati ini terbakar. Pukulan tangan dan kaki dilancarkan, aku hanya mengidar melompat kesamping dan ke belakang.

“Ayolah han, bukan ini cara petarung,” Keluhku pada reflek ku yang salah.

Pukulan kaki menuju uluhati masih bisa ku tangkis dengan tangan, tapi pukulan susulan siku tangan pesilat itu mendarat di dagu ku. Aku terplanting ke belakang. Bibirku mengeluarkan darah. 

“Ayolah Johan, kita sedang bertarung, bukan menari,” Teriak Pak Hasan dari luar arena. Terdengar juga teriakan pesilat yang lain mengejekku.

“Tenang Johan, fokus, keluarkan teknik mu,” Terdengar suara Ajis menyemangatiku.

Teknik mu. Kata itu mengingatkan ku saat kami latihan, saat itu kami sedang sparing partner silat, Ajis selalu menjatuhkan ku dengan bantingannya. Di tengah pertandingan, ia kaget dengan gerakan ku, aku menggunakan siku untuk menangkis, lalu disusul dengan serangan. “Itulah teknik yang harus kau jadikan andalan Han,” Ucap Ajis waktu itu.

“Ya,, aku memiliki kelebihan, aku pasti bisa,” Gumamku meyakinkan diri.

Aku maju dengan dada terbuka, keyakinan ku kini tengah membara. Terlihat musuh ku yang berbadan pendek dan gelap kembali melemparkan senyum sinisnya. Jarak serang sudah terlewati. Dan benar, ia terpancing dengan trik ku, tendangan menuju uluhati ia lancarkan. Aku tangkis menggunakan siku tepat pada tempurung lututnya. Aku yakin dia pasti cidera. Ku susul dengan tinjuan telak ke uluhati serta tendangan sebagai penutup serangan.

“Bruukkkk,” Ia terlempar sejauh 3 meter. Terlihat ia memegangi kakinya, dan ternyata benar, tempurung lututnya keluar dari tempat seharusnya. Satu lawan sudah ku lalui.

Ajis sengaja menyuruhku memprkuat siku ku ketika latihan, jadi ketika menangkis serangan sekuat apapun tidak akan cidera.

Masuk pesilat kedua, badannya tinggi. Tubuhnya kurus, tetapi gerakannya sangat lincah. Ajis tadi kalah dengan musuh yang berbadan lebih tinggi. Aku kini harus berhati-hati. Serangan bertubi-tubi dilancarkan, aku menangkis dengan teknik ku, ettapi semua sia-sia. Tangkisan ku selalu mengenai tulang kaki nya. Tangan ku terasa sakit di setiap ujung siku. Di keadaan yang terpepet ku lihat Ajis memberikan kode tangan yang mengartikan gunting. Yah, guntingan. Teknik yang telah kupelajari dengan Ajis. 

Tendangan samping mendarat dipinggang ku, kutangkap kaki nya. Badan ku mundur satu langkah. Kaki pesilat itu ku letakkan di selangkangan kedua kaki ku. Badan ku berputar jatuh ke belakang, di ikut putaran kaki. Kaki pesilat itu terjepit. Setelah itu kulakukan segera sebuah kuncian. Dan, game over. Aku menang. Pesilat itu berteriak tanda menyerah dengan memukul-mukul tanah.

Sorak-sorai tepuk tangan menyambut keenangan ku. Kini mereka mengakui kehebatan ku. Ketika aku sedang terbuai dengan gemuruh kemenangan ku, aku dikejutkan dengan lompatan seseorang yang bertubuh kecil. Muda, mungkin seusia dengan ku. Ia menunduk memberikan salam hormat padaku. Ketika aku hendak membalas, sebuah telapak kaki sudah mendarat di pipiku. “Beegghh” aku terplanting tersungkur ke pasir. Darah mengucur dari kedua bibir ku.

Dengan emosi yang membara, aku bangkit. Ku lihat anak itu dengan tatapan kemarahan. Ia membalas dengan senyum kegembiraan. Mungkin karena sudah berhasil menipu ku. 

“Tenang Johan, tahan emosimu,” Teriak Ajis dari luar arena. Aku tak peduli, bagiku, aku harus memberikan pelajaran pada anak di depanku ini. dengan teriakan amarah, aku maju menyerang. Serangan kaki ku lakukan, teknik tipuan ku lakukan. Tetapi dengan mudah nya anak itu menghindar tanpa tersentuh sedikitpun. Lalu, sebuah kepalan tanangan sudah mendarat di perut ku. Air keluar takbisa ku tahan, sakit sampai aku tidak bisa membalas, bahkan melangkah menjauh. Tinjuannya sangat keras. Meskipun kepalan tangannya kecil.

