Home / Romansa / SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER / Bab 3: Rahasia yang Mulai Terkuak

Share

Bab 3: Rahasia yang Mulai Terkuak

Author: Zayba Almira
last update Last Updated: 2024-12-01 14:14:07

Hari itu, Keira merasa ada yang aneh. Sejak pagi, ia tidak bisa berhenti memikirkan Adrian. Bukan karena rasa kagum, tapi lebih kepada rasa penasaran yang mengusik.

“Apa sih yang sebenarnya dia sembunyikan?” Keira bergumam sambil menyesap teh di ruang makannya.

Pikirannya kembali pada momen ketika Adrian dengan mudah menenangkan situasi di butik. Itu bukan sesuatu yang biasa dilakukan seorang sopir. Dia tidak hanya tenang, tetapi juga memiliki kehadiran yang memengaruhi orang lain.

Keira menghela napas berat. Ia tidak suka perasaan ini—perasaan kehilangan kendali atas pikirannya sendiri. Ia terbiasa menjadi pusat perhatian, orang yang mengendalikan situasi, tetapi Adrian? Kehadirannya justru membuat Keira merasa sebaliknya.

“Nona Keira, mobil sudah siap,” suara Adrian yang tenang membuyarkan lamunannya.

Keira menoleh ke arah pintu. Adrian berdiri di sana dengan sikap sempurna seperti biasa, seragamnya rapi tanpa cela. Senyum kecil itu masih ada di wajahnya, dan itu membuat darah Keira mendidih entah kenapa.

“Aku tidak butuh sopir hari ini,” jawab Keira dingin.

Adrian tidak terkejut. Ia hanya menundukkan kepala sedikit. “Baik, Nona. Jika Anda berubah pikiran, saya akan tetap siap.”

Keira memutar bola matanya. “Kau tidak pernah marah, ya?” tanyanya tiba-tiba.

Adrian menatapnya dengan tatapan lembut. “Tidak ada alasan untuk marah, Nona.”

Jawaban itu membuat Keira semakin frustrasi. “Ya ampun, kau bahkan tidak manusiawi,” katanya sambil berjalan keluar ruangan.

Namun, saat ia meninggalkan Adrian, ada rasa bersalah kecil yang mulai muncul di hatinya.

Keira akhirnya memutuskan untuk pergi sendiri. Ia mengambil mobil sport miliknya, merasa bahwa ia butuh waktu untuk sendiri. Dengan kecepatan tinggi, ia melaju ke arah pusat kota.

Namun, saat ia berhenti di lampu merah, matanya menangkap sesuatu yang aneh. Di trotoar, Adrian sedang berbicara dengan seseorang. Sosok itu adalah pria tua dengan pakaian lusuh, tampaknya seorang tunawisma.

Keira memutuskan untuk menepi dan mengamati dari kejauhan. Ia melihat Adrian memberikan sesuatu kepada pria itu—sebuah amplop kecil. Wajah pria tua itu berubah penuh syukur, sementara Adrian hanya tersenyum kecil sebelum pergi.

“Apa yang dia lakukan?” gumam Keira, rasa penasaran kembali menyerang.

Dia memutuskan untuk mengikuti Adrian dari kejauhan.

Adrian berjalan menuju sebuah restoran kecil di pinggir jalan. Ia masuk dan duduk di salah satu meja yang tersembunyi di sudut ruangan. Keira memarkir mobilnya dan masuk ke restoran itu dengan hati-hati, mencoba untuk tidak menarik perhatian.

Adrian tampaknya tidak menyadari kehadirannya. Ia berbicara dengan seorang pria yang duduk di depannya—pria yang lebih muda, dengan penampilan rapi tetapi wajahnya terlihat tegang.

Keira mengambil tempat duduk yang cukup jauh untuk menghindari terlihat, tetapi cukup dekat untuk mendengar pembicaraan mereka.