“Ingat sobat, emosi dan kesombongan akan membunuh mu,” Ucap anak itu . Tubuh ku ambruk ke pasir setelah tangan anak itu berlalu pergi mengikuti tubuhnya yang melangkah menuju Pak Hasan. Ku lihat ia melakukan salam hormat padanya.

“Luar biasa perjuangan mu Johan, tetapi sayang nya, emosi mu terlalu tinggi. Kesombongan mu masih belum dihilangkan, sehingga kau melakukan hal yang bodoh,” Ucap Pak Hasan menyeramahiku.

“Oh iya, perkenalkan Johan, musuh yang mengalahkan mu, dia adalah anak ku, Reina.” Sambung Pak Hasan.

“Pasti kau mengira ia adalah seorang pemuda sepertimu, haaa,” Sambungnya dengan berjalan ke arah ku. 

“Tapi aku puas dengan usaha kalian, dan latihan bisa kita lanjutkan ke tahap selanjutnya,” Ucap Pak Hasan sambil memapah ku. Diikuti para pesilat lain yang berjalan menuju ke tenda kami. Ku lihat juga pesilat cilik yang mengalahkan ku. Ia mencopot rambut palsunya, kini terlihat jelas bahwa ia seorang gadis. 

Malam itu kami merayakan keberhasilanku dan Ajis, kami membakar ayam yang sudah disiapkan oleh anak nuah Pak Hasan. Canda tawa tersaji dengan dibalut kebahagiaan. Pak Hasan mengenalkan satu-satu anak buahnya, bahkan bercerita tentang mereka. sesuatu yang mengundang canda tawa.

*****

Di tempat lain, Om Agung mendapat telfon dari sekretarisnya di kantor. 

“Hallo Pak Agung,” Sapanya.

“Ia, ada apa Sindy,” Jawab om Agung yang balik bertanya.

“Bapak sudah datang ke kantor,?” Lanjut sekretarisnya.

“Belum, saya masih di rumah, sekarang kan masih pukul enam pagi, ada apa sin,” jawab om Agung.

“Saya sudah di kantor pak, di ruangan khusus bapak ada orang. Semua cctv dimatikan,” Jawab Sindy panik.

“Apaaa,,? Bagaimana bisa, hanya kita dan Johan yang memiliki akses untuk masuk,” Jawab om Agung terkejut.

“Ya sudah, pantau pintu tersebut tanpa berkedip sedetikpun sin, saya akan kirim pasukan,” Tegas om Agung.

“Baik pak,” Jawab sekretarisnya.

Ruangan itu adalah ruangan yang tidak sembarangan orang bisa masuk, bahkan seperti om Ferdi sekalipun. Sebuah ruangan di dalam ruangan kerja om Gung. Dirancang untuk menyimpan dokumen sangat penting perusahaan. Maka disebut ruangan khusus.

Tapi, kini ruangan itu tengah dijajah oleh seseorang. Itu adalah sebuah bencana bagi perusahaan kami. 

*****

Aku dan Reina sedang bercakap sambil menikmati indahnya suasana pagi hari di pantai. Ditemani Ajis yang sedikit terlihat kaku menghadapi Reina. Sebagaimana penuturan Pak Hasan, bahwa Reina nantinya akan menjadi salah satu pelatih kami. Maka sebisa mungkin kami harus dekat dengannya. Ia menjelaskan banyak hal, termasuk perkataannya padaku sesaat setelah mengalahkan ku. Ajis hanya membuntuti kami di belakang. 

“Hei, ada apa,,? mereka terlihat buru-buru,” Ucap Ajis ketika melihat Pak Hasan dan anak buahnya berhamburan menyiapkan bawaan.

“Ayo kita kesana,” Ajak ku pada Reina dan Ajis. Mereka mengangguk tanda setuju. 

  “Ayah, ada apa ini,?” Tanya Reina pada Pak Hasan yang sudah siap di samping mobilnya.

“Panggilan darurat dari om Agung, Ayah harus ke kantor sekarang,” Jawab Pak Hasan sambil masuk ke dalam mobil.

“Johan, ini tentang perusahaan, seharusnya kau ikut dengan kami, tapi tidak saat ini. kau belum siap. Maka berlatihlah dengan tekun, kejar agar kau segera siap.” Lanjut Pak Hasan.

“Reina, beri mereka cerita tentang Shadow Ekonomi.” Perintah Pak Hasan pada putrinya.

“Siap yah.” Jawab Reina singkat.

Pesan Pak Hasan membakar semangat ku. Aku harus segera menyusul ketertinggalan ku. Apalagi setelah mendengar kabar dari Pak Hasan tentang perkembangan Tim ku. Doni tengah berhadapan dengan Pak Ridwan, dan Anton tengah sibuk menggali ilmu Pak Reihan. Tim yang aku ajukan tengah berjuang keras untuk memantaskan diri. Mereka berjanji padaku akan melakukan yang terbaik, agar kami bisa selalu bersama dan membantuku menjalankan perusahaan ku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status