“Apa kau yakin semuanya berjalan sesuai rencana?” tanya pria itu dengan nada rendah.

Adrian mengangguk. “Aku sudah mendapatkan akses ke semua yang kita butuhkan. Tinggal menunggu waktu yang tepat.”

“Bagaimana dengan gadis itu?”

Adrian terdiam sejenak. “Keira Hartono? Dia hanya pion dalam permainan ini. Tapi dia lebih pintar dari yang kukira.”

Keira terkejut mendengar namanya disebut. Napasnya tercekat, tetapi ia berusaha tetap tenang.

“Jangan meremehkan dia,” lanjut Adrian. “Dia punya potensi untuk menggagalkan semuanya jika tidak kita kendalikan.”

Keira merasa marah sekaligus bingung. Apa maksud Adrian? Apa rencana yang sedang ia jalankan?

Pria di depannya mengangguk. “Baik. Kalau begitu, lanjutkan sesuai rencana.”

Mereka berjabat tangan, dan Adrian segera bangkit dari kursinya. Keira buru-buru berbalik, mencoba berbaur dengan pengunjung lain agar tidak terlihat.

Namun, saat Adrian keluar dari restoran, Keira menyadari bahwa ia sedang menghadap ke arahnya. Mata mereka bertemu sesaat, dan senyum tipis muncul di wajah Adrian.

Malam itu, Keira tidak bisa tidur. Kata-kata Adrian terus terngiang di kepalanya.

“Dia hanya pion dalam permainan ini…”

Apa maksudnya? Apa rencana yang sedang ia jalankan? Dan kenapa ia merasa bahwa dirinya terlibat dalam sesuatu yang besar?

Akhirnya, Keira memutuskan untuk menghadapi Adrian. Ia turun ke ruang tamu, di mana Adrian biasanya berada ketika tidak bertugas.

“Adrian,” panggilnya dengan suara tegas.

Adrian menoleh dari tempatnya duduk. Ia sedang membaca buku, sesuatu yang membuat Keira sedikit terkejut.

“Nona Keira? Ada yang bisa saya bantu?”

Keira berjalan mendekat, matanya menatap langsung ke matanya. “Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kau sembunyikan.”

Adrian tetap tenang. “Saya tidak mengerti maksud Anda, Nona.”

“Jangan berpura-pura bodoh! Aku melihatmu di restoran tadi. Aku mendengar semuanya,” katanya dengan nada tinggi.

Wajah Adrian berubah serius. Ia menutup bukunya perlahan, lalu berdiri. Meski tidak ada ancaman dalam gerakannya, kehadirannya terasa lebih besar dari sebelumnya.

“Anda mendengar apa, Nona?” tanyanya dengan nada yang lebih dalam.

Keira menelan ludah. Ia tidak terbiasa melihat Adrian seperti ini—serius dan penuh tekanan.

“Aku mendengar kau mengatakan bahwa aku adalah pion,” jawab Keira dengan suara bergetar.

Adrian menghela napas pelan, lalu berjalan ke arah jendela. “Nona Keira, saya pikir Anda belum siap untuk mengetahui segalanya.”

Keira melangkah maju. “Jangan perlakukan aku seperti anak kecil! Aku berhak tahu, terutama jika aku terlibat dalam sesuatu yang kau sembunyikan.”

Adrian menoleh, matanya menatap dalam ke arah Keira. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi saya hanya akan mengatakan ini sekali. Apa yang saya lakukan bukan untuk menyakiti Anda, melainkan untuk melindungi Anda.”

Keira terdiam. Kata-kata itu membuat hatinya bergetar, tetapi ia tidak tahu harus mempercayainya atau tidak.

“Melindungi dari apa?” tanyanya pelan.

Adrian menggeleng. “Itu belum saatnya Anda ketahui.”

Setelah percakapan itu, Keira merasa emosinya bercampur aduk. Marah, bingung, tapi juga merasa aman entah kenapa. Ada sesuatu tentang Adrian yang membuatnya tidak bisa membenci pria itu sepenuhnya, meskipun ia tahu ada rahasia besar di balik semua ini.

Di sisi lain, Adrian duduk sendirian di kamarnya. Wajahnya terlihat lebih lelah daripada biasanya. Ia menatap foto di tangannya—foto seorang wanita muda yang mirip dengan Keira.

“Maafkan aku, tetapi aku harus melakukan ini,” bisiknya pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 232

    Matahari pagi membuka hari dengan sinar lembut yang mengusir embun dan membangkitkan semangat baru. Di Taman Pulih yang kini telah menjadi saksi pergerakan hidup bersama, setiap sudutnya bercerita—tentang perjuangan, tentang mimpi yang diberdayakan oleh tangan-tangan penuh cinta, dan tentang keberanian yang menorehkan satu jejak abadi.Di ujung taman, Keira dan Adrian bersama-sama mengadakan acara kecil yang mengundang warga dari berbagai penjuru kota. Di tengah-tengah panggung sederhana yang dihiasi lampu-lampu tenaga surya dan rangkaian bunga-bunga segar, mereka berbagi kisah perjalanan hidup yang terukir dalam setumpuk kenangan."Setiap langkah, setiap tawa, setiap air mata—semua itu adalah bagian dari cerita kita," ujar Adrian di hadapan kerumunan yang terpaku dalam keheningan penuh harap. "Hari ini, kita rayakan bukan hanya apa yang telah terjadi, tapi juga apa yang akan terus kita bangun bersama."Sorak-sorai dan tepuk tangan hangat mengalun, seolah alam pun turut merayakan

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 231

    Di pagi yang cerah, seolah alam sendiri ingin menyambut babak baru dalam hidup mereka, kota kecil itu terasa lebih hidup dari sebelumnya. Taman Pulih, yang sudah menjadi simbol perjuangan dan harapan, kini beriak dengan kegiatan yang penuh warna. Di sinilah titik temu cerita—bukan lagi persimpangan antara masa lalu dan masa depan, melainkan sebagai saksi perjalanan setiap insan yang telah melewati badai dan menemukan cahaya.Di Taman Pulih, Keira dan Adrian duduk di bangku kayu yang sama sejak lama. Di sekeliling mereka, para penduduk berkumpul; ada yang membawa makanan, ada pula yang menyuguhkan alunan musik akustik sederhana. Anak-anak berlarian sambil tertawa, menyisipkan cerita baru di antara gemerisik dedaunan.“Lihat, Kang,” ujar Keira sambil menunjuk ke arah sekelompok remaja yang sedang bermain alat musik hasil kreativitas mereka dari barang bekas. “Dunia ini terus mengajarkan kita untuk memulai dari nol, tapi selalu ada keindahan di setiap langkahnya.”Adrian mengangguk,

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 230

    Setahun setelah malam penuh bintang dan janji yang tersulam dalam keheningan, dunia yang telah tersingkap dari luka masa lalu kini menunjukkan tanda-tanda perubahan yang lebih segar lagi. Di jantung kota kecil, Taman Pulih yang dulu hanya sebatas gagasan di atas kertas, kini telah menjadi oasis kehidupan—ruang yang mengundang tawa, perbincangan, dan harapan baru.Di pojok taman, Keira berdiri di bawah naungan pohon kenari yang dulu ia tanam bersama Adrian. Setiap helai daunnya menyatu bercerita tentang kerja keras, keberanian, dan keyakinan yang tak pernah padam. Di depan matanya, sekumpulan anak-anak tengah bermain, membuat kreasi dari daun kering dan ranting kecil. Tawa mereka seakan mengukir jejak kecil di tanah yang telah lama dirawat.Adrian, yang kini aktif membantu pembangunan komunitas, terlihat sibuk mendampingi para relawan yang sedang memasang instalasi lampu tenaga surya di sudut taman. “Setiap kilau lampu itu adalah cermin jiwa yang kembali bersinar,” gumamnya sambil

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 229

    Langit pagi membawa aroma embun dan tanah yang baru digarap. Di kejauhan, suara anak-anak dari sekolah dasar terdengar samar, bercampur dengan deru sepeda yang melintasi jalan kecil berkerikil. Dunia sudah tak lagi penuh gema peringatan bahaya—tapi gema tawa dan kehidupan.Di dapur rumah kecil itu, Keira sedang melipat surat-surat yang masuk minggu ini—bukan dari pejabat atau lembaga internasional, tapi dari orang-orang biasa: seorang guru di pelosok yang terinspirasi untuk mengajar coding dasar; seorang ibu yang kini bekerja di perpustakaan komunitas; seorang anak remaja yang baru saja memenangkan lomba inovasi pertanian.Semua surat itu ditaruh Keira di dalam sebuah kotak kayu berukir sederhana. Di bagian depan kotak itu, tertulis satu kata dengan tangan: “Ingatan.”Adrian masuk dengan membawa sekeranjang hasil panen pertama mereka—tomat, selada, dan dua buah paprika yang tumbuh lucu mirip huruf “A” dan “K”.“Lihat ini, kayaknya sayuran kita bisa ikut lomba fashion,” ujarnya samb

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 228

    Pagi itu, aroma kayu basah dan tanah yang baru disiram memenuhi udara. Kabut tipis masih menggantung di kebun belakang, tempat Keira menanam pohon kecil kemarin sore—pohon kenari yang diberikan oleh salah satu murid Samantha sebagai hadiah syukur.Keira berdiri diam di depannya, memandangi batang muda itu yang tampak rapuh namun penuh harapan."Aku belum pernah menanam pohon sebelumnya," katanya pelan ketika Adrian mendekat dari belakang, memeluk pinggangnya sambil menyandarkan dagu di pundaknya.“Tapi kamu tahu cara menumbuhkan sesuatu,” bisik Adrian, “karena kamu tahu cara menjaga.”Keira menyandarkan kepalanya ke bahu suaminya. “Pohon ini akan tumbuh tinggi nanti. Mungkin anak kita akan panjat dia, atau duduk di bawahnya baca buku. Tapi yang paling penting… dia akan tumbuh dari rumah ini.”Adrian mengangguk, membayangkan masa depan yang terasa jauh lebih dekat daripada sebelumnya.Samantha berdiri di bawah pohon besar di halaman belakang pusat pelatihannya. Beberapa siswa sedang

  • SOPIR PRIBADIKU TERNYATA MILIARDER   Bab 227

    Rumah kecil di pinggiran kota itu jauh dari kata mewah. Dindingnya sederhana, dikelilingi pagar kayu yang mulai dipanjati tanaman rambat. Tapi di dalamnya, setiap sudut memancarkan ketenangan. Di teras depan, Keira sedang menyiram bunga-bunga yang kini tumbuh subur. Tangannya lembut mengusap daun yang basah, sementara angin sore membelai rambutnya yang digelung santai.“Kalau kamu terus menyiram mereka segitu telatnya, nanti bisa tumbuh akar hati di situ,” goda Adrian dari pintu depan, membawa dua cangkir teh hangat.Keira tertawa pelan. “Kalau bisa, kenapa nggak? Setidaknya rumah ini jadi hidup.”Mereka duduk berdua di bangku panjang yang terbuat dari kayu daur ulang. Tak ada suara selain cicit burung dan desir angin. Dunia tak lagi berisik seperti dulu. Tanpa ancaman, tanpa kejaran. Hanya hidup... dan harapan.Di dalam rumah, tembok-temboknya dipenuhi foto—bukan foto kemenangan atau upacara penghargaan, tapi foto-foto kecil: senyum mereka di dapur, jejak kaki di taman saat hujan,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status